Hari ini, 89 tahun yang lalu sekolah
pendidikan agama khusus perempuan pertama di Indonesia berdiri. Al Madrasatul
Diniyyah/ Meisjes Diniyyah School, sekolah Diniyyah (agama) Putri didirikan
oleh Rahmah El Yunusiyyah yang kala itu baru berusia 23 tahun.
Tentang
Rahmah El Yunusiyyah
Rahmah el
Yunusiyyah lahir pada Jum’at 20 Desember 1900 di kanagarian Bukit
Surungan Padang Panjang, Sumatera barat. Beliau adalah adik dari
Zainuddin Labay El Yunusy, pendiri Diniyyah School, ulama muda pembaharu
sistem pendidikan di Sumatera Barat. Dari kakaknya Zainuddin dan Muh. Rasyad,
Rahmah yang tak pernah mendapat pendidikan formal ini belajar menulis dan
membaca tulisan arab dan latin. Pada masa kecilnya Rahmah terkenal sebagai
anak yg keras hati, berkemauan keras dan bercita-cita tinggi. Ketika
Zainuddin mendirikan Diniyyah School, sekolah islam dengan sistem modern,
pada 1915, Rahmah ikut belajar di sana. Tidak cukup hanya belajar di Diniyyah
School di pagi hari, Rahmah juga berguru kepada Syaikh Abdul Karim Amrullah
(Inyiak Haji Rasul), ayah dari Buya Hamka pada sore harinya. Selain Rahmah,
ikut belajar di sini pula Rasuna Said, Nanisah dan Djawana Basyir.
Rahmah dan Pendidikan
Rahmah
memiliki impian agar anak-anak perempuan mendapatkan kesempatan yang lebih luas
untuk maju dan dapat menyerap ilmu agama lebih banyak dan intensif. Rahmah
risau, haruskah perempuan menerima fungsinya sebagai istri bagi suami, dan ibu
bagi anak-anaknya meskipun tanpa pendidikan yang memadai. Kerisauan dan
apa yang menjadi impiannya ini disampaikan kepada kakaknya Zainuddin yang
sangat antusias mendukung cita-cita Rahmah ini.
Dalam salah
satu catatan hariannya Rahmah menuliskan do’a yang ia panjatkan dalam
sholat-sholat wajib dan sholat malamnya.
“ Ya Allah
ya Rabbi, bila dalam ilmu Mu apa yang menjadi cita-citaku ini untuk
mencerdaskan anak bangsaku terutama anak-anak perempuan yang masih jauh
tercecer dalam bidang pendidikan dan pengetahuan ada baiknya dan Engkau Ridhai,
maka mudahkanlah ya Allah jalan menuju cita-citaku ini. “
Mendirikan
Diniyyah Putri
Setelah banyak
berdiskusi dengan Zainuddin, kakaknya dan rekan-rekannya di Persatuan
Murid-murid Diniyyah School (PMDS) dimana Rahmah aktif sebagai pengurus, maka
pada tanggal 1 November 1923 berdirilah sekolah agama putri Al Madrasatul
Diniyyah/ Meisjes Diniyyah School di sebuah daerah nan sejuk diantara Gunung
Merapi dan Singgalang, diapit Gunung Tandikat dan Bukit Tui Kota Padang
Panjang.
Pada awal
berdirinya Diniyyah Putri menggunakan sebuah ruang di Masjid Pasar Usang, dari
sanalah 71 orang murid yang terdiri dari ibu-ibu rumah tangga dan remaja
mengawali sebuah sejarah baru bagi perempuan Indonesia. Tanpa kursi dan
bangku, tanpa papan tulis dan kapur, murid-murid duduk bersila dihadapan
seoarang guru dengan meja kecil di depannya. Kitab-kitab berbahasa arab
disampaikan oleh guru dalam bahasa Indonesia. Sekolah berlangsung selama
3 jam dimulai pukul 8 hingga 10.30. Mata Pelajaran yang diajarkan adalah bahasa
arab dan pengetahuan agama.
Gagasan demi
gagasan lahir dari kerisauan Rahmah. Maka ia pun mendirikan Sekolah Menyesal
dalam upayanya mengentaskan buta huruf di kalangan wanita-wanita rumah tangga.
Menghadapi
Masa Sulit
Belum lagi
setahun Diniyyah Putri berdiri, Zainuddin Labay El Yunusy, kakak sekaligus guru
dari Rahmah meninggal dunia, dalam usia masih sangat muda 34 tahun. Banyak
orang yang berpikir bahwa Diniyyah School maupun Diniyyah Putri akan segera
bubar setelah meninggalnya Zainuddin. Namun orang-orang dibalik Diniyyah School
maupun Diniyyah Putri mampu mematahkan anggapan ini. Beberapa minggu setelah
meninggalnya Zainuddin diadakanlah pertemuan untuk membahas nasib Diniyyah
Putri ke depan.
Pertemuan
memutuskan untuk mengusahakan sebuah tempat yang lebih representatif ,
melengkapi sekolah dengan papan tulis, meja belajar bangku. Selain itu diadakan
pula kelas petang agar murid-murid perempuan yang bersekolah di Diniyyah school
dapat pula mengikuti pelajaran di Diniyyah Putri.
28 Juni 1926,
sebuah gempa bumi dahsyat melanda Padang Panjang, porak poranda kota kecil
tesebut, termasuk gedung sekolah dan asrama Diniyyah Putri. Selain kerusakan
fisik, Rahmah masih juga harus menerima kenyataan pahit seorang kawan
perjuangannya Nanisah meninggal akibat musibah ini. Sekali lagi banyak
orang memandang bahwa sampai di sinilah perjalanan Diniyyah School dan Diniyyah
Putri.
Keteguhan
Rahmah kembali mematahkan semua anggapan orang. Hanya 40 hari paska gempa
direncanakan untuk memulai sekolah kembali. Ruang belajar dan asrama di bangun
di atas tanah wakaf Ummi Rafi’ah (ibunda Rahmah). Semangat Rahmah juga diikuti
oleh semangat murid-murid untuk kembali belajar. Bukan hanya murid lama,
berdatangan pula murid-murid baru.
Jatuh bangun
perjalanan Diniyyah Putri, semakin meneguhkan langkah Rahmah dan para
penerusnya untuk melanjutkan perjalanan Diniyyah Putri dalam upayanya
mencerdaskan generasi Islam. Khususnya kaum perempuan sebagai soko guru
peradaban. Dalam perjalanannya, Diniyyah Putri bukan hanya menerima murid dari
Sumatera Barat saja, tetapi juga dari Sumatera Utara, Aceh, hingga Singapura
dan Malaysia.
Perginya
sang Telaga Hikmat[i]
Disela
kesibukannya mengawal perjalanan Diniyyah Putri, Rahmah terlibat aktif dalam
perjuangan kemerdekaan Indonesia. Aktifitasnya ini mengantarkannya sebagai
tahanan pemerintah Belanda (1949). Rahmah menjalani masa-masa tahanan tanpa
proses verbal dan interogasi.
Tahu 1957
Rahmah menunaikan ibadah haji. Ia juga diundang oleh Universitas Al Azhar
Kairo. Dalam siding senat terbuka di universtas ini, Rahmah memperoleh gelar
kehormatan “Syaikhah” yang sampai saat itu belum pernah diberikan kepada
seorang wanita manapun.
Menjelang
maghrib rabu 26 Februari 1969, Rahmah kembali menghadap Tuhannya dalam keadaan
berwudhu menjelang sholat. Maka kembalilah Perempuan Telaga Hikmat ini
meninggalkan karya dan cita-citanya yang masih banyak belum terlaksana. [ii]
Di bawah naungan bukit
barisan,
Terdapat telaga berair hikmat,
Tempat mandi puteri kayangan,
Bila ke bumi turun istirahat.
Banyak nian kupandang perawan,
Iring beriring berkunjung ke sana,
Tempayan di bahui, batil di tangan,
Mengambil air pembasuh jiwa.
Baliklah gadis muka bersinar,
Batil berisi air penawar,
Untuk minuman adik tercinta.
Datang hampa, pulang berisi,
Tempayannya penuh hikmat suci,
Tanda mata kepada Ibunda.
[i] Judul Puisi yang ditulis oleh A.
Hasymy, sastrawan, ulama, Gubernur Aceh (1957-1964)
[ii] Disarikan dari buku H. Rahmah El Yunusiyyah dan Zainuddin Labay El Yunusy, Dua bersaudara Tokoh Pembaharu Sistem Pendidikan di Indonesia. Diterbitkan Pengurus Perguruan Diniyyah Puteri Padang Panjang Perwakilan Jakarta 1991.
[ii] Disarikan dari buku H. Rahmah El Yunusiyyah dan Zainuddin Labay El Yunusy, Dua bersaudara Tokoh Pembaharu Sistem Pendidikan di Indonesia. Diterbitkan Pengurus Perguruan Diniyyah Puteri Padang Panjang Perwakilan Jakarta 1991.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar