“Ini adalah kisah ketika dunia hanya mengenal dua wilayah,
Barat dan Timur. Ini adalah persaingan antara dua negara; Imperium Romawi dan
Khilafah Islam. Ini adalah cerita saat dunia terpolarisasi menjadi dua bagian;
Kristen dan Islam. Ini adalah epik antara dua kekuasaan; Byzantium dan
Utsmani.” (MAF 1453, Felix Siauw)
Kita harus bisa belajar dari sejarah
umat terdahulu, agar kita dapat melihat pola keberhasilan yang dicapai umat
terdahulu dan juga belajar dari kesalahan-kesalahan mereka agar kita tidak
mengulangi kesalahan yang sama di masa yang akan datang. Apa yang beliau
lakukan sampai akhirnya beliau mampu menaklukan Konstantinopel bukanlah proses
yang mudah. Beliau memulainya dengan perencanaan yang matang. Mulai dari
menyiapkan persenjataan, menyiapkan para Al-Ghazi(pasukan yang
berjuang untuk islam) terbaik, melakukan banyak negosiasi dengan Negara-negara
lain dan menjalin koalisi, serta mempersiapkan segala keperluan logistik untuk
pasukan di sepanjang perjalanan.
Sampai
akhirnya, pada 29 Mei 1453, beliau benar-benar merealisasikan hadits Rasulullah
yang disampaikan sekitar delapan abad sebelumnya. Ia membuktikan bahwa Ia
adalah sebaik-baiknya pemimpin dan pasukannya adalah sebaik-baiknya pasukan.
Penuh
Inspirasi dan Pembelajaran
“Mei 1453
tidak hanya menjadi momen yang merekam konflik antara Byzantium dan Utsmani,
tetapi sesungguhnya adalah momen yang menjadi wadah pembuktian kaum Muslim akan
agama yang benar dan pembuktian janji Allah dan Rasul-Nya. 1453 adalah sebuah
momen yang harus menjadi inspirasi bagi setiap Muslim akan jati diri mereka.
Sebuah janji Allah yang yang menjadi kenyataan.” (MAF 1453, Felix Siauw)
Sebuah taktik
perang yang terperinci dan memiliki element of surprise,
begitulah gambaran sebuah taktik perang ala Muhammad Al Fatih. Disaat yang
paling genting dalam upaya penaklukan Konstantinopel, seorang Muhammad Al Fatih
mampu menelurkan sebuah ide yang terbilang sangat mustahil dilakukan oleh
manusia. Pasukan Al Fatih berhasil memindahkan 72 kapal perang dari selat
Bosphorus untuk mengarungi dataran Galata menuju Teluk Tanduk Emas layaknya
tengah berlayar dilautan.
Muhammad Al
Fatih adalah seorang sultan yang memiliki kemampuan untuk “see beyond the eye can see”.
yaitu melihat lebih daripada yang bisa dilihat oleh mata manusia. Ia sangat
yakin akan sabda Nabi. Keyakinan ini secara langsung berdampak pada
pandangannya dalam menjalani kehidupan. Ia memiliki Aqidah yang kuat dan
keimanan yang membuatnya mampu meyakini apa yang tidak mudah dipercayai oleh
manusia. Pandangan serta impiannya seakan jauh melampaui kehidupan dunia itu
sendiri.
Dari seorang
Al Fatih, kita belajar bahwa kemenangan yang didapatkan Islam hanya bisa
dicapai atas izin Allah. Pemimpin penaklukan tersebut diberikan gelar pemimpin
terbaik bukan hanya karena semata-mata berhasil membebaskan Konstantinopel
tetapi juga karena kedekatan Beliau kepada Sang Maha pencipta. Muhammad Al
Fatih mungkin menjadi satu-satunya pemimpin yang tak pernah meninggalkan salat
rawatib sejak ia aqil baligh sampai saat wafatnya. Ia juga tak pernah
meninggalkan salat tahujud ditengah malam untuk berdialog dengan Allah
dikeheningan pada sepertiga malam.
Sumber: fimadani
Oleh: Abdushshabur Rasyid Ridha, Depok
Tidak ada komentar:
Posting Komentar