Permasalahan Tujuh Zona
Brendan Rodgers
Sumber: detiksport
Ditunjuknya
Brendan Rodgers sebagai manajer terbaik Liga Inggris oleh LMA (League Managers
Association) menjadi tanda kinerja luar biasa yang telah dilakukan oleh pelatih
Liverpool itu. Musim ini ia telah sukses membawa timnya menantang Manchester
City dan Chelsea dalam perebutan gelar juara Liga Inggris.
Padahal,
dua tahun lalu, atau ketika Rodgers mengambil alih kursi pelatih dari tangan
Kenny Dalglish, Liverpool hanya merupakan klub yang berada di peringkat 8.
Mengatakan Liverpool akan jadi salah satu kandidat juara Liga Inggris bisa jadi
sebuah guyonan yang tidak akan dipercaya siapapun. Bahkan, membawa Liverpool
masuk ke zona Liga Champions juga sebenarnya tugas yang teramat sulit.
Kemampuan
mantan pelatih Swansea ini sempat dipertanyakan ketika pada pertandingan
debutnya harus menerima kekalahan telak 3-0 West Bromwich Albion. Rodgers, yang
datang dengan label seorang ahli sepakbola menyerang, seolah mendapat tamparan
keras. Laga pertama itu seakan menjadi isyarat bahwa apa yang mau dibuatnya di
Liverpool tidak akan berhasil.
Namun
kini semua berubah. Hanya dalam waktu kurang dari 2 tahun, Rodgers berhasil
mengubah Liverpool menjadi salah satu tim paling menakutkan di Inggris. Sang
juara bertahan Manchester United pun harus merasakan kekalahan kandang maupun
tandang dari Liverpool.
Pertanyaannya
kemudian adalah, apa yang sebenarnya dilakukan oleh pelatih 41 tahun asal
Irlandia Utara ini? Apa yang terjadi hingga Liverpool berubah dari tim yang
sering tergelincir melawan tim-tim juru kunci, menjadi tim yang teramat sering
membobol gawang lawan-lawannya?
Tujuh
Zona Brendan Rodgers
Sejak
awal datang ke Liverpool, Rodgers banyak membicarakan soal ball possession dan
sepakbola menyerang. Beberapa media pun mengatakan bahwa Liverpool akan
memainkan tiki-taka di bawah kepemimpinan Rodgers. Dan hal ini memang tidak
salah.
"Saya
suka mengendalikan permainan. Saya suka menentukan takdir saya sendiri. Ketika
kita bisa memainkan bola lebih baik dari lawan, maka kita memiliki kesempatan
menang hingga 79%. Logikanya, tidak peduli seberapa hebat Anda, jika Anda tidak
menguasai bola, Anda tidak bisa mencetak angka."
Pernyataan
Rodgers tersebut sangat jelas menunjukan bahwa dia ingin menyerang dengan
mengandalkan penguasaan bola yang tinggi. Atau serupa dengan tiki-taka-nya
Barcelona. Hal ini sejalan dengan apa yang dilakukannya di Swansea pada musim
sebelumnya. Swansea yang baru promosi ke Liga Inggris bermain tidak seperti tim
promosi lainnya dengan mencatatkan rata-rata ball possession per-laga hingga
58%. Angka ini setara dengan Manchester City yang menjuarai liga pada musim
2011/2012.
Sebagaimana
di Swansea, Rodgers lalu menerapkan permainannya di Liverpool. Caranya adalah
dengan membagi lapangan menjadi 7 zona.
Namun
menanamkan filosofi bermain kepada suatu tim tentu tidak semudah membalikkan
telapak tangan. Tidak seperti Barcelona yang para pemainnya sudah dikenalkan
dengan gaya tiki-taka semenjak di akademi, Liverpool tidak memiliki identitas
tertentu. Seringnya pergantian pelatih yang terjadi dalam 4 tahun ke belakang
juga membuat para pemain tak fasih memainkan satu gaya tertentu.
Pada
musim pertama Rodgers, Liverpool memang berhasil memainkan ball possession
tinggi, dengan rataan per pertandingannya mencapai 57,5%, atau lebih tinggi
dari musim sebelumnya yang hanya 55,1%.
Liverpool
juga mencatatkan statistik operan per laga yang cukup banyak. Pada musim
2012/2013, Liverpool melepaskan 438 operan/pertandingan. Angka ini merupakan
salah satu yang tertinggi di Liga pada musim itu. Hanya Arsenal dan Manchester
City yang mencatatkan angka lebih dari Liverpool.
Namun,
seperti yang kita ketahui, angka statistik ini tidak sejalan dengan hasil yang
diraih, dan tingginya ball possession pun tak selalu sejalan dengan peluang
mencetak gol. The Reds baru berhasil meraih kemenangan pertama di liga pada
pertandingan ke-6. Hingga paruh musim liga, Liverpool pun hanya meraih 7 kali
kemenangan.
Permasalahan
yang dialami Rodgers di awal adalah masih belum siapnya para pemain Liverpool
untuk menjalani filosofi permainan yang dia mau. Rodgers kesulitan mencari
pemain yang pas untuk mengisi zona ke-3 dari sistemnya.
Joe
Allen yang dibawa Rodgers dari Swansea ke Liverpool menjadi satu-satunya pemain
yang sudah mengerti cara permainan Rodgers. Tak heran jika pada awal-awal musim
pemain asal Wales itu diberikan tugas untuk mengisi zona 3.
Lihatlah
chalkboard arah operan Allen pada 3 pertandingan pertama Liverpool di musim
2012/2013. Bandingkan dengan apa yang dilakukan Gerrard saat melawan West Ham
pada 6 April 2014. Ketika itu Gerrard sudah cukup fasih memainkan peran Holding
Midfielder yang pada awal musim 2012/2013 dimainkan Allen.
Pada
3 pertandingan pertamanya, passing Allen mayoritas diarahkan ke pinggir
lapangan. Persentase keberhasilan passing Allen memang tinggi, namun ini karena
umpan yang dilakukan berupa simple pass yang tidak mengancam. Hal ini membuat
Allen tidak memainkan fungsi sebagai pemain yang memulai serangan Liverpool.
Serangan Suarez dkk pun menjadi monoton karena selalu dimulai dari bola-bola
pendek ke sayap.
Hal
ini berbeda dengan apa yang dilakukan Gerrard belakangan ini. Persentase operan
berhasil Gerrard memang tidak sebaik Allen, namun hal ini dikarenakan Gerrard
tidak sekedar memberikan operan mudah ke arah samping. Gerrard banyak
melepaskan umpan-umpan ke depan untuk memulai serangan Liverpool.
Hingga
paruh musim 2012/2013, Rodgers masih terus mencari kombinasi yang baik untuk
trio lini tengahnya. Terutama pada zona 3 dan zona 5. Rodgers memang memiliki
beberapa nama yang dapat dipakainya, namun semuanya belum ada yang cocok 100%
dengan apa yang dia mau.
Rodgers
bereksperimen dengan menggunakan pemain yang sudah senior seperti Gerrard dan
Lucas Leiva, hingga para pemain muda seperti Jonjo Shelvey, Suso, dan Jordan
Henderson. Ada juga nama-nama seperti Joe Allen dan Nuri Sahin yang digunakan
untuk mendapatkan formasi terbaik untuk Liverpool.
Pada
paruh musim pertama, kombinasi Allen, Gerrard, dan Sahin menjadi kombinasi yang
paling sering dipakai Rodgers. Ketiga pemain ini menjadi starter bersamaan
dalam 7 pertandingan dengan mencatatkan 2 kali menang 4 kali seri dan 1 kali kalah.
Meski
meraih hasil yang tidak maksimal, Rodgers tidak mau menyerah dan tetap bersabar
membangun filosofi yang sangat dia yakini ini. Memang, apa yang direncanakannya
tidak akan terwujud dalam waktu singkat. Para pemain harus dilatih terlebih
dahulu agar dapat menjalankan skema besar dalam otaknya.
Kekukuhannya
pada filosofi penguasaan bola tercermin ketika dalam satu pertandingan Rodgers
terus berteriak "retain position!". Padahal Liverpool dalam kondisi
tertinggal di menit-menit akhir. Kebanyakan tim akan langsung bermain cepat
jika sudah tak punya waktu lagi untuk menyamakan kedudukan. Namun Rodgers
justru terus memaksa timnya untuk bermain sabar sesuai dengan pola permainan
yang dia mau.
Bisa
jadi kala itu Rodgers beranggapan bahwa hasil pertandingan bukanlah hal yang
menjadi prioritas utama. Tugasnya adalah tugas jangka panjang untuk membangun
sebuah tim. Liverpool memang belum dalam performa terbaik, namun Liverpool
sedang berada di jalur yang tepat untuk menuju ke sana.
Lalu,
kesabaran Rodgers pun mulai menunjukan hasil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar