PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan,
“Allah memiliki berbagai perintah yang
wajib ditunaikan oleh para hamba-Nya, memiliki takdir berupa musibah dan ‘aib
(maksiat) yang ditetapkan atas para hamba-Nya, memiliki nikmat yang diberikan
kepada mereka.”
Ketiga hal ini, yaitu perintah, takdir, dan
nikmat memiliki ragam penghambaan kepada-Nya yang wajib ditunaikan setiap
hamba. Pribadi yang paling dicintai-Nya adalah yang mampu mengenal berbagai
bentuk penghambaan dan mampu menunaikan hak-Nya dalam ketiga kondisi tersebut.
Pribadi yang paling jauh dari-Nya adalah pribadi yang tidak tahu bagaimana
bentuk penghambaan kepada-Nya dalam ketiga kondisi tadi.
Bentuk penghambaan terkait perintah-Nya adalah dengan
melaksanakannya secara ikhlas dan mengikuti tuntunan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam. Terkait dengan larangan-Nya, yaitu dengan menjauhinya
karena takut dan cinta kepada-Nya, karena mengagungkan-Nya.
Penghambaan kepada-Nya ketika ditimpa musibah adalah
dengan bersabar atas musibah tersebut; kemudian ridha, yang tingkatannya lebih
tinggi dari bersabar; kemudian bersyukur, yang tingkatannya lebih tinggi dari
ridha. Semua itu akan terwujud apabila kecintaan kepada-Nya terhunjam kuat di
dalam hati hamba, dan dia tahu bahwa musibah tersebut merupakan pilhan terbaik
baginya, bentuk kebaikan dan kelembutan-Nya kepada dirinya, meskipun dia tidak
suka terhadap musibah itu.
Penghambaan kepada-Nya ketika tertimpa kemaksiatan
adalah dengan segera bertaubat kepada-Nya, berdiri di hadapan-Nya dalam keadaan
memohon ampunan dengan hati yang tercerai berai, karena tahu tidak ada yang
mampu menghilangkan ‘aib tersebut melainkan Dia semata, tidak ada yang mampu
membendung keburukannya selain diri-Nya. Dirinya tahu, apabila ‘aib tersebut
dibiarkan, maka akan menjauhkan dirinya dari berdekat-dekat dengan-Nya, ‘aib
tersebut akan melempar dirinya dari pintu-Nya. Dengan demikian, dia melihat
‘aib merupakan bahaya yang tidak dapat disingkap kecuali oleh -Nya, dan dia
berkeyakinan bahwa ‘aib (maksiat) tersebut lebih berbahaya daripada penyakit
fisik.
Dengan demikian, dia adalah seorang yang lemah, tidak
berdaya untuk mendatangkan taufik bagi dirinya sendiri, tidak mampu
mendatangkan ridha Tuan-nya tanpa izin, kehendak, dan ‘inayah-Nya. Dirinya
adalah seorang yang butuh kepada-Nya, hina, miskin, menjatuhkan diri di
hadapan-Nya, mengetuk pintu-Nya. (Dengan adanya maksiat itu dia memandang
dirinya sebagai) orang yang paling rendah dan hina, sehingga dia sangat fakir
dan butuh kepada-Nya, dia cinta kepada-Nya. (Dia tahu) tidak ada kebaikan pada
dirinya, tidak pula kebaikan itu berasal darinya, yang ada adalah seluruh
kebaikan adalah milik Allah, berada di tangan-Nya, dengan kehendak-Nya, dan
berasal dari-Nya. Dia-lah yang mengatur nikmat, menciptakan, dan memberikan
kepada dirinya disertai kebencian-Nya apabila dirinya berpaling, lalai dan
bermaksiat kepada-Nya.
Seluruh kebaikan berasal dari-Nya, seluruh keburukan
berasal dari hamba. Dia memperlihatkan kasih sayang kepada hamba dengan
mencurahkan nikmat kepada mereka, adapun hamba-Nya memperlihatkan kebencian
kepada-Nya dengan bermaksiat kepada-Nya. Dia membimbing hamba-Nya, adapun
hamba, dia curang kepada-Nya ketika berinteraksi dengan-Nya.
B.
Tujuan
Pembuatan Makalah
1.
Agar
mahasiswa tahu tentang apa yang dimanskud dengan hamba Allah.
2.
Agar para mahasiswa dapat memahami tentang pengertian
hak dan kewajiban dalam Islam.
3.
Agar mahasiswa dapat memahami tentang hak dan
kewajiban hamba Allah..
4.
Agar mahasiswa dapat mengetahui dan memahami urgensi
manusia sebagai hamba Allah Swt.
BAB
II
PEMBAHASAN
HAK
DAN KEWAJIBAN HAMBA ALLAH
A.
Definisi Hamba Allah
Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “ ‘Abdullah
(hamba Allah) adalah orang yang ridho terhadap apa yang Allah ridhoi, murka
terhadap apa yang Allah murkai, cinta terhadap apa yang Allah dan Rasul-nya
cintai serta benci terhadap apa yang Allah dan Rasul-Nya benci. Hamba Allah
adalah hamba yang senantiasa menolong wali Allah (kekasih Allah dari orang
beriman) dan membenci musuh Allah Ta’ala (dari orang kafir). Inilah tanda sempurnanya iman.”
Sebagaimana disebutkan dalam hadits,
مَنْ
أَحَبَّ لِلَّهِ وَأَبْغَضَ لِلَّهِ وَأَعْطَى لِلَّهِ وَمَنَعَ لِلَّهِ فَقَدْ
اسْتَكْمَلَ الْإِيمَانَ
“Barangsiapa
yang cinta dan benci karena Allah serta memberi dan enggan memberi karena
Allah, maka telah sempurnalah imannya.”
Beliau juga bersabda,
أَوْثَقُ
عُرَى الْإِيمَانِ الْحُبُّ فِي اللَّهِ ؛ وَالْبُغْضُ فِي اللَّهِ
“Ikatan iman yang paling kokoh adalah cinta dan benci karena Allah.”
Hamba
Allah adalah hamba yang senantiasa mengabdikan diri pada Tuhannya. Hamba Allah
adalah hamba yang selalu merasakan kehadiran Penciptanya di manapun dia berada.
Hamba Allah adalah hamba yang dengan setia melayani, senantiasa memohon
pertolongan, ampunan, dan bimbingan, hanya kepada Allah dengan hati yang ridho,
sebagaimana firmannya dalam surat al-baqoroh ayat 5, yang artinya: "Hanya kepada Engkau kami menyembah, dan hanya
kepada Engkau kami mohon pertolongan".
Bagi
hamba Allah, apapun yang terjadi, baik terhadap dirinya, hartanya, keluarganya,
kedudukannya, jabatannya, harus senantiasa ikhlas, karena apa yang terjadi itu
hakikatnya adalah antara dirinya dengan Sang Pencipta. Bagaimanapun perlakuan
orang lain, sekalipun menyakitkan, bagi hamba Allah itu adalah pemberian yang
indah dari Sang Penguasa. Dengan demikian tidak perlu sakit hati, marah atau
dendam pada sesama, karena semua itu terjadi semata-mata antara dirinya dengan
Allah. Orang lain dan semua yang ada, hanyalah hiasan semata, untuk menguji
apakah dirinya tetap konsisten pada tujuannya atau tidak. Hamba Allah
senantiasa sabar dalam menerima cobaan dan ujian, semuanya dikembalikan kepada
Allah dengan mengharap ridlo-Nya, sebagaimana Allah berfirman dalam Surat Huud
ayat 11, yang artinya:
"Kecuali orang-orang yang sabar (terhadap bencana) dan mengerjakan amal sholeh, mereka itu beroleh ampunan dan pahala yang besar".
"Kecuali orang-orang yang sabar (terhadap bencana) dan mengerjakan amal sholeh, mereka itu beroleh ampunan dan pahala yang besar".
B.
Definisi Hak dan Kewajiban
Perkataan
hak mempunyai bermacam-macam arti. Dalam Ilmu Akhlak yang dimaksud Hak ialah
sesuatu yang dipunyai oleh seseorang atau kelompok orang. Hak yang dimiliki
oleh seseorang atau kelompok orang itu dapat berupa benda atau wewenang
melakukan sesuatu.hak juga dapat diartikan wewenang atau kekuasaan yang secara
etis seseorang dapat mengerjakan, memiliki, meninggalkan, mempergunakan atau menuntut
sesuatu. sedangkan yang dimaksud kewajiban ialah apa yang harus dilakukan oleh
seseorang atau kelompok orang kepada orang lain atau kelompok orang lainnya.
Ahmad Amin mengatakan : "Ma lil insan yusamma haqqan, Wama 'alaihi yusamma
wajiban". Apa yang dipunyai oleh seseorang dinamakan Hak, dan apa yang
harus diperbuat oleh seseorang kepada orang lain dinamakan Kewajiban. Dalam
redaksi lain, "Al-haqqu ma laka, wal wajib ma 'alaika".Hak ialah yang
engkau punyai, dan kewajiban ialah apa yang engkau harus lakukan (kepada orang
lain).
Sebagian
ulama menjelaskan yang dimaksud kewajiban ialah "perbuatan akhlak yang
ditimbulkan atau digerakan oleh hati nurani". Dalam bahasa arab. seperti
ditulis oleh Ahmad Amin, "al-'amal al-akhlaqi alladzi yab'atsu 'alal
ityani bihi al-dhamir". Perlu diberikan catatan bahwa pengertian kewajiban
atau wajib menurut akhlak berbeda dengan pengertian wajib menurut ilmu fiqh.
Kewajiban menurut akhlak mengandung arti segala sesuatu yang dipandang baik
oleh hati nurani, mencakup segala sesuatu yang wajib maupun yang sunnah
hukumnya menurut kategori hukum dalam ilmu fiqh.
Hak
dan Kewajiban merupakan dua hal yang saling berkaitan. Oleh karena hak itu
merupakan wewenag dan bukan kekuatan, maka ia merupakan tuntutan, dan terhadap
orang lain hak itu menimbulkan kewajiban, yaitu kewajiban menghormati
terlaksananya hak hak orang lain. Dengan cara demikian orang lain pun akan
berbuat yang sama pada dirinya. Jika seseorang mempunyai hak, misalnya hak
memiliki sebuah rumah atau sebidang tanah, maka wajib bagi orang lain
menghormati hak itu. Demikian pula wajib bagi yang memiliki hak mempergunakan
haknya untuk kebaikan dirinya dan kebaikan orang banyak. Jadi ada dua kewajiban
: pertama, kewajiban yang dibebankan kepada yang memiliki hak; kedua, kewajiban
yang dibebankan kepada orang lain.
Syaikh
Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Perkara yang wajib dilakukan oleh setiap hamba
di dalam menjalani agamanya yaitu mengikuti apa yang dikatakan oleh Allah ta’ala dan apa yang dikatakan oleh Rasul-Nya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam serta ajaran para khalifah yang terbimbing dan mendapatkan
hidayah sesudah beliau; yaitu para Sahabat dan para pengikut mereka yang setia.
Sebab Allah telah mengutus Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan membawa bukti-bukti dan petunjuk. Allah mewajibkan
kepada seluruh manusia untuk beriman kepadanya dan mengikutinya secara lahir
maupun batin.”
C.
Hak Hamba Allah
Dari sahabat Muadz bin Jabbal, aku membonceng di belakang
Rasulullah di atas keledai, Rasulullah berkata, Ya Muadz, tahukah engkau apa
haknya Allah terhadap hamba-Nya, dan apa haknya hamba terhadap Allah (tatkala hamba sudah menunaikan haknya Allah) ?, jawab Muadz, Wallahu ta’ala a’lam.
Jawab Rasullah, Hak Allah terhadap hamba-Nya
(kewajiban hamba terhadap Allah) yaitu agar mereka hanya menyembah
kepada Allah semata dan tidak menyekutukan-Nya sedikitpun dalam beribadah. Dan haknya hamba terhadap Allah (Apa yang Allah balas
tatkala hamba sudah mengerjakan kewajibannya terhadap Allah) yaitu Allah tidak akan mengadzab mereka
yang tidak menyekutukan Allah sedikitpun. Kemudian Muadz berkata kepada Rasulullah, Ya
Rasulullah, Apakah boleh aku sampaikan kabar gembira kepada untuk manusia ?,
Jawab Rasulullah, Jangan engkau kabarkan, karena manusia
akan meninggalkan berlomba-lomba memperbanyak amalan. (HR Bukhari Muslim)
Hak yang
dimaksud disini adalah, apa yang harus dilakukan hamba terhadap Allah, apa
kewajiban hamba yang merupakan hak Allah. Dan apapula yang menjadi balasan yang
pasti Allah berikan kepada hamba tatkala hamba sudah menunaikan haknya Allah
yaitu untuk beribadah kepada Allah semata dan tidak syirik.
Dan bukan
berarti hamba mewajibkan sesuatu terhadap Allah, karena tidak ada sesuatupun
yang dapat memaksa Allah. Akan tetapi yang dimaksud hak hamba terhadap Allah
adalah Allah yang telah menjanjikan terhadap hambanya dan Allah mewajibkan
terhadap diri-Nya sendiri untuk memberikan hak hamba yang sudah menunaikan
kewajibannya.
D.
Kewajiban Hamba Allah
Sekurang kurangnya Setiap muslim meyakini, bahwa Allah
adalah sumber segala sumber dalam kehidupannya. Allah adalah Pencipta dirinya,
pencipta jagad raya dengan segala isinya, Allah adalah pengatur alam semesta
yang demikian luasnya. Allah adalah pemberi hidayah dan pedoman hidup dalam
kehidupan manusia, dan lain sebagainya. Sehingga manakala hal seperti ini
mengakar dalam diri setiap muslim, maka akan terimplementasikan dalam realita
bahwa Allah lah yang pertama kali harus dijadikan prioritas dalam berakhlak.
Namun dengan demikian tidaklah menjadi alasan bahwa
Allah SWT butuh disembah dan diagungkan oleh makhlukNya, bagi Allah baik
manusia mau menyembahNya ataupun tidak, maka tidak akan mengurangi kebesaran
dan kemuliaanNya. Hanya saja sudah seharusnya manusia, sebagai ciptaan Allah,
menunjukkan akhlak yang baik kepadaNya.
a. Tidak Menyekutukan Allah SWT
Hal pertama yang harus dilakukan seorang muslim dalam beretika kepada Allah
SWT, adalah tidak menyekutukan Allah. Hanya Allah lah Tuhan yang patut
disembah, dan hanya Allah lah Tuhan yang pantas diagungkan, oleh karena itu
tidak ada alasan apapun bagi manusia untuk menyekutukanNya. Adapun amal manusia
seharusnya hanya ditujukan untuk Allah SWT. sehingga manusia harus membuang
jauh-jauh riya’ (menampakkan amal/beramal agar dilihat oleh orang lain).
¨bÎ) ©!$# w ãÏÿøót br& x8uô³ç ¾ÏmÎ/ ãÏÿøótur $tB crß Ï9ºs `yJÏ9 âä!$t±o 4 `tBur õ8Îô³ç «!$$Î/ ôs)sù ¨@|Ê Kx»n=|Ê #´Ïèt/ ÇÊÊÏÈ
Artinya: Sesungguhnya Allah tidak
mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan dia mengampuni dosa
yang selain syirik bagi siapa yang dikehendaki-Nya. barangsiapa yang
mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, Maka Sesungguhnya ia Telah tersesat
sejauh-jauhnya” (QS. An-Nisa’:116)
b. Taat
Terhadap Perintah-Perintah-Nya
Selanjutnya
yang harus dilakukan seorang muslim dalam beretika kepada Allah SWT, adalah
dengan mentaati segala perintah-perintah-Nya. Sebab bagaimana mungkin ia tidak
mentaati-Nya, padahal Allah lah yang telah memberikan segala-galanya pada
dirinya. Allah berfirman (QS. 4 : 65):
xsù y7În/uur w cqãYÏB÷sã 4Ó®Lym x8qßJÅj3ysã $yJÏù tyfx© óOßgoY÷t/ §NèO w (#rßÅgs þÎû öNÎhÅ¡àÿRr& %[`tym $£JÏiB |MøÒs% (#qßJÏk=|¡çur $VJÎ=ó¡n@ ÇÏÎÈ
Artinya: “Maka demi Rab-mu, mereka pada hakekatnya
tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka
perselisihkan, kemdian mrekea tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap
ptutusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.”
Karena taat
kepada Allah merupakan konsekwensi keimanan seorang muslim kepada Allah SWT.
Tanpa adanya ketaatan, maka ini merupakan salah satu indikasi tidak adanya
keimanan. Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW juga menguatkan makna ayat di
atas dengan bersabda yang artinya: “Tidak beriman salah seorang diantara
kalian, hingga hawa nafsunya (keinginannya) mengikuti apa yang telah datang
dariku (Al-Qur’an dan sunnah)." (HR. Abi Ashim al-syaibani).
c. Memiliki
Rasa Tanggung Jawab Atas Amanah Yang Diembankan Padanya
Etika ketiga
yang harus dilakukan seorang muslim kepada Allah SWT, adalah memiliki rasa
tanggung jawab atas amanah yang diberikan padanya. Karena pada hakekatnya, kehidupan
inipun merupakan amanah dari Allah SWT. Oleh karenanya, seorang mukmin
senantiasa meyakini, apapun yang Allah berikan padanya, maka itu merupakan
amanah yang kelak akan dimintai pertanggung jawaban dari Allah. Dalam sebuah
hadits, Rasulullah SAW pernah bersabda dari ibnu Umar ra, Rasulullah SAW
bersabda, "Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian bertanggung
jawab terhadap apa yang dipimpinnya. Seorang amir (presiden/ imam/ ketua) atas
manusia, merupakan pemimpin, dan ia bertanggung jawab atas apa yang
dipimpinnya. Seorang suami merupakan pemimpin bagi keluarganya, dan ia
bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya. Seorang wanita juga merupakan
pemimpin atas rumah keluarganya dan juga anak-anaknya, dan ia bertanggung jawab
atas apa yang dipimpinnya. Seorang hamba adalah pemimpin atas harta tuannya,
dan ia bertanggung jawab terhadap apa yang dipimpinnya. Dan setiap kalian
adalah pemimpin, dan bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya." (HR.
Muslim)
d. Ridha
Terhadap Ketentuan Allah SWT
Etika berikutnya yang harus dilakukan seorang muslim
terhadap Allah SWT, adalah ridha terhadap segala ketentuan yang telah Allah
berikan pada dirinya. Seperti ketika ia dilahirkan baik oleh keluarga yang
berada maupun oleh keluarga yang tidak mampu, bentuk fisik yang Allah berikan
padanya, atau hal-hal lainnya. Karena pada hakekatnya, sikap seorang muslim
senantiasa yakin (baca; tsiqah) terhadap apapun yang Allah berikan pada
dirinya. Baik yang berupa kebaikan, atau berupa keburukan. Dalam sebuah hadits
Rasulullah SAW bersabda: " sungguh mempesona perkara orang beriman. Karena
segala urusannya adalah dipandang baik bagi dirinya. Jika ia mendapatkan
kebaikan, ia bersyukur, karena ia tahu bahwa hal tersebut merupakan hal terbaik
bagi dirinya. Dan jika ia tertimpa musibah, ia bersabar, karena ia tahu bahwa
hal tersebut merupakan hal terbaik bagi dirinya." (HR. Bukhari)
Apalagi terkadang sebagai seorang manusia, pengetahuan
atau pandangan kita terhadap sesuatu sangat terbatas. Sehingga bisa jadi,
sesuatu yang kita anggap baik justru buruk, sementara sesuatu yang dipandang
buruk ternyata malah memiliki kebaikan bagi diri kita.
e. Bersyukur
kepada Allah SWT
Tidak ada yang lebih pantas bagi sesuatu “yang telah diberi” selain
berterimakasih dan memanfaatkan segala sesuatu yang telah diberikan untuk
tujuan diberikannya. Adapun manusia yang telah diberi banyak kenikmatan,
seharusnya selalu bersyukur kepadaNya. Dalam Al-Qur’an Allah berfirman:
þÎTrãä.ø$$sù öNä.öä.ør& (#rãà6ô©$#ur Í< wur Èbrãàÿõ3s? ÇÊÎËÈ
Artinya: “Karena
itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula)kepadamu, dan bersyukurlah
kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku.” (QS.
Al-Baqarah:152)
f. Senantiasa
Bertaubat Kepada-Nya
Sebagai seorang manusia biasa, kita juga tidak akan pernah luput dari sifat
lalai dan lupa. Karena hal ini memang merupakan tabiat manusia. Oleh karena
itulah, etika kita kepada Allah, manakala sedang terjerumus dalam ‘kelupaan’
sehingga berbuat kemaksiatan kepada-Nya adalah dengan segera bertaubat kepada Allah
SWT. Dalam Al-Qur’an Allah berfirman:
úïÏ%©!$#ur #sÎ) (#qè=yèsù ºpt±Ås»sù ÷rr& (#þqßJn=sß öNæh|¡àÿRr& (#rãx.s ©!$# (#rãxÿøótGó$$sù öNÎgÎ/qçRäÏ9 `tBur ãÏÿøót UqçR%!$# wÎ) ª!$# öNs9ur (#rÅÇã 4n?tã $tB (#qè=yèsù öNèdur cqßJn=ôèt ÇÊÌÎÈ
Artinya: "Dan
juga orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri
mereka sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa dosa
mereka. Dan siapakah yang dapat mengampuni dosa selain Allah? dan mereka tidak
meneruskan perbuatan kejinya itu sedang mereka mengetahui." (QS. Ali
Imron: 135)
g. Obsesinya
adalah Keridhaan Ilahi
Seseorang yang benar-benar beriman kepada Allah SWT,
akan memiliki obsesi dan orientasi dalam segala aktivitasnya, hanya kepada
Allah SWT. Dia tidak beramal dan beraktivitas untuk mencari keridhaan atau
pujian atau apapun dari manusia. Bahkan terkadang, untuk mencapai keridhaan
Allah tersebut, ‘terpakasa’ harus mendapatkan ‘ketidaksukaan’ dari para manusia
lainnya. Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW pernah menggambarkan kepada kita:
"Barang siapa yang mencari keridhaan Allah dengan ‘adanya’ kemurkaan
manusia, maka Allah akan memberikan keridhaan manusia juga. Dan barang siapa
yang mencari keridhaan manusia dengan cara kemurkaan Allah, maka Allah akan
mewakilkan kebencian-Nya pada manusia." (HR. Tirmidzi, Al-Qadha’I dan ibnu
Asakir).
Dan hal seperti ini sekaligus merupakan bukti keimanan
yang terdapat dalam dirinya. Karena orang yang tidak memiliki kesungguhan iman,
otientasi yang dicarinya tentulah hanya keridhaan manusia. Ia tidak akan
perduli, apakah Allah menyukai tindakannya atau tidak. Yang penting ia dipuji
oleh oran lain.
h. Merealisasikan
Ibadah Kepada-Nya
Etika atau akhlak berikutnya yang harus dilakukan seorang muslim terhadap
Allah SWT adalah merealisasikan segala ibadah kepada Allah SWT. Baik ibadah
yang bersifat mahdhah, ataupun ibadah yang ghairu mahdhah. Karena pada
hakekatnya, seluruh aktiivitas sehari-hari adalah ibadah kepada Allah SWT.
Dalam Al-Qur’an Allah berberfirman:
$tBur àMø)n=yz £`Ågø:$# }§RM}$#ur wÎ) Èbrßç7÷èuÏ9 ÇÎÏÈ
Artinya: “Dan tidaklah Aku
menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.”
(QS. Ad-Dzariyat : 56).
Oleh karenanya, segala aktivitas, gerak gerik,
kehidupan sosial dan lain sebagainya merupakan ibadah yang dilakukan seorang
muslim terhadap Allah. Sehingga ibadah tidak hanya yang memiliki skup mahdhah
saja, seperti shalat, puasa haji dan sebagainya. Perealisasian ibadah yang
paling penting untuk dilakukan pada saat ini adalah beraktivitas dalam
rangkaian tujuan untuk dapat menerakpak hokum Allah di muka bumi ini. Sehingga
Islam menjadi pedoman hidup yang direalisasikan oleh masyarakat Islam pada
khususnya dan juga oleh masyarakat dunia pada umumnya.
i.
Banyak Membaca Al-Qur’an
Etika dan akhlak berikutnya yang harus dilakukan seorang muslim terhadap
Allah adalah dengan memperbanyak membaca dan mentadaburi ayat-ayat, yang
merupakan firman-firman Nya. Seseeorang yang mencintai sesuatu, tentulah ia
akan banyak dan sering menyebutnya. Demikian juga dengan mukmin, yang mencintai
Allah SWT, tentulah ia akan selalu menyebut nyebut Asma-Nya dan juga senantiasa
akan membaca firman-firman-Nya. Apalagi menakala kita mengetahui keutamaan
membaca Al-Qur’an yang dmikian besxarnya. Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW
mengatakan kepada kita: "Bacalah
Al-Qur’an, karena sesungguhnya Al-Qur’an itu dapat memberikan syafaat di hari
kiamat kepada para pembacanya." (HR. Muslim).
BAB III
KESIMPULAN
Sudah menjadi kewajiban seorang Muslim memiliki dua kesadaran, kesadaran
sebagai hamba Allah Ta’ala dan kesadaran sebagai umat Muhammad Rasulullah
Shallallaahu alaihi wasallam , Jika kesadaran itu hilang dari jiwa
seorang Mukmin maka tindakan dan amalan akan ngawur dan sembrono yang
mengakibatkan Allah Ta’ala tidak akan memberi ganjaran apapun yang didapat
hanyalah siksa.
Kesadaran pertama, kesadaran kita sebagai hamba Allah Ta’ala yang kita
tampakkan dalam setiap aktifitas sehari-hari dalam bahasa agamanya disebut (إِظْهَاُر الْعُبُوْدِيَّةِ)
Sebagai misal menampakkan kehambaan kepada Allah. Contohnya jika kita mau makan
meskipun seolah-olah padi kita tanam disawah kita sendiri, beras kita masak
sendiri maka ketika mau makan disunnahkan berdo’a:
اَللَّهُمَّ بَاِركْ لَنَا فِيْهِ
وَأَطْعِمْنَا مِنْهُ
“yaa Allah berilah kami
keberkahan darinya dan berilah kami makan darinya”
Berarti Allah Ta’ala yang memberi rizki, bukan sawah atau lainnya. Begitu
pula kita punya mobil atau kendaraan lainnya, meskipun kita membeli kendaraan
dengan usaha sendiri, dengan uang sendiri.
Itulah contoh bahwa setiap saat kita harus nyatakan kehambaan
kepada Allah Ta’ala, jika pernyataan itu hilang, maka alamat iman telah
rusak di muka bumi ini dan akan hilang kemudian muncul kesombongan dan
keangkuhan, hal ini telah terjadi pada zaman Nabi Musa p yang ketika itu pengusanya lalim
dan sombong sehingga lupa akan status sebagai hamba, bahkan si raja itu
begitu sangat sombongnya sampai ia memproklamirkan dirinya sebagai tuhan, dia
menyuruh kepada rakyatnya agar menyembah kepadanya. Dialah raja Fir’aun.
Kenyataan di atas sudah tergambar pada zaman sekarang, begitu banyak
orang-orang modern yang seharusnya sebagai hamba Allah Ta’ala namun banyak
diantara mereka yang mengalihkan penghambaan kepada harta, wanita dan dunia.
Setiap hari dalam benak mereka hanya dijejali dengan berbagai macam persoalan
dunia, mencari kenikmatan dan kepuasan dunia saja tanpa memperhatikan kepuasan
akhirat padahal kenikmatan akhirat lebih baik dari kenikmatan dunia, bahkan
lebih kekal abadi.
\Allah Ta’ala
menciptakan manusia bukan untuk menumpuk harta benda tapi Allah Ta’ala
menciptakan manusia dan jin hanya untuk menyembah kepadaNya.
“Dan
tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan hanya untuk beribadah
kepadaKu.” (Adz-Dzariyat: 56).
Makna penghambaan kepada Allah Ta’ala adalah mengesakannya dalam beribadah
dan mengkhusus-kan kepadaNya dalam berdo’a, tentang hal ini Syekh Muhammad bin
Shalih Al-Utsaimin dalam bukunya Syarah Tsalasah Usul, memaparkan persoalan
penting yang harus diketahui oleh kaum Muslimin:
اْلأُوْلَى
اَلْعِلْمُ وَهُوَ مَعْرِفَةُ اللهِ، مَعْرِفَةُ نَبِيِّهِ وَمَعْرِفَةُ دِيْنِهِ
اْلإِسْلاَمِ بِاْلأَدِلَّةِ. الثَّانِيَةُ اَلْعَمَلُ بِهِ. الثَّالِثَةُ
اَلدَّعْوَةُ إِلَيْهِ.
“Pertama adalah ilmu, yaitu
mengenal Allah, mengenal Rasul dan Dienul Islam dengan dalil dalilnya kedua
mengamalkannya ketiga mendakwakannya.”
Syaikh Muhammad At-Tamimi dalam kitab Tauhid, membe-rikan penjelasan bahwa
ayat di atas, menunjukkan keistimewaan Tauhid dan keuntungan yang diperoleh di
dalam kehidupan dunia dan akhirat. Dan menunjukkan pula syirik adalah perbuatan
dzalim yang dapat membatalkan iman jika syirik itu besar, atau mengurangi iman
jika syirik asghar (syirik kecil).
Demikianlah seharusnya, kaum Muslimin selalu sadar atas statusnya yaitu
status kehambaan terhadap Allah Ta’ala. Dan cara menghamba harus sesuai dengan
manhaj yang shohih tanpa terbaur syubhat dan kesyirikan. Jadi inti penghambaan
adalah beribadah kepada Allah Ta’ala dan tidak melakukan syirik dengan sesuatu
apapun.
Kesadaran kedua sebagai ummat Rasulullah Shallallaahu alaihi wasallam
Kesadaran
sebagai umat rasul, adalah menyadari bahwa amalan-amalan kita akan diterima
oleh Allah Ta’ala dengan syarat sesuai sunnah Rasulullah Shallallaahu alaihi
wasallam . Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin menjelaskan
konsekuensi mengenal Rasul adalah menerima segala perintahnya bahwa
mempercayai apa yang diberitakannya, mematuhi perintahnya, menjahui segala
larangn-nya, menetapkan perkara dengan syariat dan ridha
dengan putusannya.
Wallahu A’lamu bis shawab …
DAFTAR
PUSTAKA
Departemen agama, al-Qur’an dan
Tafsirnya ( Jakarta: Proyek pengadaan Kitab Suci Al-Qur’an, 1990).
Fawaid
Al-Fawaid, Ibnul Qoyyim, tahqiq Syaikh Ali Hasan, Dar Ibnul Jauzi.
Hasan Langgulung, 1986.
Manusia dan Pendidikan; Suatu Analisa Psikologi dan Pendidikan. Jakarta:
Pustaka Al-Husna.
Shihab,
M.Quraish, Tafsir Al-Misbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, (Jakarta:
Lentera Hati, 2001)
Drs.
H. Ali Anwar Yusuf, M. Si. 2003. Studi Agama Islam Untuk Perguruan Tinggi Umum.
Bandung: Pustaka Setia.
Sayyid
Ahmad Hasyimi Al-Mishri. Tt. Mukhtar Al-Ahadits An-Nabawiyyah. Surabaya:
Haromain Jaya.
Drs.
Umar Barmawi. 1976. Materi Akhlak. Bandung: CV. Ramadhani
_______________,
Tafsir al-Qur-an al-Karim ( Bandung: : Pustaka Hidayah, 1997)
Tafsir
Ibnu Katsir, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1992)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar