PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Didalam Islam, hukuman tidak
berangkat dari pendapat manusia atau kesepakatan manusia belaka. Karena apa
yang ada dalam pandangan manusia memiliki keterbatasan. Seringkali apa yang
dalam pandangan manusia baik, pada hakikatnya belum tentu baik. Demikian juga,
apa yang dalam pandangan manusia buruk, hakikatnya belum tentu buruk. Sehingga
bagi umat Islam, harus mengembalikan penilaian baik atau buruk, terpuji dan
tercela menurut pandangan syari’at.
Adapun tujuan hukum Islam yang
disebut al-dharuriyyat al-khams atau al-kulliyyat alkhams (disebut pula maqasid
al-syari’ah), yaitu lima tujuan utama hukum Islam yang telah disepakati bukan
hanya oleh ulama Islam melainkan juga oleh keseluruhan agamawan. Kelima tujuan
utama itu adalah: 1. Memelihara agama; 2. Memelihara jiwa; 3. Memelihara akal;
4. Memelihara keturunan dan atau kehormatan, dan 5. Memelihara harta.
B.
RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian dari hukuman?
2. Apa tujuan ditetapkannya hukuman
menurut syari’at Islam?
3. Apa saja syarat-syarat dalam
pelaksanaan hukuman yang sesuai dengan syari’at Islam?
C.
TUJUAN
1. Untuk mengetahui pengertian dari
hukuman.
2. Untuk mengetahui tujuan
ditetapkannya hukuman menurut syari’at Islam.
3. Untuk memahami syarat-syarat
pelaksanaan hukuman yang sesuai dengan syari’at Islam.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN HUKUMAN
Hukuman atau Hukum Pidana dalam
Islam disebut al-‘Uqubaah yang meliputi baik hal-hal yang merugikan maupun
tindak kriminal. Nama lain dari al- ‘Uqubah adalah al-Jaza’ atau hudud.
Menurut Hukum Pidana Islam, hukuman
adalah seperti didefinisikan oleh Abdul Qadir adalah sebagai berikut:
العقو به هي الجزاء المقرر لمصلحة الجما عة على عصيا ن امر الشارع
“Hukuman adalah
pembalasan yang ditetapkan untuk memelihara kepentingan masyarakat, karena
adanya pelanggaran atas ketentuan-ketentuan syara.”
Atas dasar definisi tersebut
dapatlah difahami bahwa hukuman adalah salah satu tindakan yang diberikan oleh
syara’ sebagai pembalasan atas perbuatan yang melanggar ketentuan syara’ dengan
tujuan untuk memelihara ketertiban dan kepentingan masyarakat, sekaligus juga
untuk melindungi kepentingan individu.
A. Rahman Ritonga berpendapat bahwa
hukuman adalah bentuk balasan bagi seseorang yang atas perbuatannya melanggar
ketentuan syara’ yang ditetapkan Allah dan Rasul-Nya untuk kemaslahatan
manusia.
Hukuman dalam bahasa Arab disebut
‘uqubah. Lafaz ‘uqubah menurut bahasa berasal dari kata عَقبَ yang sinonimnya خَلفهُ وَجَاءَبعَقبهِ artinya mengiringnya dan datang di
belakangnya. Dalam pengertian yang agak mirip dan mendekati pengertian istilah,
barangkali lafaz tersebut bisa diambil dari lafaz عَاقَبَ yang sinonimnya جَزَاهُ سَوَاءً بِماَ فَعَلَ artinya membalasnya sesuai dengan
apa yang dilakukannya.
Dari pengertian yang pertama dapat
dipahami bahwa sesuatu disebut hukuman karena ia mengiringi perbuatan dan
melaksanakan sesudah perbuatan itu dilakukan. Sedangkan dari pengertian yang
kedua dapat dipahami bahwa sesuatu disebut hukuman karena ia merupakan balasan
terhadap perbuatan yang menyimpang yang telah dilakukannya.
Menurut Abdul Qadir Audah, definisi
hukuman adalah sebagai berikut:
اَلْعُقُوْ بَةُ هِىَ الْجَزَاءُ الْمُقَرَّرُ
لِمَصْلَحَةِالْجَمَاعةِ عَلى عِصْيَانِ اَمْرِ الشَّارِعِ
Hukuman adalah pembalasan yang
ditetapkan untuk memelihara kepentingan masyarakat, karena adanya pelanggaran
atas ketentuan-ketentuan syara’.
B.
TUJUAN HUKUMAN DALAM SYARI’AT ISLAM
Tujuan dari penetapan dan penerapan
hukuman dalam syari’at Islam adalah:
1.
Pencegahan
( الرّدْعُ وَالزّجْرُ )
Pengertian pencegahan adalah menahan
orang yang berbuat jarimah agar ia tidak mengulangi perbuatan jarimahnya. Di
samping mencegah pelaku, pencegahan juga mengandung arti mencegah orang lain
selain pelaku agar ia tidak ikut-ikutan melakukan jarimah, sebab ia bisa
mengetahui bahwa hukuman yang dikenakan kepada pelaku juga akan dikenakan
terhadap orang lain yang juga melakukan perbuatan yang sama.
Menurut Ibn Hammam dalam fathul
Qadir bahwa hukuman itu untuk mencegah sebelum terjadinya perbuatan (preventif)
dan menjerakan setelah terjadinya perbuatan (represif).
2. Perbaikan dan Pendidikan (
الاِصْلاحُ والتّهْذِ يْبُ )
Tujuan yang kedua dari penjatuhan
hukuman adalah mendidik pelaku jarimah agar ia menjadi orang yang baik dan
menyadari kesalahannya. Di sini terlihat bagaimana perhatian syari’at Islam
terhadap diri pelaku. Dengan adanya hukuman ini, diharapkan akan timbul dalam
diri pelaku suatu kesadaran bahwa ia menjauhi jarimah bukan karena takut akan
hukuman, melainkan karena kesadaran diri dan kebenciannya terhadap jarimah
serta dengan harapan mendapat rida dari Allah SWT.
3. Kemaslahatan Masyarakat
Memberikan hukuman kepada orang yang
melakukan kejahatan bukan berarti membalas dendam, melainkan sesungguhnya untuk
kemaslahatannya, seperti dikatakan oleh Ibn Taimiyah bahwa hukuman itu
disyariatkan sebagai rahmat Allah bagi hamba-Nya dan sebagai cerminan dari
keinginan Allah untuk ihsan kepada hamba-Nya. Oleh karena itu, sepantasnyalah
bagi orang yang memberikan hukuman kepada orang lain atas kesalahannya harus
bermaksud melakukan ihsan dan memberi rahmat kepadanya.
Menurut Andi Hamzah dan A.
Simanglipu, sepanjang perjalanan sejarah, tujuan pidana dapat dihimpun dalam
empat bagian, yakni:
1. Pembalasan (revenge); Seseorang yang telah menyebabkan kerusakan dan malapetaka
pada orang lain, menurut alasan ini wajib menderita seperti yang ditimpakan
kepada orang lain.
2.
Penghapusan
Dosa (ekspiation); Konsep ini berasal
dari pemikiran yang bersifat religius yang bersumber dari Allah.
3.
Menjerakan
(detern).
4. Memperbaiki si pelaku tindak
kejahatan (rehabilitation of the criminal);
Pidana ini diterapkan sebagai usaha untuk mengubah sikap dan perilaku jarimun
agar tidak mengulangi kejahatannya.
Abdul Qadir Awdah mengatakan bahwa prinsip
hukuman dalam Islam dapat disimpulkan dalam dua prinsip pokok, yaitu
menuntaskan segala perbuatan pidana dengan mengabaikan pribadi terpidana dan
memperbaiki sikap terpidana sekaligus memberantas segala bentuk tindak pidana.
Memberantas segala bentuk tindak pidana bertujuan untuk memelihara stabilitas
masyarakat, sedangkan untuk pribadi terpidana bertujuan untuk memperbaiki sikap
dan perilakunya. Oleh sebab itu, menurutnya hukuman bagi segala bentuk tindak
pidana yang terjadi harus sesuai dengan kemaslahatan dan ketentraman masyarakat
yang menghendaki.
C.
TUJUAN BHUKUMAN DALAM HUKUM POSITIF
Sebelum timbulnya teori terbaru
tentang tujuan hukuman, hukum positif
telah mengalami beberapa fase, fase-fase tersebut adalah sebagai berikut:
1. Fase Balasan Perseorangan
Pada fase ini, hukuman berda di tangan perseorangan yang
bertindak atas dasar perassaan hendak menjaga diri mereka dari penyerangan dan
dasar naluri hendak membalas orang yang menyerangnya.
2. Fase Balasan
Tuhan dan Balasan Umum.
Adapun yang dimaksud dengan balasan Tuhan adalah bahwa
orang yang berbuat harus menebus kesalahannya, sedangkan balasan umum adalah
agar orang yang berbuat merasa jera dan orang lain pun tidak berani meniru
perbuatannya. Hukuman yang didasarkan atas balasan ini tidak lepas dari
unsur-unsur negatif seperti berlebihan dan melampaui batas dalam memberikan
hukuman.
3. Fase
Kemanusiaan
Pada fase kamanusiaan prinsip-prinsip keadilan dan kasih
sayang dalam mendidik dan memperbaiki diri orang yang berbuat telah mulai
dipakai. Bahkan memberi pelajaran dan mengusahakan kebaikan terhadap diri
pelaku merupakan tujuan utama. Pada fase tersebut muncul teori dari sarjana
Italia Becaria yang mengatakan bahwa suatu hukuman harus dibatasi dengan
batas-batas keadilan dan kepentingan sosial.
4. Fase Keilmuan
Pada fase ini munculah aliran Italia yang didasarkan
kepada tiga pikiran yaitu sebagai berikut:
a. Hukuman
mempunyai tujuan dan tugas ilmiah yang melindungi masyarakat dari
perbuatan-perbuatan jarimah dengan cara pencegahan.
b. macam, masa,
dan bentuk hukuman bukanlah aturan-aturan abstrak yang mengharuskan
diperlakukannya perbuatan-perbuatan hukuman dalam tingkatan dan keadaan yang
sama. Bessarnya hukuman juga harus memperhatikan berbagai faktor seperti
keadaan pelaku. Faktor-faktor yang mendorongnya dan keadaannya dimana hukuman
itu terjadi
c. Kegiatan
masyarakat dalam memerangi hukuman, selain ditunjukan kepada para pelakunya
juga harus ditunjukan untuk menanggulangi sebab-sebab dan faktor-faktor yang
menimbulkan hukuman tersebut.
Berdasarkan uraian di atas
dapat dijelaskan bahwa tujuan hukum pidana adalah untuk memenuhi rasa keadilan.
Diantara para sarjana hukum diutarakan bahwa tujuan hukum pidana adalah sebagai
berikut:
1. Untuk
menakut-nakuti orang agar jangan sampai melakukan kejahatan, baik secara menakut-nakuti
orang banyak (generale preventie) maupun secara menakut-nakuti orang tertentu
yang sudah menjalankan kejahatan agar dikemudian hari tidak melakukan kejahatan
lagi (speciale preventie).
2. Untuk mendidik
attau memperbaiki orang-orang yang sudah menandakan suka melakukan kejahatan
agar menjadi orang yang baik tabiatnya sehingga bermanfaat bagi orang banyak.
Menurut pasal
10 KUHP tentang pidana terdiri atas:
1. Pidana pokok
a.
Pidana mata
b.
Pidana penjara
c.
Pidana kurungan
d.
Pidana denda
e.
Pidana tutup
2. Pidana tambahan
a.
Pencabutan hak-hak tertentu
b.
Perampasan barang-barang tertentu
c.
Pengumuman putusan hakim
Dari penjelasan
di atas dapat diambil kesimpulan bahwa tujuan penjatuhan pidana menurut hukum
Islam dan hukum positif adalah untuk mencegah, memperbaiki, mendidik serta
menjadikan seseorang merasa jera dan tidak mengulangi lagi perbuatannya dan
menahan orang lain untuk tidak berbuat seperti itu serta menjauhkan diri dari
lingkungan yang melawan hukum.
D.
SYARAT-SYARAT PELAKSANAAN HUKUMAN
1.
Hukuman
Harus ada Dasarnya dari Syara’
Hukum dianggap mempunyai dasar
(syar’iyah) apabila ia didasarkan kepada sumber-sumber syara’ seperti:
Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’, atau undang-undang yang ditetapkan oleh lembaga
yang berwenang (ulil amri) seperti dalam hukuman ta’zir. Dalam hal hukuman
ditetapkan oleh ulil amri maka disyaratkan tidak boleh bertentangan dengan
ketentuan-ketentuan syara’. Apabila bertentangan maka ketentuan hukuman
tersebut menjadi batal.
Perbuatan dianggap salah jika
ditentukan oleh nas. Prinsip ini yang
dalam bahasa hukum disebut dengan istilah asas legalitas. Hukum pidana Islam
mengenal asas ini secara substansial sebagaimana disebutkan dalam Qur’an Surat
Al-Isra ayat 15 :
Ç`¨B 3ytF÷d$# $yJ¯RÎ*sù ÏtGöku ¾ÏmÅ¡øÿuZÏ9 ( `tBur ¨@|Ê $yJ¯RÎ*sù @ÅÒt $pkön=tæ 4 wur âÌs? ×ouÎ#ur uøÍr 3t÷zé& 3 $tBur $¨Zä. tûüÎ/ÉjyèãB 4Ó®Lym y]yèö6tR Zwqßu ÇÊÎÈ
“Barangsiapa yang berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), Maka
Sesungguhnya Dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri; dan
Barangsiapa yang sesat Maka Sesungguhnya Dia tersesat bagi (kerugian) dirinya
sendiri. dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, dan Kami
tidak akan meng'azab sebelum Kami mengutus seorang rasul.”
2. Hukuman Harus Bersifat Pribadi
(Perorangan)
Ini mengandung arti bahwa hukuman
harus dijatuhkan kepada orang yang melakukan tindak pidana dan tidak mengenai
orang lain yang tidak bersalah. Syarat ini merupakan salah satu dasar dan
prinsip yang ditegakkan oleh syariat Islam dan ini telah dibicarakan berkaitan
dengan masalah pertanggungjawaban.
3.
Hukuman
Harus Bersifat Universal dan Berlaku Umum
Ini berarti hukuman harus berlaku
untuk semua orang tanpa adanya diskriminasi, baik pangkat, jabatan, status,
atau kedudukannya.
Di dalam hukum pidana Islam, persamaan yang sempurna itu hanya terdapat dalam jarimah dan hukuman had atau qishash, karena keduanya merupakan hukuman yang telah ditentukan oleh syara’.
Di dalam hukum pidana Islam, persamaan yang sempurna itu hanya terdapat dalam jarimah dan hukuman had atau qishash, karena keduanya merupakan hukuman yang telah ditentukan oleh syara’.
Setiap orang yang melakukan jarimah
hudud akan dihukum dengan hukuman yang sesuai dengan jarimah yang dilakukannya.
Sedangkan persamaan yang dituntut dari hukuman ta’zir adalah persamaan dalam
aspek dampak hukuman terhadap pelaku, yaitu mencegah, mendidik, dan
memperbaikinya. Sebagian pelaku mungkin cukup dengan hukuman peringatan,
sebagian lagi perlu dipenjara, dan sebagian lagi mungkin harus didera atau
bahkan ada pula yang harus dikenakan hukuman mati.
E.
MACAM-MACAM HUKUMAN
Menurut Abdul Qadir Audah
macam-macam hukuman adalah sebagai berikut :
1. Penggolongan ini ditinjau dari segi
pertalian antara satu hukuman dengan hukuman yang lainnya, dan dalam hal ini
ada empat macam hukuman yaitu:
a.
Hukuman
pokok (‘Uqubah Ashliyah), yaitu hukuman yang ditetapkan untuk jarimah yang
bersangkutan sebagai hukuman yang asli, seperti hukuman qishash untuk jarimah
pembunuhan, atau hukuman potong tangan untuk jarimah pencurian.
b.
Hukuman
pengganti (‘Uqubah Badaliyah), yaitu hukuman yang menggantikan hukuman pokok,
apabila hukuman pokok tidak dapat di laksanakan karena alasan yang sah, seperti
hukuman diyat (denda) sebagai pengganti hukuman qishash.
c.
Hukuman
tambahan (‘Uqubah Taba’iyah), yaitu hukuman yang mengikuti hukuman pokok tanpa
memerlukan keputusan tersendiri seperti larangan menerima warisan bagi orang
yang melakukan pembunuhan terhadap keluarga.
d.
Hukuman
pelengkap (‘Uqubah Takmiliyah), yaitu hukuman yang mengikuti hukuman pokok
dengan syarat ada keputusan tersendiri dari hakim, dan syarat inilah yang
menjadi ciri pemisahnya dengan hukuman tambahan. Contohnya mengalungkan tangan
pencuri yang telah dipotong di lehernya.
2.
Penggolongan
kedua ini ditinjau dari kekuasaan hakim dalam menentukan berat ringannya
hukuman. Dalam hal ini ada dua macam hukuman:
a. Hukuman yang hanya mempunyai satu
batas, artinya tidak ada batas tertinggi atau batas terendah, seperti hukuman
jilid (dera) sebagai hukuman had (80 kali atau 100 kali).
b. Hukuman yang mempunyai batas
tertinggi dan batas terendahnya, dimana hakim diberi kebebasan memilih hukuman
yang sesuai antara kedua batas tersebut, seperti hukuman penjara atau jilid
pada jarimah-jarimah ta’zir.
3.
Penggolongan
ketiga ini ditinjau dari segi besarnya hukuman yang telah ditentukan, yaitu:
a. Hukuman yang telah ditentukan macam
dan besarnya dimana hakim harus melaksakannya tanpa dikurangi atau di tambah,
atau diganti dengan hukuman yang lain. Hukuman ini disebut hukuman keharusan.
b. Hukuman yang diserahkan kepada hakim
untuk dipilihnya dari sekumpulan hukuman-hukuman yang ditetapkan oleh syara’
agar dapat disesuaikan dengan keadaan pembuat dari perbuatannya. Hukuman ini
disebut hukuman pilihan.
4.
Penggolongan
ditinjau dari segi tempat dilakukannya hukuman, yaitu:
a. Hukuman badan, yaitu yang dijatuhkan
atas badan seperti hukuman mati, dera, dan penjara.
b. Hukuman jiwa, yaitu dikenakan atas
jiwa seseorang, bukan badannya, seperti ancaman, peringatan atau teguran.
c. Hukuman harta, yaitu yang dikenakan
terhadap harta seseorang, seperti diyat, denda dan perampasan harta.
5.
Penggolongan
kelima ditinjau dari segi macamnya jarimah yang diancamkan hukuman, yaitu:
a. Hukuman hudud, yaitu hukuman yang
ditetapkan atas jarimah-jarimah hudud.
b. Hukuman qishash dan diyat, yaitu
yang ditetapkan atas jarimah-jarimah qisas diyat.
c. Hukuman kifarat, yaitu yang
ditetapkan untuk sebagian jarimah qishash dan diyat dan beberapa jarimah
ta’zir.
d. Hukuman ta’zir, yaitu yang
ditetapkan untuk jarimah-jarimah ta’zir.
F.
PEMBERLAKUAN HUKUMAN
Dalam perkembangannya, pemberlakuan
sanksi dalam hukum pidana Islam muncul 3 kalangan, yaitu:
1. Kalangan Tradisional; Kalangan ini
beranggapan bahwa hukuman harus dijalankan sesuai dengan Al-Qur’an dan
Al-Hadits.
2. Kalangan Modernis; Kalangan ini
beranggapan bahwa hukum Islam memang ada dan berlaku tetapi tergantung
bagaimana metode pelaksanannya.
3. Kalangan Reformatif; Kalangan ini
mencoba menggabungkan kalangan tradisionalis dan kalangan modernis. Artinya
kalangan ini tetap meyakini hukum Islam ada pada nash dan dilaksanakan menurut
metode nash.
Akibat dari pemecahan 3 kalangan
tersebut dalam kehidupan kita muncul 2 sanksi, yaitu sanksi pidana dan sanksi
tindakan, perbedaannya adalah:
1. Sanksi pidana dan sanksi tindakan.
Dimana masing-masing mempunyai prinsip dan tujuan dengan teori serta filosofis
yang dipahaminya.
2. Sanksi pidana bersumber pada ide
dasar-dasar “mengapa diadakan pemidanaan” ?
3. Sanksi tindakan bertolak pada ide
dasar “untuk apa diadakan pemidanaan” ?
BAB
III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Hukuman adalah bentuk balasan bagi
seseorang yang atas perbuatannya melanggar ketentuan syara’ yang ditetapkan
Allah dan Rasul-Nya untuk kemaslahatan manusia.
1. Tujuan pemidanaan atau hukuman
adalah:
a.
Sebagai
pembalasan, artinya setiap perbuatan yang melanggar hukum harus dikenakan
sanksi sesuai dengan ketentuan nas.
b.
Sebagai
pencegahan kolektif (general prevention), yang berarti pemidanaan bisa
memberikan pelajaran bagi orang lain untuk tidak melakukan kejahatan serupa.
c.
Sebagai
pencegahan khusus (special prevention), artinya seseorang yang melakukan tindak
pidana setelah diterapkan sanksi ia akan bertaubat dan tidak mengulangi
kejahatannya lagi.
2. Syarat pelaksanaan hukuman antara
lain:
a.
Hukuman
Harus ada Dasarnya dari Syara’.
b.
Hukuman
Harus Bersifat Pribadi (Perorangan).
c.
Hukuman
Harus Bersifat Universal Dan Berlaku Umum.
3. Sanksi dalam hukum pidana Islam di
bagi menjadi 3, yaitu:
a.
Kalangan
Tradisional.
b.
Kalangan
Modernis.
c.
Kalangan
Reformatif.
4. Sedangkan macam-macam hukuman
menurut Abdul Qadir Audah yaitu:
a.
Penggolongan
dari segi pertalian antara satu hukuman dengan hukuman yang lainnya, yaitu:
1)
Hukuman
pokok (‘Uqubah Ashliyah).
2)
Hukuman
pengganti (‘Uqubah Badaliyah).
3)
Hukuman
tambahan (‘Uqubah Taba’iyah).
4)
Hukuman
pelengkap (‘Uqubah Takmiliyah).
b.
Penggolongan
dari segi kekuasaan hakim dalam menentukan berat ringannya hukuman, yaitu:
1)
Hukuman
yang hanya mempunyai satu batas.
2)
Hukuman
yang mempunyai batas tertinggi dan batas terendahnya.
c.
Penggolongan
dari segi besarnya hukuman yang telah ditentukan, yaitu:
1)
Hukuman
yang telah ditentukan macam dan besarnya dimana hakim harus melaksakannya tanpa
dikurangi atau di tambah, atau diganti dengan hukuman yang lain. Hukuman ini
disebut hukuman keharusan.
2)
Hukuman
yang diserahkan kepada hakim untuk dipilihnya dari sekumpulan hukuman-hukuman
yang ditetapkan oleh syara’ agar dapat disesuaikan dengan keadaan pembuat dari
perbuatannya. Hukuman ini disebut hukuman pilihan.
B. SARAN
Demikian makalah ini yang dapat kami
sajikan, kami berharap makalah ini dapat berkembang dengan berjalannya diskusi
yang akan dijalankan oleh teman-teman. Kurang lebihnya kami mohon maaf, untuk
itu kepada para pembaca mohon kritik dan saran yang bersifat membangun demi
sempurnanya makalah ini.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Imam
Aby Al-Husaini Muslim Ibn Al-Hajj Al-Qusaiy An-Naisabury. Shahih Muslim. Juz 3
Ali,
Prof. Dr. H. Zainuddin, MA, Hukum Pidana Islam
‘Audah,
Abdul Qadir. Tanpa tahun. At-Tasyri’ Al-Jina’iy Al-Islamy. Beirut: Dar Al-Kitab
Al-‘Araby.
Djazuli,
H. A., Prof, Drs. 1997. Fiqh Jinayah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Furqan,
H. Arif, dkk. 2002. Islam Untuk Disiplin Ilmu Hukum. Jakarta: Departemen Agama
RI, Direktorat Jendral Kelembagaan Agama Islam.
Hanafi,
Ahmad. 1990. Asas-Asas Hukum Pidana Islam Cet. 4. Jakarta: Bulan Bintang.
Kumpulan
Hadits Riwayat Bukhary dan Muslim. 2002.
Munajat,
Makhrus, M. Hum, Drs. 2004. Dekonstruksi Hukum Pidana Islam. Jogjakarta: Logung
Pustaka
Rahman
I Doi, Prof. Abdur. 1992. Tindak Pidana Dalam Syariat Islam. Jakarta: PT Rineka
Cipta
Wardi
Muslich, Ahmad, Drs, H. 2004. Pengantar Dan Asas Hukum Pidana Islam. Jakarta:
Sinar Grafik.
Projodikoro Wirjono, Asas-asas Hukum Pidana di
Indonesia, (Bandung: PT Refika Aditama, 2003).
Wardi Muslih Ahmad, Pengantar dan Asas Hukum
Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006).
KUHP dan KUHAP, (Bandung: Citra Umbara, 2007).
Waluyo Bambang, Pidana dan Pemidanaan, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2008).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar