Oleh
: Samsudin Kadir
Dilihat
dari asal-usulnya, istilah ‘liberalisme’ berasal dari bahasa Latin, liber,
yang artinya ‘bebas’ atau ‘merdeka’. Hingga penghujung abad 18 M, istilah ini
terkait erat dengan konsep manusia merdeka, baik merdeka semenjak lahir ataupun
merdeka sesudah dibebaskan dari yang semula berstatus ‘budak’.[1]
Para
sejarawan Barat biasanya menunjuk moto revolusi Perancis 1789—kebebasan,
kesetaraan, persaudaraan (liberte, egalite, fraternite) sebagai piagam agung
(magna charta) liberalisme modern. Sebuah prinsip yang menyatakan bahwa tunduk
kepada otoritas—apapun namanya—adalah bertentangan dengan hak azasi, kebebasan
dan harga diri manusia. Liberalisme yang sudah dikampanyekan sejak abad 15 M oleh Locke,
Hume (Inggris), Rousseau, Diderot (Perancis), Lessing dan Kant (Jerman) ini
pada tahap selanjutnya menuntut kebebasan individu yang seluas-luasnya, menolak
klaim pemegang otoritas Tuhan, dan menuntut penghapusan hak-hak istimewa gereja
maupun raja. Dalam catatan Syamsuddin Arif, ideologi liberalisme yang
kebablasan tersebut pada akhirnya menganjarkan tiga hal: pertama, kebebasan berpikir tanpa batas alias free thingking. Kedua, senantiasa meragukan dan
menolak kebenaran alias sophisme. Ketiga, sikap longgar dan semena-mena dalam beragama.[2]
Menurut
Adian Husaini, munculnya liberalisme yang seperti itu di Barat tidak terkepas
dari tiga faktor.Pertama, trauma sejarah, khususnya
yang behubungan dengan dominasi agama (Kristen) di zaman pertengahan. Dalam
perjalanan sejarahnya, peradaban Barat (western civilization)
telah mengalami masa yang pahit, yang mereka sebut ‘zaman kegelapan’ (the
medieval ages). Mereka menyebutnya juga sebagai ‘zaman pertengahan’ (the medieval ages).
Zaman itu dimulai ketika Imperium Romawi Barat runtuh pada tahun 476 dan mulai
munculnya Gereja Kristen sebagai institusi dominan dalam masyarakat Kristen
Barat. Gereja yang mengklaim sebagai institusi resmi wakil Tuhan di muka bumi
melakukan hegemoni terhadap kehidupan masyarakat dan melakukan tindakan brutal
yang sangat tidak manusiawi.
Kedua, problem teks Bible. Masyarakat
Krsiten Barat menghadapi problem otentisitas teks dengan kitabnya. Perjanjian
Lama (Hebrew Bible) sampai saat ini tidak diketahui siapa
penulisnya. Padahal tidak ada satu ayat pun yang menyebutkan bahwa Moses
penulisnya. Sementara itu di dalam teksnya terdapat banyak kontradiksi.
Demikian halnya dengan Perjanjian Baru (The New Testament). Ada dua
problem terkait dengan keberadaannya, yaitu (1) tidak adanya dokumen Bible yng
orginal saat ini, dan (2) bahan-bahan yang ada pun sekarang ini bermacam-macam,
berbeda satu dengan yang lainnya. Tidak kurang dari sekitar 5000 manuskrip teks
Bible dalam bahasa Greek (Yunani), yang berbeda satu dengan yang lainnya.
Ketiga, problem teologi Kristen. Sebuah
kenyataan di Barat yang sulit dielakkan adalah, Tuhan menjadi sesuatu yang
problem. Menjelaskan bahwa Tuhan itu 1 dalam 3, 3 dalam 1, dan menjelaskan apa
sebenarnya hakikat Yesus, telah membuat seorang cendekiawan seperti Dr. C.
Greonen Ofm “lelah” dan “menyerah”. Ia lalu sampai pada kesimpulan bahwa Yesus
memang misterius.[3]
Dari
latar belakang seperti itu maka tidak heran jika kemudian masyarakat Barat
cenderung beragama tanpa berkeyakinan. Dalam artian, mereka beragama Kristen
tapi mereka kemudian tidak sepenuhnya meyakini doktrin-doktrin Kristen. Mereka
meragukan eksistensi Tuhan yang bisa mengetahui segala sesuatu, doktrin
Trinitas, dan Bible sebagai wahyu Tuhan. Akibatnya mereka menerima secara
mutlak pemisahan Gereja dan Negara, dan mempercayai penuh doktrin kebebasan dan
toleransi agama. Kebebasan yang juga termasuk kebebasan untuk tidak beragama
dan toleransi yang sampai meyakini kebenaran agama lain atau pluralisme agama.[4]
Dari
penjelasan di atas, tanpa mengerutkan dahi pun, kita semua tentu paham bahwa
Liberal adalah ideologi yang lahir dari rahim Barat-Kristen. Ia bukan berasal
dari Islam, dan sudah tentu akan bertentangan dengan Islam. Pandangan bahwa
manusia memiliki hak azasi yang bebas dari setiap otoritas sangat bertentangan
dengan Islam yang mengajarkan manusia untuk memegang teguh norma-norma Ilahi
yang telah dijelaskan-Nya lewat Al-Qur’an dan Sunnah, berdasarkan panduan para
ulama terpercaya. Dari sejak awal sampai sekarang bisa dipastikan tidak seorang
muslim pun—kecuali yang Liberal—yang merasa bahkan meyakini bahwa dirinya
terkekang oleh Allah, para Nabi, atau oleh para ulama. Yang ada justru
sebaliknya, mereka sangat merindukan panduan dari para ulama tentang ajaran
Allah dan Rasul-nya yang tersaji dalam Al-Qur’an dan Sunnah. [*Tulisan ini
merupakan pembuka dari tulisan Mengenal Islam Liberal, Oleh: Syamsudin
Kadir, Pegiat Kajian dan Study Pemikiran Islam/Cp: 081 804 621 609]
[1] Syamsuddin
Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran. Jakarta: Gema Insani
Press, 2008, hlm. 76.
[2] Ibid,
hlm. 78-79.
[3] Adian Husaini, Wajah
Peradaban Barat. Jakarta: Gema Insani Press, 2005, hlm. 28-51.
[4] Hamid Fahmy
Zarkasyi, Liberalisasi Pemikiran Islam; Gerakan Bersama Missionaris,
Orientalis, dan Kolonilias. Ponorogo: CIOS-ISID, 2007, hlm. 33-35.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar