oleh Syamsi Ali
Diiringi gema "Allahu Akbar!", siang itu pria cokelat asal Trinidad itu resmi menjadi Muslim setelah mengucapkan syahadat menjelang shalat Ashar
Pemuda berkulit cokelat asal
Trinidad itu terpana melihat pemandangan di depannya. Mata Dion, yang berusia 26
tahun itu, tak henti-henti mengarah ke sekelompok Muslim yang sedang shalat
dengan khusyu'nya di tengah riuh-rendah stasiun kereta di sebuah kota di Belgia.
Dion seperti tersambar petir. "Saya nggak tahu, tiba-tiba karena melihat mereka
shalat di stasiun hati saya bergetar," katanya.
Seusai mereka shalat, Dion
memberanikan diri bertanya, siapa mereka dan apa gerangan yang mereka baru
lakukan? Setelah mendapatkan jawaban dari mereka, pemuda yang bekerja sebagai
akuntan di Stamford, Connecticut, itu tidak pernah habis berpikir. Ada pikiran
yang berkecamuk keras, antara percaya dengan perasaannya sendiri dan apa yang
dia kenal selama ini tentang Islam.
Tiga minggu sesudah kejadian itu,
Dion bertemu saya di the Islamic Forum for non Muslim New York yang
saya asuh. Rambutnya panjang. Gaya berpakaiannya membuatku hampir tidak percaya
kalau hatinya begitu lembut menerima hidayah Ilahi. Biasanya ketika menerima
pendatang baru di kelas ini, saya mulai menjelaskan dasar-dasar Islam sesuai
kebutuhan dan pengetahuan masing-masing peserta. Tapi hari itu, tanpa
kusia-siakan kesempatan, saya jelaskan makna shalat dalam kehidupan manusia,
khususnya dalam konteks manusia modern yang telah mengalami kekosongan
spiritualitas.
Hampir sejam saya jelaskan hal itu
kepada Dion dan pendatang baru lainnya. Hampir tidak ada pertanyaan serius,
kecuali beberapa yang mempertanyakan tentang jumlah shalat yang menurut mereka
terlalu banyak. "Apa lima kali sehari tidak terlalu berat?" tanya seseorang.
"Sama sekali tidak. Bagi seorang Muslim, shalat 5 waktu bahkan lebih dari itu
adalah rahmat Allah," jawabku. Biasanya saya membandingkan dengan makan, minum,
istirahat untuk kebutuhan fisik.
Setelah kelas bubar, Dion ingin
berbicara berdua. Biasanya saya tergesa-gesa karena harus mengisi pengajian di
salah satu masjid lainnya. "Saya rasa Islam lah yang benar-benar saya butuhkan.
Apa yang harus saya lakukan untuk menjadi Muslim?" tanyanya tanpa tedeng
aling-aling.
Saya diam sejenak, lalu saya bilang,
"Saya bukannya mau menunda jika kamu benar-benar yakin bahwa ini jalan yang
benar untuk kamu. Tapi coba pastikan, apakah keputusan ini datang dari dalam
dirimu sendiri."
Dengan bersemangat Dion kemudian
menjawab, "Sejak dua minggu lalu, saya mencari-cari jalan untuk mengikuti agama
ini. Beruntung saya kesini hari ini. Kasih tahu saya harus ngapain?" katanya
lagi.
Alhamdulillah, siang itu
juga Dion resmi menjadi Muslim setelah mengucapkan syahadat menjelang shalat
Ashar. Diiringi gema "Allahu Akbar!" dia menerima ucapan selamat dari
ratusan jama'ah yang shalat Ashar di Islamic Center of New York.
Sabtu lalu, 8 April, Dion termasuk
salah seorang peserta yang mengikuti ceramah saya di Yale University dengan tema
"Islam, Freedom and Democracy in Contemporary Indonesia". Pada
kesempatan itu saya perkenalkan dia kepada masyarakat Muslim yang ada di
Connecticut, khususnya Stamford. Sayang, belum ada tempat di daerahnya di mana
dia bisa mendalami Islam lebih jauh. Hingga kini, dia masih bolak balik
Stamford-New York yang memakan waktu sekitar 1 jam, untuk belajar Islam.
Semoga Dion dikuatkan dan selalu
dijaga dalam lindunganNya!
New York, 11 April
2006
*) Penulis adalah imam Masjid Islamic
Cultural Center of New York. Tulisan ini dimuat di www.hidayatullah.com
|
30 September 2011
Shalat di Stasiun Menggetarkan Hatiku
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar