ANALISA TAFSIR AYAT TENTANG MENJAGA SHALAT DAN
SHALAT SEBAGAI PENGHAPUS DOSA DALAM TEORI PENDIDIKAN ISLAM.
A. PENDAHULUAN
Rasulullah pernah bersabda: “Shalat itu adalah
tiangnya agama, barang siapa yang mendirikannya maka berarti ia telah
mendirikan agama, dan barang siapa meninggalkannya berarti ia telah meruntuhkan
agama” (Al-Hadits). Bahkan hal ini dipertegas oleh firman Allah SWT.:
حَافِظُوْا
عَلَى الصَّلَوتِ وَالصَّلوةِ الْوُسْطَ وَقُوْمُوْا لِلَّهِ قَنِتِيْنَ.
Artinya: “Jagalah (peliharah) segala shalat(mu) dan (peliharalah) shalat
wustha. Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu’.”
(Al-Baqarah [2]: 238).
Dengan hujjah di atas, dapat kita pahami bahwa begitu pentingnya
melaksanakan dan memelihara shalat (shalat fardhu). Karena melaksanakan shalat
merupakan salah satu ciri bagi orang yang mengaku beriman kepada Allah SWT.,
dan sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Hal ini telah nyata dalam
Firman-Nya:
وَاَقِمِ
الصَّلَاةَ لِلذِّكْرِيْ
Artinya: “Dan dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku” (Thaha [20]: 14)
Jelas sekali, bahwa dengan shalat kita dituntut untuk bisa mengingat-Nya,
mengingat kebesaran-Nya dan mengakui kerendahan diri di hadapan-Nya. Namun, ada
sebagian orang yang salah mengartikan makna ayat ini, mereka beranggapan tidak
wajib shalat kalau kita bisa mengingat-Nya tanpa melakukan gerakan shalat
seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah. Mereka hanya melihat esensi shalat semata,
tidak melihatnya sebagai syari’at yang harus dilaksanakan oleh orang yang
beriman.
B. SHALAT SEBAGAI SARANA PENDIDIKAN
Dari Ibnu Umar r.a.
berkata, Rasulullah s.a.w. bersabda: “Bangunan islam ditegakkan diatas lima
tiang : Bersaksi bahwa sesungguhnya tiada tuhan selain Sesungguhnya
shalat merupakan sistem hidup, manhaj tarbiyah dan ta’lim yang sempurna, yang
meliputi (kebutuhan) fisik, akal dan hati. Tubuh menjadi bersih dan
bersemangat, akal bisa terarah untuk mencerna ilmu, dan hati menjadi bersih dan
suci.
Shalat merupakan tathbiq
‘amali (aspek aplikatif) dari prinsip-prinsip Islam baik dalam aspek politik
maupun sosial kemasyarakatan yang ideal yang membuka atap masjid menjadi terus
terbuka sehingga nilai persaudaraan, persamaan dan kebebasan itu terwujud
nyata. Terlihat pula dalam shalat makna keprajuritan orang-orang yang beriman,
ketaatan yang paripurna dan keteraturan yang indah.
Imam Asy-syahid Hassan Al
Banna berkata, dalam menjelaskan shalat secara sosial, setelah beliau
menjelaskan pengaruh shalat secara ruhani: “Pengaruh shalat tidak berhenti pada
batas pribadi, tetapi shalat itu sebagaimana disebutkan sifatnya oleh Islam
dengan berbagai aktifitasnya yang zhahir dan hakikatnya yang bersifat bathin
merupakan minhaj yang kamil (sempurna) untuk mentarbiyah ummat yang sempurna
pula. Shalat itu dengan gerakan tubuh dan waktunya yang teratur sangat
bermanfaat untuk tubuh, sekaligus ia merupakan ibadah ruhiyah. Dzikir, tilawah
dan doa-doanya sangat baik untuk pembersihan jiwa dan melunakkan perasaan.
Shalat dengan dipersyaratkannya membaca AL Fatihah di dalamnya, sementara AL
Qur’an menjadi kurikulum Tsaqafah Islamiyah yang sempurna telah memberikan
bekal pada akal dan fikiran dengan berbagai hakekat ilmu pengetahuan, sehingga
orang yang shalat dengan baik akan sehat tubuhnya, lembut perasaannya dan
akalnya pun mendapat gizi. Maka kesempurnaan manakah dalam pendidikan manusia
secara individu setelah ini? Kemudian shalat itu dengan disyaratkannya secara
berjamaah, maka akan bisa mengumpulkan ummat lima kali setiap hari dan sekali
dalam satu pekan dalam shalat jum’at di atas nilai-nilai sosial yang baik,
seperti ketaatan, kedisiplinan, rasa cinta dan persaudaraan serta persamaan
derajat di hadapan Allah yang Maha Tingi dan Besar. Maka kesempurnaan yang manakah
dalam masyarakat yang lebih sempurna daripada masyarakat yang tegak di atas
pondasi tersebut dan dikuatkan di atas nilai-nilai yang mulia?
Sesungguhnya shalat dalam
Islam merupakan sarana tarbiyah yang sempurna bagi individu dan pembinaan bagi
membangun ummat yang kuat. Dan sungguh telah terlintas dalam benak saya ketika
sedang menjelaskan prinsip-prinsip kemasyarakatan saat ini bahwa shalat yang
tegak dan sempurna itu bisa membawa dampak kebaikan bagi pelakunya dan bisa
membuang sifat-sifat buruk yang ada. Shalat telah mengambil dari ”Komunisme” makna
persamaan hak dan persaudaraan yaitu dengan mengumpulkan manusia dalam satu
tempat yang tidak ada yang memiliki kecuali Allah yaitu Masjid; dan Shalat
telah mengambil dari “kediktatoran” makna kedisplinan dan semangat yaitu dengan
adanya komitmen untuk berjamaah’ mengikuti Imam dalam setiap gerak dan diamnya,
dan barang siapa yang menyendiri, maka ia akan menyendiri dalam neraka. Shalat
juga mengambil dari “Demokrasi” suatu bentuk nasehat, musyawarah dan wajibnya
mengembalikan Imam ke arah kebenaran apabila ia salah dalam kondisi apa pun.
Dan shalat biasa membuang segala sesuatu yang jelek yang menempel pada semua
ideologi tersebut di atas seperti kekacauan Komunisme, penindasan
diktaktorisme, kebebasan tanpa batas demokrasi, sehingga shalat merupakan
minuman yang siap diteguk dari kebaikan yang tidak keruh di dalamnya dan tidak
ada keruwetan” (URGENSI SHOLAT, Yusuf Al-Qardawi)
Karena itu semua maka
masyarakat Islam pada masa salafus shalih sangat memperhatikan masalah shalat,
sampai mereka menempatkan shalat itu sebagai”mizan” atau standar, yang dengan
neraca itu ditimbanglah kadar kebaikan seseorang dan diukur kedudukan dan
derajatnya. Jika mereka ingin mengetahui agama seseorang sejauh mana
istiqamahnya maka mereka bertanya tentang shalatnya dan sejauh mana ia
memelihara shalatnya, bagaimana ia melakukan dengan baik. Ini sesuai dengan
hadits Rasulullah SAW: “Apabila
kamu melihat seseorang membiasakan ke Masjid, maka saksikanlah untuknya dengan
iman.” (HR. Tirmidzi).
Dalam kitab Jami’ush
shogir lima orang sahabat r.a. yaitu Tsauban, Ibnu Umar, Salamah, Abu Umamah
dan Ubadah r.a.telah meriwayatkan hadist ini : ” Sholat adalah sebaik-baik
amalan yang ditetapkan Allah untuk hambanya.”. Begitupun dengan maksud hadits
yang diriwayatkan oleh Ibnu mas’ud dan Anas r.a.
Begitulah orang orang yang
beriman itu bukanlah orang yang melaksanakan ritual dan gerakan-gerakan yang
diperintahkan dalam sholat semata tetapi dapat mengaplikasikannya dalam
keseharianya. Sholat sebagai salah satu penjagaan bagi orang-orang yang beriman
yang benar-benar melaksanakannya.
“….sesungguhnya sholat
itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar…”(Qs. Al-Ankabut ayat 45).
Sholat adalah salah satu
aplikasi dari keimanan yang diambil dari konsekuensi rukun islam yang pertama.
Sebagai muslim yang memilki iltizam terhadap apa yang telah menjadi konsekuensi
pengakuannya terhadap keimanannya pada Allah, maka sholat akan menjadi pencegah
kemaksiatan dan kemungkaran dari dirinya sebagaimana telah disebutkan dalam
ayat tadi.
Abdullah bin mas’ud
berkata ” Sesungguhnya aku mengamati masyarakat kami bahwa tidak
seorangpunyang meninggalkan sholat kecuali seorang munafik yang diketahui
kemunafikannya“. (HR.
Muslim)
Allah, dan Muhammad adalah
utusan Allah, mendirikan sholat, membayar zakat, melakasanakan ibadah haji, dan
berpuasa di bulan Ramadhan.(HR. Imam Bukhari dan muslim)
Sholat merupakan salah
satu tiang bangunan islam. Begitu pentingnya arti sebuah tiang dalam suatu
bangunan yang bernama islam, sehingga takkan mungkin untuk ditinggalkan.
Makna bathin juga dapat
ditemukan dalam sholat yaitu: kehadiran hati, tafahhum (
Kefahaman terhadap ma’na pembicaraan), ta’dzim (Rasa
hormat), mahabbah, raja’ (harap) dan haya (rasa
malu), yang keseluruhannya itu ditujukan kepada Allah sebagai Ilaah.
C. SHALAT DALAM KEHIDUPAN SEHARI-HARI
Allah mewajibkan shalat kepada umat
Muhammad SAW, karena di dalamnya terdapat makna pengabdian tertinggi seorang
hamba kepada penciptanya. Di dalam shalat juga seandainya dilakukan secara
ikhlas, tidak karena semata-mata menjalankan kewajiban, al- musholly akan memperoleh limpahan cahaya
petunjuk dari Allah yang berfungsi menjernihkan hati dan sebagai petunjuk dalam
menjalankan aktivitas sehari-hari.
Shalat merupakan ibadah
harian yang menjadikan seorang Muslim selalu dalam perjanjian dengan Allah.
Ketika ia tenggelam dalam bahtera kehidupan maka datanglah shalat untuk
menerjangnya. Ketika dilupakan oleh kesibukan dunia maka datanglah shalat untuk
mengingatkannya. Ketika diliputi oleh dosa-dosa atau hatinya penuh debu
kelalaian maka datanglah shalat untuk membersihkannya. Ia merupakan “kolam
renang” ruhani yang dapat membersihkan ruh dan menyucikan hati lima kali dalam
setiap hari, sehingga tidak tersisa kotoran sedikit pun.
Ibnu Mas’ud meriwayatkan dari Nabi SAW, beliau bersabda: “Kamu sekalian
berbuat dosa, maka kamu telah melakukan shalat subuh maka shalat itu
membersihkannya, kemudian kamu sekalian berbuat dosa, maka jika kamu melakukan
shalat zhuhur, maka shalat itu membersihkannya, kemudian berbuat dosa lagi,
maka jika kamu melakukan shalat ‘asar maka shalat itu membersihkannya, kemudian
kamu berbuat dosa lagi, maka jika kamu melakukan shalat maghrib, maka shalat
itu membersihkannya, kemudian kamu berbuat dosa lagi, maka jika kamu melakukan
shalat isya’, shalat itu akan membersihkannya, kemudian kamu tidur maka tidak
lagi di catat dosa bagi kamu hingga kamu bangun.” (HR. Thabrani)
Tolok ukur kehidupan seseorang dapat
dilihat dari kualitas shalatnya, karena ketika seorang muslim melakukan shalat
sesungguhnya ia sedang berhadapn dengan Allah, tentunya berhadapan dengan Allah
membutuhkan konsentrasi (khusyu’) dan kedisiplinan.
Kedisiplinan dalam kehidupan
sehari-hari memerlukan pembiasaan. Seorang ingin disiplin waktu ia harus
membiasakan diri tepat waktu dalam aktivitasnya. Shalat merupakan ibadah yang
mendidik berbagai hal mulai dari kedisiplinan hingga komitmen terhadap ucapan
sikap dan perbuatan.
Metode pembiasaan dalam shalat (lima
kali dalam satu hari satu malam), selaras dengan metode pembiasaan yang
dikemukakan oleh an-nah lawi. Menurut An-nahlawy pencapaiaan pendidikan dapat
dilakukan dengan membiasakan pengamalan terhadap apa yang telah diajarkan
kepada siswa.
D. PENUTUP
Kewajiban
dan syi’ar yang paling utama adalah shalat, ia merupakan tiang Islam dan ibadah
harian yang berulang kali. Ia merupakan ibadah yang pertama kali dihisab atas
setiap mukmin pada hari kiamat. Shalat merupakan garis pemisah antara iman dan
kufur, antara orang-orang beriman dan orang-orang kafir, sebagaimana ditegaskan
oleh Rasulullah dalam hadist-hadistnya sebagai berikut:
“Batas
antara seseorang dengan kekufuran adalah meninggalkan shalat.” (HR.
Muslim)
“Perjanjian
antara kita dengan mereka adalah shalat, maka barangsiapa yang meninggalkan
berarti ia kafir.” (HR- Nasa’i, Tirmidzi dan Ahmad)
Makna
hadits ini sangat jelas di kalangan para sahabat r.a. Abdullah bin Syaqiq Al
‘Uqaili berkata, “Para sahabat Nabi SAW. tidak melihat sesuatu dari amal
ibadah yang meninggalkannya adalah kufur selain shalat.” (HR. Tirmidzi)
Tidak
heran jika Al-Qur’an telah menjadikan shalat itu sebagai pembukaan sifat-sifat
orang yang beriman yang akan memperoleh kebahagiaan dan sekaligus menjadi
penutup.
Sholat sebagai suatu tarbiyyah yang begiu luar biasa yang mengajarkan
kebaikan dalam segala aspek kehidupan, sebagai pencegah kemungkaran dan
kemaksiatan, sebagai pembeda antara orang yang beriman dan orang yang kafir,
sholat sebagai syariat dari Allah dalam kehidupan,semoga dapat difahami,
diamalkan dan diaplkasikan dengan benar dalam kehidupan kita.
Kebenaran datang dari Allah semata dan kesalahan-kesalahan takkan lepas
dari kami sebagai manusia yang menmiliki banyak kekurangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar