Oleh : Rijalul Imam ( Eks Ketua Umum KAMMI Pusat)
Bagian ini akan menggambarkan bagaimana langkah-langkah Nabi Sulaiman mewujudkan cita peradabannya. Judulnya lebih tepat disebut langkah-langkah Nabi Sulaiman membangun peradaban dengan keunggulan budaya. Sebab apa yang dilakukan beliau bukanlah sesuatu yang kecil melainkan tradisi-tradisi yang merupakan bahan bangunan peradaban itu sendiri.
Untuk memahami langkah-langkah Nabi Sulaiman a.s. membangun peradaban ini, yang pertama kali perlu dipahami adalah kerja-kerja yang dilakukan merupakan kerja kolektif untuk membangun sebuah tujuan besar. Kolektivitas ini merupakan unsur terkuat dari peradaban itu sendiri. Sehingga proses pembangunan obsesi adalah obsesi kolektif.
Seiring dengan kesadaran kolektivitas kita sebagai umat untuk membangun izzah Islam, nampak umat Islam yang tergabung dalam gerakan-gerakan Islam melakukan kompetisi kebaikan. Inilah yang kini menjadi trend positif di kalangan umat Islam. Al-Qur’an membolehkan bahkan menganjurkan kompetisi gerakan ini dengan istilah fastabiqul khairat. Kompetisi yang dibangun bukanlah untuk menjatuhkan satu sama lainnya, tapi saling melengkapi piramida peradaban Islam. Saya ingin menyebutnya dengan istilah trend kompetisi membangun kompetensi gerakan.
Bagian ini akan menggambarkan bagaimana langkah-langkah Nabi Sulaiman mewujudkan cita peradabannya. Judulnya lebih tepat disebut langkah-langkah Nabi Sulaiman membangun peradaban dengan keunggulan budaya. Sebab apa yang dilakukan beliau bukanlah sesuatu yang kecil melainkan tradisi-tradisi yang merupakan bahan bangunan peradaban itu sendiri.
Untuk memahami langkah-langkah Nabi Sulaiman a.s. membangun peradaban ini, yang pertama kali perlu dipahami adalah kerja-kerja yang dilakukan merupakan kerja kolektif untuk membangun sebuah tujuan besar. Kolektivitas ini merupakan unsur terkuat dari peradaban itu sendiri. Sehingga proses pembangunan obsesi adalah obsesi kolektif.
Seiring dengan kesadaran kolektivitas kita sebagai umat untuk membangun izzah Islam, nampak umat Islam yang tergabung dalam gerakan-gerakan Islam melakukan kompetisi kebaikan. Inilah yang kini menjadi trend positif di kalangan umat Islam. Al-Qur’an membolehkan bahkan menganjurkan kompetisi gerakan ini dengan istilah fastabiqul khairat. Kompetisi yang dibangun bukanlah untuk menjatuhkan satu sama lainnya, tapi saling melengkapi piramida peradaban Islam. Saya ingin menyebutnya dengan istilah trend kompetisi membangun kompetensi gerakan.
Ya, trend gerakan Islam saat ini adalah trend kompetisi membangun kompetensi
gerakan. Walaupun tidak perlu kita menyebutnya dengan sebuah atribusi istilah:
GBK atau Gerakan Berbasis Kompetensi, saya kira kita lebih sepakat dengan hal-hal
yang substantif, yaitu lebih dekat dengan membangun tradisi dan budaya yang
unggul. Mengambil inspirasi bagaimana Nabi Sulaiman membangun kerajaannya
dengan keunggulan budaya, di bagian ini saya ingin mengajak anda mentadabburi
al-Qur’an dan menghidupkannya dalam realitas alam gerakan kita saat ini. Di
antara ayat-ayat yang terkait dengan trend kompetensi itu adalah ayat-ayat yang
berkenaan dengan keunggulan budaya Nabi Sulaiman a.s. dan kerajaannya yang
termaktub dalam surah An-Naml ayat 15 hingga 44. Apa yang saya paparkan di sini
sebagiannya merujuk pada kajian yang diberikan Ustadz Muhammad Amru Hilmi
Khalid dalam buku Pesona Al-Qur’an. Mari kita menela’ahnya.
Sebelumnya, sekali lagi, saya mengingatkan kembali, untuk memahami paparan 30
ayat kisah Nabi Sulaiman ada baiknya jika kita kaitkan dengan realitas global
saat ini. Di abad globalisasi kita melihat keterpurukan umat di berbagai segi.
Ketidakmampuan umat dalam bersaing menghadapi perkembangan ekonomi, politik,
dan militer antara bangsa yang sangat kompetetitif. Ketidakmampuan ini
diperparah dengan kenyataan bahwa umatnya dan terutama generasi mudanya menelan
(bukan sekedar ditelan) nilai-nilai globalisasi yang sudah terbaratkan.
Anak-anak muda saat ini lebih bangga dengan dunia material hasil orang tuanya,
di saat yang sama mereka pun tidak peduli dengan realitas umat yang
terseok-seok di jurang kemiskinan. Kekuatan-kekuatan ekonomi global telah
berhasil melenakan generasi mudanya yang sebenarnya mereka berpotensi menjadi
pemimpin di sepuluh tahun mendatang.
Pertanyaannya adalah apa yang harus dilakukan gerakan menghadapi tantangan
globalisasi saat ini. Jawabannya bisa kita refers ke kisah Sulaiman ini, yakni
membangun tradisi unggulan! Semula Globalisasi adalah ide, proses, dan ruang
netral, tergantung siapa yang mengendalikan, maka globalisasi akan berpihak
padanya. Islam memiliki nilai-nilai universal sebenarnya dapat berpotensi
mengendalikan dunia global. Tapi faktanya mengapa Barat yang jelas-jelas
bersifat lokal, just in the West, dapat mengendalikan globalisasi menjadi
westernisasi. Akibatnya banyak bangsa yang secara natural memiliki kekhasan
masing-masing, melalui fase globalisasi, tiba-tiba saja mereka terbaratkan.
Nabi Sulaiman adalah raja yang memiliki kendali luas di era global di masanya.
Ia mengendalikan dengan kompetensi yang kuat. Karenanya bangsa dan masyarakat
yang tersentuh dakwah globalnya, akan ter-sibghah dengan nilai dan cahaya
Islam. Oleh karena itu, membangun kompetensi berarti membangun keunggulan
peradaban. Al-Qur’an secara lengkap merekam jejak nabi Sulaiman membangun
kompetensi diri dan kerajaannya. Di sinilah kemudian kita akan memahami rahasia
di balik kehebatan Sulaiman dan sistem kerajaan yang dibangunnya.
Kualitas Sang Pemimpin Peradaban
Kisah-kisah kehebatan dan kebesaran Nabi Sulaiman a.s. (dan kemudian diselidiki
lalu menjadi obsesi bagi orang-orang Yahudi untuk mengembalikan kemegahannya,
yakni membangun kembali kerajaan Solomon di dunia) ini menginspirasi kita untuk
menghadirkannya di masa kini. Anggaplah kerajaan Nabi Sulaiman ini adalah
organisasi internasional yang handal dan institusi yang lengkap seperti di
zaman sekarang (sebagaimana dipaparkan sebelumnya, Beliau pernah berdo'a agar
diberikan kerajaan yang kemegahan dan kehebatannya tidak tertandingi di masanya
dan di masa yang akan datang). Sekarang mari kita terapkan keunggulan budayanya
dalam institusi gerakan kita. Elemen unggul apa saja yang dimiliki oleh
kerajaan Nabi Sulaiman.
Pertama, tradisi ilmiah yang kuat
Dan sesungguhnya Kami telah memberi ilmu kepada Daud dan Sulaiman (15) Kita
tahu bahwa semua nabi dan kebanyakkan manusia mendapat ilmu, tapi mengapa Allah
menekankannya pada nabi Daud dan Sulaiman, tiada lain karena inilah tradisi
pertama dan utama yang diisayaratkan Allah pada hamba-hamba-Nya agar menjadi
prioritas. Era globalisasi adalah era ilmu pengetahuan dan teknologi. Maka
menjadi sangat urgen membekali diri dengan pengetahuan terlebih dahulu.
Membekali pengetahuan berarti meningkatkan ilmu dan wawasan dengan pembelajaran
diri yang intensif bukan dengan diindikasikan oleh nilai tinggi tapi hasil
contekan. Bangsa maju bukanlah bangsa plagiat tapi bangsa discovery dan
inovasi.
Pada ayat itu juga Allah mengisyaratkan dua sosok yang mewakili dua generasi
yang berbeda, hal ini mengisyaratkan pada kita bahwa komunikasi terbaik antar
generasi ini adalah komunikasi pengetahuan. Negera, jama'ah, dan gerakan yang
kuat tradisi ilmiahnyalah yang akan memenangkan persaingan zaman. Sekali lagi,
di sini seolah-olah al-Qur'an mengatakan, bahwa mereka yang memiliki tradisi
mencontek dan plagiasi tidak akan mendapat tempat terhormat di setiap parade
zamannya. Perhatikanlah Daud dan Sulaiman menyikapi ilmu yang Allah lebihkan
pada mereka: dan keduanya mengucapkan: "Segala puji bagi Allah yang melebihkan
kami dari kebanyakan hamba-hambanya yang beriman." (15)
Kedua, kaderisasi yang kokoh dan proaktif
Dan Sulaiman telah mewarisi Daud (16) Perhatikanlah ayatnya, sebagai generasi
pelanjut, Sulaiman menjadi fa'il, pelaku yang proaktif mewarisi kelebihan-kelebihan
ayahnya bahkan melebihi keunggulan kapasitas yang dimiliki ayahnya. Al-Qur'an
dengan begitu cermat menyatakan, bukanlah Daud yang mewariskan kelebihannya
pada Sulaiman melainkan Sulaiman yang proaktif meningkatkan kapasitasnya
seperti dan bahkan melebihi ayahnya. Warisan yang dimaksud bukanlah harta
tetapi kenabian. Rasulullah sendiri pernah mengatakan bahwa para nabi tidak
mewariskan harta pada anak-anaknya. Ibnu katsir mengatakan bahwa harta-harta
sepeninggal para nabi menjadi sedekah bagi umatnya.
Kaderisasi yang kokoh akan baik jika ditopang oleh tradisi generasi pendahulu
yang kuat dan proaktivitas generasi kedua yang progresif. Di sini, seakan kita
dibawa pada pemahaman yang luas bahwa masing-masing kita harus memiliki tradisi
pengkaderan yang solid dan visioner. Seperti dijelaskan tadi, jika kita
perhatikan secara cermat dari ayat ini, kita menemukan sebuah isyarat bahwa
komunikasi antar generasi yang dibangun adalah komunikasi pengetahuan, yang
karena itu hal ini seolah mengajak kita untuk selalu membangun keberlanjutan
peradaban Islam dengan proaktif membaca gagasan para ilmuwan-ulama generasi
sebelum kita.
Ketiga, penguasaan bahasa asing
dan dia berkata: "Hai Manusia, kami telah diberi pengertian tentang bahasa
burung (16) Jika kita ingin unggul dan memiliki pergaulan internasional yang
luas, maka penguasaan bahasa asing adalah suatu kemutlakan, banyak manfaat yang
didapat: kita akan cepat menyerap informasi primer, tidak mudah ditipu dan
ditertawakan bangsa lain, dan karenanya juga kita dapat menyebarkan dakwah dan
propaganda politik kebenaran. Bahasa burung di ayat itu mengisyaratkan sebagai
bahasa asing di luar bahasa yang familiar sebagai manusia biasa. Penguasaan
bahasa asing menjadi kewajiban mutlak bagi aktivis gerakan Islam terutama
bahasa induk al-Qur'an yang membuat kita cerdas (QS. Yusuf: 2).
Nampaknya penguasaan bahasa asing ini menjadi kewajiban yang harus diprogram
oleh gerakan dalam paket program “pengentasan buta bahasa asing di kalangan
aktivis”.
Keempat, kepemilikan sumber daya alam dan manusia
dan kami diberi segala sesuatu. (16) Keberadaan sumber daya (resource) membuat
kita percaya diri untuk membangun sebuah prestasi dan kejayaan. Nabi Sulaiman
diberikan Allah berbagai sumberdaya alam dari mulai angin yang bisa diperintah
hingga daratan dan samudera, bahkan setan dan jin pun di bawah kendalinya,
hingga dalam surat Shad kita menemukan setan yang mengabdi pada Nabi Sulaiman
bekerja sesuai kompetensinya, di bidang penyelaman (kelautan) dan pembangunan
(arsitektural). (QS. Shad: 36-37)
Indonesia adalah negeri yang kaya raya, dari daratan dan lautannya. Di darat
terdapat keragaman alam dari potensi bawah tanahnya berupa barang tambang emas
hingga emas hitam (minyak) sampai potensi keragaman di atas tanahnya. Begitu
juga potensi lautan yang bisa dipanen kapanpun, tanpa terpengaruh musim dan
cuaca, kekayaan yang dimilikinya dapat kita ambil kapan saja kita mau. Namun
jika kemudian pemanfaatannya tidak diimbangi dengan kepemilikan teknologi,
wajar saja ketahanan republik ini selalu kebobolan. Untuk itu sumber daya
manusia (human resource) mutlak untuk dididik terlebih dahulu secara kompeten.
Kelima, manajemen yang canggih
Dan dihimpunkan oleh Sulaiman tentaranya dari jin, manusia dan burung lalu
mereka itu diatur dengan tertib. (17) Bisa anda bayangkan, kerajaan
multinasional yang dibangun oleh Nabi Sulaiman adalah kerajaan atau organisasi
yang supersibuk. Mereka semua sibuk bekerja sesuai pengaturan job
description-nya masing-masing. Tentara atau para pegawai atau para aktivis yang
bekerja dalam kerajaan Sulaiman ini bekerja powerfull, tidak ada satu pun
anggota yang diam diri. Mungkin bisa kita analogikan, jin, manusia, dan burung
tersebut merupakan simbol dari kualitas aktivis atau pegawai yang berbeda-beda,
bekerja dengan tingkat kecepatan sangat, middle, dan biasa-biasa, atau
masing-masing bekerja sesuai dengan sektor atau segmen kelompoknya
masing-masing, dll. Jika kita amati lebih dalam, istilah 'diatur dengan tertib'
yang digunakan al-Qur'an bukanlah sekedar di-tandzim (ditata), melainkan
yuuza'un (diatur dengan tertib).
Keenam, kepekaan sosial yang tinggi
Sulaiman sebagai raja tidak tinggal duduk manis mengatur kerajaannya di atas
kursi empuknya, ia bahkan menghabiskan masa-masanya lebih banyak turun ke
lapangan, hingga ke negeri-negeri yang tandus tempat rakyatnya kekurangan air.
Kepekaan sosial ini juga melatih tentaranya untuk mampu survival di berbagai
tempat. Perjalanan sosial inilah yang kemudian mengantarkan Sulaiman dan
tentaranya tiba di sebuah lembah semut. Di sini juga, kemudian terjadilah
percakapan ’bahasa asing’ itu. ”Hingga ketika mereka sampai di lembah semut,
berkatalah seekor semut, ”Wahai semut-semut! Masuklah ke dalam sarang-sarangmu
agar kamu tidak diinjak oleh Sulaiman dan tentaranya, sedangkan mereka tidak
menyadari.” (18)
Ketujuh, kedisiplinan dan ketegasan
Kerajaan internasional yang dipimpin Nabi Sulaiman a.s. memiliki jadwal-jadwal
khusus untuk melakukan koordinasi dan evaluasi atas program kerajaannya. Bahkan
Nabi Sulaiman pun memiliki rapat pleno yang menghadirkan para pegawai kerajaan
seluruhnya. Semua personalia inti dan undangan diwajibkan untuk datang tepat
waktu. Lebih dari waktu yang ditetapkan akan mendapat sanksinya tersendiri.
Paradigma perusahaan atau kerajaan yang dipimpin Sulaiman ini menyatakan bahwa
ketidakhadiran atau keterlambatan salah satu personalia dalam
pertemuan-pertemuan Sulaiman akan mengganggu kinerja dan kemajuan
perusahaannya. Perhatikanlah bagaimana Sulaiman begitu memperhatikan seluruh
fungsionaris kerajaannya, dan bahkan tidak sekedar memberikan ’perhatian’,
lebih jauh, Sulaiman ’memeriksa’ keberadaan mereka dengan begitu cermat.
Perhatikan ayat berikut: ”Dan dia memeriksa burung-burung lalu berkata,
”Mengapa aku tidak melihat Hud-hud, apakah ia termasuk yang tidak hadir?” (20)
Di samping kerajaan Sulaiman memiliki tradisi kedisiplinan dan ketepatan waktu,
juga Sulaiman memiliki sikap yang tegas atas orang-orang yang tidak menjunjung
tinggi kedisiplinan. ”Pasti akan kuhukum ia dengan hukuman yang berat atau
kusembelih ia, kecuali jika ia datang kepadaku dengan alasan yang jelas.” Dalam
bahasa manajemennya: akan aku berikan punishment atau aku pecat.
Kedelapan, loyalitas individu pada misi dakwah Islam
Jika kembali kita analogikan kerajaan Sulaiman ini dengan pergerakan atau
perusahaan, maka kita akan menemukan bahwa seluruh personalia atau aktivisnya
memiliki loyalitas terhadap misi gerakan atau perusahaan yang tinggi. Sehingga
ke mana langkah kakinya diayunkan, maka langkah itu tidak terlepas dari misi
yang dicanangkan gerakan atau perusahaannya. ”Maka tidak lama kemudian
(datanglah Hud-hud), lalu ia berkata, ”Aku telah mengetahui sesuatu yang belum
kau ketahui. Aku datang kepadamu dari negeri Saba membawa suatu berita yang
meyakinkan.” (22).
Jika kita perhatikan dengan seksama, Hud-hud sebagai burung kecil atau dalam
konteks perusahaan ia tergolong sebagai pegawai bawahan, namun memiliki
kesetaraan yang sama di hadapan rajanya. ”Aku telah mengetahui sesuatu yang
belum kau ketahui. Aku datang kepadamu dari negeri Saba membawa suatu berita
yang meyakinkan.”
Berikut adalah informasi yang didapat Hud-hud dalam perjalanannya di negeri
Saba, ”Sungguh kudapati ada seorang yang memerintah mereka, dan dia dianugerahi
segala sesuatu, serta memiliki singgasana yang besar” (23). Lalu ia
menginformasikan fakta-fakta yang ia temukan berseberangan dan bertolak
belakang dengan misi kerajaan Sulaiman: yakni tauhid. ”Aku dapati dia dan
kaumnya menyembah matahari, bukan kepada Allah; dan setan telah menjadikan
terasa indah perbuatan-perbuatan (buruk) mereka, sehingga menghalangi mereka
dari jalan (Allah), maka mereka tidak mendapat petunjuk. Mereka juga tidak
menyembah Allah yang mengeluarkan apa yang terpendam di langit dan di bumi dan
yang mengetahui apa yang kamu sembunyikan dan yang kamu nyatakan” (24-25)
Menyadari akan kekhilafan Hud-hud yang telah membesar-besarkan kemelimpahan
kekayaan dan kemegahan kerajaan ratu Balqis, Hud-hud pun menganulir
pernyataannya dengan pernyataan: ”Allah, tidak ada tuhan melainkan Dia, Tuhan
yang mempunyai singgasana yang agung.”
Jika diperhatikan lebih jauh, kemaksiatan yang dilakukan manusia pada Tuhannya,
dalam ayat ini akan ikut mengganggu ekosistem hewan dan lingkungannya. Mereka
merasa terganggu keseimbangannya akibat perilaku manusia yang menyimpang. Wajar
jika kemudian Hudhud protes pada Nabi Sulaiman, karena di jamannya, Nabi
Sulaiman-lah yang peka terhadap kegundahan hewan akibat kemaksiatan manusia
itu. Di sini kita mendapat hikmah bahwa burung-burung pun bersemangat ikut
berdakwah dengan memberikan informasi pada Nabi Sulaiman.
Kesembilan, verifikatif dan investigatif
Dalam teori pertahanan ada dua alat pertahanan yang sangat penting, yakni
kekuatan pisik yang meliputi persenjataan maupun body itu sendiri dan
keakuratan informasi. Sulaiman sebagai raja yang mendapat informasi baru dari
Hud-hud, tidak mudah percaya begitu saja, ia berbalik menugaskan Hudhud kembali
mengecek kebenaran informasi itu dengan feedback yang akan muncul ke permukaan
menjadi sebuah peristiwa. Bagi Hudhud ini adalah ujian kejujuran, tapi bagi
Sulaiman ini adalah adalah cara dia memverifikasi kejujuran pegawainya, pada
saat yang sama Sulaiman pun menginvestigasi kebenaran fakta tersebut.
Perhatikan ayat beikut:
”Dia (Sulaiman) berkata, ”Akan kami lihat, apa kamu benar atau termasuk yang
berdusta (27). Pergilah dengan (membawa) suratku ini, lalu jatuhkanlah kepada
mereka, kemudian berpalinglah dari mereka, lalu perhatikan apa yang mereka
bicarakan.(28)”
Kesepuluh, musyawarah
Sembilan tradisi di atas adalah tradisi unggul dari kerajaan Sulaiman.
Al-Qur’an secara tersirat mencantumkan satu keunggulan budaya kerajaan yang
dimiliki ratu Balqis, yakni tradisi syura. Perhatikanlah. ”Dia (Balqis)
berkata, ”Wahai para pembesar! Sesungguhnya telah disampaikan kepadaku sebuah surat
yang mulia.” (29) ”Sesungguhnya (surat) itu dari Sulaiman yang isinya, ”Dengan
nama Allah Yang Maha Pengasih Maha Penyayang.(30) Janganlah engkau berlaku
sombong terhadapku dan datanglah kepadaku sebagai orang-orang yang berserah
diri.”(31) ”Wahai para pembesar! Berilah aku pertimbangan dalam perkaraku
(ini). Aku tidak pernah memutuskan sebuah perkara sebelum kamu memberi
kesaksian.” (32)
Perhatikan dengan cermat bagaimana jawaban PARA PEMBESAR kerajaannya, walaupun
Balqis membuka peluang brainstorming dan bermusyawarah dalam
persoalan-persoalan kerajaan, para pembesar itu tidak memiliki gagasan cerdas
atau pengetahuan yang solid atau informasi yang akurat yang dibutuhkan kerajaan
dalam memutuskan persoalan mereka. Justru yang nampak adalah sikap pragmatisme
yang tidak berangkat dari kematangan cakrawala peradaban. ”Mereka menjawab,
”Kita memiliki kekuatan dan keberanian yang luar biasa (untuk berperang), dan
keputusan ada padamu. Maka pertimbangkanlah apa yang akan engkau perintahkan.”
(33)
Bandingkan dengan jawaban PEGAWAI Sulaiman, jawabannya lebih visioner,
mencerminkan keberpihakan pada misi kebenaran gerakan, penuh gagasan, dan
informasi yang akurat. Syura yang seperti inilah yang diharapkan. Keseimbangan
dan kesetaraan antara mas’ul (ketua) dan jundinya (anggotanya). Keputusan tidak
begitu saja tergantung pada mas’ulnya, tetapi ditanggungjawabi oleh mereka yang
syura. Kesetaraan raja dan pegawainya ini bermuara dari satu kata kuncinya,
yakni berangkat dari visi dan misi yang sama dan menjadi kepribadian mereka
yang telah melekat.
Dalam manajemen organisasi modern abad 21, digagas bahwa organisasi yang ideal
adalah organisasi yang seolah tidak membutuhkan pemimpinnya. Pergantian
kepemimpinan tidak ikut merubah misi besar perusahaannya. Di sini tidak ada
ketergantungan pada personal. Dalam pengalaman salah satu gerakan Islam
terbesar saat ini, misalnya, ketiadaan Hasan al-Banna tidak menyurutkan atau
membelokkan visi dan misi gerakan IM dari dakwahnya, bahkan semakin membesar
kepak sayapnya, begitu juga dengan gerakan Islam lainnya. Gerakan-gerakan Islam
mewujud lebih dikarenakan misi besar peradaban yang menjadi obsesinya untuk
menuntaskan sebuah megaproyek. Maka siapapun pemimpinanya, mereka komitmen
dengan misi yang telah dicanangkan bersama.
Kesebelas, rabbaniyah
Kerajaan Sulaiman walaupun kaya raya, tidak menjadikannya lupa diri, bahkan
kekayaannya itu sendiri bukanlah tujuan hidupnya, melainkan sebagai sarana
dakwahnya. Sehingga tidak ada tradisi korupsi, gratifikasi, maupun terbeli oleh
bentuk material lainnya. Di era global dan menjelang pasar bebas saat ini,
perputaran keluar masuk harta sangat tak terhindarkan. Jika tidak hati-hati
dari mana sumbernya dan untuk apa, maka dia akan terbeli oleh dunia. Contohlah
sikap Sulaiman, ketika diuji dengan hadiah material oleh ratu Balqis. ”Dan
sungguh, aku akan mengirim utusan kepada mereka dengan (membawa hadiah), dan
aku akan menunggu apa yang akan dibawa oleh para utusan itu.” (35)
Inilah sikap Sulaiman: ”Maka ketika para utusan itu sampai kepada Sulaiman, dia
(Sulaiman) berkata, ”Apakah kamu akan memberikan harta kepadaku lebih baik
daripada apa yang Allah berikan kepadamu; tetapi kamu merasa bangga dengan
hadiahmu.” (36)
Bangunan tradisi Nabi Sulaiman a.s. dan kerajaannya adalah bangunan
kesetimbangan antara kekuatan spiritualitas keimanan dan materialitas kerajaan.
Dari sisi material, Nabi Sulaiman membangun kerajaannya dengan
kemegahan-kemegahan hingga dapat dikatakan proyek-proyek mercusuar. Seperti
gedung-gedung yang tinggi, patung-patung monumental, bahkan piring-piring besar
sebesar kolam, dan lain-lain. Para jin itu membuat untuk Sulaiman apa yang
dikehendakinya dari gedung-gedung yang tinggi dan patung-patung dan
piring-piring yang (besarnya) seperti kolam dan periuk (yang tetap berada) di
atas tungku. (QS. Saba’: 13)
Kemegahan-kemegahan bukanlah hal yang tabu, justru dalam pergaulan antara
negara dan peradaban, hal ini menjadi penting bagi sebuah persaingan dengan
kerajaan lainnya. Sebab menaklukan kesombongan kemegahan material kerajaan lain
dengan kemegahan material yang lebih dahsyat dengan dihiasai akhlak yang tinggi
adalah bentuk ketawadhu’an juga. Tapi kemegahan ini, dalam konsep zuhud, tidak
dimasukkan ke dalam hati, cukup di tangan, dan bukan menjadi tujuan hidup. Bagi
kita secara individual kekayaan itu jangan melenakan, tapi dalam konteks
kelembagaan kekayaan gerakan, jamaah, perusahaan, organisasi, dan negara sangat
penting. Yang penting dalam hal ini adalah niatan kolektif kita, transparansi
dan akuntabilitasnya dapat dipertanggung jawabkan serta tidak menyakiti
perasaan kaum mustadh’afin.
Kesetimbangan Rabbaniyah antara kekuatan keimanan dan material ini tercermin
pula dalam al-Qur’an surat al-Hadid (Besi) ayat 25 dengan tiga hal: al-Kitab,
al-Mizan, dan al-Hadid. Wahyu, keseimbangan, dan besi.
Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-rasul kami dengan membawa bukti-bukti
yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka al-Kitab dan neraca
(keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. Dan Kami ciptakan besi
yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia,
(supaya mereka mempergunakan besi itu) dan supaya Allah mengetahui siapa yang
menolong (agama)-Nya dan Rasul-rasul-Nya padahal Allah tidak dilihatnya.
Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa. (QS. Al-Hadid: 25)
Mentadabburi ayat ini akan menyadarkan kita, betapa umat Islam begitu
tertinggal di sisi teknologi material, yang sebenarnya telah diisyaratkan
urgensinya oleh Allah 1400 tahun yang lalu. Hal ini menjadi rekomendasi bagi
kaum muslimin yang bekerja di wilayah konstruksi, pertambangan, telekomunikasi,
teknologi dan lain-lainnya agar mengoptimalkan kekuatan teknologinya untuk
dipergunakan sebesar-besarnya demi kebaikan dan membela agama Allah dan
Rasul-Nya.
Keduabelas, militer yang kuat
Dalam konteks pertahanan ada semacam adagium yang berkembang: barangsiapa yang
mengharapkan perdamaian maka bersiaplah menghadapi peperangan. Begitu pula
dalam konteks dialog peradaban, ketika komitmen damai secara politik atau
ekonomi itu tidak ada, maka kekuatan militer adalah jawaban terakhir. Karenanya
perlombaan kekuatan militer dunia selalu mengarah pada upaya persiapan ini:
jumlah pasukan, tingkat keterlatihan, teknologi persenjataan, intelejen dan
spionase, dan kekuatan-kekuatan strategis lainnya (QS. Al-Anfal: 60-61).
Kisah Sulaiman mengajarkan kita sebuah sikap yang elegan, ketika harga diri
ajakan dakwah peradabannya tidak diindahkan, maka Sulaiman pun mengambil
keputusan besar: ”Kembalilah kepada mereka! Sungguh, kami pasti akan mendatangi
mereka dengan bala tentara yang mereka tidak mampu melawannya, dan akan kami
usir mereka dari negeri itu (Saba’) secara terhina sedangkan mereka akan
menjadi (tawanan) yang hina dina.” (37)
Apa yang diucapkan Nabi Sulaiman bukanlah gertak sambal. Bala tentara yang
tidak terkalahkan itu adalah kenyataan. Bagi umat Islam dan bangsa Indonensia
penyiapan di sisi pertahanan dan militer perlu mendapat perhatian. Kemampuan
teknologi militer dan persenjataan ini dalam pergaulan internasional
sesungguhnya dapat meningkatkan harkat dan martabat negara. Jika di sisi ini
kuat begitu pula di sisi lainnya, SDM, Ilmu pengetahuan dan teknologi, sistem
sosial, ekonomi, politik dan kepemimpinan pemerintahan, maka bangsa ini tidak
mudah diinterpensi.
Ketigabelas, teknologi super
Nabi Sulaiman adalah raja yang cerdas, upaya dakwah harus lebih dikedepankan
sebelum kekuatan militer menjadi jawaban akhir. Maka Sulaiman pun menggunakan
upaya pendekatan yang di akhir kisah akan memukau pesona peradaban ilmu,
peradaban Islam. Perhatikanlah: Dia (Sulaiman) berkata, ”Wahai para pembesar!
Siapakah di antara kamu yang sanggup membawa singgasananya kepadaku sebelum
mereka datang kepadaku menyerahkan diri?” (38)
Ifrit dari golongan jin berkata, ”Akulah yang akan membawanya kepadamu sebelum
engkau berdiri dari tempat dudukmu; dan sungguh aku kuat melakukannya dan dapat
dipercaya.” (39)
Dalam sebuah riwayat, dikatakan bahwa ternyata jin tersebut tidak dapat
memindahkannya, hingga Sulaiman berdiri dari tempat duduknya. Sekarang
perhatikan orang berilmu mengajukan diri: Seorang yang mempunyai ilmu dari
Kitab berkata, ”Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu
berkedip.”
Maka ketika dia (Sulaiman) melihat singgasana itu terletak di hadapannya, dia
pun berkata, ”Ini termasuk karunia Tuhan untuk mengujiku, apakah aku bersyukur
atau mengingkari (nikmat-Nya). Barang siapa bersyukur, maka sesungguhnya dia
bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri, dan barang siapa ingkar, maka
sesungguhnya Tuhanku Mahakaya, Mahamulia.” (40)
Di era sekarang kita butuh orang-orang berilmu pengetahuan seperti di atas yang
dapat dimanfaatkan untuk kebaikan yang seluas-luasnya. Penggunaan alat-alat
mistik sangat tidak relevan untuk membangun sebuah negara yang kuat.
Sebagaimana diceritakan ayat di atas, orang-orang berpengetahuanlah yang dapat
menghadirkan keinginan-keinginan dan kebaikan-kebaikan. Dalam konteks
peradaban, akan kita temukan sebuah aksioma bahwa peradaban yang menang adalah
peradaban yang memiliki tingkat pengetahuan dan kecanggihan teknologi yang
tinggi.
Keempatbelas, kreativitas
Ini adalah ’cara perantara’ Sulaiman untuk menguji objek dakwahnya. Kreativitas
juga bermanfaat untuk membedakan mana yang tsawabit (tetap) sebagai asholahnya
(keasliannya) dan mana yang mutaghayirat (boleh berubah) sebagai ruang
inovasinya. Dia (Sulaiman) berkata, ”Ubahlah untuknya singgasananya; kita akan
melihat apakah dia (Balqis) mengenal; atau tidak mengenalnya lagi.” (41)
Dalam konteks dakwah, gerakan, dan peradaban, kreativitas adalah satu hal yang
mutlak dimiliki, baik dalam menciptakan sesuatu yang baru maupun memodifikasi
warisan yang telah ada. Kita pun harus memadukan potensi otak kiri yang sangat
sistemik dan terukur itu dengan otak kanan yang sangat imajinatif dan kreatif.
Kreativitas adalah keniscayaan yang perlu dibiasakan dalam tradisi pembelajaran
dan dakwah kita. Tanpa kreativitas, kejemuan akan menghinggap, selain membuat
suntuk, juga akan mematikan potensi-potensi yang dapat dikembangkan.
Kelimabelas, dialog peradaban dan kemampuan berdiplomasi
Kisah Sulaiman dan ratu Balqis adalah kisah dialog peradaban yang mempesonakan.
Dialog ini bukanlah dialog toleransi, melainkan lebih sebagai dialog kebenaran
yang menguji kualitas antar peradaban. Pada saat yang sama juga akan menguji
tingkat kemampuan berdiplomasi antar pemimpin peradaban. Maka ketika dia
(Balqis) datang, ditanyakanlah (kepadanya), ”Serupa inikah singgasanamu?”
Agar dia tidak jatuh harga diri dan kerajaannya di depan Sulaiman, maka dia pun
menjawab dengan diplomatis. Perhatikan jawabannya: Dia (Balqis) menjawab,
”Seakan-akan itulah dia.” (42) Jawaban ini menunjukkan keraguan dan keheranan
Balqis atas apa yang sedang terjadi di hadapannya. Ia tidak percaya kalau
singgasananya ada di depannya di lingkungan kerajaan Sulaiman. Jika ia
mengatakan ‘benar itu singgasanaku’ maka hal itu menunjukkan kekalahannya. Jika
ia mengatakan ‘tidak, itu bukan singgasanaku’ berarti ia telah menipu diri
sendiri, sebab ia sejujurnya takjub, mengapa Sulaiman dapat menduplikat
singgasananya dengan akurat. Pernyataan diplomatisnya tadi kemudian dia
tambahkan, (Dan Balqis berkata), ”Kami telah diberikan pengetahuan sebelumnya
dan kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah).” (42)
Subhanallah. Itulah lima belas elemen keunggulan dalam peradaban kerajaan Sulaiman
dan Balqis. Hal ini juga yang seharusnya menginspirasi kita membangun peradaban
Islam. Tradisi ilmiah, kaderisasi, manejemen aset dan sumber daya,
kedisiplinan, tradisi syura, rabbaniyah, kekuatan militer, hingga kecanggihan
teknologi dan kemampuan diplomasi adalah elemen-lemen penting untuk kita
terapkan dalam tradisi umat dan bangsa ini, setidaknya dalam konteks mikro,
dalam organisasi kita.
Saatnya Menjemput Sang Impian
Jika kita mengikuti langkah Sulaiman dalam membangun tradisi diri dan kerajaannya
yang unggul, maka kita akan menemukan sebuah fakta bahwa peradaban yang lain
pun akan terpesona karenanya. Ketahuilah, bahwa ratu muda Balqis itu kemudian
masuk Islam karena pesona peradaban pengetahuan dan rabbaniyah Sulaiman yang
menjelma di alam nyata.
Dikatakan kepadanya: ”Masuklah ke dalam Istana”. Maka tatkala dia melihat
lantai istana itu, dikiranya kolam air yang besar, dan disingkapkannya kedua
betisnya.
Berkatalah Sulaiman: ”Sesungguhnya ia adalah istana licin terbuat dari kaca”.
Benar, karena kerajaan kacanya dibuat di atas pantai laut yang mengombak indah
dengan hiasan laut dan ikan-ikan indah di bawahnya yang dilapisi lantai tebal,
bening dan licin yang terbuat dari kaca sehingga menipu mata bagai menginjak
kolam lautan yang indah.
Perhatikanlah bagaimana reaksi Balqis melihat kenyataan yang agung ini: ”Ya
Tuhanku, sesungguhnya aku telah berbuat zalim terhadap diriku dan aku berserah
diri bersama Sulaiman kepada Allah, Tuhan semesta alam”.(44)
Dari doa dan ungkapan Balqis itu, kalimat ma’a Sulaimana menyiratkan sebuah
pesan yang implisit, bahwa dia baru menyerahkan diri (aslama) pada Allah itu
hanya bersama Sulaiman, ketika itu dan untuk selanjutnya. Seakan ini memberikan
isyarat bagi pemuda yang akan menjemput impiannya: jemputlah ia dengan pesona
pengetahuan dan kreasi kerajaan kecilmu.
Sumber : http://rijalulimam.blogspot.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar