Albert dock - gettyimages |
Albert
Dock hanyalah satu dari belasan dermaga di mulut sungai Mersey, Liverpool.
Bagian dari apa yang disebut sebagai Pelabuhan Liverpool. Tetapi ia menjadi
lebih terkenal dari dermaga-dermaga lain di kota itu karena ia menjadi simbol
kejayaan yang beringsut. Monumen. Penanda jaman.
Datanglah
ke kawasan waterfront (tepi sungai Mersey) Liverpool, tempat Albert Dock ini
berada, yang sekarang berubah fungsi menjadi tempat wisata yang menyenangkan.
Suara burung pantai yang sesekali terdengar menggema membentur dinding-dinding
tua Albert Dock seperti menyambung cerita dari masa lalu agar tak putus ditelan
lupa.
Lantai
batunya yang aus menjadi saksi akan gerusan kesibukan lalu lalang barang yang
membebaninya di suatu ketika. Bahkan lorong-lorong gudangnya seperti hendak
merangkul, mengajak duduk untuk berceloteh tentang suka duka kehidupan dimasa
lalu yang mengasyikkan.
Memang
suatu saat di abad 19 Albert Dock sempat menjadi yang termodern dan paling
bergengsi. Membuat orang ternganga dengan kecanggihan teknologinya. Dan lebih
penting lagi menjadi bagian dari jaringan keluar masuk barang ke Barat Laut
Inggris, dus ikut menentukan murah mahalnya harga barang lewat perhitungan
biaya uang sewa dermaga dan pajak yang mereka tetapkan. Sebuah keistimewaan,
privilege, yang menimbulkan kekesalan buat sebuah kota tetangga yang terletak
sekitar 50 kilometer masuk ke daratan, Manchester.
Kekesalan
itu bukan tanpa alasan. Sementara Liverpool adalah kota pelabuhan, Manchester
adalah kota industri. Semestinya perkawinan yang serasi. Tetapi Manchester
mengeluhkan pajak dan sewa dermaga yang ditetapkan Liverpool yang saat itu
dirasa semakin mahal, berlebihan dan semaunya sendiri.
Juga
yang dirasa semakin mahal adalah mahalnya ongkos untuk membawa barang dari
pelabuhan Liverpool ke Manchester atau sebaliknya lewat jaringan kereta api
kedua kota.
Maka
diambillah langkah drastis oleh para industriawan Manchester saat itu.
Menjelang akhir abad 19 diputuskanlah pembuatan jaringan kanal yang
memungkinkan kapal-kapal besar masuk langsung ke Manchester sehingga tidak
perlu harus berhenti di Liverpool. Mempercepat keluar masuk barang ke
Manchester, melepas ketergantungan dari Liverpool, dan tentu saja meringkas
biaya.
Untuk
alasan yang bisa dimengerti, rencana pembangunan kanal itu tentu saja mendapat
tentangan keras dari Liverpool. Manchester membutuhkan waktu tiga tahun untuk
mendapatkan persetujuan pemerintah pusat gara-gara penentangan itu. Dan ketika
undang undang persetujuan akhirnya keluar, babak baru hubungan kedua kota
itupun lahir.
Liverpool
tidak pernah bisa memaafkan Manchester karena pembangunan kanal yang dianggap
telah membuat kehidupan perekonomian mereka yang bersandar kehidupan pelabuhan
menjadi turun drastis. Sementara Manchester selalu menyalahkan keserakahan
Liverpool yang membuat mereka terpaksa harus membangun kanal dengan biaya yang
sangat mahal yang semestinya tidak perlu.
Liverpool
dan Manchester bukanlah dua kota tetangga pertama di dunia yang tak akur karena
persoalan ekonomi. Juga bukan pula akan menjadi yang terakhir. Hanya saja luka
yang tergores karena persoalan kanal itu membutakan mata mereka dari fakta
sejarah.
Pertama
bahwa perselisihan bukanlah antar dua kota apalagi masyarakatnya, tetapi antara
ketamakan operator pelabuhan (elit) melawan ketamakan industriawan (elit).
Kalau membaca sejarah, kesejahteraan kaum buruh --pekerja pelabuhan maupun
pabrik-- jaman itu sangatlah merana. Karenanya kenaikan pajak dan sewa dermaga
maupun harga produk industri, tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan
buruh.
Kedua,
bahwa benar kanal itu mengurangi volume keramaian pelabuhan Liverpool, tetapi
sesungguhnya tidak signifikan. Karena Manchester bukanlah satu-satunya kota
yang tergantung dengan pelabuhan Liverpool tetapi hampir semua wilayah di Barat
Daya Inggris.
Menurunnya
kegiatan pelabuhan Liverpool setidaknya telah terjadi sejak 20 tahun sebelum
kanal itu dibangun, karena munculnya kapal uap menggantikan kapal layar.
Pelabuhan Liverpool yang berada di kawasan pasang surut sangat tidak akomodatif
untuk kapal uap (yang lebih besar) dan pelan-pelan mulai ditinggalkan.
Namun
sejarah bukan bukan semata persoalan fakta. Sejarah juga persoalan emosi dan
persepsi. Sejarah juga membutuhkan penanda dan simbol untuk sebuah kurun waktu.
Jangan heran kalau versi populer sejarah kadang mengabaikan bahkan menolak
fakta.
Dalam
kasus perselisihan elit Liverpool dan elit Manchester, lebih terasa mudah
diterima untuk melihat perselisihan kepentingan kedua kedua kota ketimbang
semata perselisihan elit. Lebih terasa meyakinkan untuk berbicara di tingkat
makro ketimbang mikro yang terkadang membosankan.
Sementara
dalam kasus kemunculan kapal uap dan kanal, walau dimengerti bahwa kapal uaplah
dan bukan pembangunan kanal yang membuat pelabuhan Liverpool menurun
kejayaannya tetapi secara emosi lebih sreg bagi warga Liverpool untuk
menyalahkan pembangunan kanal. Mungkin ini sifat kita manusia saja yang suka
menyalahkan kalangan lain bila terjadi hal-hal yang merugikan kita.
Celakanya
Manchester malah seperti ikut membenarkan persepsi Liverpool yang seperti itu.
Bahkan ketika mereka mengerti kanal yang mereka bangun juga terbukti dalam
perjalanan sejarahnya tidaklah sukses-sukses amat. Mungkin ini sifat manusia
juga yang sering merasa puas melihat kesengsaraan mereka yang dianggap sebagai
pesaing.
Dari
sejak itu, muncullah persaingan dua kota di segala bidang kehidupan.
Masing-masing hendak menunjukkan yang satu lebih dari yang lain, yang satu
lebih hebat dari yang lain. Liverpool dan Manchester yang dalam penilaian saya
sebenarnya lebih banyak persamanya ketimbang perbedaanya, lebih senang melihat
perbedaan diantara mereka ketimbang persamaan mereka. Dari musik, ekonomi,
pendidikan, budaya hingga olahraga.
Persaingan
di sepakbola jatuh dalam konteks ini. Terutama sekali bisa sudah menyangkut
Manchester United dan Liverpool. Sebenarnya tidak tepat juga kalau menganggap
keduanya lalau mewakili Manchester dan Liverpool karena tentu saja masih ada
Everton dan Manchester City dan keduanya sama tidak sukanya dengan Liverpool
dan Manchester United.
Tetapi
terasa lebih enak untuk melakukan generalisasi itu. Ditambah lagi Liverpool dan
Manchester United berebut gengsi sebagai dua klub paling sukses di Inggris.
Kobaran api seperti disiram bensin. Seperti menggugah sekian kenangan manis
keserasian dua kota di masa lalu yang berakhir pahit.
Berbicara
tentang Manchester dan Liverpool seperti suami istri yang tak akur tapi saling
membutuhkan. Hidup dan bertenaga karena percik energi dari "cinta"
dan "benci" yang berkecamuk: cerai enggan, kumpul tak mau. Berbicara
tentang Manchester United dan Liverpool, cintanya hilang tinggal bencinya.
Jangan sekadar lihat mereka yang berada di lapangan, lihat pula bagaimana
reaksi penontonnya. Anda akan mengerti maksud saya.
London,
14 Maret 2014
Sumber: detiksport
Tidak ada komentar:
Posting Komentar