gettyimage |
Melihat Tottenham Hotspur, saya akan selalu
ingat sebuah kutipan: "Tottenham adalah cerminan tim paling membumi.
Kadang ada di atas, kadang ada di bawah."
Ucapan tersebut keluar dari mulut Jonny
Buckland. Dia bukan seorang filsuf sepakbola seperti Johan Cruyff, bukan pula
seorang jenius dan seniman sepakbola seperti halnya Cruyff. Buckland hanyalah
pemain gitar yang biasa mentas bersama sebuah band bernama Coldplay.
Buckland menjabarkan alasan mengapa dia
memilih untuk mendukung Tottenham. Biasanya, seorang pendukung akan kesulitan
untuk menjelaskan alasan mengapa dia mendukung atau menyukai klub tersebut.
"Ya, memang suka saja.." jadi jawaban yang lazim. Rasa cinta kadang
memang sulit dijelaskan.
Hal yang lebih konkret jika seseorang memilih
mendukung sebuah klub karena kedekatan kultur ataupun berasal dari tempat yang
sama dengan klub tersebut.
Buckland, yang lahir dan besar di Islington
--sekitar 8 kilometer dari Tottenham--, merasa punya kedekatan secara kultural
dengan Tottenham. Namun, dasar seniman, dia memilih untuk menggambarkan rasa
cinta itu seperti sebuah lukisan.
"Buat saya seperti itulah gambaran
hidup; kadang di atas, kadang di bawah," katanya.
Ah, seperti itulah Tottenham rupanya...
====
Datanglah ke Anfield suatu waktu, Anda akan
menemukan stadion itu punya aroma intim yang begitu menyengat. Stadionnya tidak
terlalu besar, apalagi area di sekitarnya. Jarak antara pagar Anfield dengan
tembok tribun paling hanya beberapa langkah saja.
Di sekitar Anfield banyak terdapat toko-toko
dan rumah penduduk. Inilah yang kemudian membuat Liverpool pikir-pikir panjang
kalau ingin memperbesar kapasitas stadion. Mau tidak mau, mereka harus membabat
kawasan rumah penduduk.
Kedekatan dengan masyarakat sekitarnya inilah
yang membuat Liverpool terasa seperti klub milik orang-orang --atau bahasa
lainnya "The People's Club--, sama seperti klaim Everton yang dipajang
besar-besar di depan tembok Goodison Park, tidak jauh dari Anfield.
Liverpool dan loyalitas adalah sebuah
pelajaran yang bisa dipetik oleh pendukung klub mana pun. Bahkan seorang Johan
Cruyff pun mengakui bahwa tidak pernah merasakan atmosfer seintens dan
sedramatis Anfield, terutama tribun The Kop-nya.
Tidak peduli klub sedang di atas atau di
bawah, para pendukung itu akan tetap bernyanyi memberikan dukungan, dan hal
inilah yang kita kenal dalam-dalam sebagai identitas dari Liverpool.
Rasanya sungguh unik melihat penjabaran
Buckland akan Tottenham dan loyalitas suporter Liverpool terhadap klubnya. Ada
kemiripan saling berpotongan di sana. Seolah-olah, mereka punya keterlapangan
yang begitu besar akan sebuah rasa sakit. Berada di atas itu biasa, tapi
terjatuh sembari tersenyum itu luar biasa.
Lihatlah Liverpool. Bagaimana dalam lebih
dari dua dekade terakhir ini mereka harus menyaksikan rival terberat mereka,
Manchester United, menguasai panggung Liga Inggris. Lihat juga Tottenham, yang
sudah terbiasa dikangkangi Arsenal berkali-kali.
Kenyarisan adalah sesuatu yang biasa untuk
keduanya. Liverpool pernah merasakan tidak enaknya nyaris jadi juara, sementara
Tottenham hampir selalu merasakan kenyarisan untuk duduk di atas badan Arsenal.
Tentu, keduanya tidak pasrah atau nrimo
begitu saja. Liverpool menjalani tahun-tahun menyesakkan di mana mereka harus
mengalami pergantian manajer dan keluar-masuknya pemain. Begitu juga Tottenham.
Belakangan, The Lilywhites bahkan berani belanja besar hanya untuk sekadar
finis di urutan empat besar.
Setelah bermusim-musim hanya jadi penantang,
musim ini Tottenham berani pasang target untuk jadi juara. Hasilnya? Mereka
mendapatkan pukulan telak. Sederet hasil buruk membuat Tottenham, mau tidak
mau, memecat Andre Villas-Boas. Penggantinya adalah Tim Sherwood, pria yang
pernah dilatih legenda hidup Liverpool Kenny Dalglish dan eks kapten Tottenham.
Di mata banyak pemain Tottenham, Sherwood
bukanlah orang yang suka basa-basi. Dia berbeda dengan Villas-Boas. Sherwood
adalah tipikal seorang trainer yang biasa melatih langsung anak-anak buahnya.
Jika Villas-Boas membuat Tottenham menjadi lebih rumit, Sherwood justru
menyederhanakannya.
Brendan Rodgers juga tidak berbeda. Dia
belakangan dipuji skill kepelatihannya lantaran bisa memoles beberapa pemain,
seperti misalnya Jordan Henderson, dari kelihatan biasa-biasa saja menjadi luar
biasa. Kebalikannya, Rodgers tidak membuat Liverpool menjadi lebih sederhana.
Dia mengubah Liverpool yang sempat bermain tanpa pola menjadi lebih kompleks
saat ini.
Perbedaan lainnya, kala Tottenham berani
bermimpi untuk jadi juara, Rodgers dan Liverpool memilih untuk menjalani musim
lebih sederhana. Mereka hanya menargetkan untuk finis di empat besar pada akhir
musim. Tapi, lihat keadaannya sekarang. Liverpool punya peluang jadi juara lebih
besar ketimbang Tottenham.
Tapi, keberuntungan selalu datang untuk
mereka yang bekerja keras. Hasil luar biasa juga kadang menghampiri mereka yang
berani bermimpi. Tottenham sudah berani bermimpi, sementara para pendukung
Liverpool belakangan baru mulai berani bermimpi. Mengapa tidak? Bukankah
terang-terang kesempatan untuk jadi juara itu terbuka lebar. Bukankah
terang-terang mereka saat ini sedang terbang tinggi?
====
Mungkin, semesta juga mendukung mereka yang
percaya. Ketika Chelsea menelan kekalahan di kandang Crystal Palace dan
Manchester City bermain imbang dengan Arsenal, para pendukung Liverpool punya
segala hak untuk tersenyum.
Mungkinkah ini saatnya buat mereka? Bisa
jadi, ya. Meskipun senyum semesta entah ditujukan buat siapa.
Hasil imbang yang diraih Arsenal juga membuat
Tottenham tersenyum. Mereka boleh berharap rival berat mereka itu terpeleset
beberapa kali lagi. Sebab, bukankah itu yang diimpi-impikan mereka selama ini,
duduk di atas Arsenal?
Ah, tapi.. Biarlah ditunggu saja senyuman
semesta itu sebenarnya buat siapa.
====
*penulis adalah wartawan detikSport. Biasa
beredar di dunia maya dengan akun @Rossifinza
Tidak ada komentar:
Posting Komentar