31 Agustus 2012

Gambar Hikmah #3



Cantik adalah saat apa yg dimiliki orang lain tidak membuatmu iri, karena apa yang kau butuhkan adalah menjadi dirimu sendiri.

29 Agustus 2012

Gmbar Hikmah 2


Bersyukur adalah cara terbaik agar merasa cukup, bahkan ketika berkekurangan. Jangan berharap lebih sebelum berusaha lebih.

28 Agustus 2012

Gambar Hikmah #1


Tak perlu bersedih akan kekurangan. Ketahuilah, Tuhan pasti memberi kelebihan kepada setiap orang yang memiliki kekurangan.

26 Agustus 2012

Manusia Pagi


Istilah ini menarik: Rijaalul Fajri, lelaki pagi, lelaki yang menghidupkan waktu pagi. Meskipun menggunakan kata ‘Rijaal’, ini tidak menunjukan hanya untuk laki-laki, tapi juga perempuan. Sebagaimana ayat-ayat dalam Quran, banyak yang menggunakan bahasa mudzakkar (laki-laki), tapi ditujukan secara umum untuk laki-laki dan perempuan. Jadi, rijaalul fajri menjadi lebih tepat diartikan dengan ‘manusia pagi’.

24 Agustus 2012

Mengagendakan Kemajuan Pendidikan Nasional


Pernahkah mendengar bahwa “pendidikan bermutu itu mahal”? Ya, banyak orang yang terjebak pada persepsi yang demikian. Padahal selayaknya dana pemerintah melalui APBN yang mencapai ratusan triliun rupiah, Indonesia harusnya cukup mampu mengadakan pendidikan yang berkualitas dan merata. Karena pada dasarnya pemerintah lah yang berkewajiban menjamin setiap warganya memperoleh pendidikan yang berkualitas.

23 Agustus 2012

Washiat Muhammad Al Fatih



Menjalani hari-hari terakhirnya setelah diracun, Muhammad al-fatih merasaan kematian mungkin akan segera datang. Ia telah lakukan apa yang ia bisa rasa bisa. Ia telah jalani apa yang ia yakini mesti. Ia telah berikan apa yang ia anggap punya. Ia tunaikan apa yang ia tahu itu menjadi tanggungjawabnya. Maka bila takdir telah membuatnya berkuasa di usia muda dan harus membuatnya mati dalam usia yang belum terlalu tua, hari itu ia merasa layak bicara. Bila ia harus mencari alasan, mungkin hanya satu : ia telah bekerja.
Tiga puluh satu tahun setelah dilaluinya dalam pegabdian, kerja, karya, yang luar biasa. Bila kemudian di hari itu ia hendak bicara, itu sudah semestinya. Ia hendak bicara atas apa yang telah dilakukannya, sebagai sebuah wasiat untuk anaknya yang akan meneruskan kepemimpinannya. Maka kepada anaknya ia sampaikan wasiat:
“Aku sudah diambang kematian. Tapi aku berharap aku tidak kawatir, karena aku meninggalkan seseorang sepertimu. Jadilah seorang pemimpin yang adil, shalih dan penyayang. Rentangkan pengayomamu untuk rakyatmu, tanpa kecuali, bekerjalah untuk menyebarkan islam. Karena sesungguhnya itu merupakan kewajiban para penguasa di muka bumi. Dahuluklan urusan agama atas apapun urusan lainnya. Dan janganlah kamu jemu dan bosan untuk terus menjalaninya. Janganlah engkau angkat jadi pegawaimu mereka yang tidak peduli dengan agama, yang tidak menjauhi dosa besar, dan yang tenggelam dalam dosa. Jauhilah olehmu bid’ah yang merusak. Jagalah setap jengkal tanah islam dengan jihad. Lindungi harta di baitul maal jangan sampai binasa. Janganlah sekali-kali tanganmu mengambil harta rakyatmu kecuali dengan cara yang benar sesuai ketentuan islam. Pastikan mereka yang lemah mendapatkan jaminan kekuatan darimu. Berikanlah penghormatanmu untuk siapa yang memang berhak.”
“Ketahuilah, sesungguhnya para ulama adalah poros kekuatan di tengah tubuh negara, maka muliakanlah mereka. Semangati mereka. Bila ada dari mereka  yang tinggal di negeri lain, hadirkanlah dan hormatilah mereka. Cukupilah keperluan mereka.”
“Berhati-hatilah, waspadalah, jangan sampai engkau tertipu oleh harta maupun tentara. Jangan sampai engkau jauhkan ahli syari’at dari pintumu. Jangan sampai engkau cenderung kepada pekerjaan yang bertentangan dengan ajaran islam. Karena sesungguhnya agama itulah tujuan kta, hidayah itulah jalan kita. Dan oleh sebab itu kita dimenangkan.”
“Ambilah dariku pelajaran ini. Aku hadir ke negeri ini bagaikan seekor semut kecil. Lalu allah memberi nikmat yang besar ini. Maka tetaplah di jalan yang telah aku lalui. Bekerjalah untuk memuliakan agama islam ini, menghormati umatnya. Janganlah engkau hamburkan uang negara, berfoya-foya, dan menggunakannya melampaui batas yang semestinya. Sungguh itu semua adalah sebab-sebab terbesar datangnya kehancuran.”
Itulah wasiat al-Fatih. Ia telah mencatatkan tinta emas dalam sejarah dan mengukir prestasi yang insya Allah layak dibanggakan dihadapan Allah SWT dengan membuktikan pada dunia melalui usaha yang nyata. Kini tinggal kita wahai Saudaraku, yang akan merealisasikan hadits Rasulullah SAW “….tsumma takuunu khilafatan ‘ala minhajin nubuwwah” dengan fikrah Islam dan thoriqah Rasulullah sebagai senjata kita, akan segera kita taklukkan atas izin Allah, ideologi Kapitalis yang saat ini sebagai benteng kuat di benak seluruh penguasa kaum muslim, dan kita dirikan diatas puing-puingnya Negara KHILAFAH ISLAMIYAH!!! ALLAHU AKBAR!!!

Sumber: dakwah kampus

16 Agustus 2012

”RENUNGAN HARI PRAMUKA 2012”



Kakak-kakak, saudaraku dalam bakti, di malam yang sunyi ini kita kembali
berkumpul ditempat ini seperti setahun yang lalu. untuk mencoba melihat ke
dalam hati kita masing-masing apa yang telah kita lakukan selama setahun
ini…? Sudahkah kita memenuhi setiap janji yang kita ucapkan tahun lalu...???
Jawabannya ada di diri kita masing-masing… apa yang sudah kita lakukan
selama setahun ini untuk anak bangsa…!!! Atau tidak melakukan apa-apa…?
Saudaraku dalam bakti… Saat ini semua petinggi negeri kita membicarakan
karakter bangsa… semua merasa bahwa saat ini bangsa kita telah kehilangan
karakter itu… korupsi meraja lela, kejujuran sudah susah kita temukan, rasa
persaudaraan sudah makin menghilang yang ada hanya saling curiga…
sering kali kita melihat tawuran walau hanya karena masalah sepele…
disintegrasi bangsa terus mengancam… nilai nasionalisme hanya tinggal
slogan…

15 Agustus 2012

Kitakah Pengganti itu ???



‘Percaya bahwa Allah yang akan mengganti semuanya, setiap langkah ada perhitungan nya, setiap tetes keringat akan dibayar ampunan Nya, setiap kesedihan diganti kelapangan dari Nya,
Di sini ditempa bukan hanya sebagai orang yang mampu untuk berteriak-teriak tentang Islam dan memberi ide yang cemerlang… Tapi…belajar tentang keikhlasan dalam beribadah karena Allah
Seperti cerita batu bata dalam sebuah bangunan, bahwasanya tiap batu bata punya peran untuk mewujudkan sebuah bangunan yang kokoh, tak peduli ia sebagai batu bata yang disusun di mana saja, tersudut sekalipun… tetap saja batu bata itu adalah bagian dari pembentukan sebuah bangunan yang kokoh..
Aku menarik nafas panjang, menikmati semilir angin yang turut mencoba meredakan emosiku. Semoga tak ada lagi yang sesaat merasa sepertiku, dan Allah menjaga kita dalam sebuah ketulusan dan keikhlasan “untuk saling mengingatkan bukan menghakimi, saling memberi semangat bukan menyudutkan…saling berjuang bukan saling menjatuhkan”.
QS. Ali Imran: 104: “Hendaklah ada di antara kalian segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar. Mereka itulah orang-orang yang beruntung”.
Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: “Barang siapa di antara kamu menjumpai kemunkaran maka hendaklah ia rubah dengan tangan (kekuasaan)nya, apabila tidak mampu hendaklah dengan lisannya, dan jika masih belum mampu hendaklah ia menolak dengan hatinya. Dan (dengan hatinya) itu adalah selemah-lemahnya iman”. Dakwatuna

14 Agustus 2012

Kokohkan Pondasimu, Mahasiswa Baru!


