Oleh: Samsudin Kadir
Jika dikaji, maka akan dengan mudah
didapatkan bahwa pemikiran Islam Liberal sangat jauh dari kebenaran dan standar
ilmiah. Alih-alih mencari kebenaran, mereka justru mengarah kepada kesesatan,
bukan saja pemikiran bahkan juga keyakinannya. Lebih jelasnya, berikut ini
diuraikan kritikan sekaligus gugatan atas metode penafsiran yang menyimpang
tersebut.
a. Membuka pintu ijtihad pada
semua dimensi Islam.
Kaum liberal membuka ruang
ijtihad bagi semua dimensi dalam Islam. Ini tentu saja sangat menyimpang secara
terminologi dan metodologis. Ijtihad adalah pengerahan segala kesanggupan
seorang faqih (pakar hukum Islam) untuk memperoleh pengetahuan tentang hukum
sesuatu melalui dalil syara’ (agama).[1] Ia
merupakan sebuah metodologi ilmiah yang harus ditempuh secara metodologis dan
tidak serampangan. Mengaplikasikan ijtihad yang serampangan ibarat meneliti
astronomi dengan pendekatan psikologi. Efeknya bisa-bisa menyatakan bahwa teori
tata surya tidak valid, para profesor sains ibaratnya manusia-manusia
konservatif yang penuh dengan hegemoni.[2]
Perhatikan kata ‘semua dimensi Islam’ yang
kemudian ditafsirkan dengan ‘dalam semua segi, baik segi muamalat (interaksi
sosial), ubudiyyat (ritual) dan ilahiyyat (teologi). Lebih para lagi ijtihad
ala kaum JIL ini dianggap sebagai benteng pertahanan Islam dalam segala cuaca,
sedang tanpa ijtihad ala mereka maka Islam akan mengalami pembusukan. Bayangkan
wahai para pembaca, ucapan yang segitu muluk-muluk padahal itu bathil.
Pada kenyataannya justru kaum muslimin terombang-ambing, bingung dan
resah dengan gagasan dan “ijtihad” mereka. Bagaimana mungkin dikatakan sebagai
benteng pertahanan sementara justru menggoncangkan. Yang benar justru
sebaliknya, dengan “ijtihad” dan gagasan mereka Islam (baca: umat Islam) akan
mengalami pembusukan.
“Hai orang-orang yang beriman, jika kamu
menolong agama Allah, niscaya Dia (Allah) akan menolongmu dan meneguhkan
kedudukanmu. (QS.
Muhammad [47]: 7)
Nabi Saw Bersabda:
Saya tinggalkan pada kalian dua
perkara, kalian tidak akan tersesat selama berpegang teguh dengan keduanya,
yaitu: Kitabullah dan Sunnahku, keduanya tidak akan terpisah sampai datang di
telaga. (HR. Malik)
Dari Abu Hurairah, dari Nabi
Saw bersabda: Agama ini akan tetap jaya selama orang-orang menyegerakan berbuka
karena Yahudi dan Nashrani mereka melambatkan. (HR. Abu Dawud)
Dari Ubai bin Ka’ab, ia
mengatakan, Rasulullah bersabda: Berikanlah umat ini kabar gembira dengan
kecermelangan, keunggulan, pertolongan dan kemapanan
dimuka bumi. Maka barangsiapa yang mengamalkan amalan akhirat demi dunia, dia
tidak akan mendapatkan bagian di akherat. (HR. Ahmad)
Dari Al-Mughirah bin Syu’bah
dari Nabi, beliau bersabda : sekelompok dari umatku akan tetap unggul (dalam
riwayat lain: diatas kebenaran) sehinga datang perintah Allah dan mereka tetap
dalam keadaan unggul. (HR. Muslim dan Al-Bukhari)
“Tidak dapat memperbaiki akhir
umat ini kecuali apa yang memperbaiki awalnya” Demikian kata Al-Imam Malik.
Jadi, Islam tidak akan busuk sepanjang masa.
Zaman pun tidak akan pernah kosong dari orang-orang yang berada di atas
kebenaran. Siapa mereka? Mereka adalah orang-orang yang yakin dan mengamalkan
ajaranya, bukan kaum JIL.
Lalu, kaum JIL sebutkan bahwa salah satu
lahan ijtihad adalah ilahiyyat (teologi). Apa kira-kira tujuan
mereka? Nampak jelas, tujuannya adalah untuk melegimitasi paham Pluralisme
Agama. Dengan itu terbuka kedok mereka ketika membuka pintu bidang ijtihad seluas-luasnya.
Lama-lama ajaran mereka bisa seperti ajaran
Ilyasiq bangsa Tartar yang mengadopsi berbagai ajaran agama, lalu
diracik menjadi satu akhirnya jadi agama gado-gado, bernama ajaran Ilyasiq.
Sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya, Islam
tidak melarang ijtihad namun ada aturannya, karena Islam agama yang teratur dan
indah bukan agama semrawut bebas aturan. Ijtihad dalam Islam memiliki konsep,
metodologi dan strategi aplikasinya, tidak sembarangan atau seenaknya. Bahkan
menurut sebagian ulama, ijtihad hanya bisa dilakukan oleh ulama yang memiliki
ilmu yang kokoh—di samping memiliki perilaku atau adab islami.
Para ulama dalam buku-buku
ushul fikih menyebutkan syarat-syarat diperbolehkan ijtihad terhadap
permasalahan yang ada. Secara ringkas, misalnya:
1. Masalah tersebut tidak ada
nashnya yakni tidak ada dalil tegas yang menerangkannya atau tidak ada ijma’
padanya.
2. Kalaupun ada dalilnya tapi
tidak tegas menerangkan maksudnya sehingga masih membawa beberapa kemungkinan.
3. Bukan perkara akidah, karena
ijtihad dan qiyas itu hanya dalam masalah hukum itu pun tidak semua.
4. Masalah tersebut memang baru
muncul atau belum muncul namun sangat mungkin muncul dan dibutuhkan penjelasan
mendesak.
Dari situ, apakah perkara ketuhanan adalah
salah satu ajang ijtihad? Tentu tidak, karena ini adalah perkara akidah bahkan
inti akidah, bukan masalah baru. Nashnya banyak, sangat tegas dan tidak
mengandung kemungkinan-kemungkinan yang berbeda-beda. Kalau kaum JIL mengatakan
ini tidak jelas, lalu apa yang jelas bagi mereka? Berarti semuanya meragukan
dan itulah hakikat orang-orang JIL, meragukan sesuatu yang jelas. Pada masa
lalu manhaj orang-orang seperti ini disebut oleh ibnu Taimiyah dengan safsathah dan qarmathah.
Safsathah adalah sikap kelompok
safsathaiyyah, sekelompok ahli filsafat yang mengingkari hakikat yang sudah
jelas dan sangat dimaklumi dengan berbagai macam cara pengkaburan. Qarmathah
adalah sikap kelompok Qaramithah yaitu kelompok yang paling banyak
menyelewengkan dalil-dalil naqli.
Allah Berfirman:
Berkata rasul-rasul mereka: “Apakah ada
keragu-raguan terhadap Allah, Pencipta langit dan Bumi?(QS. Ibrahim [14]: 10)
Penyair mengatakan:
Dan tidak ada sesuatu yang benar dalam otak
ini.
Bila (untuk menunjukkan) siang saja butuh
kepada dalil.
Juga, tidak semua orang boleh melakukan
ijtihad, tetapi harus memenuhi syarat dan tidak sembarangan. Kalau semua orang
boleh ijtihad akhirnya maling berijtihad untuk menafsirkan ayat, rentenir
berijtihad, peminum khamr berijtihad, pelacur berijtihad sehingga akan ada
tafsir ayat Al-Qur’an menurut maling, penjudi, pelacur dan lain-lain dan itu
memang arah kaum JIL.
b. Mengutamakan semangat religio etik, bukan makna literal teks.
Poin ini sangat menyudutkan ulama otoritatif
dan umat Islam secara keseluruhan sebagai pihak yang rigid dengan literal teks.
Padahal dalam Islam tersaji berbagai metodologi pemahaman. Ada mafhum,
manthuq, zhahir, mu’awwal, musytarak, mutaradif, muthlaq, muqayyad, mujmal
mubayaan, dan sebagainya.
Islam juga menjunjung tinggi semangat
religio-etik, tetapi tetap dalam koridor penegasan mana yang benar dan mana
yang salah. Kaum musyrik dan kafir salah, tapi umat Islam tetap menjaga
toleransi. Bukan dengan logika terbalik; agar toleran maka kaum musyrik dan
kafir harus dikatakan benar. Ini adalah bentuk pernyataan kaum munafik alias
pragmatis imani. Menghargai orang lain dan toleransi dengan
keragaman bukan berarti membenarkan hal-hal yang salah atau keliru dalam
hal-hal yang beragam tersebut. Justru, Islam hadir untuk membedakan mana yang
salah dan mana yang benar, mana yang mesti dijauhkan dan mana yang mesti
dikerjakan.
Nalar mereka sama saja dengan membuka
lebar-lebar pintu al-qaul ‘ala Allah bi la ilm (bicara tentang
Allah dan agama Allah tanpa ilmu), padahal itu termasuk dosa besar.
Sungguh benar apa yang Allah firmankan:
Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong
kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat
(belum jelas) untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari ta’wilnya.” (QS. Ali ‘Imran [3]:
7)
Ibnu Katsir mengatakan: Menginginkan fitnah
artinya ingin menyesatkan para pengikutnya dengan mengesankan bahwa mereka
berhujjah dengan Al-Qur’an atas bid’ah mereka padahal Al-Qur’an itu sendiri
menyelisihnya.
Mencari-cari ta’wilnya: Artinya
menyelewengkan maknanya sesuai dengan apa yang mereka inginkan. Mereka
memperalat istilah yang belum jelas agar dapat mengarahkan saja sesuai
keinginan mereka. Tujuannya ingin menundukkan ayat dan hadits demi kepentingan
hawa nafsu mereka dan bos-bos mereka.
Lihat kata-kata mereka ‘Penafsiran yang
literal hanya akan melumpuhkan Islam’. Jika demikian bukankah
konsekwensinya adalah Nabi dan para sahabatnya melumpuhkan Islam? Juga, tafsir
para ulama semuanya merupakan kelumpuhan pada Islam, sehingga Islam yang ada
adalah Islam yang lumpuh. Dan kalau demikian berarti Allah salah ketika memilih
mereka sebagai penegak agama? Dan kalau demikian, berarti Allah tidak sempurna
Ilmu dan Kekuasaan-Nya karena salah pilih dan bisa ditipu atau dikhianati?
Demikian bahaya, dan sungguh mungkar apa yang mereka, kaum JIL itu ucapkan.
Demikianlah tutur mereka yang mengaku berakal
dan kaum JIL itu? Kalau begitu untuk apa Allah percayakan agama ini kepada Nabi
Muhammad, dan Allah percayakan para sahabat untuk mendampingi Nabi dan
meneruskanrisalah ini? Padahal Allah berfirman :
“Allah lebih mengetahui di mana Dia
menempatkan tugas kerasulan”. (QS. Al-An’am [6]: 124)
Rabbmu menciptakan apa yang Dia kehendaki da
memilihnya. Sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka. Maha Suci Allah dan Maha
Tinggi dari apa yang mereka persekutukan (dengan Dia)”. (QS. Al-Qashash [28]:
68.
Lihat pula kata-kata setelahnya ‘Dengan
penafsiran yang berdasarkan semangat religio-etik, Islam akan hidup dan
berkembang’. Berarti selama 14 abad ini, termasuk abad Nabi, yang
disebutkan Nabi sebaik-baik generasi Islam, mati dan tidak berkembang, kemudian
muncul mereka dan orang-orang yang semacam mereka untuk menghidupkan Islam ?
Betapa arogannya pernyataan itu. Kata-kata
mereka itu mengandung unsur kemunafikan dan keraguan atas kebenaran Islam, dan
konsekwensinya begitu mengerikan. Menurut logika mereka, Islam yang hidup
adalah yang berpandangan semua agama sama saja, muslimah boleh dinikahi (baca:
dihinakan) orang yang durhaka (baca:kafir) kepada Allah, orang yang membunuh
jiwa justru dimuliakan dengan tidak diqishash, jiwa yang terbunuh dan
terzhalimi semakin ditindas dan dirampas haknya dengan tidak boleh menuntut
qishash, memuliakan pencuri dan menahan hak orang yang dicuri, menghinakan
wanita yang berpakaian atau berbusana mslimah yang sopan dan rapih dengan
kata-kata hina dan hujatan, dan menjunjung tinggi wanita bugil alis telanjang
yang jorok dengan membiarkan mereka memamerkan anggota tubuhnya di ruang publik
tanpa rasa malu dan tak merasa bersalah.
c. Mempercayai kebenaran yang relatif, terbuka dan plural.
Prinsip ini tentu sangat bertentangan dengan
prinsip dasar Islam. Islam menjelaskan bahwa kebenaran itu ada dan kesalahan
itu ada. Kebenaran memiliki sifatnya yang khas, kesalahan juga demikian. Dua
posisi tersebut sudah memiliki konsep yang final dan tidak bisa diotak-atik
seenaknya. Betul bahwa dalam konteks tertentu ada hal-hal yang bersifat
relatif, namun bukan berarti masalah-masalah mendasar seperti aqidah, ibadah
dan hukum-hukum pidana relatif juga. Hanya orang bingung saja yang menyatakan
semuanya relatif. Jika mengikuti logika liberal, maka pemikiran liberal bahwa
semuanya relatif juga relatif. Dengan demikian, siapapun akan semakin yakin
bahwa pemikiran liberal memang tak punya basis metodologis yang matang, bahkan
lebih tepat disebut ngawur.
d. Memihak pada yang minoritas dan tertindas.
Sebelum kaum liberal membuat sandaran seperti
ini, Islam sudah menegaskan sejak awal bahwa Islam sangat menghargai
pluralitas, kaum tertindas dan sebagainya. Walau begitu, perlu disadari bahwa
penegakan hukum tidak melihat mayoritas-minoritas. Jika ada yang salah atau
melakukan pelanggaran norma, maka harus mendapat hukuman. Karena itu, walaupun
kaum liberal, Ahamdiyah dan aliran sesat lainnya hanya dianut oleh segelintir
manusia gila, stress dan bingung, tetap saja mereka layak diluruskan atau
bahkan dihukum. Meluruskan atau menghukum orang yang sesat dan bingung bukan
berarti menindas, tapi justru merupakan wujud nyata penghormatan atas keragaman
agar mereka kembali ke jalan yang benar.
e. Meyakini kebebasan beragama.
Di antara karakter Islam yang mendasar adalah
keterbukannya untuk membiarkan manusia memilih agama sesuai keyakinannya, dan
tidak ada paksaan untuk memeluk Islam. Walau demikian, itu bukan berarti Islam
membenarkan semua agama. Islam memiliki konsep-konsep dasar yang sangat berbeda
dengan agama-agama yang ada. Sehingga Islam memiliki standar atau ukuran untuk
menyatakan sesuatu itu salah atau benar, termasuk keyakinan selain Islam. Atau
jika mengikuti nalar liberal, kita akan bertanya, mengapa kalangan intelektual
muslim yang liberal tidak keluar dari Islam lalu memeluk agama selain Islam
saja? Andai mereka yakin dengan pemahaman bahwa semua agama benar, maka kita
akan bertanya, mengapa mereka shalat, berzakat dan melaksanakan beberapa ibadah
khas Islam dan tidak beribadah menurut aturan agama selain Islam? Urusan perut
memang ‘memaksa’ siapapun untuk melakukan hal-hal tak etis, termasuk kaum
liberal.
f. Memisahkan otoritas duniawi dan ukhrawi, otoritas keagamaan dan
politik.
Prinsip ini sangat ngawur dan
dangkal. Mengapa? Sebab akal yang “relatif” tidak bisa dijadikan hukum yang
absolut untuk menyatakan salah atau benar, termasuk yang menyatakan bahwa
urusan dunia dan politik bukan urusan agama. Lalu, untuk apa beragama kalau tak
ada aturan hidup yang mesti ditaati?
Jika nalar liberal diikuti, kita akan
bertanya, kalau ada seorang penjahat memperkosa ibu kandung atau anak kandung
kaum liberal, atas dasar apa pihak berwenang mengatakan itu sebuah kesalahan
atau kriminal? Bukankah hukum dunia (baca: akal) yang mereka agungkan itu relatif,
sehingga rentan keliru dalam menentukan sesuatu? Jika orang yang memperkosa
tersebut memiliki pandangan bahwa hukum akal (benar-salah) itu relatif, apakah
ia layak mendapatkan hukuman?
Kalau mengikuti cara
berpikir liberal maka idealnya si pemerkosa tidak layak mendapatkan hukuman,
sebab bisa jadi perbuatan “memeprkosa” masih relatif, apakah benar atau salah.
Jika nalar seperti itu diterapkan pada contoh kasus di atas, maka kaum liberal
mungkin akan berpikir keras agar logikanya tetap diterima walaupun tak logis.
Bahkan mungkin akan menangis karena logikanya justru menjermuskan ibu atau anak
kandungnya, juga dirinya sendiri. [*Tulisan ini merupakan lanjutan (3)
dari tulisan Mengenal Islam Liberal, Oleh: Syamsudin Kadir, Pegiat
Kajian dan Study Pemikiran Islam/Cp: 081 804 621 609]
[1] Rachmat
Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung: Pustaka Setia, 2007, hlm. 99.
[2] Nashruddin
Syarief, Menangkal Virus Islam Liberal, Bandung: Persis Pers, 2010,
hlm. 14.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar