BAB I
PENDAHULUAN
A.
Pengantar
Agama
Islam mempunyai sejarah yang panjang dalam pembuatan hukum-hukum untuk mengatur
kehidupan manusia. Di mulai sejak zaman Nabi Muhammad SAW hingga saat ini. Masa
yang paling panjang adalah cara pengambilan hukum lewat jalan ijtihad. Ijtihad
mengalami naik-turun hingga saat ini. Menurut sejarawan hukum Islam, kegiatan
ijtihad mulai mengalami penurunan semenjak meninggalnya para mujtahid terkenal.
Hal ini terjadi pada masa-masa akhir kejayaan imperium Islam. Yaitu ketika
daulah Abbasiyah sudah di ambang pintu kehancuran. Sebagian ulama memandang
cukup untuk merujuk pendapat imam mahzabnya tanpa harus melakukan ijtihad lagi.
Fase ini merupakan fase pergeseran orientasi. Kalau masa-masa sebelumnya merujuk
pada Al-Qur’an dan Sunnah, maka pada masa ini yang dirujuk adalah kitab-kitab
fiqih yang dikarang oleh imam-imam yang dipandang lebih berkompeten.
Untuk
menjaga kesucian kitab-kitab fiqih disamping Al-Qur’an dan Sunnah, ulama
melakukan kegiatan yang bersifat internal, yaitu membangun mahzab yang
dianutnya sehingga dapat berkembang. Terdapat dua ciri yang menandai kemunduran
fiqih Islam, yaitu munculnya taqlid dan tertutupnya pintu ijtihad.
Berbagai
faktor, baik politik, mental sosial dan sebagainya yang telah mempengaruhi
kegiatan para ulama dalam bidang hukum. Sehingga tidak sanggup mempunyai
kepribadian fikiran sendiri, melainkan harus selalu bertaqlid.
Muhammad
Zuhri berpendapat bahwa periode taklid tejadi sejak runtuhnya Baghdad ditangan
Holako sampai sekarang. Unsur Turki atau Thurani adalah suatu unsur yang besar
sekali yang terdiri dari beberapa kabilah yang berbeda-beda, setelah menyiapkan
sarana-sarana berkelana ia jelajahi negeri-negeri Islam untuk menguasainya
sebagai tambahan atas negeri asalnya.
B.
Sekilas Perbedaan Pendapat di
Kalangan Umat Islam
Pasca Rasulullah wafat,
tiada lagi otoritas tunggal yang mampu menjawab segala permasalahan umat yang
berkaitan dengan syari’at Islam. Meskipun para sahabat Nabi adalah
manusia-manusia pilihan dan memahami tujuan pensyariatan, namun tingkat
kemampuan para sahabat menangkap pesan al-Qur’an dan sabda Nabi beragam. Selain
itu, tidak semua para sahabat mengetahui segala yang disabdakan Nabi. Faktor
semakin luasnya wilayah Islam juga memunculkan problem sosial baru yang tidak
ditemui saat Rasulullah masih hidup, padahal semua itu membutuhkan jawaban
berdasar syari’at Islam.
Jika jawaban atas
permasalahan umat pada masa sahabat itu terdapat dalam al-Qur’an maupun sabda
Nabi, tidaklah menjadikan problem. Namun, bila tidak ditemukan jawaban secara
eksplisit dalam kedua sumber syariat tersebut, atau terdapat dalam beberapa
hadis namun penjelasannya saling bertentangan, ataupun ayat al-Qur’an yang satu
dengan yang lain saling bertentangan menyikapi permasalahan tersebut, di
sinilah potensi perbedaan pendapat muncul. Semisal perbedaan penalaran hadis
Rasulullah yang berbunyi: “Inna ahlaha
yabkuna ‘alaiha waiyyaha tu’adzabu fi qabriha” (keluarga menangisinya,
padahal ia sedang disiksa dalam kuburnya).
Berkaitan dengan hadis itu
Ibnu Umar berpendapat bahwa siksaan atas mayit dikarenakan tangisan
keluarganya. Hal itu dibantah oleh Siti Aisyah; dia berpendapat bahwa Nabi
bersabda demikian tatkala melewati kuburan orang Yahudi yang sedang diratapi
oleh keluarganya. Menurut Istri Nabi Saw tersebut, siksaan itu bukan karena
faktor tangisan dari keluarga mayit, namun karena kekafiran si mayit itu. Jika
Ibnu Mas’ud memandang keumuman lafadznya (al-ibrah
biumumil lafdzi), sehingga memunculkan pemahaman bahwa setiap
ratapan atau tangisan keluarga menyebabkan disiksanya seorang mayit. Maka
Aisyah melihat dari kekhususan redaksinya (al-ibrah
bikhususis sabab), yakni sabda nabi hanya berlaku pada kasus si
mayit Yahudi itu, dan tidak ada kaitan dengan ratapan keluarga si mayit.
Meskipun kedua sahabat tersebut berbeda pendapat namun tidak menimbulkan saling
klaim paling benar sendiri dan perselisihan.
Jika di masa sahabat yang
nota bene sempat menyaksikan proses pewahyuan dan berinteraksi langsung
terhadap Rasulullah telah terjadi perbedaan penafsiran sumber syariat, maka
wajar jika generasi selanjutnya juga demikian, bahkan semakin lebar tingkat
perbedaannya. Kurun pasca sahabat, pendapat sahabat Nabi yang beragam itupun
dijadikan pegangan hukum oleh para ulama mujtahid di masa tabi’in dan
setelahnya. Kemudian para mujtahid berusaha menciptakan metode-metode yang
dijadikan acuan untuk memahami sumber syariat.
BAB II
PEMBAHASAN
TAQLID DAN KEJUMUDAN BERFIKIR DI
KALANGAN UMAT ISLAM
A.
Pengertian Taqlid
Taqlid
berasal dari bahasa Arab “qallada”, “yuqallidu”, “taqliidan”, yang mempunyai
arti banyak: mengalungi, meniru, mengikuti. Sedangkan para ulama fiqih
mengartikan taqlid sebagai penerimaan perkataan seseorang sedang engkau tidak
mengetahui dari mana asal perkataan itu.
Dari
defenisi di atas terdapat dua unsur yang perlu diperhatikan dalam pembicaraan
taqlid, yaitu:
a) Menerima atau mengikuti suatu
perkataan seseorang
b) Perkataan tersebut tidak diketahui
dasarnya, apakah ada dalam Al-Qur’an dan hadits tersebut.
Adapun
defenisi taqlid menurut para ahli ushul fiqih:
a)
Taqlid
menurut Imam Al-Ghazali dalam Al-Mustasyfa adalah:
التّقليد قبول بغير حجّّة وليس طريقا
للعلم لافى الاْصول ولافى الفروع
“Taqlid
adalah menerima suatu perkataan dengan tidak ada hujjah. Dan tidak ada taqlid
itu menjadi jalan kepada pengetahuan (keyakinan), baik dalam urusan ushul
maupun dalam urusan furu’.”
b) Al-Asnawi dalam kitab Nihayat
Al-Ushul mendefinisikan:
التّقليد هو الاْخذ بقول غير دليل
“Mengambil perkataan orang lain
tanpa dalil”
c) Ibnu Subki dalam kitab Jam’ul
jawami mendefinisikan:
التقليد هو اخذ القول من غير معرفة
دليل
“Taqlid adalah mengambil suatu perkataan
tanpa mengetahui dalil”.
Contoh
taqlid: Seseorang yang mengikuti Umar bin Khattab dalam melaksanakan shalat
tarawih 20 rakaat, tetapi dia tidak mengetahui alasan yang dijadikan dasar oleh
Umar.
Dja’far
Amir, dalam bukunya Ushul Fqih III menjelaskan taqlid adalah mengikuti pendapat
orang lain, mengikuti perkataan orang lain, dengan tidak mengetahui dari mana
asal pengambilannya, entah orang lain tadi benar atau salah, pokoknya asal
mengikuti saja tanpa mengetahui dasar-dasar pengambilannya, hanya mengikuti
saja tanpa berfikir. Dan orang yang bertaqlid disebut muqallid.
Masjfuk
Zuhdi mengatakan, mujtahid itu menjadi tempat bertanya dan rujukan bagi
masyarakat awam. Mereka wajib mengikuti hukum ijtihad mujtahid, tanpa harus
mengikuti dalil-dalilnya. Sebab mujtahid itu pasti menyandarkan semua
pendapatnya atas dalil-dalil syara’, Sekalipun ia tidak menerangkan dalil-dalilnya
itu kepada masyarakat awam yang meminta fatwanya. Para mujtahid dari sahabat
dan tabi’in banyak sekali memberikan fatwa hukum kepada masyarakat awam tanpa
menerangkan landasan fatwanya, dan mereka pun dapat menerima fatwa atau hukum
ijtihadnya dengan baik. Namun, hal ini tidak berarti bahwa tidak ada orang yang
mengikuti hukum ijtihad itu mengetahui dalil dan tempat pengambilannya. Dan
orang-orang yang mengerti hukum ijtihad dengan mengetahui dalil-dalilnya itu
sudah tentu tingkatannya lebih tinggi daripada orang-orang yang mengikuti hukum
ijtihad tanpa mengetahui dalil-dalilnya. Karena itu, sebagian ulama memberi
nama muttabii’, bukan muqallid kepada orang-orang yang mengikuti hukum ijtihad
dengan mengetahui dalil-dalil yang dipakai sebagai dasar hukum ijtihadnya.
Ulama
telah sepakat bahwa pandangan dan sikap seorang mujtahid tidak boleh berbeda
dengan hukum ijtihadnya dan mujtahid lain. Tetapi ulama belum ada kesepakatan
mengenai suatu masalah yang belum pernah diijtihadkan oleh seorang mujtahid,
sedangkan mujtahid lain telah melakukan ijtihad.
Adapun
orang yang awam dan juga orang yang mempunyai pengetahuan sedikit tentang
berijtihad, tetapi belum sampai ketingkat mujtahid, para ulama pada prinsipnya
membolehkan mereka meminta fatwa dan taqlid. Hanya saja ulama membedakan
masalah furu’ dengan masalah ushul atau aqidah.
Misalnya
saja orang berbuat sesuatu karena semata-mata karena orang tuanya berbuat
demikian. Sebagaimana dalam Q.S. Asy Syu’ara: 74 yang berbunyi
(#qä9$s% ö@t/ !$tRôy`ur $tRuä!$t/#uä y7Ï9ºxx. tbqè=yèøÿt ÇÐÍÈ
“Mereka menjawab: “(Bukan karena itu)
sebenarnya Kami mendapati nenek moyang Kami berbuat demikian”
Jadi
mereka berbuat semata-mata asal meniru saja, hanya mengikut saja.
B.
Faktor Penyebab Timbulnya Sikap Taqlid
Yusron
Asmuni dalam buku Dirasah Islamiyah II mengatakan bahwa taqlid mulai muncul
sekitar abad VII H sampai dengan abad XIII H. Yaitu pada masa kemunduran umat
Islam. Pada masa ini umumnya para ulama tidak mau lagi melakukan ijtihad,
mereka hanya membeda-bedakan mana dalil yang kuat dan mana dalil yang lemah,
dengan demikian ilmu fiqih pada abad-abad ini dalam keadaan statis.
Sulaiman
al-Asyqar (1991: 146-162) menyebutkan lima sebab:
a.
Adanya
penghargaan yang berlebihan kepada guru. Hal itu tercermin dalam anggapan
bahwa, pertama, setiap orang dewasa diwajibkan menganut salah satu mahzab dan
haram jika keluar dari mahzab tersebut. Kedua, mengambil pendapat selain
pendapat imam yang dianutnya adalah haram, Ketiga, guru yang terdahulu lebih
mengetahui nash daripada kita.
b.
Banyaknya
kitab fiqih. Pada zaman Abu Bakar dan Umar, Haditst tidak boleh dibukukan
karena Nabi SAW melarangnya. Cegahan tersebut dilakukan karena Nabi khawatir
para sahabat akan meninggalkan Al-Qur’an karena disibukkan dengan kegiatan
pengumpulan dan pembukuan Haditst. Yang dikhawatirkan setelah munculnya
kitab-kitab fiqih adalah disibukkannya ulama dengan kegiatan yang berkutat pada
kitab fiqih melalui upaya pembuatan ringkasan (al-mukhtashar), penjelasan
(syarh), dan penjelasan atas penjelasan (hasyiyah).” Dalam kitab Muqaddimah,
Ibnu Khaldun menyatakan bahwa melakukan kegiatan yang berkutat pada kitab fiqih
adalah kegiatan yang menyulitkan karena akan belajar haruslah menguasai,
menghafal dan menjaga seluruh isi dan cara-cara yang ditempuhnya.
c.
Melemahnya
Daulah Islamiyah. Sebagaimana yang kita ketahui bersama, dukungan pemerintah
sangat mempengaruhi terhadap kegiatan ilmiah. Dunia Islam pun mulai berkembang
dan maju setelah khalifah berpihak kepada pengembangan ilmu dan penerjemahan
terhadap buku-buku filsafat, astronomi dan kedokteran ke dalam bahasa Arab.
Sebaliknya melemahnya pemerintahan berarti melemah juga tehadap pengembangan
ilmu.
d.
Adanya
anjuran sultan yang menganjurkan untuk mengikuti aliran yang dianutnya.
Kedudukan sultan berpengaruh terhadap taqlid karena sultan hanya mengangkat
qadli atau hakim dari mahzab yang dianutnya.
e.
Adanya
keyakinan sebagian ulama yang beranggapan bahwa pendapat setiap mujtahid itu
benar. Menurut sebagian ulama, pendapat ulama sejajar dengan syariat, sehingga
pendapat ulama yang mana saja boleh digunakan. Ada kesan bahwa pendapat ulama
adalah agama yang mesti diikuti.
Adapun
Ahmad Hanafi di dalam buku Pengantar dan Sejarah Hukum Islam juga menjelaskan
beberapa sebab munculnya taqlid, yaitu:
a.
Pergolakan
politik telah mengakibatkan perpecahan di dalam negeri Islam menjadi
negeri-negeri kecil sehingga negeri-negeri tersebut selalu mengalami kesibukan
perang, saling menfitnah, dan hilangnya ketentraman masyarakat. Sehingga
berkurangnya perhatian terhadap kemajuan ilmu.
b.
Timbul
berbagai mahzab yang mempunyai metode berfikir sendiri dibawah seorang imam
mujtahid. Akibatnya para pengikut mahzab berusaha untuk membela mahzabnya tanpa
memperkuat dasar maupun pendapatnya dengan cara mengemukakan alasan kebenaran
mahzabnya dan menyalahkan pendapat mahzab lain dengan cara memuji imam yang
mereka anut. Akhirnya seseorang tidak mengarahkan perhatiannya kepada Al-Qur’an
dan Haditst, tapi baru menggunakan kedua sumber ini untuk memperkuat pendapat
imamnya. Dengan demikian kebebasan orang untuk berfikir menjadi hilang, orang
berilmu menjadi awam dan akhirnya hanya bisa bertaqlid.
c.
Pembukuan
terhadap pendapat mahzab menyebabkan orang mudah untuk mencarinya, orang hanya
mencari yang mudah bukan yang sulit. Sebelumnya para fuqaha berijtihad untuk
menyelesaikan masalah syara’. Tapi setelah hasil ijtihad dibukukan para pencari
ilmu hanya mencukupkan dengan pendapat yang telah ada. Sehingga hilanglah
dorongan untuk maju.
d.
Masa
sebelumnya para hakim berasal dari orang yang bisa berijtihad sendiri, tapi
masa sesudahnya hakim diangkat dari orang yang bertaqlid pada pendapat
mahzab-mahzab tertentu.
e.
Penutupan
pintu ijtihad.
Jaih
Mubarok menyebutkan beberapa penyebab tertutupnya ijtihad, yaitu:
Pertama, munculnya hubb al-dunya di
kalangan para ulama. Imam al-Ghazali dalam kitab Ihya ‘Ulum al-Din, membagi
ulama menjadi dua bagian: ulama dunia dan ulama akhirat. Ulama dunia adalah
ulama yang ilmunya digunakan hanya untuk mengejar kepentingan duniawi; dan ia
lalai dalam ibadah serta kehilangan sifat zuhud.
Kedua, adanya perpecahan politik. Pada
akhir kekuasaan Abbasiyah, khalifah dijadikan boneka; daerah yang dikuasainya
masing-masing berdiri sendiri dan saling bermusuhan. Pada tahun 324 H, umat
Islam terbagi ke dalam beberapa kerajaan: Bashrah dikuasai dinasti Ra’iq, Fez
dikuasai dinasti ‘ali ibn Buwaihi, Ray dikuasai oleh Abi ‘Ali al-Husain ibn
al-Buwaihi, Diyar Bakr oleh bani Hamdan, Mesir dan Syam dikuasai dinasti
Fatimiyah, dan Bahrain dikuasai oleh dinasti Qaramithah. Khalifah hanya
berkuasa di Baghdad.
Ketiga, adanya perpecahan aliran fiqih.
Umat Islam ada yang beranggapan bahwa pendapat ulama sepadan dan sejajar dengan
Al-qur’an dan Sunnah. Pendapat ulama tidak boleh diubah atau diganti dengan
pendapat lain. Sehingga melahirkan ketidakharmonisan dalam kalangan umat Islam,
karena dalam sejarah umat Islam memiliki banyak aliran. Setiap pengikut mahzab
mengklaim bahwa pendapat imamnya yang paling benar dan pendapat imam lain
salah. Selain itu faktor lain adalah munculnya keterbelengguan pemikiran atau kegiatan
pengembangan ilmu. Ijtihad adalah bagian dari kegiatan ilmiah. Sehingga
tertutupnya ijtihad merupakan implikasi kemunduran umat Islam.
Inilah
beberapa pendapat yang mengemukakan sebab-sebab munculnya taqlid. Dimana,
karena semua itu menyebabkan orang-orang muslim tidak mau lagi berijtihad dalam
menyelesiakan permasalahan mereka. Saling menghina dan menyalahkan aliran atau
ajaran mahzab lain adalah kebiasaan orang-orang muslim pada masa muqallidun.
Dan kemunduran Islam pun semakin parah dan tidak bisa bangkit seperti masa-masa
sebelumya.
C.
Hukum Taqlid
Pada
dasarnya para ulama sepakat mengharamkan taqlid karena dapat membuat manusia
malas untuk berijtihad. Dalam buku Ushul Fiqih II karangan Drs. H.A. Mu’in
disebutkan ada tiga hukum taqlid, yaitu:
1.
Taqlid
yang haram
Para ulama
membagi taqlid yang dihukumi haram ini menjadi tiga macam:
a) Taqlid semata-mata mengikuti adat
kebiasaan atau pendapat nenek moyang atau orang-orang dahulu kala, yang
bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah. Contohnya adat kebiasaan yang terjadi
pada masyarakat yang sampai sekarang masih sulit untuk ditinggalkan, yaitu pada
setiap bulan syuro diadakan yang namanya “bersih desa” atau “grebeg suro” yang
ditandai dengan ritual-ritual yang menandai perbuatan syirik dan perdukunan yang
masih kental di dalam masyarakat awam di daerah-daerah terpencil sebagaimana
firman Allah :
#sÎ)ur @Ï% ãNßgs9 (#qãèÎ7®?$# !$tB tAtRr& ª!$# (#qä9$s% ö@t/ ßìÎ6®KtR !$tB $uZøxÿø9r& Ïmøn=tã !$tRuä!$t/#uä 3 öqs9urr& c%x. öNèdät!$t/#uä w cqè=É)÷èt $\«øx© wur tbrßtGôgt ÇÊÐÉÈ
"Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Ikutilah apa yang telah
diturunkan Allah,” mereka menjawab: “(Tidak), tetapi Kami hanya mengikuti apa
yang telah Kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami”. “(Apakah mereka
akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu
apapun, dan tidak mendapat petunjuk?” (Q.S. Al-Baqarah : 170)
b) Taqlid kepada orang atau sesuatu
yang tidak diketahui kemampuan dan keahliannya. Seperti orang yang menyembah
berhala, tapi ia tidak mengetahui kemampuan dan kekuasaan berhala tersebut.
Allah berfirman dalam surat Al-Baqarah yang berbunyi:
ÆÏBur Ĩ$¨Z9$# `tB äÏGt `ÏB Èbrß «!$# #Y#yRr& öNåktXq6Ïtä Éb=ßsx. «!$# ( tûïÉ©9$#ur (#þqãZtB#uä x©r& ${6ãm °! 3 öqs9ur tt tûïÏ%©!$# (#þqãKn=sß øÎ) tb÷rtt z>#xyèø9$# ¨br& no§qà)ø9$# ¬! $YèÏJy_ ¨br&ur ©!$# ßÏx© É>#xyèø9$# ÇÊÏÎÈ øÎ) r&§t7s? tûïÏ%©!$# (#qãèÎ7?$# z`ÏB úïÏ%©!$# (#qãèt7¨?$# (#ãrr&uur z>#xyèø9$# ôMyè©Üs)s?ur ãNÎgÎ/ Ü>$t7óF{$# ÇÊÏÏÈ tA$s%ur tûïÏ%©!$# (#qãèt7¨?$# öqs9 cr& $oYs9 Zo§x. r&§t6oKoYsù öNåk÷]ÏB $yJx. (#râä§t7s? $¨ZÏB 3 y7Ï9ºxx. ÞOÎgÌã ª!$# öNßgn=»yJôãr& BNºuy£ym öNÍkön=tæ ( $tBur Nèd tûüÅ_Ì»yÎ/ z`ÏB Í$¨Y9$# ÇÊÏÐÈ
“Dan diantara manusia ada orang-orang yang
menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana
mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya
kepada Allah. Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui
ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan
Allah semuanya, dan bahwa Allah Amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka
menyesal). (yaitu) ketika orang-orang yang diikuti itu berlepas diri dari
orang-orang yang mengikutinya, dan mereka melihat siksa; dan (ketika) segala
hubungan antara mereka terputus sama sekali.” (Q.S. Al-Baqarah : 165-166)
c) Taqlid kepada perkataan atau
pendapat seseorang, sedang yang bertaqlid mengetahui bahwa perkataan dan
pendapat itu salah. Sebagaimana firman Allah SWT dalam Q.S At-Taubah ayat 31:
(#ÿräsªB$# öNèdu$t6ômr& öNßguZ»t6÷dâur $\/$t/ör& `ÏiB Âcrß «!$# yxÅ¡yJø9$#ur Æö/$# zNtötB !$tBur (#ÿrãÏBé& wÎ) (#ÿrßç6÷èuÏ9 $Yg»s9Î) #YÏmºur ( Hw tm»s9Î) wÎ) uqèd 4 ¼çmoY»ysö7ß $£Jtã cqà2Ìô±ç ÇÌÊÈ
“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan
rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan)
Al masih putera Maryam, Padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa,
tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa
yang mereka persekutukan.”
Berkenaan
dengan ayat di atas Nabi Muhammad SAW bersabda: ”Bukankah mereka menghalalkan bagimu apa yang telah diharamkan Allah,
dan mereka telah mengharamkan atasmu apa yang telah dihalalkan Allah bagimu.
Lalu kamu mengharamkannya pula?”
Dalam ayat ini
dijelaskan orang-orang yahudi dan nasrani mengikuti perkataan dan pendapat
rahib-rahib dan pendeta pendeta tanpa memperhatikan dasar-dasar dalil yang
mereka ucapkan karena mereka menganggap rahib dan pendeta adalah Tuhan. Hal ini
dikemukakan Allah secara analogi dalam ayat ini bahwa bertaqlid kepada orang
lain, sedang mereka mengetahui berbagai kesalahan sama dengan menyembah kapada
selain Allah. Dan hal ini sangat dicela Alah dan Rasulnya.
Sehubungan
dengan taqlid yang diharamkan diatas Ad Dahlawi mengatakan bahwa tidak boleh
seorang awam bertaqlid kepada seorang ulama dengan anggapan bahwa ulama itu
tidak munkin salah atau dengan anggapan bahwa semua yang dikatakan ulama itu
pasti benar, serta enggan mengikuti perkataan atau pendapat orang lain walaupun
ada dalil yang membenarkannya. Ad Dahlawi juga mengatakan bahwa tidak boleh
bertaqlid kepada orang yang mengharuskan berfatwa sesuai dengan mahzab Hanafi
sehingga semua persoalan harus dikembalikan kepada mahzab Hanafi saja atau
dengan mahzab tertentu saja, karena hal ini menyalahi kesepakatan ulama dan
berlawanan dengan pendapat sahabat dan tabi’in.
2.
Taqlid
yang dibolehkan
A. Mu’in
mengatakan diperbolehkan bertaqlid kepada seorang mujtahid dalam hal yang belum
ia ketahui hukum Allah dan Rasulnya yang berhubungan dengan persoalan atau
suatu peristiwa, dengan syarat bahwa ia harus selalu mencari dalil dan
menyelidiki kebenaranya, maksudnya bahwa taqlidnya adalah bersifat sementara.
Dan jika kebenarannya sudah diketahui dari Al-Qur’an dan Haditst dan ternyata
pendapat mujtahid tersebut salah maka pendapat itu harus ditinggalkan dan
kembali pada Al-Qur’an dan Haditst. Sebagai contoh adalah jika kita ketinggalan
waktu sholat ashar ada ulama yang berpendapat boleh dijama’ dengan sholat
magrib sesudahnya. Untuk sementara kita boleh mengikuti pendapat tersebut. Tapi
jika kita menemukan dalil yang menyalahkan pendapat tersebut kita harus
meninggalkannya.
Taqlid ini
biasanya terjadi pada orang awam kepada ulama yang dipercayainya, selama orang
awam itu belum menemukan alasan dari pendapat ulama yang diikutinya itu. Hal
semacam ini sudah terjadi dikalangan umat Islam sejak zaman Nabi Muhammad SAW.
Sekalipun para
imam mujtahid, seperti imam, Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafi’i, Ahmad bin Hanbal
tidak mengharuskan orang bertaqlid kepada pendapat mereka, namun para ulama
mutaakhirin membagi masyarakat yang bertaqlid menjadi dua golongan , yaitu:
a. Golongan awam atau orang yang tidak
berpendidikan wajib bertaqlid kepada pendapat salah satu dari ke empat imam
tersebut.
b. Golongan yang memenuhi syarat
ijtihad, sehingga tidak boleh bertaqlid kepada ulama. Ulama yang berpendapat
demikian antara lain:
1) Al ‘Adhud (wafat 573 H)
2) Ibnul Hajib (wafat 646 H)
3) Ibnus Subki (wafat 771 H)
4) Al Mahalli (wafat 886 H)
Mereka berempat
mengemukakan ada dua arti taqlid:
1) Taqlid dengan arti lughawi (bahasa),
yaitu beramal atau mengikuti pendapat seseorang tanpa mengetahui sama sekali
dasar dari pendapat itu.
2) Taqlid dengan arti ‘urfi (populer),
yaitu beramal atau mengikuti pendapat seeorang, sedang dasar dari pendapat itu
tidak diketahui dengan sempurna.
Ahmad Hanafi
menjelaskan bahwa bagi orang yang sudah mencapai tingkatan mujtahid, maka
dengan kesepakatan fuqaha ia tidak boleh menggunakan pendapat orang lain dengan
menyalahi hasil ijtihadnya sendiri. Tetapi apabila dalam suatu persoalan ia
belum mengambil ijtihad, sedangkan orang lain telah mengadakan ijtihad apakah
ia boleh mengikuti mendapat mereka?
Menurut
pendapat yang kuat ia tidak boleh mengambil ijtihad orang lain dan ia harus
ijtihad sendiri sebagai kewajiban pokok. Kebolehan mengikuti pendapat orang
lain bagi orang awam tidak berlaku bagi orang yang sanggup melakukan ijtihad
sendiri. Kebolehan mengikuti pendapat bagi orang biasa hanya terbatas dalam
masalah furu’ (masalah yang lahir), bukan masalah kepercayaan dan orang yang
diikuti bukanlah orang yang awam, tapi orang yang ahli dalam melakukan ijtihad,
berdasarkan keyakinan yang maksimal.
Kalau dalam
suatu negeri terdapat beberapa tingkatan orang mujtahid, maka yang harus
diikuti adalah orang yang paling taat beragama, karena kedudukan para mujtahid
bagi orang-orang awam sama dengan kedudukan dalil syara’ bagi seorang mujtahid,
harus diadakan penarjihan mana yang lebih kuat. Pendapat lain mengatakan, orang
awam bisa mengikuti mujtahid mana yang disukai, karena di kalangan
sahabat-sahabat sendiri terdapat tingkatan keijtihadannya. Walaupun begitu
tidak ada riwayat yang mengharuskan bagi orang awam untuk mengikuti sahabat
tertentu dan tidak ada kritikan terhadap orang yang mengikuti mujtahid sahabat
dari kalangan biasa.
3.
Taqlid
yang wajib
Pada zaman
sekarang ini taqlid yang berkembang seperti di Indonesia adalah taklid kepada buku,
bukan taqlid kepada imam-imam yang terkenal. Imam-imam yang terkenal itu adalah
Abu Hanifah, Malik, Asy Syafi’i, dan Ahmad Bin Hanbal. Jika seseorang bertaqlid
kepada seorang imam dia harus mengikuti ajaran imam tersebut secara murni, atau
setidaknya kepada muridnya yang paling dekat. Orang yang bertaqlid pada salah
satu imam tidak boleh mengikuti ajaran imam lain. Tapi kenyataan yang terjadi
adalah tidak demikian, kebanyakan orang mengikuti pendapat seseorang yang
digolongkan termasuk mahzab salah satu imam.
Jadi kenyataan
menunjukkan bahwa taqlid yang berkembang masa sekarang, bukan taqlid kepada
mujtahid, sebagaimana yang dikehendaki Al ‘Adhud (wafat 573 H), Ibnul Hajib
(wafat 646 H), Ibnus Subki (wafat 771 H), dan Al Mahalli (wafat 886 H) dan para
ushul fiqih, tetapi adalah taqlid kepada orang yang mengaku bertaqlid kepada
imam yang terkenal, sambil menyisipkan pendapatnya ke dalam kitab karangan
imam-imam yang terkenal. Hal semacam ini sangat dilarang oleh para ulama,
khususnya Ad Dahlawi, Ibnu Abdil Bar, Al Jauzi dan sebagainya.
D.
Manfaat dan Bahaya Taqlid
Muhammad bin Harits menyebutkan dalam hadits riwayat Sahnuun bin
Sa'id. Ia berkata : Bahwa Malik ibn Anas dan Abdul 'Aziz bin Abi Salamah dan
Muhammad bin Ibrahim bin Dinar dan lainnya berkali-kali mendatangi Ibn Hurmuz, maka
apabila Malik dan Abdul 'Aziz bertanyadijawab, dan apabila Ibn Dinar dan
lainnya bertanya, tidak dijawab. Pada suatu hari Ibn Dinar menghadapinya
dan berkata kepadanya: "Wahai Abu Bakar kenapa engkau menganggap halal
bagiku apa yang tidak halal bagimu?" Ia menjawab : "Wahai putera dari
saudaraku, apakah itu?" Ia berkata: "Malik dan Abdul 'Aziz bertanya
kepadamu, kemudian kamu menjawabnya. Dan saya beserta teman-temanku bertanya
kepadamu, namun engkau tidak menjawabnya." Ia berkata: "Apakah itu
terjadi pada hatimu wahai putera saudaraku?" Ia berkata: "Ya."
Ia berkata: "Sesungguhnya usiaku telah lanjut dan tulang-tulangku semakin
menua, saya khawatir usia tua ini melemahkan akal pikiranku seperti yang
terjadi pada fisikku, sedangkan Malik dan Abdul 'Aziz dua ulama fiqih yang
alim, jika keduanya mendengarkan akan yang hak dariku mereka menerimanya dan
apabila keduanya mendengar yang salah, meninggalkannya. Sedangkan kamu dan
teman-temanmu pasti menerima apa saja yang saya jawab kepada kalian."
(Ditulis ulang oleh Anwar Baru Belajar dari buku "Risalah Taqlid" –
Ibnu Qayyim Al Jauziyah).
Berdasarkan riwayat diatas
betapa Abu Bakar As-Shidiq sangat memperhatikan dengan siapa beliau berbicara
dan sebagai bentuk lain dari kebijaksanaan dan ketelitian dalam menyikapi
permasalahan yang berkaitan dengan hokum atau syari’at Islam.
Adapun beberapa manfaat dari
sikap taqlid ini yang dapat kita fahmi dan maih dalam batas toleransi adalah:
1. Memberikan
kemudahan bagi kalangan awam terhadap pelaksanaan sebuah permasalahan syari’at,
hal ini tentunya dengan melihat kondisi umat yang tidak memungkinkan untuk mempelajari
lebih mendalam lagi terhadap syari’at (al-Qur’an dan hadits).
2. Menghindari
penyimpangan aktivitas syri’at di kalangan umat Islam awam apalagi hal tersebut
dapat membawa mereka ke jalan kesesatan, dan tentu saja seorang ‘alim dalam hal
ini bertanggungjawab terhadap apa yang telah disampaikannya.
Setidaknya 2 hal diatas
dapat dijadikan sandaran bahwa sikap taqlid terdapat manfaat dalam
pengamalannya. Kita tidak dapat membayangkan apa yang terjadi pada masyarakat
awam, dengan kondisi yng tidak potensial untuk mendalami ilmu agama dan syari’at
sedangkan mereka dituntut untuk menjalankan syri’at sebagai umat muslim. Dalam hal
inilah taqlid membawa manfaat.
Selain manfaat dari sikap
taqlid sebagaimana yang telah disebutkan diatas, tak terlepas pula bahwa sikap
taqlid dapat membahayakan ummat Islam, dinataranya adalah :
1. Terjadinya
ta’ashub (fanatisme) buta terhadap
suatu madzhab atau pemikiran yang berlebihan dan sangat rentan tejadinya
pepecahan di kalangan ummat Islam, apalagi kalangan Islam yang awam.
2. Meskipun
sikap taqlid ini dibolehkan bagi kalangan awam, namun tetap saja hal ini bisa
menimbulkan kemandegan dan kejumudan berfikir di kalangan ummat Islam, sehingga
pemaham tentang syari’at masih kaku dan tidak mengikuti perkembangan zaman.
3. Sikap
taqlid menjadi indikasi terhadap tertutupnya sebuah ijtiha, dan hal ini dapat
diartikan sebagai pembodohan terhadap ummat. Ketika ummat sudah di nina bobokan
dengan pemahaman-pemahaman yang berkembang dikalangannya atau di lingkungannya
masing-masing dan membunuh sikap kritis terhadap pemahaman tersebut, karena
dalam konsep taqlid menerima apa adanya tanpa menelaah dasar dan dalil terhadap
aktivita ibadah misalnya.
Bahaya
taqlid diatas hanyalah sebagai yang penulis rangkumkan, karena pada dasarnya
sikap taqlid tak semestinya ada jika ummat Islam telah cerdas dengan
tersebranya media informasi, banyak orang yang faham tentang syari’at dan
utamanya bagi kalangan intelektual harus lebih kritis dalam menyikapi
permasalaha syrai’at dan bijak dalam mengelola perbedaan terutama dalam
masalahah furu’iyyah yng dapat menimbulkan pepecahan di kalangan umat Islam
sebagaimana telah diuraikan diatas.
Bahkan
secara tegasImam Abu Hanifah sangat melarang seseorang mengikuti apa yang
dikatakannya, jika ia tidak mengetahui dasar perkataan itu. Beliau menyatakan:
“Tidak boleh seseorang mengikuti perkataan yang telah kami katakan, sehingga ia
mengetahui dari mana asal perkataan kami itu”. Bahkan beliau mengharamkan orang
mengikuti fatwanya, jika ia tidak mengetahui dalil dari fatwa itu.
Abu
Hanifah pernah ditanya orang: ‘apakah engkau akan mengatakan suatu perkataan,
sedang kitab Allah melarangnya, bagaimana pendapatmu’. Beliau menjawab:
‘tinggalkanlah perkataanku dan ikutilah kitab Allah’. Orang itu bertanya: ‘Bila
khabar Rosululloh menyalahkannya’. Beliau menjawab: ‘tinggalkanlah perkataanku
dan ikutilah khabar dari Rosululloh SAW’. Bila perkataan sahabat
menyalahkannya,’ Beliau menjawab: ‘tinggalkan perkataanku dan ikutilah
perkataan para sahabat’
E.
Kemunduran Umat Islam
Syeikh Muhammad Abduh adalah murid
terkemuka dari Sayyid Jamaluddin Asad Abadi yang sangat terpengaruh pada
pemikiran dan pandangan gurunya tersebut. Ia mengungkapkan pandangan
kontemporernya mengenai ide-ide perbaikan pemikiran cendikiawan, begitu
besarnya pengaruh konsep yang diciptakannya di kalangan cendikiawan Ahli
Sunnah, sehingga konsepnya tersebut menjadi sebagai sebuah langkah inovatif
yang tak tertandingi di zamannya. Dan dapat dikatakan bahwa konsep pemikirannya
sangat berdekatan dengan pemikiran dan ideologi Syiah. Dalam peninjauannya, ia
mengingatkan kepada faktor-faktor yang menyebabkan kemunduran umat Islam –yang
dalam hal ini-, orientasi keseluruhannya hampir menyerupai perspektif Murtadha
Muthahari.
Pertama-tama kami akan menyebutkan
faktor-faktor yang menyebabkan kemunduran umat Islam menurut pandangan Syeikh
Abduh dan pada kesempatan selanjutnya, kami akan membandingkan kedua ideologi
dari kedua pemikir tersebut :
1.
Kemujudan dan tertutupnya pintu akal
Menurut Syeikh Abduh, faktor utama yang mendasari
runtuhnya umat Islam adalah tertutupnya pintu akal sebagai sumber pengetahuan.
Padahal hal ini sangat bertolak belakang dengan ajaran Islam yang memerintahkan
untuk berpikir dan menggunakan akal serta larangan Islam dalam bertaqlid.
Syeikh Abduh dalam kitabnya: “Risalah at-Tauhid”
mengungkapkan bahwa Al Qur’an mengajarkan kita untuk mempelajari hal-hal yang
berhubungan dengan Allah Swt. Dia mempertimbangkan apapun yang telah diajarkan
kepada manusia dan sedikitpun tidak pernah berkeinginan agar kita mematuhi
segala perintahnya hanya dikarenakan perintah itu datang dari-Nya. Al Qur’an
bahkan membantah ajaran-ajaran menyimpang dengan bersandarkan pada bukti dan
argumen. Al Qur’an menjadikan akal sebagai lawan bicaranya dan mendorongnya
untuk berpikir. Al Qur’an adalah kitab pertama yang menyatakan kebersamaan dan
keselarasan akal dengan agama secara jelas dan gamlang sehingga tidak dapat ditakwilkan
(dengan arti lain).
Syeikh Abduh menganggap sikap berlebihan sebagian umat
Islam dalam bersandar penuh pada akal, sebagai faktor menjauhnya sebagian umat
Islam lainnya dari penggunaan dan merujuk kepada akal. Padahal perbuataan ini
akan mengakibatkan munculnya gejolak dan pertentangan dari kelompok-kelompok
yang bangkit mempertahankan posisi wahyu. Dan pada akhirnya, dengan kemenangan
kelompok pembela wahyu, maka dapat dikatakan bahwa peran akal pun secara
keseluruhan telah tersingkir dari kerangka pemikiran kaum Muslimin.
Pada awal pembahasan teoretis di antara umat Islam, tema
terpenting yang menjadi kajian hangat di antara mereka ialah masalah jabr
(determinisme) dan ikhtiar, akan tetapi tidak lama kemudian objek pembahasan
tersebut beralih kepada masalah penetapan sifat-sifat Tuhan. Sebagian kelompok
mengatakan bahwa akal memiliki kedudukan lebih utama [dari pada wahyu] dalam
menyimpulkan seluruh hukum agama, bahkan dalam perkara furu’ dan ibadah
sekalipun, adapun kelompok lainnya menyatakan bahwa yang memiliki peran
demikian hanyalah prinsip-prinsip akal yang mendasar (ushul awwali).
Dalam rangka menjawab dan menentang pandangan dua kelompok ini, kelompok
lainnya secara mutlak mengingkari kedudukan akal sebagai sumber pengetahuan.
Kaum rasionalisme berdasarkan pemahaman [salah] mereka atas filsafat Yunani
–yang banyak terpengaruh dengan pemikiran Plato dan Aristoteles-, tanpa
membedakan antara prioritas akal dan imajinasi. telah mengkaitkan
perkara-perkara yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan ajaran-ajaran
Islam, sehingga munculnya berbagai aliran seperti "Manuwiyah, Zanadiqah,
Dahriyah, Bathiniyah, dan Ismailiyah yang menambah kerus kendisi umat Islam.
Oleh karena itu, front-front pembela syariat bangkit untuk berhadapan dengan
kelompok tersebut. Pada abad ke-4, Abul Hasan Asy’ari berhasil menemukan jalan
tengah di antara pandangan dua kelompok yang berselisih ini, dengan cara
menerima konsep-konsep akal sebatas yang dapat dan bermanfaat dalam menguatkan
keimanan.
2. Raja-raja yang
otoriter dan ulama yang memandang agama secara lahiriyah
Syeikh Abduh mengatagorikan metode yang dilakukan para
penguasa otoriter dalam menarik simpati sebagian ulama dan penganut khurafat,
sebagai faktor penting dalam kemunduran umat Islam. Raja-raja yang tidak
memiliki kapabilitas untuk melegitimasi kekuasaan, memanfaatkan kefanatikan
masyarakat terhadap agama dengan memperkenalkan diri mereka sebagai pengganti
Nabi Saw, mereka memanfaatkan kesucian agama untuk keberlangsungan hidup tahta
kerajaan mereka. Akan tetapi, tipu muslihat yang menggunakan agama ini,
membutuhkan peranan dan dukungan ulama. Meskipun ada beberapa ulama yang tidak
pernah tergiur dengan tawaran tersebut, namun sebagian yang lain telah
terpedaya olehnya. Untuk mendapatkan dinar dan dirham, mereka yang tidak
memiliki ketaqwaan dan iman yg kuat, bersedia untuk memalsukan Hadits-Hadits
yang dinisbatkan kepada nabi demi menguntungkan para penguasa pada saat itu.
Sebagian ulama lain berdiam diri atas apa yang mereka lakukan dengan alasan
hendak menghindari terjadinya pertumpahan darah dengan para penguasa, dan sikap
diam ulama ini dapat dianggap sebagai dukungan terhadap para penguasa zalim
tersebut. Akhirnya, seiring berjalannya waktu, hal ini berubah menjadi tradisi
di kalangan ulama Ahli Sunnah, sehingga hampir menjadi kesepakatan di antara
mereka bahwa pemberontakan terhadap penguasa yang sah hukumnya adalah haram dan
mengikutinya adalah kewajiban.
Tradisi seperti ini terus berlanjut hingga saat ini,
menurut Syekh Abduh, meski demikian, namun para ulama tidak boleh berdiam diri
menyaksikan penyelewengan para penguasa, kewajiban mereka adalah menasihati.
“Saya salah seorang yang telah menyadarkan rakyat mesir
akan hak-hak mereka. Dan saya mengajak mereka kepada sebuah keyakinan bahwa
sekalipun mengikuti para penguasa adalah wajib, tetapi mereka adalah manusia
biasa yang dapat berbuat salah, terjerumus dalam hawa nafu, dan satu-satunya
hal yang dapat mencegahnya dari perbuatan munkar adalah nasihat umat kepadanya.
3. Tertutupnya
pintu ijtihad
Syeikh Abduh menegaskan faktor ketiga yang menjadi sebab
runtuhnya kejayaan Islam adalah tertutupnya pintu ijtihad. Secara mendalam, ia
sangat menyesalkan terjadinya hal tersebut. Menurutnya sikap taqlid ulama
terhadap para pendahulu merupakan sikap yang patut dikecam: “Para faqih di setiap masa haruslah melihat
kondisi zaman dan lingkungannya saat berijtihad.”
“Faqih seharusnya
mengenali keadaan dan kondisi zamannya dan mengeluarkan hukum-hukum yang sesuai
dengannya, sehingga memungkinkan bagi masyarakat untuk mengikuti mereka.”
Syeikh Abduh dalam kecamannya kepada ulama pentaqlid,
mengatakan: “Mereka mempelajari prinsip-prinsip ilmu fiqih, namun tidak ada
dalam benak mereka untuk menerapkan dan mengembalikan muatan sebagian dari
kitab-kitab ini kepada prinsip-prinsip tersebut, sehingga mereka dapat
mendiskusikannya kembali. Bahkan mereka tidak malu mengatakan: “kami adalah muqallid
(pengikut) dan tidak perlu bagi kami untuk merujuk kembali kepada kitab dan
sunnah (Al-Qur’an dan Hadits).” Meskipun terdapat banyak perselisihan dalam
kitab-kitab tersebut, mereka tetap saja menerimanya sehingga persatuan umat
telah berubah menjadi perpecahan di antara mereka. Mereka hanya merasa cukup
dengan mengatakan bahwa apa yang tertera dalam kitab-kitab tersebut, semuanya diambil
dari Rasulullah Saw.
Ia menyarankan para faqih untuk mengadakan sebuah
pertemuan dan mengeluarkan fatwa-fatwa yang sesuai dengan zamannya: “Para faqih
seharusnya membuat sebuah pertemuan, dan membincangkan apa-apa yang seharusnya
mereka lakukan dan mencapai kesepakatan mengenainya. Jika ada sebuah
permasalahan yang mencuat di karenakan kondisi atau situasi tertentu, maka
mereka berkewajiban untuk menyampaikan dan mendiskusikannya. Tentunya perkara
yang saya katakan ini bukanlah hukum yang universal, alasannya ialah
sebagaimana yang telah saya utarakan sebelumnya. Lagi pula, kita tidak dapat
menjadikan segala apa yang dikatakan seorang faqih sebagai pondasi amalan kita
di setiap zaman dan tempat.
Tanpa keraguan sedikitpun, Syeikh Abduh menyakini akan diperbolehkan
bahkan diwajibkannya ijtihad dan juga keharusan meninggalkan taqlid. Ia
menganggap hal tersebut sebagai kebutuhan hidup dan perkara yang urgen bagi
masyarakat umum. Dalam kesempatan lain, ia mengungkapkan bahwa ijitihad adalah
perangkat syariat yang digunakan untuk menyebarkan agama Islam kepada
masyarakat, dan praktek ini hanya teruntuk bagi orang-orang yang ahli (para
fuqafa), tidak untuk semua kelompok ulama atau mereka yang tidak berpegang
kepada asas-asas Islam dalam berijtihad.
Di sisi lain, ia sangat mengkhawatirkan penyimpangan
pemikiran agama yang terjadi dikalangan umat Islam. Ia berpikir bahwa krisis
yang terjadi beberapa tahun terakhir, menyebabkan mereka tidak mampu berhadapan
dengan modernisasi. Ditambah lagi dengan terjadinya penyimpangan ekstrim yang
disebut “Islamisasi ilmu”, yang menafsirkan asas-asas Islam dengan sesuka hati
dan selera pribadinya. Dengan kata lain, Islam telah dikeluarkan dari posisi
sebenarnya.
Dari sisi lainnya, ia khawatir terhadap kejumudan pikiran
dan kekolotan para ulama Islam yang menjadi penghalang kemajuan dan
perkembangan masyarakat, dimana mereka menganggap segala sesuatu yang baru,
mesti bertentangan dengan Islam. Atas dasar inilah ia terus berusaha mencarikan
solusi terbaik atas permasalahan yang menimpa umat Islam di zamannya. Dan
langkah alternatif yang ia tawarkan ialah menghindari segala bentuk ekstrimisme
dengan berkeyakinan bahwa pintu ijtihad harus segera dibuka kembali dan
menjadikan akal sebagai petunjuk bagi masyarakat Islam.
Syeikh Abduh mencanangkan pembahasan seperti fiqih
komparatif empat mahzab. Ia menyertakan konsep-konsep filsafat hukum ke dalam
pembahasan ijtihad, menciptakan sistem hukum baru dalam fiqih, memisahkan
pembahasan ibadah dan muamalah, merevisi konsep ijma’ dan mengimplementasikan
musyawarah dengan demokrasi Barat. Pada kenyataannya, ia telah melakukan sebuah
langkah dalam rangka meyelesaikan krisis pemikiran keagamaan, penerapan
konsep-konsep Islam sesuai dengan zamannya serta menghidupkan kembali agama
Islam. Adapun mengenai sejauh mana keberhasilan yang telah dicapainya dari
usahanya ini, maupun sebatas mana keselarasan pandangannya dengan
doktrin-doktrin Islam, ia mebutuhkan kajian tersendiri dimana dalam tulisan
ini, kami tidak bermaksud menjelaskan permasalahan tersebut.
BAB III
P E N U T U P
A.
KESIMPULAN
Taqlid
adalah mengikuti pendapat orang lain tanpa mengetahui dari mana asal hujjahnya.
Sedangkan orang yang bertaqlid disebut muqallid. Taqlid muncul ketika kekuasaan
Islam sudah di ambang pintu kehancuran, yaitu pada masa kemunduran. Kemunduran
Islam dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya politik, tertutupnya
ijtihad dan sebagainya.
Pada
dasarnya para ulama jumhur sangat melarang perbuatan taqlid karena hal itu
dapat menyebabkan orang tidak mau berfikir tentang masalah agamanya. Sehingga
umat Islam hanya mencukupkan tentang perkara agamanya itu dengan kitab-kitab
karangan para imam ijtihad. Tapi dalam kalangan umat Islam sendiri tidak ada
keharmonisan, hal ini disebabkan karena masing-masing pengikut mahzab mengklaim
bahwa mahzabnya yang paling benar.
Orang
yang berpendidikan tinggi dan dianggap mampu untuk berijtihad sendiri dilarang
untuk bertaqlid. Taqlid boleh dilakukan oleh orang awam tapi dengan syarat
bahwa ia harus selalu berusaha mencari dasar-dasar dalilnya. Dan jika ia telah
menemukan dasarnya ia harus kembali pada dalil tersebut, yaitu Al-Qur’an dan
Sunnah Nabi Muhammad SAW.
B.
SARAN-SARAN
Jika di masa tabi’in dan
para imam mujtahid dialektika keilmuan Islam menjadi spirit, berbeda dengan
yang terjadi dalam kurun setelahnya. Pada masa ini tradisi keilmuan Islam
menurun jika tidak dikatakan stagnan. Para ulama lebih memilih mentakhrij (seleksi)
pendapat imam mujtahid yang layak dan tidak layak diikuti. Budaya ijtihad dan
ekplorasi dalil al-Qur’an dan al-Hadits tidak lagi menjadi prioritas ulama
dalam dekade ini. Akibatnya dinamika keilmuan Islam tidak berkembang dan taqlid
kepada imam mujtahid sebagai alternatif dan harga mati. Kefanatikan merambah
hampir seluruh dunia Islam, bibit perselisihan antar madzhab mulai tumbuh. Truth claim, saling
counter pendapat seakan melengkapi kemunduran Islam dalam abad-abad ini. Hingga
saat inipun budaya taqlid masih dipegang erat oleh sebagian umat Islam.
Polemik ijtihad dan taqlid
tidak pernah sepi dalam perdebatan antar cendikiawan Islam. Salah satu ulama
yang menentang taqlid adalah Ibnu Hazm, dia mengatakan “Allah melarang
seseorang merujuk ucapan seseorang selain al-Qur’an dan as-Sunnah ketika
berselisih pendapat. Demikian itu haram”. Menanggapi statemen tersebut,
ad-Dahlawi berargumen bahwa pendapat Ibn Hazm itu ditujukan kepada orang yang
telah mampu berijtihad, meskipun hanya dalam satu masalah. Atau lebih tepat
ditujukan kepada orang bodoh yang bertaqlid kepada pakar fikih tertentu, dengan
keyakinan bahwa pakar fikih itu tidak mungkin salah. Apa yang diucapkannya
pasti benar, serta tidak akan meninggalkan pendapat si fakih meskipun ada dalil
kuat yang jelas-jelas bertentangan (hal 106-108). Bagi Ad-Dahlawi, taqlid
adalah sebuah solusi alternatif bagi umat Islam yang tidak mampu mencari dalil
langsung dalam al-Qur’an dan al-Hadits.
Meskipun taqlid adalah
sebuah keharusan bagi umat yang masih awam, namun tidak kalah pentingnya
tradisi ijtihad para ulama besar di masa-masa awal Islam harus terus
digalakkan. Sebab hanya dengan ijtihad ilmu pengetahuan Islam akan terus
berkembang, selain akan mampu menjawab problematika umat yang terus berkembang,
Islam juga akan mewarnai gelanggang ilmu pengetahuan dunia yang telah lama
diambil alih dunia Barat. Ijtihad adalah sebuah keniscayaan ditengah-tengah
kejumudan dan keterbelakangan umat Islam, namun dibutuhkan keberanian dan keuletan
umat dalam mendalami ajarannya.
DAFTAR PUSTAKA
Amir, Dja’far. 1972. Ushul Fiiqh III. Semarang: CV. Toha
Putra
Asmuni, Yusran. 1996. Dirasah Islamiyah II. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada
Hanafi, Ahmad, MA. 1970. Pengantar Dan Sejarah Hukum Islam.
Jakarta: Bulan Bintang
Mubarok, Jaih. 2000. Sejarah Dan Perkembangan Hukum Islam.
Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
Rosyada, Dede. 1993. Hukum Islam Dan Pranata Sosial. Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada
Mu’in, H.A, dkk. 1986. Ushul Fiqih II (Qaidah-Qaidah Istinbat Dan
Ijtihad). Jakarta: Depag
Syari’ati, Ali. 1992. Islam Mazhab Pemikiran dan Aksi.
Bandung: Mizan
Zuhri, Muhammad. 1980. Tarjamah Tarikh Al-tasyri’ Al-Islami.
Semarang: Darul Ikhya
Zuhdi, Masjfuk. 1987. Pengantar Hukum Syariah. Jakarta: CV
Haji Masagung
_____. 2005. Al-Qur’an dan
Terjemahnya. Jakarta: PT Syaamil Cipta Media
Tidak ada komentar:
Posting Komentar