Utak-Atik yang (Nyaris)
Membuahkan Hasil
Sumber: detiksport
Setelah
melewati paruh musim pertama, kerja keras Brendan Rodgers di Liverpool mulai
menunjukkan hasil. Mendatangkan dua pemain baru, Philippe Coutinho dan Daniel
Sturridge, pekerjaan Rodgers menjadi lebih mudah. Grafik performa The Reds pun
meningkat dari hari ke hari.
Variasi
Formasi Rodgers
Salah
satu yang menarik dari perjalanan Liverpool musim ini adalah bervariasinya
formasi yang mereka pakai. Tercatat, ada 5 jenis pola yang pernah digunakan
Rodgers, mulai dari 4-2-3-1 dan 4-3-3 yang sering diterapkan pada musim lalu,
hingga formasi baru seperti 3-5-2, 4-4-2, dan 4-3-1-2.
Dari
kelima strategi tersebut, hanya 4-4-2 yang dianggap gagal total dan tidak
pernah digunakan kembali hingga akhir musim. Formasi ini hanya digunakan 2
kali, yaitu kala menang melawan Fulham dan saat imbang melawan Aston Villa.
Utak-atik
ini sebenarnya dipengaruhi oleh berbagai hal, terutama oleh kondisi skuat dan
ketersediaan dua striker utama, Suarez dan Sturridge. Pada awal kompetisi, sang
penyerang asal Uruguay masih terkena skorsing dan Rodgers hanya bisa menurunkan
Sturridge. Tak ayal pelatih berusia 41 tahun itu menggunakan formasi 4-2-3-1
pada 5 pertandingan pertamanya.
Setelah
Suarez kembali, Rodgers pun harus mencari formasi yang tepat untuk bisa
memadukan 2 striker haus gol ini. Ia mendaratkan pilihannya pada 3-5-2.
Hasilnya tidak buruk, Liverpool meraih 3 kemenangan dari 4 pertandingan dengan
memakai pola ini.
Setelah
itu formasi Rodgers kembali berganti setelah Sturridge mengalami cedera.
Liverpool kembali bermain dengan satu striker. Namun kali ini Rodgers lebih
cenderung memainkan formasi 4-3-3 dengan Coutinho dan Sterling sebagai
penyerang sayap.
Setelah
absen tujuh pertandingan, Sturridge kembali saat Liverpool melawan Aston Villa.
Kala itu Rodgers memainkan 4-4-2 yang gagal total. Maka, pada pertandingan
melawan Everton, Rodgers kembali pada formasi 4-3-3 dengan salah satu antara
Sturridge dan Suarez bermain lebih melebar.
Di
pengujung kompetisi, Rodgers kemudian menemukan satu racikan yang hingga akhir
musim menjadi formasi paling pas untuk memaksimalkan permainan Suarez dan
Sturridge di depan, yaitu 4-3-1-2 atau sering juga disebut 4-4-2 berlian.
Gerrard
Sebagai Defensive Midfielder
Namun
tentu saja penjelasan soal performa baik Liverpool ini bukan sekadar pemilihan
formasi bermain. Seperti yang sudah dijelaskan pada tulisan pertama, dari awal
ditunjuk sebagai pelatih Liverpool, Rodgers banyak membicarakan soal 7 zona
permainan. Setiap perubahan yang dilakukan Rodgers pun selalu dilandaskan pada
pembagian area tersebut.
Kesulitan
Rodgers dalam memilih pemain yang tepat untuk mengisi zona 3 juga mulai
menemukan titik terang. Sang kapten Steven Gerrard-lah jawaban dari kebuntuan
Rodgers di awal masa jabatannya ini.
Gerrard
memiliki kemampuan mengalirkan bola dan kemampuan duel yang baik, dua syarat
awal untuk mengisi posisi ini. Serangan Liverpool tentu akan mematikan dengan
Gerrard berada di posisi ini.
Namun
alasan Rodgers tidak sejak awal memberikan posisi ini kepada sang kapten adalah
karena kebiasaannya yang sering terlambat turun setelah menyerang. Gerrard juga
cenderung lambat ketika harus menutup ruang. Maka dari itu pertahanan Liverpool
akan lemah jika Gerrard berada di posisi ini.
Untuk
mengatasi kekurangan pemain bernomor punggung 8 itu, Rodgers lalu memasang poros
ganda pada zona krusial. Ia mengombinasikan Gerrard yang baik dalam menyerang
dengan Lucas Leiva yang ahli dalam bertahan. Hal ini berarti mengorbankan sisi
penyerangan, karena zona 3, yang semestinya hanya diisi satu pemain, ditempati
dua orang dan pemain di zona 5 berkurang (baca: Permasalahan Tujuh Zona Brendan
Rodgers).
Namun,
hal ini dirasa masih lebih baik karena penyerangan dan pertahanan Liverpool
menjadi lebih seimbang.
Karena
itulah rataan gol Liverpool pada awal musim tidak terlalu mencolok. Pada 13
pertandingan pertama, Liverpool hanya mencetak 25 gol atau rata-rata 1,9
gol/laga. Meski bukan merupakan faktor satu-satunya, namun berkurangnya pasukan
penyerang karena harus menempatkan lebih banyak personel pada zona 3 ini tentu
berpengaruh.
Namun
kondisi berubah. Gerrard yang telah bisa memainkan perannya dengan baik tanpa
bantuan Lucas atau Allen jadi berkah tersendiri bagi Rodgers. Manajer berusia
41 tahun itu pun lalu mencabut izin bagi Gerrard untuk ikut maju menyerang
terlalu jauh dan memberikan tugas untuk menjaga daerah tengah lapangan.
Hal
ini ditunjukkan oleh data statistik, yaitu area sentuhan bola Gerrard serta
data heat map. Contohnya adalah pada pertandingan terakhir Liga Inggris melawan
Newcastle United (lihat grafik di bawah). Terlihat bahwa Gerrard memang jarang
sekali beranjak dari tengah lapangan.
[Heat
map Steven Gerrard saat melawan Newcastle United. Sumber: squawka.com]
Penuruan
data sentuhan dan aktivitas menerima operan Gerrard dari musim 2012/2013 ke
2013/2014 pun menujukan bahwa sang kapten semakin jarang berada di daerah lawan
(lihat tabel di bawah). Ya, Gerrard memang lebih berkonsentrasi menjaga lini
pertahanan sendiri dan lebih jarang ikut naik menyerang.
Evolusi
Raheem Sterling
Perubahan
lain yang terlihat mencolok dari Liverpool pada musim ini adalah evolusi Raheem
Sterling. Hal inilah yang kemudian membuat strategi 4-4-2 diamond Rodgers
semakin sempurna.
Pada
musim-musim sebelumnya, kita hanya mengenal Sterling sebagai the next Aron
Lennon yang hanya bisa berlari -- dan hanya Tuhan yang tahu kapan akan
berhenti. Ia tidak diproyeksikan bisa melakukan umpan terobosan yang visioner,
apalagi sampai bisa memainkan peran pemain nomor 10 dengan sangat baik.
Kemampuan
Sterling dalam menggiring bola dan menembus pertahanan lawan memang sudah bukan
rahasia lagi. Selama ini, ketika masih berada di sektor sayap, Sterling akan
lebih sering menusuk dari pinggir ke dalam kotak penalti.
Secara
sederhana, akan lebih berbahaya jika kemampuan istimewa Sterling ini
diaplikasikan dari sektor tengah. Dengan begitu, Sterling tidak perlu berputar
terlebih dahulu, namun langsung menusuk ke jantung pertahanan lawan.
Namun
memindahkan seorang pemain dari sisi sayap ke tengah bukan hal yang sederhana.
Apalagi kondisi area tengah lapangan akan lebih padat ketimbang di daerah
sayap. Menerobos membabi-buta di tengah hanya akan membuat Sterling menjadi
bulan-bulanan bek-bek Liga Inggris yang tidak kenal kompromi.
Rodgers
harus menghilangkan kebiasaan Sterling yang terlalu monoton menerobos. Sterling
harus bermain layaknya seorang pemain nomor 10 yang tahu kapan harus
menggiring, kapan harus mengoper, serta kapan harus berhenti atau mengembalikan
bola ke belakang.
Beruntung
Rodgers memiliki dua striker yang selalu aktif mencari bola. Suarez dan
Sturridge sering melakukan pergerakan ke samping sekaligus membuka ruang pada
Sterling untuk menembus pertahanan. Dengan begitu, sebagian pemain bertahan
lawan akan terpancing oleh pergerakan kedua striker ini. Hal inilah yang
membuat kerja Sterling pun menjadi lebih mudah.
Perbandingan
hasil aktivitas dribbling Sterling pada musim 2012/2013 dan 2013/2014
menunjukan bahwa pada musim ini ia tidak hanya berhasil menggiring bola di sisi
sayap namun juga di daerah tengah pertahanan lawan.
[Area
dribbling Raheem Sterling musim 2012-2013 (kiri) dan musim 2013-2014 (kanan).
Sumber: fantasyfootballscout.com]
Assist
Sterling kepada Suarez saat melawan Norwich adalah salah satu hasil nyata
perkembangannya.
Pada
posisi ini (lihat gambar di bawah), Sterling pada masa lalu akan lebih melihat
ruang lebar di belakang defender dan melakukan dribbling. Dengan melakukan aksi
tersebut, pemain muda Inggris itu bisa saja menghasilkan gol mengingat
kemampuan dribbling-nya juga tidak sembarangan. Namun, dalam pertandingan itu,
Sterling lebih memilih mengirimkan bola melengkung cantik yang langsung dapat
dieksekusi Suarez dengan mudah.
[Assist
Sterling kepada Suarez saat melawan Norwich]
Perkembangan
Rodgers
Di
balik semua perkembangan Liverpool dan para pemainnya, ada satu perbaikan yang
juga tidak bisa dilewatkan, yaitu peningkatan kemampuan Rodgers sebagai
pelatih. Sang arsitek tim itu kini tidak hanya sekedar manajer yang memiliki
satu racikan strategi kaku, tapi memiliki berbagai macam alternatif yang dengan
fleksibel diterapkan di lapangan.
Rodgers
bahkan tidak selalu memaksakan filosofinya yaitu serangan melalui operan pendek
dari kaki ke kaki. Bahkan counter-attack cepat yang hanya melibatkan lima
sentuhan pun sudah sering diterapkan pada musim ini.
Catatan
menunjukkan bahwa Liverpool pada musim lalu, atau Swansea dua tahun lalu, hanya
mampu menciptakan satu gol lewat skema serangan balik. Pada musim ini, jumlah
ini meningkat drastis hingga 9 kali. Demikian pula dengan melatih Liverpool
untuk lebih mematikan lewat skema bola-bola mati, satu hal yang gagal dilakukan
oleh manajer-manajer Liverpool sebelumnya.
Meski
Rodgers masih gagal membawa Liverpool untuk menjadi juara Liga Inggris,
terutama dalam masalah pertahanan yang masih teramat sering bocor, namun apa
yang dibangun Rodgers dalam dua musim pertamanya ini tentu tidak bisa dianggap
remeh.
Membangun
sebuah tim memang tidak akan bisa dilakukan dalam sekejap. Liverpool saat ini
juga bukan Liverpool yang sudah sempurna, Rodgers masih memiliki beberapa
pekerjaan rumah yang harus diselesaikan untuk menjalani musim depan. Tapi,
bukankah pepatah mengatakan bahwa Roma tidak dibangun dalam satu malam?
====
Tidak ada komentar:
Posting Komentar