“Barangsiapa ingin membuat bangunan yang tinggi menjulang maka dia harus mengokohkan pondasinya, membuat dengan tepat serta memperhatikan betul-betul kekuatannya. Karena sesungguhnya bangunan yang tinggi butuh pondasi kuat dan kokoh. Amal perbuatan serta derajat kemuliaan manusia adalah sebuah bangunan sedangkan pondasinya adalah iman.”. (kitab Al Fawaid, Tahqiq Syaikh Salim bin ‘Id Al Hilaly, cetakan Maktabah Ar Rusyd, hal 229)

13 Agustus 2012

Berbuka Puasa Bersama Bidadari



Hisyam bin Yahya al-Kinaniy berkata, “Kami berperang melawan bangsa Romawi pada tahun 38 H yang dipimpin oleh Maslamah bin Abdul Malik. Dalam pertempuran itu ada di antara kami seorang lelaki yang bernama Sa’id bin Harits yang terkenal banyak beribadah, berpuasa di siang hari, dan shalat di malam hari.
Saya melihat orang itu adalah orang yang sangat bersungguh-sungguh dalam beribadah, baik siang maupun malam hari. Jika dia tidak sedang melakukan shalat atau ketika kami berjalan-jalan bersama, saya lihat dia tidak pernah lepas dari berdzikir kepada Allah dan membaca Al-Qur’an.
Pada suatu malam ketika kami melakukan pergantian jaga (saat mengepung benteng Romawi), sungguh saat itu kami dibuat bingung olehnya. Saat itu saya katakan kepadanya, ‘Tidurlah sebentar karena kamu tidak tahu apa yang akan terjadi pada musuh. Jika terjadi sesuatu agar nantinya kamu dalam keadaan siaga.’
Lalu dia tidur di sebelah tenda sedangkan saya berdiri di tempatku berjaga. Di saat itu saya mendengar Said berbicara dan tertawa, lalu mengulurkan tangan kanannya seolah-olah mengambil sesuatu kemudian mengembalikan tangannya sambil tertawa. Kemudian ia berkata, ‘Semalam.’ Setelah berkata seperti itu tiba-tiba ia melompat dari tidurnya dan terbangun  dan bergegaslah dia bertahlil, bertakbir, dan bertahmid.
Lalu saya bertanya kepadanya, ‘Bagus sekali, wahai Abul Walid (panggilan Sa’id), sungguh saya telah melihat keanehan pada malam ini. Ceritakanlah apa yang kau lihat dalam tidurmu.’
Dia berkata, ‘Aku melihat ada dua orang yang belum pernah aku lihat kesempurnaan sebelumnya pada selain diri mereka berdua. Mereka berkata kepadaku, ‘Wahai Sa’id, berbahagialah, sesungguhnya Allah swt. telah mengampuni dosa-dosamu, memberkati usahamu, menerima amalmu, dan mengabulkan doamu. Pergilah bersama kami agar kami menunjukkan kepadamu kenikmatan-kenikmatan apa yang telah dijanjikan oleh Allah kepadamu.’
Tak henti-hentinya Sa’id menceritakan apa-apa yang dilihatnya, mulai dari istana-istana, para bidadari, hingga tempat tidur yang di atasnya ada seorang bidadari yang tubuhnya bagaikan mutiara yang tersimpan di dalamnya. Bidadari itu berkata kepadanya, “Sudah lama kami menunggu kehadiranmu.” Lalu aku berkata kepadanya, “Di mana aku?” Dia menjawab, “Di surga Ma’wa.” Aku bertanya lagi, “Siapa kamu?” Dia menjawab, “Aku adalah istrimu untuk selamanya.”
Sa’id melanjutkan ceritanya. “Kemudian aku ulurkan tanganku untuk menyentuhnya. Akan tetapi dia menolak dengan lembut sambil berkata, ‘Untuk saat ini jangan dulu, karena engkau akan kembali ke dunia.’ Aku berkata kepadanya, “Aku tidak mau kembali.” Lalu dia berkata, “Hal itu adalah keharusan, kamu akan tinggal di sana selama tiga hari, lalu kamu akan berbuka puasa bersama kami pada malam ketiga, insya Allah.”
Lalu aku berkata, “Semalam, semalam.” Dia menjawab, “Hal itu adalah sebuah kepastian.” Kemudian aku bangkit dari hadapannya, dan aku melompat karena dia berdiri, dan saya terbangun.
Hisyam berkata, “Bersyukurlah kepada Allah, wahai saudaraku, karena Dia telah memperlihatkan pahala dari amalmu.” Lalu dia berkata, “Apakah ada orang lain yang bermimpi seperti mimpiku itu?” Saya menjawab, “Tidak ada.” Dia berakta, “Dengan nama Allah, aku meminta kepadamu untuk merahasiakan hal ini selama aku masih hidup.” Saya katakan kepadanya, “Baiklah.”
Lalu Sa’id keluar di siang hari untuk berperang sambil berpuasa, dan di malam hari ia melakukan shalat malam sambil menangis. Sampai tiba saatnya, dan sampailah malam ketiga. Dia masih saja berperang melawan musuh, dia membabat musuh-musuhnya tanpa sekalipun terluka. Sedangkan saya mengawasinya dari kejauhan karena saya tidak mampu mendekatinya. Sampai pada saat matahari menjelang terbenam, seorang lelaki melemparkan panahnya dari atas benteng dan tepat mengenai tenggorokannya. Kemudian dia jatuh tersungkur, lalu dengan segera aku mendekati dia dan berkata kepadanya, “Selamat atas buka malammu, seandainya aku bisa bersamamu, seandainya….”
Lalu ia menggigit bibir bawahnya sambil memberi isyarat kepadaku dengan tersenyum. Seolah-olah dia berharap ‘Rahasiakanlah ceritaku itu hingga aku meninggal’. Kemudian dari bibirnya keluar kata-kata, “Segala puji bagi Allah yang telah menepati janji-Nya kepada kami.” Maka demi Allah, dia tidak berucap kata-kata selain itu sampai dia meninggal.
Kemudian saya berteriak dengan suaraku yang paling keras, “Wahai hamba-hamba Allah, hendaklah kalian semua melakukan amalan untuk hal seperti ini,” dan aku ceritakan tentang kejadian tersebut. Dan orang-orang membicarakan tentang kisah itu dan mereka satu sama lain saling memberikan teguran dan nasihat. Lalu pada pagi harinya mereka bergegas menuju benteng dengan niat yang tulus dan dengan hati yang penuh kerinduan kepada Allah swt. Dan sebelum berlalunya waktu Dhuha benteng sudah bisa dikuasai berkat seorang lelaki shaleh itu, yaitu Sa’id bin Harits. Allahu a’lam


Sumber: Dakwatuna

10 Agustus 2012

Tanpa doa bagai tentara tanpa senjata



(Arrahmah.com) - Berbeda dengan makhluk-Nya, Allah mencintai orang-orang yang rajin memohon kepada-Nya. Karena hal itu menunjukkan bahwa manusia merasa fakir (butuh) kepada Allah. Dan Allah justru membenci orang-orang yang angkuh dan enggan berdoa kepada-Nya. Nabi shalallahu 'alaihi wasalam bersabda,
مَنْ لَمْ يَسْأَلِ اللهَ يَغْضَبْ عَلَيْهِ
"Barangsiapa yang tidak memohon kepada Allah, maka Allah murka kepadanya" (HR Tirmidzi dan Bukhari dalam Adabul Mufrad)
Realitanya, ada orang-orang yang merasa dirinya cukup, merasa bisa mendapatkan keinginannya tanpa pertolongan Rabbnya, lalu meninggalkan doa. Sudah barang tentu ia akan mengenyam kesulitan demi kesulitan dalam menjalani hidup, di dunia apalagi di akhirat. Allah berfirman,
"Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup,  serta mendustakan pahala terbaik, maka kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar. " (QS al-Lail 8 – 10)

Tanpa Doa, Seperti Tentara tanpa Senjata


Di antara kaum muslimin, ada lagi yang meninggalkan doa karena merasa tak mampu memenuhi persyaratannya. Seperti orang  yang berkata, "Saya biasa makan dari rejeki yang tak jelas halal haramnya, sedangkan orang yang mengkonsumsi barang yang haram tidak dikabulkan do'anya, maka percuma saja kalau saya berdoa." Laa haula wa laa quwwata illa billah. Adakah sesuatu yang bisa diandalkan seorang muslim melebihi 'senjata' doa? Hingga ada yang rela mencampakkan doa agar bebas makan apa saja?
Seseorang yang mengerti  urgensi doa, tentu lebih memilih untuk memenuhi syarat terkabulnya doa, katimbang ia harus bertelanjang dari doa. Karena meninggalkan hal yang haram itu lebih mudah dijalani daripada hidup tanpa menyandang senjata doa. Tanpa doa, keadaan seseorang lebih berat dari tentara yang tidak memiliki senjata, petani yang tidak memiliki cangkul, orang sakit yang tak mendapatkan obat, atau seseorang yang ingin membeli barang tanpa memiliki uang.
Hanya mengandalkan kecerdasan pikir, kekuatan fisik maupun alat canggih, jelas tidak memadai bagi manusia untuk bisa meraih tujuan bahagia yang sempurna, atau mencegah datangnya marabahaya. Alangkah kecil modal dan kekuatan, sementara begitu besar cita-cita yang diharapkan, dahsyat pula potensi bahaya yang mungkin datang di hadapan. Untuk itu, manusia membutuhkan 'kekuatan lain' di luar dirinya untuk merealisasikan dua tujuan itu. Dan barangsiapa yang menjadikan doa sebagai sarana, niscaya dia akan menjadi orang yang paling kuat, paling sukses dan paling beruntung. Karena doa mengundang datangnya pertolongan Allah Yang Maha Berkehendak, Mahakuasa, Mahakuat dan mampu melakukan apapun yang dikehendaki-Nya, Fa'aalul limaa yuriid. Karena itulah, Ibnul Qayyim dalam al-Jawaabul Kaafi berkata, "Doa adalah sebab yang paling kuat untuk mencegah dari perkara yang dibenci dan menghasilkan sesuatu yang dicari."

Khasiat Doa Sepanjang Masa


Allah telah banyak mengisahkan dahsyatnya doa, yang menjadi solusi problem-problem besar dan menjadi sebab yang menyelamatkan dalam banyak peristiwa genting dari zaman ke zaman. Dan meski dengan variasi dan kadar yang berbeda, sebenarnya problem-problem yang di hadapi manusia dari zaman ke zaman memiliki karakter yang nyaris sama.
Jika di zaman ini banyak orang yang galau, atau berduka lantaran kesulitan yang menghimpitnya, maka dahulu Nabi Yunus 'alaihissalam pernah mengalami hal yang sama dan bahkan lebih berat. Toh, kegalauan itu akhirnya sirna dengan doa beliau, "laa ilaaha illa anta subhaanaka inni kuntu minazh zhaalimin," Karena Allah menjawab doa beliau dengan firman-Nya, "Maka Kami telah memperkenankan doanya dan menyelamatkannya dari pada kedukaan." (QS al-Anbiya' 88)
Maka adakah orang yang sedang menyandang kesulitan hari ini mengingat dan berdoa sebagaimana doa beliau?
Jika sekarang banyak orang menderita sakit yang tak kunjung sembuh, dan tak jarang kesulitan untuk menemukan sebab dan obatnya, hal yang sama pernah menimpa Nabi Ayyuub 'alaihissalam. Dan pada akhirnya penyakit beliau sembuh dengan doa, "Rabbi inni massaniyadh dhurru wa Anta Arhamur Raahimiin",
Karena Allah menjawab doa beliau dengan firman-Nya, "Maka Kamipun memperkenankan seruannya itu, lalu Kami lenyapkan penyakit yang ada padanya." (QS al-Anbiya' 84)
Jika sekarang banyak orang mengalami rasa takut akan datangnya bencana, atau khawatir dengan bahaya yang mengancam, solusi dari semua itu juga telah ditempuh oleh Nabi yang mulia, Muhammad shalallahu 'alaihi wasalam, yakni dengan doa, "hasbunallahu wa ni'mal Wakiil", maka Allah menghindarkan mereka dari bahaya, sebagaimana firman-Nya,
"Maka mereka kembali dengan nikmat dan karunia (yang besar) dari Allah, mereka tidak mendapat bencana apa-apa," (QS Ali Imran 174)
Begitulah doa, mampu menjadi solusi saat manusia angkat tangan untuk memberi solusi. Doa juga efektif menjadi jalan keluar ketika segala cara menemui jalan buntu. Doa juga mampu mencegah bahaya, yang dosisnya tidak mampu dibendung oleh kekuatan manusia.
Semestinya doa bukan menjadi alternatif  terakhir, atau ia baru diingat setelah ikhtiyar tak menghasilkan jalan keluar. Mestinya doa tetap mengiringi sebelum, di saat dan setelah ikhtiyar ragawi dilakukan.
Faktanya, masih jamak terjadi di kalangan kaum muslimin. Mereka begitu getol dan rajin berdoa saat menghadapi situasi khusus. Saat anak mencari sekolah, ketika sedang mencari lowongan kerja, tatkala ada keluarga yang sakit, atau ketika ada tanda-tanda bencana akan terjadi. Selebihnya, tak ada doa dipanjatkan, tak tersirat dalam pikirannya bahwa Allahlah yang kuasa segalanya, untuk memberi atau menahan sesuatu yang diharapkan. Manusia tidak lepas sedikitpun dari pertolongan Allah untuk meraih kesuksesan. Sehingga ia perlu berdoa kepada Allah untuk kebaikan seluruh urusannya, bukan hanya mengandalkan kehebatan dirinya yang hakikatnya sangat lemah tanpa pertolongan Allah. Karenanya, di antara doa yang diajarkan oleh Nabi shalallahu 'alaihi wasalam adalah,
اللَّهُمَّ رَحْمَتَكَ أَرْجُو فَلاَ تَكِلْنِى إِلَى نَفْسِى طَرْفَةَ عَيْنٍ وَأَصْلِحْ لِى شَأْنِى كُلَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ
"Ya Allah, rahmat-Mu aku harap, dan janganlah Engkau serahkan (nasib) diriku kepada diriku sendiri meski hanya sekejap mata, perbaguslah untukku segala urusanku, tidak ada ilah yang haq kecuali Engkau." (HR Abu Dawud)

Doa Harian, Menjawab Segala Kebutuhan


Adalah baik jika seseorang membiasakan doa-doa harian yang bersifat ta'abbudiyah maupun adab. Seperti doa sebelum dan sesudah makan, hendak tidur dan setelah bangun, masuk masjid atau keluar, maupun doa-doa lain yang disyariatkan. Ketika ia menjalaninya dalam rangka menjalani sunnah, ia mendapatkan pahala. Inilah fungsi doa yang disebut dengan du'a al-'ibaadah (doa sebagai realisasi ibadah). Namun ada fungsi lain dari doa, yang disebut dengan du'a al-mas'alah (doa sebagai permohonan).  Ketika doa dilantunkan tanpa adanya kesadaran bahwa dirinya sedang memohon kepada Allah, maka maksud yang dikehendaki dari makna doa tidak akan terwujud. Nabi shalallahu 'alaihi wasalam bersabda,
ادْعُوا اللهَ وَأَنْتُمْ مُوقِنُونَ بِالإِجَابَةِ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللهَ لاَ يَسْتَجِيبُ دُعَاءً مِنْ قَلْبٍ غَافِلٍ لاَهٍ

"Berdoalah kepada Allah sedangkan kamu dalam keadaan yakin akan dikabulkan, dan ketahuilah bahwa Allah tidak mengabulkan doa dari hati yang lalai dan alpa." (HR Tirmidzi, al-Albani mengatakan, "hasan").
Andaikan seorang muslim membiasakan diri dengan doa-doa harian yang disyariatkan, sekaligus diiringi dengan kesengajaan dan pengharapan sebagaimana makna yang terkandung dalam doa, niscaya tercoverlah kebutuhan-kebutuhannya, baik yang bersifat duniawi maupun ukhrawi. Karena doa-doa yang Nabi ajarkan dari bangun tidur hingga bangun tidur kembali sudah mencakup segala hal yang dibutuhkan manusia, baik kemaslahatan diiniyyah maupun dunyawiyyah. Permohonan sehat dan dijaga dari penyakit, kemudahan segala urusan, permohonan rezeki, perlindungan dari segala gangguan setan dan keburukan, maupun permohonan jannah dan terhindar dari neraka.
Generasi terbaik di kalangan sahabat, berusaha menghadirkan pengharapan saat berdoa dengan suatu doa yang menjadi rutinitas harian. Ibnu Katsier dalam tafsirnya menyebutkan riwayat dari Ibnu Abi Hatim, bahwa 'Irak bin Malik, selepas shalat Jumat beliau berdiri di pintu masjid beliau berdoa dengan doa keluar masjid lalu berkata, "Ya Allah, saya telah memenuhi panggilan-Mu, lalu shalat dengan shalat yang Engkau fardhukan atasku, akupun hendak bertebaran di muka sebagaimana yang Engkau perintahkan, maka berilah rezki kepadaku dari karuia-Mu, karena Engkau adalah sebaik-baik Pemberi rezki."
Perlu kiranya digarisbawahi, bahwa doa dengan segala kelebihan dan faedahnya, tidak menafikan atau menghapus keharusan untuk ikhtiyar. Masing-masing memiliki kadar tersendiri sebagai sebab terkabulnya doa, di samping juga memiliki nilai ibadah tersendiri Wallahu a'lam.[]
Oleh:  Abu Umar Abdillah - http://www.arrisalah.net

9 Agustus 2012

Sa’id bin Harits Berbuka Puasa Bersama Bidadari



Hisyam bin Yahya al-Kinaniy berkata, “Kami berperang melawan bangsa Romawi pada tahun 38 H yang dipimpin oleh Maslamah bin Abdul Malik. Dalam pertempuran itu ada di antara kami seorang lelaki yang bernama Sa’id bin Harits yang terkenal banyak beribadah, berpuasa di siang hari, dan shalat di malam hari.
Saya melihat orang itu adalah orang yang sangat bersungguh-sungguh dalam beribadah, baik siang maupun malam hari. Jika dia tidak sedang melakukan shalat atau ketika kami berjalan-jalan bersama, saya lihat dia tidak pernah lepas dari berdzikir kepada Allah dan membaca Al-Qur’an.
Pada suatu malam ketika kami melakukan pergantian jaga (saat mengepung benteng Romawi), sungguh saat itu kami dibuat bingung olehnya. Saat itu saya katakan kepadanya, ‘Tidurlah sebentar karena kamu tidak tahu apa yang akan terjadi pada musuh. Jika terjadi sesuatu agar nantinya kamu dalam keadaan siaga.’
Lalu dia tidur di sebelah tenda sedangkan saya berdiri di tempatku berjaga. Di saat itu saya mendengar Said berbicara dan tertawa, lalu mengulurkan tangan kanannya seolah-olah mengambil sesuatu kemudian mengembalikan tangannya sambil tertawa. Kemudian ia berkata, ‘Semalam.’ Setelah berkata seperti itu tiba-tiba ia melompat dari tidurnya dan terbangun  dan bergegaslah dia bertahlil, bertakbir, dan bertahmid.
Lalu saya bertanya kepadanya, ‘Bagus sekali, wahai Abul Walid (panggilan Sa’id), sungguh saya telah melihat keanehan pada malam ini. Ceritakanlah apa yang kau lihat dalam tidurmu.’
Dia berkata, ‘Aku melihat ada dua orang yang belum pernah aku lihat kesempurnaan sebelumnya pada selain diri mereka berdua. Mereka berkata kepadaku, ‘Wahai Sa’id, berbahagialah, sesungguhnya Allah swt. telah mengampuni dosa-dosamu, memberkati usahamu, menerima amalmu, dan mengabulkan doamu. Pergilah bersama kami agar kami menunjukkan kepadamu kenikmatan-kenikmatan apa yang telah dijanjikan oleh Allah kepadamu.’
Tak henti-hentinya Sa’id menceritakan apa-apa yang dilihatnya, mulai dari istana-istana, para bidadari, hingga tempat tidur yang di atasnya ada seorang bidadari yang tubuhnya bagaikan mutiara yang tersimpan di dalamnya. Bidadari itu berkata kepadanya, “Sudah lama kami menunggu kehadiranmu.” Lalu aku berkata kepadanya, “Di mana aku?” Dia menjawab, “Di surga Ma’wa.” Aku bertanya lagi, “Siapa kamu?” Dia menjawab, “Aku adalah istrimu untuk selamanya.”
Sa’id melanjutkan ceritanya. “Kemudian aku ulurkan tanganku untuk menyentuhnya. Akan tetapi dia menolak dengan lembut sambil berkata, ‘Untuk saat ini jangan dulu, karena engkau akan kembali ke dunia.’ Aku berkata kepadanya, “Aku tidak mau kembali.” Lalu dia berkata, “Hal itu adalah keharusan, kamu akan tinggal di sana selama tiga hari, lalu kamu akan berbuka puasa bersama kami pada malam ketiga, insya Allah.”
Lalu aku berkata, “Semalam, semalam.” Dia menjawab, “Hal itu adalah sebuah kepastian.” Kemudian aku bangkit dari hadapannya, dan aku melompat karena dia berdiri, dan saya terbangun.
Hisyam berkata, “Bersyukurlah kepada Allah, wahai saudaraku, karena Dia telah memperlihatkan pahala dari amalmu.” Lalu dia berkata, “Apakah ada orang lain yang bermimpi seperti mimpiku itu?” Saya menjawab, “Tidak ada.” Dia berakta, “Dengan nama Allah, aku meminta kepadamu untuk merahasiakan hal ini selama aku masih hidup.” Saya katakan kepadanya, “Baiklah.”
Lalu Sa’id keluar di siang hari untuk berperang sambil berpuasa, dan di malam hari ia melakukan shalat malam sambil menangis. Sampai tiba saatnya, dan sampailah malam ketiga. Dia masih saja berperang melawan musuh, dia membabat musuh-musuhnya tanpa sekalipun terluka. Sedangkan saya mengawasinya dari kejauhan karena saya tidak mampu mendekatinya. Sampai pada saat matahari menjelang terbenam, seorang lelaki melemparkan panahnya dari atas benteng dan tepat mengenai tenggorokannya. Kemudian dia jatuh tersungkur, lalu dengan segera aku mendekati dia dan berkata kepadanya, “Selamat atas buka malammu, seandainya aku bisa bersamamu, seandainya….”
Lalu ia menggigit bibir bawahnya sambil memberi isyarat kepadaku dengan tersenyum. Seolah-olah dia berharap ‘Rahasiakanlah ceritaku itu hingga aku meninggal’. Kemudian dari bibirnya keluar kata-kata, “Segala puji bagi Allah yang telah menepati janji-Nya kepada kami.” Maka demi Allah, dia tidak berucap kata-kata selain itu sampai dia meninggal.
Kemudian saya berteriak dengan suaraku yang paling keras, “Wahai hamba-hamba Allah, hendaklah kalian semua melakukan amalan untuk hal seperti ini,” dan aku ceritakan tentang kejadian tersebut. Dan orang-orang membicarakan tentang kisah itu dan mereka satu sama lain saling memberikan teguran dan nasihat. Lalu pada pagi harinya mereka bergegas menuju benteng dengan niat yang tulus dan dengan hati yang penuh kerinduan kepada Allah swt. Dan sebelum berlalunya waktu Dhuha benteng sudah bisa dikuasai berkat seorang lelaki shaleh itu, yaitu Sa’id bin Harits. Allahu a’lam


Sumber: Dakwatuna

8 Agustus 2012

Merindukan Rasulullah



Asyhadu anna Muhammadarrasulullah…
Seketika sayup suara terhenti, ia tak mampu mengangkat lagi suaranya.. Rindu.. Rindu
“Sungguh aku tak ingin adzan umtuk seorang pun sepeninggal Rasulullah!” Itulah pintanya kepada Abu Bakar ra agar hatinya tak terkoyak moyak saat melantunkan nama sang kekasih. Ia pun meninggalkan kota penuh kenangan tersebut dan berjihad ke wilayah syam.
Suatu ketika, ia, Bilal Ibn Rabah, bermimpi bertemu dengan kekasihnya, Rasulullah saw. Rasulullah meyatakan kerinduan padanya. “Wahai Bilal, apakah gerangan yang menghalangimu untuk mengunjungiku?”
Selepas itu ia terbangun dari tidurnya , berangkat ke Madinah dengan hati yang gulana dirundung rindu. Kemudian ia menceritakan perihal mimpi tersebut kepada sahabat lainnya. Bak pesan berantai, cerita itupun tersebar dari mulut kemulut hingga menjelang sore. Nyaris seluruh penduduk mengetahui berita itu.
Penduduk bersepakat memintanya untuk melantunkan adzan maghrib dihari itu. Di tengah kerinduan yang dalam, ia pun tak kuasa menolak kehendak para sahabat dan penduduk Madinah.
Ditengah senja merah, sepoi angin dan langit yang bersih dari mega, dari suara itu terlantun adzan, memecah tangis warga madinah yang tercekat kerinduan. Rasa dalam dada membuncah, saat-saat bersama Rasulullah saw tercinta masih terekam, membayang kembali dipelupuk mata. Tentu saja bilal dan penduduk madinah lainnya diharu biru kerinduan.
Itulah sepenggal kisah Bilal ibn Rabah ra dan para sahabat. Betapa rindu mereka pada kekasihnya , nabi akhir zaman itu. Kisah ini meninggalkan kita sebuah tanda tanya besar. Adakah rasa rindu itu dihati kita? Rindu Untuk berjumpa dengannya? Bercengkrama dengannya di telaga Kautsar?
Jikalah mungkin, kenankah Rasulullah mengakui kita sebagai umatnya di hari perhitungan kelak? Patutkah beliau memberi kita syafaat di hari kiamat kelak?
Bahkan ketahuilah bahwa Rasulullah saw sangat merindukan perjumpaan dengan kita. Betapa mulia beliau yang merindui umatnya sekalipun belum pernah beliau lihat. Rasulullah ungkapkan rasa rindunya itu didepan para sahabat.
Rindu ini terungkap ketika sepulang Rasulullah saw dari mengunjungi syuhada Uhud, Rasulullah saw pulang dengan menangis sehingga para sahabat bertanya, “Apa yang membuat engkau menangis ya Rasulullah?”
Beliau menjawab, “Aku merindukan saudara-saudaraku seiman.”
“Bukankah kami saudaramu seiman wahai Rasulullah?” Tanya sahabat.
Kemudian beliau bersabda, “Kalian adalah sahabat-sahabatku, adapun saudara-saudara seimanku adalah suatu kaum yang datang setelahku, mereka beriman kepadaku sedang mereka belum pernah melihatku, aku sungguh rindu hendak bertemu dengan mereka.”
Subhanallah, semoga kita termasuk dalam kaum yang diceritakan rasulullah tersebut. Kita Yang tulus merindukannya, mejadikannya kekasih, yang mulai kembali menyusuri jembatan sirohnya, yang memesrai perjalanan hidupnya, yang senantiasa bershalawat padanya dan yang menghidupkan sunnah sunnahnya.
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa’ala alihi wa shahbihi ajma’in
Oleh: Sarah Kurniati, IMUSKA, Korea Selatan
Sumber: Fimadani

7 Agustus 2012

Panduan Ringkas I’tikaf Ramadhan


Ada suatu amalan di bulan Ramadhan yang mesti kita ketahui bersama demi meraih banyak pahala di bulan tersebut. Amalan tersebut adalah i’tikaf. Bagaimanakah tuntunan Islam dalam menjalankan i’tikaf  di bulan Ramadhan? Berikut panduan ringkas yang semoga bermanfaat bagi para pengunjung www.fimadani.com yang kami kutip dengan perubahan dari  nukilan Buku Panduan Ramadhan karya Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal. Semoga Allah senantiasa memberkahi beliau dan kita semua.


I’tikaf secara bahasa berarti menetap pada sesuatu. Sedangkan secara syar’i, i’tikaf berarti menetap di masjid dengan tata cara yang khusus disertai dengan niat.
Dalil Disyari’atkannya I’tikaf
Ibnul Mundzir mengatakan, “Para ulama sepakat bahwa i’tikaf itu sunnah, bukan wajib kecuali jika seseorang mewajibkan bagi dirinya bernadzar untuk melaksanakan i’tikaf.”
Dari Abu Hurairah, ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa beri’tikaf pada bulan Ramadhan selama sepuluh hari. Namun pada tahun wafatnya, beliau beri’tikaf selama dua puluh hari.” (HR Bukhari)
Waktu i’tikaf yang lebih afdhol adalah di akhir-akhir ramadhan (10 hari terakhir bulan Ramadhan) sebagaimana hadits ‘Aisyah, ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf pada sepuluh hari yang akhir dari Ramadhan hingga wafatnya kemudian isteri-isteri beliau pun beri’tikaf setelah kepergian beliau.” (HR Bukhari)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir dengan tujuan untuk mendapatkan malam lailatul qadar, untuk menghilangkan dari segala kesibukan dunia, sehingga mudah bermunajat dengan Rabbnya, banyak berdo’a dan banyak berdzikir ketika itu.
I’tikaf Harus Dilakukan di Masjid
Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala, “(Tetapi) janganlah kamu campuri mereka sedang kamu beri’tikaf dalam masjid”(QS. Al Baqarah: 187).
Demikian juga dikarenakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam begitu juga istri-istri beliau melakukannya di masjid, dan tidak pernah di rumah sama sekali. Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Para ulama sepakat bahwa disyaratkan melakukan i’tikaf di masjid.” Termasuk wanita, ia boleh melakukan i’tikaf sebagaimana laki-laki, tidak sah jika dilakukan selain di masjid.
I’tikaf Boleh Dilakukan di Masjid Mana Saja
Menurut mayoritas ulama, i’tikaf disyari’atkan di semua masjid karena keumuman firman Allah di atas (yang artinya) “Sedang kamu beri’tikaf dalam masjid”.
Imam Bukhari membawakan bab dalam kitab Shahih-nya, “I’tikaf pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan dan i’tikaf di seluruh masjid.” Ibnu Hajar menyatakan, “Ayat tersebut (surat Al Baqarah ayat 187) menyebutkan disyaratkannya masjid, tanpa dikhususkan masjid tertentu.”
Adapun hadits marfu’ dari Hudzaifah yang mengatakan, ”Tidak ada i’tikaf kecuali pada tiga masjid yaitu masjidil harom, masjid nabawi dan masjidil aqsho”; perlu diketahui, hadits ini masih diperselisihkan statusnya, apakah marfu’ (sabda Nabi) atau mauquf (perkataan sahabat). (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/151). Jika melihat perkataan Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah, beliau lebih memilih bahwa hadits tersebut hanyalah perkataan Hudzaifah ibnul Yaman. Lihat Fathul Bari, 4/272.
Para ulama selanjutnya berselisih pendapat masjid apakah yang dimaksud. Apakah masjid biasa di mana dijalankan shalat jama’ah lima waktu  ataukah masjid jaami’ yang diadakan juga shalat jum’at di sana?
Walaupun namanya beraneka ragam di tempat kita, baik dengan sebutan masjid, mushalla, langgar, maka itu dinamakan masjid menurut istilah para ulama selama diadakan shalat jama’ah lima waktu di sana untuk kaum muslimin. Ini berarti jika itu mushalla rumahan yang bukan tempat ditegakkan shalat lima waktu bagi kaum muslimin lainnya, maka ini tidak masuk dalam istilah masjid. Sedangkan dinamakan Masjid Jaami’ jika ditegakkan shalat Jum’at di sana.
Imam Malik mengatakan bahwa i’tikaf boleh dilakukan di masjid mana saja (asal ditegakkan shalat lima waktu di sana, pen) karena keumuman firman Allah Ta’ala, “Sedang kamu beri’tikaf dalam masjid”(QS. Al Baqarah: 187).
Ini juga menjadi pendapat Imam Asy Syafi’i. Namun Imam Asy Syafi’i rahimahullah menambahkan syarat, yaitu masjid tersebut diadakan juga shalat Jum’at.  Tujuannya di sini adalah agar ketika pelaksanaan shalat Jum’at, orang yang beri’tikaf tidak perlu keluar dari masjid.
Kenapa disyaratkan di masjid yang ditegakkan shalat jama’ah? Ibnu Qudamah mengatakan, “Shalat jama’ah itu wajib (bagi laki-laki). Jika seorang laki-laki yang hendak melaksanakan i’tikaf tidak berdiam di masjid yang tidak ditegakkan shalat jama’ah, maka bisa terjadi dua dampak negatif: (1) meninggalkan shalat jama’ah yang hukumnya wajib, dan (2) terus menerus keluar dari tempat i’tikaf padahal seperti ini bisa saja dihindari. Jika semacam ini yang terjadi, maka ini sama saja tidak i’tikaf. Padahal maksud i’tikaf adalah untuk menetap dalam rangka melaksanakan ibadah pada Allah.”
Wanita Boleh Beri’tikaf
Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan istri beliau untuk beri’tikaf.  ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam biasa beri’tikaf pada bulan Ramadhan. Apabila selesai dari shalat shubuh, beliau masuk ke tempat khusus i’tikaf beliau. Dia (Yahya bin Sa’id) berkata: Kemudian ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha meminta izin untuk bisa beri’tikaf bersama beliau, maka beliau mengizinkannya.” (HR Bukhari)
Dari ‘Aisyah, ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf pada sepuluh hari yang akhir dari Ramadhan hingga wafatnya kemudian isteri-isteri beliau pun beri’tikaf setelah kepergian beliau.”(HR Bukhari dan Muslim)
Namun wanita boleh beri’tikaf di masjid asalkan memenuhi 2 syarat: (1) Meminta izin suami dan (2) Tidak menimbulkan fitnah (godaan bagi laki-laki) sehingga wanita yang i’tikaf harus benar-benar menutup aurat dengan sempurna dan juga tidak memakai wewangian.
Lama Waktu Berdiam di Masjid
Para ulama sepakat bahwa i’tikaf tidak ada batasan waktu maksimalnya. Namun mereka berselisih pendapat berapa waktu minimal untuk dikatakan sudah beri’tikaf.
Bagi ulama yang mensyaratkan i’tikaf harus disertai dengan puasa, maka waktu minimalnya adalah sehari. Ulama lainnya mengatakan dibolehkan kurang dari sehari, namun tetap disyaratkan puasa. Imam Malik mensyaratkan minimal sepuluh hari. Imam Malik  juga memiliki pendapat lainnya, minimal satu atau dua hari. Sedangkan bagi ulama yang tidak mensyaratkan puasa, maka waktu minimal dikatakan telah beri’tikaf adalah selama ia sudah berdiam di masjid dan di sini tanpa dipersyaratkan harus duduk.
Yang tepat dalam masalah ini, i’tikaf tidak dipersyaratkan untuk puasa, hanya disunnahkan. Menurut mayoritas ulama, i’tikaf tidak ada batasan waktu minimalnya, artinya boleh cuma sesaat di malam atau di siang hari. Al Mardawi rahimahullah mengatakan, “Waktu minimal dikatakan i’tikaf pada i’tikaf yang sunnah atau i’tikaf yang mutlak adalah selama disebut berdiam di masjid (walaupun hanya sesaat).”
Yang Membatalkan I’tikaf
  • Keluar masjid tanpa alasan syar’i dan tanpa ada kebutuhan yang mubah yang mendesak.
  • Jima’ (bersetubuh) dengan istri berdasarkan Surat Al Baqarah ayat 187. Ibnul Mundzir telah menukil adanya ijma’ (kesepakatan ulama) bahwa yang dimaksud mubasyarah dalam surat Al Baqarah ayat 187 adalah jima’ (hubungan intim).
Yang Dibolehkan Ketika I’tikaf
  • Keluar masjid disebabkan ada hajat yang mesti ditunaikan seperti keluar untuk makan, minum, dan hajat lain yang tidak bisa dilakukan di dalam masjid.
  • Melakukan hal-hal mubah seperti mengantarkan orang yang mengunjunginya sampai pintu masjid atau bercakap-cakap dengan orang lain.
  • Istri mengunjungi suami yang beri’tikaf dan berdua-duaan dengannya.
  • Mandi dan berwudhu di masjid.
  • Membawa kasur untuk tidur di masjid.
Mulai Masuk dan Keluar Masjid
Jika ingin beri’tikaf selama 10 hari terakhir bulan Ramadhan, maka seorang yang beri’tikaf mulai memasuki masjid setelah shalat Shubuh pada hari ke-21 dan keluar setelah shalat shubuh pada hari ‘Idul Fithri menuju lapangan. Hal ini sebagaimana terdapat dalam hadits ‘Aisyah, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam biasa beri’tikaf pada bulan Ramadhan. Apabila selesai dari shalat shubuh, beliau masuk ke tempat khusus i’tikaf beliau. Dia (Yahya bin Sa’id) berkata: Kemudian ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha meminta izin untuk bisa beri’tikaf bersama beliau, maka beliau mengizinkannya.” (HR Bukhari)
Namun para ulama madzhab menganjurkan untuk memasuki masjid menjelang matahari tenggelam pada hari ke-20 Ramadhan. Mereka mengatakan bahwa yang namanya 10 hari yang dimaksudkan adalah jumlah bilangan malam sehingga seharusnya dimulai dari awal malam.
Adab I’tikaf
Hendaknya ketika beri’tikaf, seseorang menyibukkan diri dengan melakukan ketaatan seperti berdo’a, dzikir, bershalawat pada Nabi, mengkaji Al Qur’an dan mengkaji hadits. Dan dimakruhkan menyibukkan diri dengan perkataan dan perbuatan yang tidak bermanfaat.
Semoga panduan singkat ini bermanfaat bagi pembaca sekalian. Semoga menjadi ilmu yang bermanfaat dan membuahkan amalan tentunya.
Sumber: Fimadani

Nuzulul Quran Bukan Pada Malam 17 Ramadhan



Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,

أُنْزِلَتْ صُحُفُ إِبْرَاهِيمَ أَوَّلَ لَيْلَةٍ مِنْ شَهْرِ رَمَضَانَ، وَأُنْزِلَتِ التَّوْرَاةُ لِسِتٍّ مَضَيْنَ مِنْ رَمَضَانَ وَأُنْزِلَ الإِنْجِيلُ لِثَلاثَ عَشْرَةَ مَضَتْ مِنْ رَمَضَانَ ، وَأُنْزِلَ الزَّبُورُ لِثَمَانَ عَشْرَةَ خَلَتْ مِنْ رَمَضَانَ ، وَأُنْزِلَ الْقُرْآنُ لأَرْبَعٍ وَعِشْرِينَ خَلَتْ مِنْ رَمَضَانَ

“Shuhuf Ibrahim diturunkan pada malam pertama Ramadhan. Taurat diturunkan pada hari keenam Ramadhan. Injil diturunkan pada tanggal tiga belas Ramadhan. Zabur diturunkan pada tanggal delapan belas Ramadhan. Dan Al Qur`an diturunkan pada tanggal dua puluh empat Ramadhan.”
Takhrij
Hadits ini diriwayatkan Imam Abul Qasim Sulaiman bin Ahmad Ath Thabarani Al Lakhami rahimahullah (w. 360 H) dari Ali bin Abdil Aziz dari Abdullah bin Raja` dari Imran Al Qaththan dari Qatadah bin Di’amah dari Abul Malih bin Usamah dari Watsilah bin Al Asqa’ Radhiyallahu ‘Anhu, dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.[1]
Hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad (16370), Al Baihaqi dalam Al Kubra (18429), Abu Ya’la (2136), Hisyam bin Ammar (13), Ibnu Asakir dalam Tarikhnya (59), Al Wahidi dalam Asbab Nuzul Al Qur`an (Bab Al Qaul fi Ayati At Tasmiyah wa Bayan Nuzuliha); dari Watsilah bin Al Asqa’ dan Jabir bin Abdillah Radhiyallahu ‘Anhuma.
Derajat Hadits: Hasan
Imam Al Haitsami berkata, “Diriwayatkan Ahmad dan Ath Thabarani dalam Al Kabir dan Al Awsath. Di dalam sanadnya ada Imran bin Dawud Al Qaththan yang dilemahkan oleh Yahya bin Main, namun dia dikuatkan oleh Ibnu Hibban. Ahmad berkata; ‘Saya berharap dia orang yang diterima haditsnya.’ Adapun perawi yang lainnya adalah orang orang yang tsiqah.”[2]
Hadits ini dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam Silsilah Al Ahadits Ash Shahihah (1575) dan Shahih Al Jami’ Ash Shaghir (2377).
Hikmah dan Ibrah
  1. Semua kitab suci diturunkan Allah pada bulan Ramadhan.
  2. Al Qur`an diturunkan pada tanggal 24 Ramadhan, bukan 17 Ramadhan, sebagaimana yang biasa diperingati di Indonesia.
  3. Ada hadits yang menyebutkan bahwa Al Qur`an turun pada malam 17 Ramadhan, tetapi ia adalah hadits dha’if.
__________________________
[1] Al Mu’jam Al Awsath, Bab Al ‘Ain, Man Ismuhu ‘Aliy, hadits nomor 3882.
[2] Majma’ Az Zawa`id (959).
Sumber: Fimadani

Tata Cara Membayar Zakat


Untuk menghilangkan keragu-raguan dalam pembayaran zakat, Yusuf Al Qardhawi membahas secara khusus Cara Membayar Zakat yang mencakup beberapa hal:
Hubungan Pemerintah Dengan Zakat
Hubungan pemerintah dengan zakat sangatlah erat, karena berdasarkan yang telah dicontohkan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam bahwa pemerintah mempunyai otoritas untuk memungut dan mendistribusikan zakat dikalangan ummat Islam.
Banyak para shahabat yang mendapat tugas khusus dari Rasulullah sebagai petugas zakat untuk tiap-tiap kaum dan suku bangsa yang telah masuk Islam, yaitu petugas yang memungut zakat dari orang kaya dan mendistribusikannya kepada mustahiknya. Demikian pula halnya dilakukan oleh para Khulafaur Rasyidin. Atas dasar ini para ulama berpendapat: Wajib bagi pemerintah untuk menugaskan petugas zakat ini, karena di antara manusia itu ada yang memiliki harta akan tetapi tidak mengetahui apa yang wajib baginya; ada pula yang kikir sehingga wajib diutus orang untuk mengambil zakat daripadanya. Adapun petugas tersebut hendaklah petugas yang Muslim dan yang dijamin tidak akan berbuat zalim terhadap harta zakat yang dikumpulkan. Masyarakat berkewajiban membantu para penguasa dalam melancarkan urusan ini, dalam rangka memperkokoh bangunan Islam dan memperkuat baitul-maal kaum Muslimin.
Adapun rahasia di balik itu semua adalah sebagai berikut:
  1. Agar dapat terciptanya jaminan bagi si fakir akan haknya untuk tidak diabaikan begitu saja oleh orang kaya.
  2. Si fakir meminta kepada pemerintah, bukan dari pribadi-orang kaya, untuk memelihara kehormatan mereka, serta memelihara perasaan dan tidak melukai hatinya dari gunjingan dan kata-kata yang menyakitkan.
  3. Dengan tidak memberikan urusan ini pada pribadi-pribadi lebih memungkinkan distribusi zakat yang lebih tepat, tidak terkonsentrasi pada sebagian fakir miskin sedangkan sebagian lain terlantarkan.
  4. Ada beberapa sasaran zakat yang berhubungan dengan kemaslahatan kaum Muslimin bersama, sehingga baik pengumpulannya maupun pendistribusiannya tidak bisa dilakukan secara perorangan. Misalnya dalam mengorganisasikan jihad fi sabilillah, mempersiapkan para da’i untuk menyampaikan risalah Islam, dan lain-lain.
  5. Sesungguhnya Islam adalah agama dan pemerintahan. Untuk tegaknya pemerintahan ini dibutuhkan harta yang dengan itu dilaksanakan syariat.
Baitul Mal Zakat
Dikarenakan zakat mempunyai aturan khusus, penghasilan dan pengeluaran serta sasaran yang tertentu, maka walaupun dikelola oleh pemerintah, mekanisme zakat ini tidak boleh disatukan dengan program pemerintah lainnya yang bersifat umum. Oleh karenanya kaum Muslimin sejak dulu membutuhkan baitul mal khusus untuk zakat, disamping adanya baitul-mal lainnya yaitu: baitul-mal pajak dan upeti; baitul-mal untuk ghanimah dan rikaz; dan baitul-mal untuk barang yang tidak bertuan.
Para fuqaha telah membagi harta yang wajib zakat atas: harta zahir dan harta batin. Harta zahir adalah harta yang dimungkinkan orang lain mengetahui secara persis seperti; peternakan, pertanian. Sedangkan harta batin adalah sebaliknya yang hanya dapat diketahui oleh pemiliknya, seperti simpanan uang, dan lain-lain.
Terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama, mengenai apakah zakat dari kedua jenis harta ini harus diserahkan kepada pemerintah. Ada yang mengatakan harus keduanya, tapi ada yang mengatakan cukup zakat harta zahir saja, sedangkan zakat harta batin diserahkan kepada individu untuk mendistribusikannya secara langsung.
Pendapat pertama merujuk apa yang dilakukan Rasulullah, Abu Bakar dan Umar, sedangkan pendapat kedua meruju apa yang dilakukan oleh Usman bin Affan, dimana saat itu harta kaum Muslimin telah bertambah banyak dan ia melihat kemaslahatan untuk menyerahkan pengeluaran zakat harta batin itu kepada pemiliknya, berdasarkan ijma’ sahabat, sehingga masing-masing pemilik harta tersebut seolah-olah menjadi wakil dari penguasa.
Diantara perbedaan pendapat yang ada dikalangan ulama maupun mazhab yang ada, Yusuf Qardhawi menarik benang merah dalam dua point yaitu:
  1. Bahwa di antara hak penguasa adalah menuntut rakyatnya untuk mengeluarkan zakat, dalam harta apapun juga, baik harta zahir maupun harta batin, dan terutama bila si penguasa mengetahui keadaan rakyat negaranya bermalas-malasan dalam mengeluarkan zakat, sebagaimana yang telah diperintahkan Allah. Perbedaan pendapat di atas muncul pada kondisi si penguasa tidak memintanya. Adapun jika si penguasa meminta, maka zakat harus diserahkan, berdasarkan ijma’ ulama.
  2. Apabila Imam atau penguasa membiarkan urusan zakat dan tidak memintanya, maka tidaklah gugur tanggungjawab zakat dari pemilik harta. Ini adalah masalah yang qath’i/pasti, yang tidak ada perbedaan pendapat di dalamnya. Wajib bagi si pemilik harta untuk mengeluarkan sendiri kepada mustahiknya, karena zakat merupakan ibadah dan kewajiban agama yang bersifat pasti. Dari sini jelaslah bahwa yang menjadi pokok, adalah: penguasa itulah yang mengumpulkan zakat harta, baik harta zahir maupun batin. Adapun bila terasa sulit mengumpulkan harta batin, maka itu dapat diberikan kebebasan kepada si pemilik untuk mengeluarkan zakatnya sendiri. Namun apabila rakyat tidak melaksanakan kewajibannya, maka hendaklah penguasa sendirilah yang mengumpulkan, sebagaimana pada asalnya.
Beberapa ulama modern dalam masalah perzakatan cenderung untuk mengandalkan peranan pemerintah dalam pengumpulan zakat dikarenakan dewasa ini:
  1. Telah banyak orang yang meninggalkan kewajiban zakat atas semua jenis hartanya, baik yang zahir maupun yang batin. Hendaklah para penguasa mengambilnya secara paksa.
  2. Secara umum jenis-jenis harta yang ada sekarang ini adalah harta zahir, yang bisa diketahui oleh orang lain selain pemiliknya sendiri (misalnya simpanan di Bank sudah dapat diketahui pihak lain dengan mudah).
Dengan metode Qias terhadap suatu hal yang pernah dilakukan Rasulullah, Yusuf Al Qardhawi berpendapat ada baiknya bila ketentuan zakat sebesar 1/4 atau 1/3 bagiannya diserahkan atas kesadaran pemilik harta untuk membagikannya sendiri berdasarkan sepengetahuan dan pilihan mereka baik untuk kalangan kerabat maupun tetangga yang tersembunyi.
Adapun penguasa yang diperbolehkan memungut zakat adalah penguasa yang beragama Islam, yang beriman dan berpegang teguh kepada ajaran Islam yang mereka rela Islam sebagai suatu hukum, dan bahkan mereka berjihad di dalamnya.
Selanjutnya terdapat pula perbedaan untuk pemerintahan Islam yang adil dan yang zhalim. Jika pemerintahan Islam itu berlaku zalim, maka ada yang tetap membolehkan secara mutlaq, ada yang melarang secara mutlaq, dan ada yang melihat sejauh mana tingkat kezalimannya.
Setelah membandingkan berbagai pendapat tersebut, Yusuf Al Qardhawi mengambil pendapat terkuat, bahwa adalah sah menyerahkan kepada penguasa zalim, apabila mereka mengambilnya sesuai dengan persyaratan zakat. Si Muslim tidak diperintahkan untuk mengeluarkannya kembali dalam bentuk apapun, kecuali si penguasa mengambilnya bukan dengan nama zakat.
Yusuf Al Qardhawi memilih untuk menyerahkan zakat pada penguasa jika si penguasa masih menyampaikan pada mustahiknya dan mengeluarkannya tepat pada sasaran yang sesuai dengan perintah syara’, walaupun ia berlaku zalim dalam urusan-urusan lain. Apabila ia tidak menempatkan zakat tepat pada sasarannya, maka janganlah diserahkan padanya, kecuali kalau ia meminta, maka tidak diperkenankan menolaknya, berdasarkan hadits-hadits dan fatwa-fatwa sahabat yang mengungkapkan penyerahan zakat pada penguasa, walaupun mereka zalim.
Sekian dulu Ikhwan sekalian. Perlukah kita mengutarakan niat kita setiap membayar zakat? Bolehkah zakat  kita dihargakan? dan bolehkah zakat kita dikirimkan ke tempat lain sementara sekeliling kita masih ada yang membutuhkan?
Kedudukan Niat Dalam Zakat
Niat adalah yang membedakan antara ibadah dan pengabdian dengan yang lain. Dengan demikian niat disyaratkan dalam membayar zakat. Yang dimaksudkan disini adalah si muzakki (pembayar zakat) meyakini bahwa apa yang dikeluarkan tersebut adalah zakat hartanya, atau zakat harta orang yang dikeluarkan melalui dia (seperti harta anak yatim dan harta orang gila). Tempat niat adalah hati; karena tempat semua yang diitikadkan itu adalah hati.
Seandainya ada penguasa yang mengambil harta seseorang secara paksa dengan niat untuk mengambil zakatnya (yang memang dibenarkan secara hukum) tapi seseorang (yang memang enggan membayar) tidak meniatkan bahwa harta yang telah diambil itu adalah zakat, maka secara perundangan zakat, kewajiban zakat orang tersebut telah gugur dalam artian dia tidak diwajibkan lagi berzakat, tapi dari segi pahala disisi Allah, orang tersebut tidak mendapatkan apa-apa.
Kapankah kita meniatkan zakat harta kita, apakah pada saat kita memisahkan harta untuk zakat, atau pada saat memberikannya kepada mustahik. Para ulama berbeda pendapat disini dimana ada pula yang mengharuskan kedua-duanya. Namun Yusuf Al Qardhawi menyokong pendapat yang tidak mempersulit yaitu cukuplah bagi si Muslim berniat secara umum saja pada waktu memisahkan zakat dari hartanya, sehingga tidak perlu lagi bagi dia meniatkan setiap kali dia memberikan kepada setiap mustahik yang menerima zakatnya.
Menyerahkan Harga Zakat
Apakah boleh kita menghargakan zakat kita? Karena Rasulullah memerintahkan untuk mengambil bijibijian dari biji-bijian, unta dari unta, selain itu dikhawatirkan harga yang digunakan tidak memihak kepada hak fakir miskin. Sebagian ulama mengatakan bahwa zakat harus diserahkan sesuai dengan bentuk hartanya namun ulama lain memperbolehkan zakat tersebut dihargakan, seperti yang pernah dilakukan sahabat.
Setelah mengkaji kemaslahatannya, Yusuf Al Qardhawi akhirnya menyokong pendapat yang memperbolehkan, yaitu dengan syarat bahwa adalah terlarang mengeluarkan harga zakat tanpa ada kebutuhan dan tanpa ada kemaslahatan yang jelas (untuk semua pihak baik sipemberi, amil, maupun mustahik).
Memindahkan Zakat Ke Tempat Bukan Penghasil Zakat
Sebagaimana Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin contohkan, yaitu dengan mengutus petugas-petugas zakat ke setiap daerah/negeri, untuk memungut zakat dari orang-orang kaya dan memberikannya kepada yang miskin di antara mereka, maka hendaklah zakat itu didistribusikan pada tempat dimana zakat tersebut dikumpulkan.
Pemindahan zakat dari suatu daerah ke daerah lain, dalam keadaan penduduk di daerah asal masih membutuhkannya, adalah menodai hikmat zakat yang diwajibkan karenanya. Setiap kaum lebih berhak terhadap zakatnya, sehingga mereka berkecukupan dengannya.
Dalam hal ini ulama bersepakat, bahwa zakat itu harus dibagikan di daerah dimana zakat itu dikumpulkan. Jika penduduk setempat tidak lagi membutuhkan zakat, maka zakat itu boleh dipindahkan ke penduduk lain. Namun demikian dalam kondisi tertentu, untuk memperoleh kemaslahatan yang lebih baik, penguasa yang adil atau berdasarkan hasil musyawarah, diperbolehkan memindahkan zakat ke tempat lain yang lebih membutuhkan, walaupun di daerah asal masih membutuhkannya.
Demikian pula seorang Muslim, apabila ia mengeluarkan sendiri zakatnya, ia diperbolehkan pula untuk mengirimkan zakatnya ke tempat lain karena adanya kemaslahatan yang dianggap kuat (misalnya dikirimkan kepada kerabatnya di kampung).
Mempercepat Mengeluarkan Zakat dan Mengakhirkannya
Bersegera dalam mengeluarkan zakat adalah suatu kebaikan yang sesuai pula dengan perintah Allah: “Bersegeralah kamu sekalian pada amal perbuatan yang akan menyebabkan kamu mendapat ampunan dari Tuhanmu dan syurga” (3:133).
Apalagi dikuatirkan kewajiban zakat ini akan dikalahkan oleh sifat kikir dan hawa nafsu. Sebagaimana yang kita ketahui sebelumnya bahwa harta zakat itu terbagi dua; yang disyaratkan setahun, dan yang dikeluarkan pada saat diterima. Untuk yang terakhir, jelas kiranya, zakat dikeluarkan sesegera mungkin. Tapi apakah demikian pula untuk jenis harta yang pertama, seperti peternakan, emas, perak, dan lain-lain?
Sebagian besar fuqaha berpendapat untuk jenis harta yang pertama sbb: apabila telah terdapat sebab wajib zakat, yaitu nisab yang sempurna, maka boleh mendahulukan mengeluarkan zakat sebelum datang waktu setahun, bahkan diperbolehkan mendahulukan untuk masa dua tahun atau lebih.
Adapun mengakhirkan zakat adalah tidak boleh, kecuali ada kemaslahatan yang ingin dicapai, misalnya karena menunggu orang yang lebih membutuhkan, atau menunggu kerabat yang membutuhkan, atau jumlah yang dikeluarkan masih sedikit sehingga tidak akan bermanfaat banyak bagi mustahik, dan lain-lain. Akan tetapi dia bertanggung jawab apabila hartanya rusak atau hilang dalam masa menunggu tersebut.
Selanjutnya kewajiban tidak gugur bila terlewat satu tahun atau beberapa tahun (tidak ada pemutihan zakat). Demikian pula zakat tidak gugur dengan sebab matinya si pemilik harta. Karena zakat bukanlah ibadah badan, tapi ibadah harta yang terkait dengan hak orang lain.
Berbagai Pembahasan Di Sekitar Pembayaran Zakat
Apakah boleh mewakilkan dalam mengeluarkan zakat? Boleh. Namun demikian hendaklah tidak mewakilkannya pada orang yang bukan Muslim, kecuali karena sesuatu kebutuhan, dengan syarat orang itu terpercaya dan dapat menyampaikan sesuai dengan kehendak orang yang mewakilkan.
Menampakkan zakat ketika mengeluarkan? Yang utama dalam berzakat adalah menampakkannya pada waktu mengeluarkan, agar dilihat dan diikuti orang dan agar tidak ada penilaian buruk atas orang itu. Ini termasuk syiar islam. Seperti halnya shalat fardhu yang disunatkan menampakkannya, dan sesungguhnya yang disunatkan menyembunyikannya itu adalah shalat sunnat dan puasa sunat, juga sedekah sunat tentunya.
Apakah si Fakir perlu diberitahu bahwa pemberian itu adalah zakat? Tidak harus memberitahukan kepada si fakir ketika menyerahkan zakat atau sesudahnya, karena mungkin akan menyakiti hatinya.
Sumber : Fimadani