3 Juli 2014

Review Taktik Brendan Rodgers (Bagian 1)

Permasalahan Tujuh Zona Brendan Rodgers

Sumber: detiksport

Ditunjuknya Brendan Rodgers sebagai manajer terbaik Liga Inggris oleh LMA (League Managers Association) menjadi tanda kinerja luar biasa yang telah dilakukan oleh pelatih Liverpool itu. Musim ini ia telah sukses membawa timnya menantang Manchester City dan Chelsea dalam perebutan gelar juara Liga Inggris.

Padahal, dua tahun lalu, atau ketika Rodgers mengambil alih kursi pelatih dari tangan Kenny Dalglish, Liverpool hanya merupakan klub yang berada di peringkat 8. Mengatakan Liverpool akan jadi salah satu kandidat juara Liga Inggris bisa jadi sebuah guyonan yang tidak akan dipercaya siapapun. Bahkan, membawa Liverpool masuk ke zona Liga Champions juga sebenarnya tugas yang teramat sulit.

Kemampuan mantan pelatih Swansea ini sempat dipertanyakan ketika pada pertandingan debutnya harus menerima kekalahan telak 3-0 West Bromwich Albion. Rodgers, yang datang dengan label seorang ahli sepakbola menyerang, seolah mendapat tamparan keras. Laga pertama itu seakan menjadi isyarat bahwa apa yang mau dibuatnya di Liverpool tidak akan berhasil.

Namun kini semua berubah. Hanya dalam waktu kurang dari 2 tahun, Rodgers berhasil mengubah Liverpool menjadi salah satu tim paling menakutkan di Inggris. Sang juara bertahan Manchester United pun harus merasakan kekalahan kandang maupun tandang dari Liverpool.

Pertanyaannya kemudian adalah, apa yang sebenarnya dilakukan oleh pelatih 41 tahun asal Irlandia Utara ini? Apa yang terjadi hingga Liverpool berubah dari tim yang sering tergelincir melawan tim-tim juru kunci, menjadi tim yang teramat sering membobol gawang lawan-lawannya?

Tujuh Zona Brendan Rodgers

Sejak awal datang ke Liverpool, Rodgers banyak membicarakan soal ball possession dan sepakbola menyerang. Beberapa media pun mengatakan bahwa Liverpool akan memainkan tiki-taka di bawah kepemimpinan Rodgers. Dan hal ini memang tidak salah.

"Saya suka mengendalikan permainan. Saya suka menentukan takdir saya sendiri. Ketika kita bisa memainkan bola lebih baik dari lawan, maka kita memiliki kesempatan menang hingga 79%. Logikanya, tidak peduli seberapa hebat Anda, jika Anda tidak menguasai bola, Anda tidak bisa mencetak angka."

Pernyataan Rodgers tersebut sangat jelas menunjukan bahwa dia ingin menyerang dengan mengandalkan penguasaan bola yang tinggi. Atau serupa dengan tiki-taka-nya Barcelona. Hal ini sejalan dengan apa yang dilakukannya di Swansea pada musim sebelumnya. Swansea yang baru promosi ke Liga Inggris bermain tidak seperti tim promosi lainnya dengan mencatatkan rata-rata ball possession per-laga hingga 58%. Angka ini setara dengan Manchester City yang menjuarai liga pada musim 2011/2012.

Sebagaimana di Swansea, Rodgers lalu menerapkan permainannya di Liverpool. Caranya adalah dengan membagi lapangan menjadi 7 zona.

Namun menanamkan filosofi bermain kepada suatu tim tentu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Tidak seperti Barcelona yang para pemainnya sudah dikenalkan dengan gaya tiki-taka semenjak di akademi, Liverpool tidak memiliki identitas tertentu. Seringnya pergantian pelatih yang terjadi dalam 4 tahun ke belakang juga membuat para pemain tak fasih memainkan satu gaya tertentu.

Pada musim pertama Rodgers, Liverpool memang berhasil memainkan ball possession tinggi, dengan rataan per pertandingannya mencapai 57,5%, atau lebih tinggi dari musim sebelumnya yang hanya 55,1%.

Liverpool juga mencatatkan statistik operan per laga yang cukup banyak. Pada musim 2012/2013, Liverpool melepaskan 438 operan/pertandingan. Angka ini merupakan salah satu yang tertinggi di Liga pada musim itu. Hanya Arsenal dan Manchester City yang mencatatkan angka lebih dari Liverpool.

Namun, seperti yang kita ketahui, angka statistik ini tidak sejalan dengan hasil yang diraih, dan tingginya ball possession pun tak selalu sejalan dengan peluang mencetak gol. The Reds baru berhasil meraih kemenangan pertama di liga pada pertandingan ke-6. Hingga paruh musim liga, Liverpool pun hanya meraih 7 kali kemenangan.

Permasalahan yang dialami Rodgers di awal adalah masih belum siapnya para pemain Liverpool untuk menjalani filosofi permainan yang dia mau. Rodgers kesulitan mencari pemain yang pas untuk mengisi zona ke-3 dari sistemnya.

Joe Allen yang dibawa Rodgers dari Swansea ke Liverpool menjadi satu-satunya pemain yang sudah mengerti cara permainan Rodgers. Tak heran jika pada awal-awal musim pemain asal Wales itu diberikan tugas untuk mengisi zona 3.

Lihatlah chalkboard arah operan Allen pada 3 pertandingan pertama Liverpool di musim 2012/2013. Bandingkan dengan apa yang dilakukan Gerrard saat melawan West Ham pada 6 April 2014. Ketika itu Gerrard sudah cukup fasih memainkan peran Holding Midfielder yang pada awal musim 2012/2013 dimainkan Allen.

Pada 3 pertandingan pertamanya, passing Allen mayoritas diarahkan ke pinggir lapangan. Persentase keberhasilan passing Allen memang tinggi, namun ini karena umpan yang dilakukan berupa simple pass yang tidak mengancam. Hal ini membuat Allen tidak memainkan fungsi sebagai pemain yang memulai serangan Liverpool. Serangan Suarez dkk pun menjadi monoton karena selalu dimulai dari bola-bola pendek ke sayap.

Hal ini berbeda dengan apa yang dilakukan Gerrard belakangan ini. Persentase operan berhasil Gerrard memang tidak sebaik Allen, namun hal ini dikarenakan Gerrard tidak sekedar memberikan operan mudah ke arah samping. Gerrard banyak melepaskan umpan-umpan ke depan untuk memulai serangan Liverpool.

Hingga paruh musim 2012/2013, Rodgers masih terus mencari kombinasi yang baik untuk trio lini tengahnya. Terutama pada zona 3 dan zona 5. Rodgers memang memiliki beberapa nama yang dapat dipakainya, namun semuanya belum ada yang cocok 100% dengan apa yang dia mau.

Rodgers bereksperimen dengan menggunakan pemain yang sudah senior seperti Gerrard dan Lucas Leiva, hingga para pemain muda seperti Jonjo Shelvey, Suso, dan Jordan Henderson. Ada juga nama-nama seperti Joe Allen dan Nuri Sahin yang digunakan untuk mendapatkan formasi terbaik untuk Liverpool.

Pada paruh musim pertama, kombinasi Allen, Gerrard, dan Sahin menjadi kombinasi yang paling sering dipakai Rodgers. Ketiga pemain ini menjadi starter bersamaan dalam 7 pertandingan dengan mencatatkan 2 kali menang 4 kali seri dan 1 kali kalah.

Meski meraih hasil yang tidak maksimal, Rodgers tidak mau menyerah dan tetap bersabar membangun filosofi yang sangat dia yakini ini. Memang, apa yang direncanakannya tidak akan terwujud dalam waktu singkat. Para pemain harus dilatih terlebih dahulu agar dapat menjalankan skema besar dalam otaknya.

Kekukuhannya pada filosofi penguasaan bola tercermin ketika dalam satu pertandingan Rodgers terus berteriak "retain position!". Padahal Liverpool dalam kondisi tertinggal di menit-menit akhir. Kebanyakan tim akan langsung bermain cepat jika sudah tak punya waktu lagi untuk menyamakan kedudukan. Namun Rodgers justru terus memaksa timnya untuk bermain sabar sesuai dengan pola permainan yang dia mau.

Bisa jadi kala itu Rodgers beranggapan bahwa hasil pertandingan bukanlah hal yang menjadi prioritas utama. Tugasnya adalah tugas jangka panjang untuk membangun sebuah tim. Liverpool memang belum dalam performa terbaik, namun Liverpool sedang berada di jalur yang tepat untuk menuju ke sana.

Lalu, kesabaran Rodgers pun mulai menunjukan hasil.

(Bersambung)* Akun twitter penulis: @aabimanyuu dari @panditfootball

Tidak ada komentar: