22 Oktober 2010

TEORI-TEORI PEMBELAJARAN


Pemahaman guru akan pengertian dan makna belajar akan mempengaruhi tindakannya dalam membimbing siswa untuk belajar. Guru yang hanya memahami belajar hanya agar murid bisa menghafal tentu beda cara mengajarnya dengan guru yang memahami belajar merupakan suatu perubahan tingkah laku.Untuk itu guru penting memahami pengertian belajar dan teori-teori belajar . Belajar adalah suatu proses perubahan tingkah laku atau kecakapan manusia berkat adanya interaksi antara individu dengan individu dan individu dengan lingkungannya sehingga mereka lebih mampu beriteraksi dengan lingkungannya.


W.H. Burton mendefinisikan belajar : “Learning is a change in the individual due to instruction of that individual and his environment, which fells a need and makes him more capable of dealing adequately with his environment”. Dari pengertian tersebut ada kata ‘change” maksudnya bahwa seseorang yang telah mengalami proses belajar akan menhalami perubahan tingkah laku baik dalam kebisaaan (habit), kecakapan-kecakapan (skills) atau dalam tiga aspek yaitu pengetahuan (kognitif), sikap (affektif), dan ketrampilan (psikomotor). Sedang Ernest R. Hilgard dalam B. Simandjuntak dan IL. Pasaribu mengemukakan “Belajar adalah suatu proses perubahan kegiatan karena reaksi terhadap lingkungan, perubahan tersebut tidak dapt disebut belajar apabila disebabkan oleh pertumbuhan atau kedaan sementara seseorang seperti kelelahan atau disebabkan obat-obatan”.

Teori belajar pada umumnya dibagi menjadi 4 golongan, dengan mempelajari teori ini guru dapat memahami dasar proses belajar beserta dalil-dalilnya sehingga guru dapat memanajemen proses belajar mengajar.

1. Behaviourisme
Tokoh utama aliran ini adalah J.B. Watson. Watson membaca karya Pavlov dia merasa mendapatkan model yang cocok untuk pendiriannya, untuk menjelaskan tingkah laku manusia.
a. Classical conditioning (Ivan Petrovich Pavlov 1849): Assosiative Learning
Teori ini dikemukkan oleh Pavlov yang kemudian dipelopori oleh Guthric, Skinner yang berhaluan behavioris. Pavlov mengadakan eksperimen disebut Condition reflex karena yang dipelajari gerakan otot sederhana yang secara otomatis bereaksi terhadap suatu perangsang tertentu. Reflex dapat ditimbulkan oleh perangsang yang lain yang dahulunya tidak menimbulkan reflex tadi.
Teori ini menekankan bahwa belajar terdiri atas pembangkitan respons dengan stimulus yang pada mulanya bersifat netral atau tidak memadai. Melalui persinggungan (congruity) stimulus dengan respos, stimulus yang tidak memadai untuk menimbulkan respons tadi akhirnya mampu menimbulkan resposns.
Implikasi teori belajar ini dalam pendidikan adalah :
1) Tingkah laku guru mengharapkan murid menghafal secara mekanis/otomatis
2) Verbalitis karena tingkah laku mechanistis dan reflektif.
3) Guru tersebut membisaakan muridnya dengan latihan
4) Sekolah D (duduk), tidak ada inisiatif karena perasaan, pikiran tak mengarahkan tingkah laku
5) Guru hanya memberi tugas tanpa disadari oleh muridnya
6) Guru tidak memperhatikan individual differences
7) Guru menggunakan “learning by parts” sampai tak ada hubungan
8) Guru menyuapi murid saja dan murid menerima yang diAlah guru, jadi guru aktif.
Hal ini terjadi karena (menurut teori belajar conditioning) :
1) Terbentuknya tingkah laku sangat sederhana dan mekanistis reflektif
2) Peranan perasaan, kemauan, pikiran, kepribadian tak mengarahkan tingkah laku. Jadi manusia saja
3) Tak sanggup menganalisa tingkah laku yang kompleks dimana tenaga rohani sebagai pendorong.
4) Terbentuknya tingkah laku karena habis formation.
Pada hakikatnya perkembangan adalah proses asosiasi bagi para ahli aliran ini yang primer adalah bagian-bagian ada lebih dulu sedangkan keseluruhan ada lebih kemudian. Bagian itu terikat satu sama lain menjadi suatu keseluruhan oleh asosiasi.
Salah satu tokoh aliran asosisasi adalah John Locke. Locke berpendapat bahwa pada permulaannya jiwa anak itu adalah bersih semisal selembar kertas putih. yang kemudian sedikit demi sedikit terisi oleh pengalaman atau empiris.
Dalam hal ini Locke membedakan adanya dua macam pengalaman, yaitu:
1) Pengalaman luar, yaitu pengalaman yang diperoleh dengan melalui panca indera yang menimbulkan “sensation”
2) Pengalaman dalam, yaitu pengalaman mengenai keadaan dan kegiatan batin sendiri yang menimbulkan “reflexions”. Kesan “sensation dan reflexions” merupakan pengertian yang sederhana (simple ideas) Yang kemudian dengan asosiasi membentuk pengertian yang kompleks (Complex ideas).
Aliran asosiasi ini meninggalkan sejarah , tetapi dalam lapangan pendidikan masih ada yang menjalankan, misalnya mengajar membaca dan menulis secara sintetis, metode menggambar secara sintetis.
Praktik belajar seperti dalam teori ini masih digunakan terutama ditingkat pendidikan dasar dan sekolah agama atau di pesantrenpesantren. Murid diberi drill, praktik, pengulangan dan kejadiankejadian sesuai teori ini. Belajar asosiasi dimana urutan-urutan katakata tertentu berhubungan sedemikian rupa terhadap obyek-obyek, konsep-konsep, atau situasi sehingga bila kita menyebut yang satu cenderung menyebut yang lain. Misalnya ayah berasosiasi dengan Ibu, kursi dengan meja. Jika digunakan untuk model pembelajaran sekarang masih relevan tentu dengan paradigma baru misalnya menerangkan dengan mode, gambar dan demostrasi.
1) The Law Of Effect (Edward L.Thorndike;1874-1949) : S-R Theory
Thorndike berpendapat , bahwa yang menjadi dasar belajar ialah asosiasi antara kesan panca indra (sense impression) dengan impulse untuk bertindak (impulse to action). Bentuk belajar oleh Thorndike disifatkan dengan “Trial and Error learning” atau “learning by selecting and connecting”. Belajarberlangsung 3 hukum (1) law of readiness; (2) law of exercise; (3) law of effect.
Law of effect ini menunjukkan kepada makin kuat atau makin lemahnya hubungan sebagai akibat daripada hasil respon yang dilakukan . Apabila suatu hubungan atau koneksi disebut dan ditandai atau diikuti oleh keadaan yang memuaskan , maka kekuatan hubungan itu akan bertambah, sebaliknya apabila suatu koneksi dibuat dan disertai atau diikuti oleh keadaan yang tidak memuaskan, maka kekuatan hubungan itu akan berkurang.7 Dalam Law of effect, segala tingkah laku yang mengakibatkan keadaan yang menyenangkan akan diingat. Dan tingkah laku yang menyenangkan mudah untuk dipelajari begitu pula sebaliknya.
Thorndike berkesimpulan bahwa belajar adalah hubungan antara stimulus dan respons. Itulah sebabnya teori ini disebut SR Bond Theory atau “S-R Psycology of Learning” atau S-R Theory disebut juga teori “Trial and Error Learning”.
Praktik belajar seperti cocok digunakan untuk memotivasi siswa dengan pemberian hadiah/ganjaran/reward. Namun penggunaannya hanya saat-saat tertentu dan dalam keadaan yang memungkinkan.Sebab jika dilakukan terus menerus siswa cenderung mau belajar karena akan memperoleh reward, lalu kalau reward ditiadakan siswa apakah masih mau belajar. Segala yang menyenangkan (law of effect) akan diingat oleh siswa dan akan mudah dipelajari oleh siswa, maka berdasarkan teori ini guru harus mampu menciptakan suasana belajar mengajar yang menyenangkan. Guru harus mampu membuat pelajaran matematika yang menyeramkan menjadi yang menyenangkan.
2) Operant conditioning (Baron. F. Skinnner; 1904 –1990) : Reward & Punishment (Positive and Negative reinforcement)
Sebagaimana tokoh behavour lainnya, Skinner juga memikirkan tingkah laku sebagai hubungan antara perangsang dan response, hanya saja Skinner membedakan dua macam response : (1) responden response (reflextive response), yaitu respon yang ditimbulkan oleh perangsang-perangsang tertentu, Perangsang demikian disebut eliciting stimuli, menimbulkan respose yang relative sama; dan (2) Operant response (instrumental response) yaitu response yang timbul dan berkembangnya diikuti oleh perangsangperangsang tertentu. Perangsang demikian disebut reinforcing stimuli atau reinforcer karena perangsang-perangsang tersebut memperkuat response yang telah dilakukan oleh organisme.
Implikasi dalam dunia pendidikan dari teori ini :
a) Anak yang telah belajar akan menjadi giat belajar jika mendapat hadiah
b) Hadiah yang diberikan kepada siswa tidak harus berupa barang
c) Inovasi Pengajaran sebagian besar disusun berdasarkan teori Skinner, yaitu memberikan dasar teknologi pendidikan yang banyak digunakan di Indonesia seperti PPSI, modul dan pengajaran tuntas.
Teori ini belajar ini cocok untuk pendidikan modern dengan menggunakan inovasi-inovasi baru misalnya belajar model konferensi dengan bantuan komputer yang saling berhubungan (internet) sehingga dapat meningkatkan Operan response siswa menjadi lebih intensif/kuat. Teori ini masih berkembang di Amerika, tentu saja untuk Indonesia juga masih sangat cocok.

2. Cognitivism
Pandangan tentang teori belajar ini meliputi kemampuan atau mengatur kembali dari susunan pengetahuan melalui proses kemanusiaan dan penyimpanan informasi. Pendapat Jean Piaget mengenai perkembangan proses belajar pada anak-anak adalah sebagai berikut :
a) Anak mempunyai struktur mental yang berbeda dengan orang dewasa. Mereka bukan merupakan orang dewasa dalam bentuk kecil, mereka mempunyai cara yang khas untuk menyatakan kenyataan dan untuk menghayati dunia sekitarnya. Maka memerlukan pelayanan tersendiri dalam belajar.
b) Perkembangan mental pada anak melalui tahap-tahap tertentu menurut suatu urutan yang sama bagi semua orang.
c) Walaupun berlangsungnya tahap-tahap perkembangan itu melalui suatu urutan tertentu, tetapi jangka waktu untuk berlatih dari satu tahap ke tahap yang lain tidaklah selalu sama pada setiap anak.
d) Perkembangan mental anak dipengaruhi oleh 4 faktor, yaitu :
1) kemasakan
2) pengalaman
3) interaksi social
4) equilibration (proses dari ketiga faktor diatas bersama-sama untuk membangun dan memperbaiki struktur mental)
Ada dua macam kecakapan kognitif siswa yang amat perlu dikembangkan segera, khususnya oleh guru, yakni :
1) Strategi belajar memahami isi materi pelajaran
2) Strategi meyakini arti penting isi materi pelajaran dan aplikasinya serta menyerap pesan-pesan moral yang terkandung dalam materi pelajaran.

3. Constructivism
Teori belajar Kontstruksi merupakan teori-teori yang menyatakan bahwa siswa itu sendiri yang harus secara pribadi menemukan dan menerapkan informasi kompleks, mengecek informasi baru dibandingkan dengan aturan lama dan memperbaiki aturan itu apabila tidak sesuai lagi.
Konstruktivisme lahir dari gagasan Jean Piaget dan Vigotsky dimana keduanya menekankan bahwa perubahan kognitif hanya terjadi jika konsepsi-konsepsi yang telah dipahami diolah melalui suatu proses ketidakseimbangan dalam upaya memakai informasiinformasi baru.
Hakikat dari teori konstruktivism adalah ide bahwa siswa harus menjadikan informasi itu miliknya sendiri. Teori ini memandang siswa secara terus menerus memeriksa informasi-informasi baru yang berlawanan dengan aturan-aturan lama dan memperbaiki aturan-aturan tersebut.
Salah satu prinsip paling penting adalah guru tidak dapat hanya semata-mata memberikan pengetahuan kepada siswa, siswa harus membangun pengetahuan di dalam benaknya sendiri, guru hanya membantu proses ini dengan cara-cara mengajar yang membuat informasi menjadi sangat bermakna dan sangat relevan bagi siswa dengan memberikan kesimpulan kepada siswa untuk menerapkan sendiri ide-ide dan mengajak siswa agar siswa menyadari dan secara sadar menggali strategi-strategi mereka sendiri untuk belajar.
Pendekatan konstruktivism dalama pengajaran lebih menekankan pada pengajaran Top-Down daripada Bottom-Up. Top-Down berarti siswa mulai dengan masalah-masalah yang kompleksuntuk dipecahkan dan selanjutnya memecahkan atau menemukan (dengan bantuan guru) keterampilan-ketrampilan dasar yang diperlukan.
Constructivism dibagi tiga yaitu Zone of Proximal Development; Cognitive Apprenticeship; Scaffolding.
1. Zone of Proximal Development atau zona perkembangan terdekat adalah ide bahwa siswa belajar konsep paling baik apabila konsep itu berada dalam zona perkembangan terdekat mereka.
2. Cognitive Apprenticeship, konsep lain yang diturunkan dari teori Vygotsky menekankan pada dua-duanya hakikat sosial dari belajar dan zona perkembangan terdekat adalah pemagangan kognitif .
3. Scaffolding atau mediated learning, akhirnya teori Vygotsky menekankan bahwa scaffolding atau mediated learning atau dukungan tahap demi tahap untuk belajar dan pemecahan masalah sebagai suatu hal penting dalam pemikiran konstruktivism modern.
Prinsip-prinsip konstruktivisme telah banyak digunakan dalam pendidikan sains dan matematika. Prinsip-prinsip yang sering diambil dari konstruktivisme antara lain : (1) pengetahuan dibangun oleh siswa secara aktif; (2) tekanan proses belajar mengajar terletak pada siswa; (3) mengajar adalah membantu siswa belajar; (4) tekanan dalam proses belajar lebih pada proses dan bukan pada hasil belajar; (5) kurikulum menekankan pada partisipasi siswa; (6) guru adalah fasilitator.10 Penulis menyarankan agar konstruktivisme ini digunakan oleh guru dalam kegiatan belajar mengajar bentuk yang bisa dilakukan diantaranya konsep pembelajar mandiri (learner utonomy ), belajar kelompok (cooperative learning).Guru hanya sebagai mediator, selanjutnya siswa secara sendiri-sendiri maupun kelompok aktif untuk memecahkan persoalan yang diberikan guru sehingga mereka dapat membangun pengetahuan.

4. Social Learning
Teori Belajar Sosial disebut Teori Observational Learning (Belajar Observasional dengan pengamatan ). Tokoh utama teori ini adalah Albert Bandura. Bandura memandang tingkah laku manusia bukan semata-mata refleks otomatis atas stimulus (S – R Bond), melainkan juga akibat reaksi yang timbul sebagai hasil interaksi antara lingkungan dengan skema kognitip manusia itu sendiri.
Prinsip Dasar Social learning :
1. Sebagian besar dari yang dipelajari manusia terjadi melalui: peniruan (imitation), penyajian contoh perilaku (modeling).
2. Dalam hal ini, seorang siswa belajar mengubah perilaku sendiri melalui penyaksian cara orang/ sekelompok orang mereaksi /merespon sebuah stimulus tertentu.
3. Siswa dapat mempelajari respons-respons baru dengan cara pengamatan terhadap perilaku contoh dari orang lain, misalnya : guru / orang tuanya.
Pendekatan teori belajar sosial terhadap proses perkembangan sosal dan moral siswa ditekankan pada perlunya conditioning (pembisaaan merespons) dan imitation (peniruan).

Prosedur-prosedur Social learning :
1. Conditioning : prosedur belajar dalam mengembangkan perilaku social dan moral pada dasarnya sama dengan prosedur belajar dalam mengembangkan perilaku-perilaku lainnya, yakni dengan ; Reward (ganjaran / memberi hadiah/ mengganjar), Punishment (hukuman / memberi hukuman).
a) Dasar pemikirannya : Sekali seorang siswa mempelajari perbedaan antara perilaku-perilaku yang menghasilkan ganjaran (reward) dengan perilaku-perilaku yang mengakibatkan hukuman (punishment), ia senantiasa berpikir dan memutuskan perilaku social mana yang perlu ia perbuat.
b) Komentar orang tua / guru : ketika mengganjar/menghukum siswa merupakan faktor yang penting untuk proses penghayatan siswa tersebut terhadap moral standard (patokan-patokan moral ).
c) Orang tua dan guru diharapkan memberi penjelasan agar siswa tersebut benar-benar paham mengenai jenis perilaku mana yang menghasilkan ganjaran dan jenis perilaku mana yang menimbulkan sangsi.
d) Reaksi-reaksi seorang siswa terhadap stimulus yang ia pelajari adalah hasil dari adanya pembisaaan merespons sesuai dengan kebutuhan.
e) Melalui proses pembisaaan merespons (conditioning) ini, menemukan pemahaman bahwa ia dapat menghindari hukuman dengan memohon maaf yang sebaik-baiknya agar kelak terhindar dari sanksi.
2. Imitation (peniruan)
Dalam hal ini, orang tua dan guru seyogyanya memainkan peran penting sebagai seorang model / tokoh yang dijadikan contoh berperilaku sosial dan moral bagi siswa. Contoh : Mula-mula seorang siswa mengamati model gurunya sendiri yang sedang melakukan sebuah sosial, umpamanya menerima tamu, lalu perbuatan menjawab salam, berjabat tangan, beramah-tamah, dan seterusnya yang dilakukan model itu diserap oleh memori siswa tersebut. Diharapkan, cepat/lambat siswa tersebut mampu meniru sebaik-baiknya perbuatan social yang dicontohkan oleh model itu.
Kualitas kemampuan siswa dalam melakukan perilaku social hasil pengamatan terhadap model tersebut, antara lain bergantung pada ketajaman persepsinya mengenai ganjaran dan hukuman yang berkaitan dengan benar dan salahnya perilaku yang ia tiru dari model tadi. Selain itu, tingkat kualitas imitasi tersebut juga bergantung pada persepsi siswa “ siapa “ yang menjadi model. Maksudnya, semakin piawai dan berwibawa seorang model, semakin tinggi pula kualitas imitasi perilaku social dan moral siswa tersebut.
Jadi dalam Social Learning, anak belajar karena contoh lingkungan. Interaksi antara anak dengan lingkungan akan menimbulkan pengalaman baru bagi anak-anak. Sebagai contoh hasil belajar ini adalah keagresifan anak bukan tidak mungkin disebabkan oleh tayangan kekerasan dalam film-film laga di Televisi. Anak-anak SLTP, SLTA cara memakai baju yang ketat, tidak rapi, gaya bicara yang prokem ternyata akibat nonton tayangan televisi yang menyajikan sinetron remaja seperti “Perkawinan Dini”. Anak-anak yang konsumerisme/suka jajan ternyata pengaruh lingkungan yang memberikan contoh konsumerisme. Maka disini perlu peran dari orang tua, dan guru sebagai panutan bagi anak. Agar kedua tokoh ini dapat memberikan bantuan penyelesaian masalah anak-anak dengan baik.

Tidak ada komentar: