Muqaddimah
اَلْحَمْدُ لِلّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ
وَالصَّلاةُ وَالسَّلامُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ سَيِّدِ الْمُرْسَلِيْنَ
إمَامِ المتقينَ وقائدِ المجاهدينَ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ تَبِعَهُ
بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ {أما بعد
dakwatuna.com - Alhamdulillah, kita
memasuki bulan Muharram 1433 H, yang berarti mengawali tahun baru 1433 H dan
meninggalkan tahun 1432 H. Kita bersyukur kepada Allah Ta’ala atas kesempatan
hidup yang masih diberikan kepada kita. Semoga kita dapat melaksanakan risalah
ibadah secara ikhlas dan benar. Dan semoga kita serta seluruh umat Islam di
tahun ini lebih baik dari tahun yang lalu dan tahun yang akan datang akan lebih
baik lagi dari tahun ini.
Keutamaan Bulan
Muharram.
Bulan Muharram adalah
salah satu dari empat bulan haram atau bulan yang dimuliakan Allah. Empat bulan
tersebut adalah, Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram dan Rajab. Allah Ta’ala
berfirman:
إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ
اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَوَاتِ
وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ
“Sesungguhnya jumlah
bulan di Kitabullah (Al Quran) itu ada dua belas bulan sejak Allah menciptakan
langit dan bumi, empat di antaranya adalah bulan-bulan haram” (QS. At Taubah:
36)
Kata Muharram artinya
‘dilarang’. Sebelum datangnya ajaran Islam, bulan Muharram sudah dikenal
sebagai bulan suci dan dimuliakan oleh masyarakat Jahiliyah. Pada bulan ini
dilarang untuk melakukan hal-hal seperti peperangan dan bentuk persengketaan
lainnya. Kemudian ketika Islam datang kemuliaan bulan haram ditetapkan dan
dipertahankan sementara tradisi jahiliyah yang lain dihapuskan termasuk
kesepakatan tidak berperang.
Bulan Muharram
memiliki banyak keutamaan, sehingga bulan ini disebut bulan Allah (syahrullah).
Beribadah pada bulan haram pahalanya dilipatgandakan dan bermaksiat di bulan
ini dosanya dilipatgandakan pula. Pada bulan ini tepatnya pada tanggal 10
Muharram Allah menyelamatkan nabi Musa as dan Bani Israil dari kejaran Firaun.
Mereka memuliakannya dengan berpuasa. Kemudian Rasulullah saw. menetapkan puasa
pada tanggal 10 Muharram sebagai kesyukuran atas pertolongan Allah. Masyarakat
Jahiliyah sebelumnya juga berpuasa. Puasa 10 Muharram tadinya hukumnya wajib,
kemudian berubah menjadi sunnah setelah turun kewajiban puasa Ramadhan.
Rasulullah saw. bersabda:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا قَدِمَ الْمَدِينَةَ
وَجَدَهُمْ يَصُومُونَ يَوْمًا يَعْنِي عَاشُورَاءَ فَقَالُوا هَذَا يَوْمٌ
عَظِيمٌ وَهُوَ يَوْمٌ نَجَّى اللَّهُ فِيهِ مُوسَى وَأَغْرَقَ آلَ فِرْعَوْنَ
فَصَامَ مُوسَى شُكْرًا لِلَّهِ فَقَالَ أَنَا أَوْلَى بِمُوسَى مِنْهُمْ
فَصَامَهُ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ
Dari Ibnu Abbas RA, bahwa nabi saw.
ketika datang ke Madinah, mendapatkan orang Yahudi berpuasa satu hari, yaitu
‘Asyuraa (10 Muharram). Mereka berkata, “ Ini adalah hari yang agung yaitu hari
Allah menyelamatkan Musa dan menenggelamkan keluarga Firaun. Maka Nabi Musa as
berpuasa sebagai bukti syukur kepada Allah. Rasul saw. berkata, “Saya lebih
berhak mengikuti Musa as. dari mereka.” Maka beliau berpuasa dan
memerintahkan (umatnya) untuk berpuasa” (HR Bukhari).
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَفْضَلُ
الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلَاةِ
بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلَاةُ اللَّيْلِ
Dari Abu Hurairah RA.
berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Sebaik-baiknya puasa setelah Ramadhan
adalah puasa pada bulan Allah Muharram. Dan sebaik-baiknya ibadah setelah
ibadah wajib adalah shalat malam.” (HR Muslim)
Walaupun ada kesamaan
dalam ibadah, khususnya berpuasa, tetapi Rasulullah saw. memerintahkan pada
umatnya agar berbeda dengan apa yang dilakukan oleh Yahudi, apalagi oleh
orang-orang musyrik. Oleh karena itu beberapa hadits menyarankan agar puasa
hari ‘Asyura diikuti oleh puasa satu hari sebelum atau sesudah puasa hari
‘Asyura.
Secara umum, puasa
Muharram dapat dilakukan dengan beberapa pilihan. Pertama, berpuasa tiga hari,
sehari sebelumnya dan sehari sesudahnya, yaitu puasa tanggal 9, 10 dan 11
Muharram. Kedua, berpuasa pada hari itu dan satu hari sesudah atau sebelumnya,
yaitu puasa tanggal: 9 dan 10, atau 10 dan 11. Ketiga, puasa pada tanggal
10 saja, hal ini karena ketika Rasulullah memerintahkan untuk puasa pada hari
‘Asyura para sahabat berkata: “Itu adalah hari yang diagungkan oleh orang-orang
Yahudi dan Nasrani, beliau bersabda: “Jika datang tahun depan insya Allah kita
akan berpuasa hari kesembilan, akan tetapi beliau meninggal pada tahun
tersebut.” (HR. Muslim).
Landasan puasa tanggal
11 Muharram didasarkan pada keumuman dalil keutamaan berpuasa pada bulan
Muharram. Di samping itu sebagai bentuk kehati-hatian jika terjadi kesalahan
dalam penghitungan awal Muharram.
Selain berpuasa, umat
Islam disarankan untuk banyak bersedekah dan menyediakan lebih banyak makanan
untuk keluarganya pada 10 Muharram. Tradisi ini memang tidak disebutkan dalam
hadits, namun ulama seperti Baihaqi dan Ibnu Hibban menyatakan bahwa hal itu
baik untuk dilakukan.
Demikian juga sebagian
umat Islam menjadikan bulan Muharram sebagai bulan anak yatim. Menyantuni dan
memelihara anak yatim adalah sesuatu yang sangat mulia dan dapat dilakukan
kapan saja. Dan tidak ada landasan yang kuat mengaitkan menyayangi dan
menyantuni anak yatim hanya pada bulan Muharram.
Bulan Muharram adalah
bulan pertama dalam sistem kalender Islam. Oleh karena itu salah satu
momentum yang sangat penting bagi umat Islam yaitu menjadikan pergantian
tahun baru Islam sebagai sarana umat Islam untuk muhasabah terhadap
langkah-langkah yang telah dilakukan dan rencana ke depan yang lebih baik lagi.
Momentum perubahan dan perbaikan menuju kebangkitan Islam sesuai dengan jiwa
hijrah Rasulullah saw. dan sahabatnya dari Mekah dan Madinah.
Legenda Dan Mitos
Muharram
Di samping keutamaan
bulan Muharram yang sumbernya sangat jelas, baik disebutkan dalam Al-Qur’an dan
Sunnah, tetapi banyak juga legenda dan mitos yang terjadi di kalangan
umat Islam menyangkut hari ‘Asyura.
Beberapa hal yang
masih menjadi keyakinan di kalangan umat Islam adalah legenda bahwa pada hari
‘Asyura Nabi Adam diciptakan, Nabi Nuh as di selamatkan dari banjir besar, Nabi
Ibrahim dilahirkan dan Allah Swt menerima taubatnya. Pada hari ‘Asyura Kiamat
akan terjadi dan siapa yang mandi pada hari ‘Asyura diyakini tidak akan
mudah terkena penyakit. Semua legenda itu sama sekali tidak ada dasarnya dalam
Islam. Begitu juga dengan keyakinan bahwa disunnahkan bagi mereka untuk
menyiapkan makanan khusus untuk hari ‘Asyura.
Sejumlah umat Islam
mengaitkan kesucian hari ‘Asyura dengan kematian cucu Nabi Muhammad Saw, Husain
saat berperang melawan tentara Suriah. Kematian Husain memang salah satu
peristiwa tragis dalam sejarah Islam. Namun kesucian hari ‘Asyura tidak bisa
dikaitkan dengan peristiwa ini dengan alasan yang sederhana bahwa kesucian hari
‘Asyura sudah ditegakkan sejak zaman Nabi Muhammad Saw jauh sebelum kelahiran
Sayidina Husain. Sebaliknya, adalah kemuliaan bagi Husain yang kematiannya
dalam pertempuran itu bersamaan dengan hari ‘Asyura.
Bid’ah Di Bulan
Muharram.
Selain legenda dan mitos
yang dikait-kaitkan dengan Muharram, masih sangat banyak bid’ah yang jauh dari
ajaran Islam. Lebih tepat lagi bahwa bid’ah tersebut merupakan warisan
ajaran Hindu dan Budha yang sudah menjadi tradisi masyarakat Jawa yang
mengaku dirinya sebagai penganut aliran kepercayaan. Mereka lebih dikenal
dengan sebutan Kejawen.
Dari segi sistem
penanggalan, memang penanggalan dengan sistem peredaran bulan bukan hanya
dipakai oleh umat Islam, tetapi masyarakat Jawa juga menggunakan penanggalan
dengan sistem itu. Dan awal bulannya dinamakan Suro. Pada hari Jum’at
malam Sabtu, 1 Muharram 1428 H bertepatan dengan 1 Suro 1940. Sebenarnya
penamaan bulan Suro, diambil dari ’Asyura yang berarti 10 Muharram. Kemudian
sebutan ini menjadi nama bulan pertama bagi penanggalan Jawa.
Beberapa tradisi dan
keyakinan yang dilakukan sebagian masyarakat Jawa sudah sangat jelas bid’ah
dan syiriknya, seperti Suro diyakini sebagai bulan yang keramat, gawat
dan penuh bala. Maka diadakanlah upacara ruwatan dengan mengirim sesajen atau
tumbal ke laut. Sebagian yang lain dengan cara bersemedi mensucikan diri
bertapa di tempat-tempat sakral (di puncak gunung, tepi laut, makam, gua, pohon
tua, dan sebagainya) dan ada juga yang melakukan dengan cara lek-lekan ‘berjaga
hingga pagi hari’ di tempat-tempat umum (tugu Yogya, Pantai Parangkusumo, dan
sebagainya). Sebagian masyarakat Jawa lainnya juga melakukan cara sendiri yaitu
mengelilingi benteng keraton sambil membisu.
Tradisi tidak
mengadakan pernikahan, khitanan dan membangun rumah. Masyarakat
berkeyakinan apabila melangsungkan acara itu maka akan membawa sial dan
malapetaka bagi diri mereka.
Melakukan ritual
ibadah tertentu di malam Suro, seperti selamatan atau syukuran, Shalat
Asyuro, membaca Doa Asyuro (dengan keyakinan tidak akan mati pada tahun
tersebut) dan ibadah-ibadah lainnya. Semua ibadah tersebut merupakan bid’ah
(hal baru dalam agama) dan tidak pernah ada contohnya dari Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wasallam maupun para sahabatnya. Hadist-hadits yang
menerangkan tentang Shalat Asyuro adalah palsu sebagaimana disebutkan oleh imam
Suyuthi dalam kitab al-La’ali al-Masnu’ah.
Tradisi Ngalap Berkah
dilakukan dengan mengunjungi daerah keramat atau melakukan ritual-ritual,
seperti mandi di grojogan (dengan harapan dapat membuat awet muda), melakukan
kirab kerbau bule (kiyai slamet) di keraton Kasunan Solo, thowaf di
tempat-tempat keramat, memandikan benda-benda pusaka, begadang semalam suntuk
dan lain-lainnya. Ini semuanya merupakan kesalahan, sebab suatu hal boleh
dipercaya mempunyai berkah dan manfaat jika dilandasi oleh dalil syar’i (Al
Qur’an dan hadits) atau ada bukti bukti ilmiah yang menunjukkannya. Semoga
Allah Ta’ala menghindarkan kita dari kesyirikan dan kebid’ahan yang
membinasakan.
Menyikapi berbagai
macam tradisi, ritual, dan amalan yang jauh dari ajaran Islam, bahkan cenderung
mengarah pada bid’ah, takhayul dan syirik, maka marilah kita bertobat kepada
Allah dan melaksanakan amalan-amalan sunnah di bulan Muharram seperti puasa.
Rasulullah saw. menjelaskan bahwa puasa pada hari ‘Asyura
menghapuskan dosa-dosa setahun yang telah berlalu.
عَنْ أَبِي قَتَادَةَ الْأَنْصَارِيِّ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ
عَن صَوْمِ يَوْمِ عَاشُورَاءَ فَقَالَ يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ
Dari Abu Qatadah RA.
Rasulullah ditanya tentang puasa hari ‘asyura, beliau bersabda: “Saya berharap
ia bisa menghapuskan dosa-dosa satu tahun yang telah lewat.” (HR.
Muslim).
Demikian bayan dari
Pusat Konsultasi Syariah Indonesia tentang keutamaan bulan Muharram, sebagai
panduan umat Islam untuk mengisi bulan Muharram. Wallahu ’alam bishawwab.
(SCC/Iman Santoso/hdn)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar