“Semoga Allah mengagungkan
ganjaranmu dan membaguskan kesedihanmu dan mengampuni mayitmu dan menolong
musibahmu atau menggantikan bagimu(kebaikan) atau seumpama dengan itu”
Semua dan do’a yang ciucapkan itu adalah takziyah bagi sesama muslim,
adapun takziyah seorang muslim kepada orang kafir tidak perlu diucapkan dalam takziyah,
“semoga allah mengampuni mayitmu”
karena sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni perbuatan kufur.
Takziyah disunatkan sebelum lewat tiga hari dari kematian dan
dimakruhkan setelah lewat tiga hari, dan disunatkan untuk memenuhi takziyah
semua keluarga mayit dari mulai anak-anak hingga orang dewasa, baik laki-laki
maupun perempuan kecuali pemudi dan amrad. Maka tidak disunatkan takziyah pada
keduanya (pemudi dan amrad) kecuali mahram keduanya dan suaminya, dan makruh
bagi orang lain (yang bukan mahram) memulai takziyah kepada keduanya (pemudi
dan amrad) bahkan bisa jadi lebih dekat ke haram.
Dimakruhkan bagi keluarga mayit duduk untuk takziyah dan membuat makanan
yang didalamnya berkumpul manusia seperti yang diriwayatkan Ahmad dari Jarir
Bin Abdullah Al Bahali, bahwa dia berkata “Terbukti
kami membiasakan berkumpul bagi keluarga mayit dan mereka (keluarga mayit)
membuat makanan setelah dikubur itu termasuk perbuatan meratap, akan tetapi
disunatkan bagi tetangga keluarga mayit walaupun tetangga jauh dan mengenal
mereka meskipun terbukti bukan tetangga dan kerabat dekat kecuali yang jauh dan
tetangga diluar daerah untuk membuat makanan bagi keluarga mayit yang mencukupi
sehari semalam dan memberi kepada mereka makan dan diharamkan membuat makanan
untuk meratap karena sesungguhnya hal itu itu membantu dalam maksiat.”
Dan sungguh telah aku perhatikan mengeni pertanyaan yang ditanyakan
(diangkat) kepada para Mufti Mekkah (مفاتي مكة المشرفة) tentang apa yang dilakukan oleh
Ahlu (keluarga) mayyit perihal makanan (membuat makanan) dan (juga aku
perhatikan) jawaban mereka atas perkara tersebut.
Gambaran (penjelasan mengenai keduanya; pertanyaan
dan jawaban tersebut} yaitu mengenai (bagaimana) pendapat
para Mufti yang mulya (المفاتي
الكرام) di negeri “al-Haram”, (semoga
(Allah) mengabadikan manfaat mareka untuk seluruh manusia sepanjang masa),
tentang kebiasaan (‘urf) yang khusus
di suatu negeri jika ada yang meninggal, kemudian para pentakziyah hadir dari
yang mereka kenal dan tetangganya, lalu terjadi kebiasaan bahwa mereka
(pentakziyah) itu menunggu (disajikan) makanan dan karena rasa sangat malu
telah meliputi ahlu (keluarga mayyit) maka mereka membebani diri dengan beban
yang sempurna (التكلف
التام), dan (kemudian keluarga mayyit)
menyediakan makanan yang banyak (untuk pentakziyah) dan menghadirkannya kepada
mereka dengan rasa kasihan. Maka apakah bila seorang ketua penegak hukum yang
dengan kelembutannya terhadap rakyat dan rasa kasihannya kepada ahlu mayyit
dengan melarang (mencegah) permasalahan tersebut secara keseluruhan agar
(manusia) kembali berpegang kepada As-Sunnah yang lurus, yang berasal dari
manusia yang Baik (خير
البرية) dan (kembali) kepada jalan Baginda
Nabi Saw. saat ia bersabda, “Sediakanlah
makanan untuk keluarga Jakfar”, apakah pemimpin itu diberi pahala atas yang
disebutkan (pelarangan itu) ? mereka memberi pemahaman dengan jawaban yang
telah dinukil dan panjang lebar.
Semoga rahmat dan keselamatan selalu terlimpah curahkan kepada junjungan
kita Nabi Muhammad saw, keluarganya, sahabat-sahabatnya dan orang-orang yang
selalu menjalankan syari’at mereka (Nabi ,keluarganya, sahabat-sahabtnya). Ya Allah
aku memohon kepadamu petunjuk kepada kebenaran, Ya, apa yang dilakukan oleh
manusia dari berkumpul ditempat ahlu (keluarga) mayyit dan menghidangkan
makanan, itu bagian dari bid’ah munkarah, yang diberi pahala bagi yang
mencegahnya dan menyuruhnya. Allah akan mengukuhkan dengannya kaidah-kaidah
agama dan mendorong Islam serta umat Islam, Berkata Al-‘Alamah Syaik Ahmad Ibnu
Hajar di dalam kitab Tuhfatul Minhaj Syarah Kitab Minhaj dan
disunatkan bagi tetangga keluarga mayit menghidangkan makanan yang mencukupi
mereka (keluarga mayit) sehari semalam karena ada hadist shahih “Buatlah oleh kalian makanan bagi keluarga Ja’far
ketika datang pada meraka kesibukan dan memberi makan kepada mereka adalah
sunnah karena sesungguhnya mereka meninggalkan makan karena malu dan terlampau
sedih dan haram mempersiapkan makan untuk orang yang meratap karena sesunguhnya
hal itu termasuk membantu maksiat.” Dan apa yang dibiasakan manusia tentang
hidangan dari keluarga si mayit yang disediakan untuk para undangan, adalah
bid’ah yang tidak disukai agama, sebagaimana datangnya para undangan ke acara
itu, karena ada hadits shahih yang diriwayatkan dari Jarir Radhiallahu ‘Anhu: “Kami
menganggap bahwa berkumpul di rumah keluarga si mayit, mereka menghidangkan
makanan setelah penguburannya, adalah termasuk nihayah (meratap) –yakni
terlarang. Dan bentuk membiasakan nihayah(meratap) adalah perkara yang didalamnya
ada kepentingan untuk bersedih yang berlebihan dan termasuk perkara yang makruh
berkumpul pada keluarga mayit dengan tujuan bersedih yang berlebihan bahkan
seyogyanya mereka berpaling dari tujuan-tujuan mereka tersebut maka seharusnya
mereka memberi pemahaman terhadap hal tersebut.”
Dalam kitab Hasiyatul Jamal ‘alaa Syarh al-Minhaj (karangan Al-‘Allamah asy-Syekh
Sulaiman al-Jamal) ; “Dan sebagian dari
bid’ah Munkarah dan Makruh mengerjakannya yaitu apa yang dilakukan orang
daripada berduka cita , berkumpul dan 40 harian, bahkan semua itu haram jika
(dibiayai) dari harta yang terlarang (haram), atau dari (harta) mayyit yang
memiliki (tanggungan) hutang atau (dari harta) yang bisa menimbulkan bahaya
atasnya, atau yang lain sebagainya”. Dan sungguh Rasulullah bersabda kepada
Bilal bin Harits (رضي
الله عنه) : “Wahai Bilal, barangsiapa yang menghidupkan sunnah dari sunnahku setelah
dimatikan sesudahku, maka baginya pahala seperti (pahala) orang yang
mengamalkannya, tidak dikurangi sedikitpun dari pahala mereka (orang yang
mengamalkan) dan barangsiapa yang mengada-adakan (membuat) bid’ah dhalalah
dimana Allah dan Rasul-Nya tidak akan ridha, maka baginya (dosa) sebagaimana
orang yang mengamalkannya dan tidak dikurangi sedikitpun dari dosa mereka”.
Selanjutnya Nabi Saw. bersabda ; “Sesungguhnya
kebaikan (الخير) itu memiliki khazanah-khazanah,
khazanah-khazanah itu ada kunci-kuncinya (pembukanya), Maka berbahagialah bagi
hamba yang telah Allah jadikan pada dirinya pembuka untuk kebaikan dan pengunci
keburukan”.
Maka, celakalah bagi hamba yang telah Allah jadikan pada dirinya pembuka
keburukan dan pengunci kebaikan. Tidak ada keraguan sama sekali bahwa mencegah
manusia dari bid’ah Munkarah ini adalah termasuk menghidupkan as-Sunnah,
mematikan bid’ah, membuka pintu-pintu kebaikan, dan mengunci pintu-pintu
keburukan. Maka jika manusia membebani (dirinya) dengan beban yang banyak, itu
hanya akan mengantarkan mereka kepada perkara yang diharamkan dan Allah Swt. Maha
Mengetahui. Telah menulis keterangan tersebut Syaikh Murtaji dari gurunya Syaikh
Gufran Ahamad Bin Zaini Dahlan mufti Madzhab Syafi’i di Makkah ghafarallahu lahu, kedua orang tuanya,
guru-gurunya dan orang-orang muslim.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar