“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
pernah pingsan ketika sakit,” tutur Salim bin ‘Ubaid radhiyallahu ‘anhu memulai
kisah kematian Rasulullah.
Setelah siuman, Rasulullah bertanya,
“Apakah waktu shalat telah tiba?”
Para Sahabat menjawab, “Ya.”
“Perintahkan kepada Bilal agar dia
mengumandangkan adzan, dan perintahkan kepada Abu Bakar agar ia mengimami
shalat, agar ia menjadi imam shalat bagi kaum Muslimin!”
Kemudian Rasulullah kembali pingsan.
Setelah siuman lagi, beliau bertanya, “Apakah waktu shalat telah tiba?”
Para Sahabat menjawab, “Ya.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda kembali, “Perintahkan kepada Bilal agar dia mengumandangkan adzan, dan
perintahkan kepada Abu Bakar agar ia mengimami shalat!”
Mendengar perintah itu, Aisyah berkata,
“Sesungguhnya ayahku adalah seorang ’Asiif (mudah menangis). Apabila ia
melakukan apa yang engkau perintahkan itu, niscaya ia akan menangis dan tidak
bisa melanjutkannya. Seandainya engkau perintahkan kepada yang lainnya (tentu
hal itu lebih baik)?”
Kemudian beliau pingsan lagi. Setelah
siuman, beliau bersabda, “Perintahkan kepada Bilal agar dia mengumandangkan
adzan, dan perintahkan kepada Abu Bakar agar ia mengimami shalat. Sesungguhnya
kalian (para wanita) seperti kaum wanita Nabi Yusuf!”
Maksud Rasulullah adalah bahwa Aisyah
seperti kaum wanita Nabi Yusuf dalam hal tidak menampakkan secara lahiriyah apa
yang sebenarnya ada pada hati mereka, sebagaimana dijelaskan dalam Fa-thul
Bari. ‘Aisyah mengatakan demikian supaya orang-orang tidak memberikan penilaian
negatif terhadap ayahnya radhiyallahu ‘anhu. Makna ini tertera dalam Shahiihul
Bukhari dan Muslim.
Lalu Bilal radhiyallahu ‘anhu
diperintahkan untuk adzan dan Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu diperintahkan untuk
mengimami shalat kaum Muslimin.
Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam merasakan kondisinya agak membaik, beliau bersabda, “Carilah orang
yang akan memapahku!”
Maka datanglah Burairah radhiyallahu
‘anhu dan dan seorang laki-laki lainnya. Dalam riwayat lain, Rasulullah dipapah
Abbas, putranya Fadhl, dan atau Ali bin Abi Thalib. Lalu Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam dipapah oleh keduanya menuju masjid. Ketika Abu Bakar
melihatnya, ia pun mundur ke belakang agar Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam dapat menempati posisinya. Akan tetapi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam mengisyaratkan kepadanya agar ia tetap di tempatnya hingga Abu Bakar
radhiyallahu ‘anhu menyelesaikan shalatnya.
Pada suatu hari karena Abu Bakar tidak
ada di tempat ketika oleh Bilal dipanggil hendak bersembahyang, maka Umar lah
yang dipanggil untuk memimpin orang-orang bersembahyang sebagai pengganti Abu
Bakar. Oleh karena Umar orang yang punya suara
lantang, maka ketika mengucapkan takbir
di mesjid, suaranya terdengar oleh Muhammad dari rumah Aisyah.
“Mana Abu Bakar?” tanyanya. “Allah dan
kaum Muslimin tidak menghendaki yang demikian.”
Dengan demikian orang dapat menduga,
bahwa Nabi menghendaki Abu Bakar sebagai penggantinya kemudian, karena memimpin
orang-orang bersembahyang sudah merupakan tanda pertama untuk menggantikan
kedudukan Rasulullah.
Tatkala sakitnya sudah makin keras, panas
demamnya makin memuncak, isteri-isteri dan tamu-tamu yang datang menjenguknya,
bila meletakkan tangan di atas selimut yang dipakainya, terasa sekali panas
demam yang sangat meletihkan itu. Dan Fatimah puterinya, setiap hari datang
menengok. Ia sangat mencintai puterinya itu, cinta seorang ayah kepada anak
yang hanya tinggal satu-satunya sebagai keturunan.
Apabila ia datang menemui Nabi, ia
menyambutnya dan menciumnya, lalu didudukkannya di tempat ia duduk. Tetapi
setelah sakitnya demikian payah, puterinya itu datang menemuinya dan mencium
ayahnya.
“Selamat datang, puteriku,” katanya. Lalu
didudukkannya ia disampingnya. Ada kata-kata yang dibisikkannya ketika itu,
Fatimah lalu menangis. Kemudian dibisikkannya kata-kata lain Fatimah pun jadi
tertawa. Bila hal itu oleh Aisyah ditanyakan, ia menjawab:
“Sebenarnya saya tidak akan membuka
rahasia Rasulullah shalallahu alaihi wasallam.”
Tetapi setelah Rasul wafat, ia
mengatakan, bahwa ayahnya membisikkan kepadanya, bahwa ia akan meninggal oleh
sakitnya sekali ini. Itu sebabnya Fatimah menangis. Kemudian dibisikkannya
lagi, bahwa puterinya itulah dari keluarganya yang pertama kali akan menyusul.
Itu sebabnya ia tertawa.
Karena panas demam yang tinggi itu,
sebuah bejana berisi air dingin diletakkan disampingnya. Sekali-sekali ia
meletakkan tangan ke dalam air itu lalu mengusapkannya ke muka. Begitu
tingginya suhu panas demam itu, kadang ia sampai tak sadarkan diri. Kemudian ia
sadar kembali dengan keadaan yang sudah sangat payah sekali. Karena perasaan
sedih yang menyayat hati, pada suatu hari Fatimah berkata mengenai penderitaan
ayahnya itu, “Alangkah beratnya penderitaan ayah!”
“Tidak. Takkan ada lagi penderitaan
ayahmu sesudah hari ini,” jawabnya. Maksudnya ia akan meninggalkan dunia ini,
dunia duka dan penderitaan.
Suatu hari sahabat-sahabatnya berusaha
hendak meringankan penderitaannya itu dengan mengingatkan kepada
nasehat-nasehatnya, bahwa orang yang menderita sakit jangan mengeluh. Ia
menjawab, bahwa apa yang dialaminya dalam hal ini lebih dari yang harus dipikul
oleh dua orang. Dalam keadaan sakit keras serupa itu dan di dalam rumah banyak
orang, ia berkata, “Bawakan dawat dan lembaran, akan ku (minta) tuliskan surat
buat kamu, supaya sesudah itu kamu tidak lagi akan pernah sesat.”
Dari orang-orang yang hadir ada yang
berkata, bahwa sakit Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam sudah sangat gawat;
pada kita sudah ada Qur’an, maka sudah cukuplah dengan Kitabullah itu. Ada yang
menyebutkan, bahwa Umarlah yang mengatakan itu. Di kalangan yang hadir itu
terdapat perselisihan. Ada yang mengatakan: Biar dituliskan, supaya sesudah itu
kita tidak sesat. Ada pula yang keberatan karena sudah cukup dengan Kitabullah.
Setelah melihat pertengkaran itu,
Muhammad berkata: “Pergilah kamu sekalian! Tidak patut kamu berselisih di
hadapan Nabi.” Tetapi Ibn ‘Abbas masih berpendapat, bahwa mereka membuang waktu
karena tidak segera menuliskan apa yang hendak dikatakan oleh Nabi. Sebaliknya
Umar masih tetap dengan pendapatnya, bahwa dalam Kitab Suci Tuhan berfirman,
“Tiada sesuatu yang Kami abaikan dalam Kitab itu.” (Qur’an, 6:38)
Berita sakitnya Nabi yang bertambah keras
itu telah tersiar dari mulut ke mulut, sehingga akhirnya Usamah dan anak
buahnya yang ada di Jurf itu turun pulang ke Medinah. Bila Usamah kemudian
masuk menemui Nabi di rumah Aisyah, Nabi sudah tidak dapat berbicara. Tetapi
setelah dilihatnya Usamah, ia mengangkat tangan ke atas kemudian meletakkannya
kepada Usamah sebagai tanda mendoakan.
Melihat keadaannya yang demikian
keluarganya berpendapat hendak membantunya dengan pengobatan. Asma’- salah
seorang kerabat Maimunah-telah menyediakan semacam minuman, yang pernah
dipelajari cara pembuatannya selama ia tinggal di Abisinia. Tatkala Nabi sedang
dalam keadaan pingsan karena demamnya itu, mereka mengambil kesempatan
menegukkan minuman itu ke mulutnya. Bila ia sadar kembali ia bertanya, “Siapa
yang membuatkan ini? Mengapa kamu melakukan itu?”
“Kami kuatir Rasulullah menderita sakit
radang selaput dada,” kata ‘Abbas pamannya.
“Allah tidak akan menimpakan penyakit yang
demikian itu kepadaku.”
Kemudian disuruhnya semua yang hadir
dalam rumah supaya meminum obat itu, tidak terkecuali Maimunah meskipun sedang
berpuasa.
Muhammad memiliki harta tujuh dinar
ketika penyakitnya mulai terasa berat. Kuatir bila ia meninggal harta masih di
tangan, maka dimintanya supaya uangnya itu disedekahkan. Tetapi karena
kesibukan mereka merawat dan mengurus selama sakitnya dan penyakit yang masih
terus memberat, mereka lupa melaksanakan perintahnya itu. Setelah hari
Minggunya sebelum hari wafatnya ia sadar kembali dari pingsannya, ia bertanya
kepada mereka, “Apa yang kamu lakukan dengan (dinar) itu?”
Aisyah menjawab, bahwa itu masih ada di
tangannya. Kemudian dimintanya supaya dibawakan. Ketika uang itu sudah
diletakkan di tangan Nabi, ia berkata, “Bagaimanakah jawab Muhammad kepada
Tuhan, sekiranya ia menghadap Allah, sedang ini masih di tangannya.”
Kemudian semua uang dinar itu disedekahkan
kepada fakir-miskin di kalangan Muslimin.
Malam itu Muhammad dalam keadaan tenang.
Panas demamnya sudah mulai turun, sehingga seolah karena obat yang diberikan
keluarganya itulah yang sudah mulai bekerja dan dapat melawan penyakitnya.
Sampai-sampai karena itu ia dapat pula di waktu subuh keluar rumah pergi ke
mesjid dengan berikat kepala dan bertopang kepada Ali bin Abi Talib dan Fadhl
bin Abbas. Abu Bakar waktu itu sedang mengimami orang-orang bersembahyang.
Setelah kaum Muslimin yang sedang melakukan salat itu melihat Nabi datang,
karena rasa gembira yang luarbiasa, hampir-hampir mereka terpengaruh dalam
sembahyang itu. Tetapi Nabi memberi isyarat supaya mereka meneruskan salatnya.
Bukan main Muhammad merasa gembira melihat semua itu.
Abu Bakar merasa apa yang telah dilakukan
mereka itu, dan yakinlah dia bahwa mereka tidak akan berlaku demikian kalau
tidak karena Rasulullah. Ia surut dari tempat sembahyangnya untuk memberikan
tempat kepada Muhammad. Tetapi Muhammad mendorongnya dari belakang seraya katanya
Pimpin terus orang bersembahyang. Dia sendiri kemudian duduk di samping Abu
Bakar dan sembahyang sambil duduk di sebelah kanannya
Selesai sembahyang ia menghadap kepada
orang banyak, dan kemudian berkata dengan suara agak keras sehingga terdengar
sampai ke luar mesjid, “Saudara-saudara. Api (neraka) sudah bertiup. Fitnah pun
datang seperti malam gelap gulita. Demi Allah, janganlah
kiranya kamu berlindung kepadaku tentang apa pun. Demi Allah, aku tidak akan
menghalalkan sesuatu, kecuali yang dihalalkan oleh Qur’an, juga aku tidak akan
mengharamkan sesuatu, kecuali yang diharamkan oleh Qur’an. Laknat Tuhan kepada
golongan yang mempergunakan pekuburan mereka sebagai mesjid.”
Melihat tanda-tanda kesehatan Nabi yang bertambah maju, bukan main
gembiranya kaum Muslimin, sampai-sampai Usamah bin Zaid datang menghadap
kepadanya dan minta ijin akan membawa pasukan ke Syam, dan Abu Bakarpun datang
pula menghadap dengan mengatakan, “Rasulullah! Saya lihat engkau sekarang
dengan karunia dan nikmat Tuhan sudah sehat kembali. Hari ini adalah bagian
Bint Kharija. Bolehkah saya mengunjunginya?”
Nabi pun mengijinkan. Abu Bakar segera berangkat pergi ke Sunh di luar
kota Medinah – tempat tinggal isterinya. Umar dan Ali juga lalu pergi dengan urusannya masing-masing. Kaum
Muslimin sudah mulai terpencar-pencar lagi. Mereka semua dalam suasana
suka-cita dan gembira sekali, – sebab sebelum itu mereka semua dalam kesedihan,
berwajah suram setelah mendapat berita bahwa Nabi dalam keadaan sakit, demamnya
semakin keras sampai ia pingsan.
Kemudian minta disediakan sebuah bejana
berisi air dingin dan dengan meletakkan tangan ke dalam bejana itu ia
mengusapkan air ke wajahnya; dan bahwa ada seorang laki-laki dari keluarga Abu
Bakar datang ke tempat Aisyah dengan sebatang siwak di tangannya. Muhammad
memandangnya demikian rupa, yang menunjukkan bahwa ia menginginkannya. Oleh
Aisyah benda yang di tangan kerabatnya itu diambilnya, dan setelah dikunyah
(ujungnya) sampai lunak diberikannya kepada Nabi. Kemudian dengan itu ia
menggosok dan membersihkan giginya.
Sementara ia sedang dalam sakratulmaut,
ia menghadapkan diri kepada Allah sambil berdoa, “Allahumma ya Allah! Tolonglah
aku dalam sakratulmaut ini.”
Aisyah berkata -yang pada waktu itu
kepala Nabi berada di pangkuannya, “Terasa olehku Rasulullah shalallahu ‘alaihi
wasallam sudah memberat di pangkuanku. Kuperhatikan air mukanya, ternyata
pandangannya menatap ke atas seraya berkata, “Ya Rafiq Al A’la, dari surga.”
“Kataku, ‘Engkau telah dipilih maka engkau pun telah memilih. Demi Yang
mengutusmu dengan Kebenaran.’ Maka Rasulullah pun berpulang sambil bersandar
antara dada dan leherku dan dalam giliranku. Aku pun tiada menganiaya orang
lain. Dalam kurangnya pengalamanku dan usiaku yang masih muda, Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wasallam berpulang ketika ia di pangkuanku. Kemudian
kuletakkan kepalanya di atas bantal, aku berdiri dan bersama wanita-wanita lain
aku memukul-mukul mukaku.”
Kemudian berita kematian Rasulullah
menyebar ke segenap Madinah.
Umar bin Khathab radhiyallahu ‘anhu
berkata, ”Demi Allah jika aku mendengar seseorang mengatakan bahwa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam telah wafat, maka aku akan membunuhnya dengan
pedangku ini.”
Semua orang yang ada ketika itu adalah
orang yang tidak dapat membaca (umi). Belum pernah ada Nabi yang diutus kepada
mereka sebelumnya. Orang-orang pun tidak ada yang berani mengomentari perihal
wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka berkata, “Wahai Salim!
Pergi dan temuilah salah seorang Sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam, lalu panggilah ia.”
Salim bin Ubaid pun bergegas menemui Abu Bakar yang saat itu berada di
masjid. Aku menemuinya sambil menangis. Dan ketika Abu Bakar melihatku, ia
bertanya, “Apakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah wafat?”
Ia menjawab, “Sesungguhnya ‘Umar mengatakan, “Tidaklah aku mendengar
seseorang mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah wafat,
melainkan aku akan membunuhnya dengan pedangku ini!’”
Lalu Abu Bakar berkata, “Bergegaslah engkau.”
Kemudian mereka bergegas pergi bersamanya. Ketika Abu Bakar datang,
orang-orang telah lebih dahulu masuk dan melihat jasad Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam. Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu berkata:”Wahai orang-orang
berikan jalan untukku!’ Mereka lalu memberikan jalan untuknya sehingga Abu
Bakar langsung memeluk dan menyentuh jasad Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam, seraya mengucapkan, “Sesungguhnya kamu akan mati dan mereka akan mati
(pula).” (QS Az Zumar: 30)
Kemudian para Sahabat bertanya, “Wahai Sahabat Rasulullah, apakah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah wafat?”
Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu menjawab, “Ya.” Dan, mereka percaya bahwa
Abu Bakar telah berkata benar.
Kemudian mereka kembali bertanya, “Wahai Sahabat Rasulullah, apakah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam akan dishalati?”
Ia menjawab, “Ya.”
Mereka bertanya lagi, “Bagaimana?”
Abu Bakar menjawab, “Sekelompok orang
masuk, lalu bertakbir, membaca shalawat, dan mendoakannya. Setelah itu hendaknya
mereka keluar. Lalu kelompok lainnya masuk, kemudian bertakbir, membaca
shalawat, dan mendoakannya. Kemudian mereka keluar….,” sampai semua orang ikut
menshalatkannya.
Mereka bertanya lagi, ”Wahai Sahabat
Rasulullah, apakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam akan dimakamkan?”
Ia menjawab, “Ya.”
Mereka bertanya, “Di mana?”
Abu Bakar, “Di mana Allah mencabut
arwahnya, karena sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak mencabut arwahnya
melainkan di tempat yang baik.” Dan mereka pun mengetahui bahwa Abu Bakar
telah berkata benar. Kemudian Abu Bakar memerintahkan agar Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam dimandikan oleh anak-anak dari pihak bapak
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Apakah yang membuat ‘Umar rmengancam dengan pedangnya seraya berkata,
“Demi Allah, jika aku mendengar seseorang mengatakan bahwa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam telah wafat, maka aku akan membunuhnya dengan
pedangku ini!”
Sungguh, kematian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan perihal
yang sangat besar bagi dirinya. Sesungguhnya kedudukan beliau shallallahu
‘alaihi wasallam begitu tinggi di hatinya. Ia benar-benar mencintai Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam melebihi cintanya terhadap drinya sendiri,
anaknya, iatrinya, hartanya, dan manusia seluruhnya.
Lalu, bagaimana kiranya perasaan Sahabat yang mengatakan bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah wafat?
Sungguh, seluruh Sahabat belum pernah mempunyai seorang Nabi sebelum Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam yang mengajarkan kepada mereka apa yang seharusnya
mereka lakukan. Karena ietulah mereka menahan diri untuk bicara.
Adapun Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu, ia memeluk dan menyentuh jenazah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam seraya membaca firman Allah Subhanahu
wa Ta’ala, “Sesungguhnya kamu akan mati dan mereka akan mati (pula).”
(QS.Az-Zumar: 30)
Ini menunjukkan pemahaman Abu Bakar terhadap Al Quran. Ia memahami dari
ayat ini bahwa kematian adalah perkara yang pasti akan dialami oleh Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam.
Namun, situasi yang begitu genting serta besarnya kecintaan para Sahabat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lah yang membuat mereka bersikap
berbeda dari semestinay, dan ini bukan merupakan sesuatu yang mengherankan.
Sebab, sosok yang pergi meninggalkan mereka adalah Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam!
Berapa banyak manusia ditinggal pergi oleh anak-anaknya, lalu mereka
pingsan, bahkan di antara mereka ada pula yang menyusul kematian anaknya tersebut.
Di antara mereka ada pula yang sampai kehilangan akalnya, bahkan ada pula yang
terkena penyakit berbahaya.
Kemudian para Sahabat bertanya, “Wahai Sahabat Rasulullah, apakah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah wafat?’ Abu Bakar radhiyallahu
‘anhu menjawab, “Ya’. Dan, mereka percaya bahwa Abu Bakar telah berkata benar.
Ketika itulah para Sahabat merasa tenang dan menyadari bahwa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam telah wafat. Dari Anas radhiyallahu ‘anhu, ia
berkata:
“Pada hari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memasuki kota
Madinah, segala sesuatu di kota tersebut menjadi begitu terang. Tetapi, pada
hari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam wafat, segala sesuatu di kota
tersebut menjadi begitu gelap. Belum lagi kami selesai menguburkan beliau, kami
telah mengingkari apa yang ada dalam hati kami.” [HR. Imam Ibnu Majah
rahimahullah, Shahih Sunan Ibnu Majah no.1327]
Pada hari itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memasuki Madinah;
segala sesuatu di kota tersebut menjadi begitu terang dan Madinah pun bersinar.
Madinah menerangi dan menyinari segalanya dengan datangnya Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, kegembiraan memenuhi setiap hati anak kecil dan
orang dewasa, laki-laki maupun perempuan.
Maka, pada hari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam wafat. Pada hari
mereka kehilangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam segala sesuatu
menjadi gelap.
Bumi pun berubah, dan ia bukan lagi bumi yangh mereka ketahui selama
ini.
Segala sesuatu di kota tersebut menjadi begitu gelap. Tidak ada lagi
kenikmatan ataupun keindahan yang dapat mereka rasakan di hari tersebut, dan
hati mereka pun terasa sempit.
“Belum lagi kami selesai menguburkan beliau, kami telah mengingkari apa
yang ada dalam hati kami.”
Ya, Belum lagi mereka selesai membersihkan tangan dan menguburkan Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam, mereka telah mengingkari hati mereka.
Hati bagaimanakah yang mereka kenal selama ini?
Mereka mengingkari hati mereka karena lembutnya perasaan dan emosional
mereka.
Namun, apa yang kita lakukan dengan hati kita yang tidak pernah
mengingkari hal tersebut dan mata kita tidak pernah melihat sesuatu apapun di
balik itu semua?
Barang siapa yang hina, maka sebuah penghinaan akan terasa ringan
baginya.
Sumber: fimadani.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar