Ini
hanya sepenggal cerita yang realistis selepas saya mengikuti pengajian yasinan
setiap malam kamis di rumah salahsatu penduduk Sindang, Panawangan yang tengah
melaksanakan ibadah haji. Setiap malam kamis jama’ah Masjid jami’ Nurul Huda
diundang kerumahnya untuk mendo’akan keselamatan dan kesehatan shahibul haj di
Mekkah.
Ada
yang menarik dari sang pencerita, yaitu Pak Satria Gumilar, beliau adalah
seorang anggota Polisi yang berdinas di Polsek Jatinagara. Menurut penuturan
beliau, salahsatu penyebab terjadinya carut marut di sekitar kita adalah adanya
ketidak adailan yang dirasa oleh masyarakat, dan ketidak adilan itu semakin
merata.
Saat
ini menurut beliau, adanya kesenjangan social antara Ulama dan Umaro. Padahal,
keduanya laksana Ayah dan Ibu dalam sebuah keluarga, dan umat ini adalah
anak-anak yang dilahirkan dari mereka. Bayangkan, jika seorang ayah bekerja
untuk mencari nafkah, kemudian uang hasil kerja tersebut tidak diberikan kepada
istrinya untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga. Apa yang akan terjadi jika
demikian, tentu sang istri tidak akan diam saja, ia akan berupaya untuk
mendapatkannya dengan cara apapun, termasuk mencurinya.
Ya,
saat ini para pejabat banyak sekali yang minta dido’akan untuk kesuksesannya,
akan tetapi mereka jarang atau bahkan tidak pernah mendo’akan rakyat yang mendo’akan
meraka, disinilah letak maslah itu, disinilah letak ketidak adilan itu. Barangkali
kita sudah sangat sering melihat rakyat jelata dan kaum dhu’afa berkumpul untuk
berdo’a, akan tetapi saya secara pribadi belum melihat para aparat dan pejabat
tinggi berkumpul dalam suatu tempat untuk mendo’akan rakyatnya.
Saat
kampanye mereka mengobrl janji, tetapi setelah ‘jadi’ mereka lupa terhadap
ucapan yang telah terlontar. Tentunya, rakyat mengharapkan realisasi dari
janji-janji yang mereka umbar saat kampanye. Setelah mereka menjabat sebagai
birokrat, anggota legislative banyak sekali yang tidak merangkul ulama, banyak
sekali yang melupakan ulama bahkan yang sudah mereka kenal pun enggan untuk
sekedar bertanya kabar. Umaro adalah khalifah, pemimpin dalam sebuah Negara
yang diamanahi upaya untuk menyejahterakan rakyatnya, bukan untuk kantong
pribadi. Sedangkan Ulama adalah pemilik ummat yang mengayomi dan menyejahterkan
bathinnya. Nah lho, disinilah letak ketidak sinkronan tersebut, jika ayah dan
ibu sudah tidak rukun maka anak-anaknya entah menjadi apa.
Patut
dijadikan renungan oleh kita bersama, bahwa bangsa ini akan akan mencapai
cita-citanya jika ulama dan umaro hidup selaras. Para pejabat dan yang
dilimpahi rizki berlebih membantu orang susah dan mendo’akan kaum dhu’afa. Sedangkan
rakyat membantu menyukseskan setiap program yang telah dicanangkan untuk kehidupan
yang lebih baik. Jika ulama, umaro dan rakyat saling percaya, saling
menghormati secara tulus, saling menghargai tanpa pamrih, maka tidak mungkin
kehidupan ini dalam keadaan carut marut.
Mari
saling mendo’akan, mari saling berbagi dan mari lebih peduli terhadap bangsa
ini. Sekecil apapun kebaikan yang kita lakukan, yakinilah itu akan berbuah
kebaikan. Biarlah kebaikan kita hanya sepercik, tapi percikan-percikan itu jika
berkesinambungan akan menjadi lautan luas.
Wallahu A’lam …
Tidak ada komentar:
Posting Komentar