JAWABAN UJIAN TENGAH
SEMESTER (UTS) GANJIL
INSTITUT AGAMA ISLAM
DARUSSALAM (IAID) CIAMIS
TAHUN AKADEMIK 2011/2012
Nama : Indra Kurniawan
NPM : 08.03.1803
Fak/SMT : Tarbiyah / VII A
Prodi : Pendidikan Agama Islam
Mata Kuliah : Tafsir II
Dosen : Safruroh, S.Th.I.,
M.Pd.I
ANALISA TAFSIR AYAT TENTANG MENJAGA SHALAT DAN SHALAT SEBAGAI PENGHAPUS
DOSA DALAM TEORI PENDIDIKAN ISLAM SERTA REALITAS SOSIAL
A.
Prolog
Shalat merupakan bel pembangun tidur dan peringatan konstruktif
pada malam dan siang hari, yang mengarahkan manusia untuk menjalankan program
hidupnya. Shalat mempersembahkan kehidupan bermakna di siang dan malam hari dan
mengingatkan manusia dalam setiap gerak-geriknya. Saat manusia lengah akan
berlalunya waktu dan umur, shalat akan mengingatkannya untuk bangkit dari
kelalaian dan kelengahan. Melalui shalat, manusia yang diliputi rasa cinta dan
iman kepada Allah Swt, kembali diingatkan untuk memulai kehidupan baru menuju
ke arah kebahagiaan abadi.
Shalat adalah sebuah kota dengan seluas laut yang selalu diliputi dengan
kesegaran air dan angin musim semi di tengah kerinduan kepada Allah Swt.
Kondisi kota shalat selalu dipenuhi dengan zikir kepada Allah Swt dan diliputi
angin segar malakuti yang selalu menyegarkan spirit manusia.
Di awal kota shalat terdapat mata air yang suci dan bening. Melalui
berwudhu, kita menyucikan hati dan spirit di kandung badan. Saat membasuh
wajah, cahaya langit menyinari wajah kita dan merontokkan segala kotoran bak
daun-daun yang berjatuhan di musim semi. Membasuh tangan dan wajah yang
kemudian dilanjuntukan dengan mengusap kepala dan kaki, semuanya itu mengandung
hikmah yang terselubung. Sebab, kita harus berada dalam kondisi bersih dan suci
secara lahir dan batin saat bertemu dengan kekasih sejati.
Prof. Kaufman, dosen Universitas Bristol, mengatakan, "Saat beribadah, manusia merasakan ketulusan
yang dapat dirasakan dalam setiap keadaan. Saat beribadah, rasa terbelenggu
dapat dimusnahkan dan ruang lingkup yang luas telah terbuka. Dalam kondisi itu,
manusia merasakan nilai-nila kemanusiaan, dialog yang bersahabat dan rasa
bersukur. Saat beribadah, spirit manusia terbang ke langit dan mencapai
puncaknya."
Shalat adalah di antara ibadah yang mempunyai aspek membangun dan
mendidik. Untuk itu, shalat sangat dianjurkan, bahkan al-Quran berulangkali
mengajak manusia untuk mendirikan shalat. Dalam surat Hud ayat 114, Allah Swt
berfirman:
وَأَقِمِ الصَّلَاةَ طَرَفَيِ النَّهَارِ وَزُلَفًا مِنَ اللَّيْلِ
إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ ذَلِكَ ذِكْرَى لِلذَّاكِرِينَ
"Dan dirikanlah sembahyang itu pada kedua tepi siang (pagi
dan petang) dan pada bahagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya
perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang
buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat."
Ayat itu termasuk ayat al-Quran yang memberikan energi pada
manusia. Dengan ungkapan lain, ayat itu merupakan ayat al-Quran yang paling
memberikan harapan kepada ummat manusia.
B.
Shalat dalam Konteks Pendidikan
1.
Shalat
Sebagai Pembangun Jiwa
Shalat memperkokoh landasan-landasan keimanan manusia dan
ketakwaannya. Dzikir-dzikir shalat juga mendorong manusia untuk melakukan
kemuliaan-kemuliaan insani. Dengan demikian, polusi dan luka-luka jiwa akibat
dosa dapat diatasi melalui shalat. Pada dasarnya, seseorang yang mengerjakan
shalat secara benar, akan tersambung dengan alam spritual yang menumbuhkan
tunas-tunas kemuliaan yang tertanam dalam spirit manusia. Untuk itu, jika
hakekat shalat diperhatikan dengan sebenar-benarnya, ibadah ini akan menjadi
sekolah istimewa bagi pendidikan generasi manusia.
Salman Farsi berkata, "Suatu
hari, saya duduk di samping Rasulullah Saw di bawah pohon. Rasulullah Saw
mematahkan sebuah ranting kering dari pohon tersebut. Kemudian Rasulullah
kepada Salman berkata, "Kamu tidak bertanya, mengapa aku melakukan hal
ini? Salman pun bertanya, "Ya, mengapa engkau melakukan hal ini?"
Rasulullah menjawab, "Ketika seorang muslim berwudhu dengan baik dan
melakukan shalat lima waktu, dosa-dosanya akan berguguran seperti daun-daun
dari ranting kering ini." Kemudian Rasulullah Saw membacakan surat Hud
ayat 114.
2.
Shalat
Sebagai Pembentukan Karakter
Hasbi Assidiqy seperti yang dikuti Wawan Susetya mendefinisikan Shalat
menjadi empat pengertian, pada definisi kedua ia memaknai Shalat sebgai hakikat
Shalat (dalam perspektif batin) yaitu berhadapan hati (jiwa) kepada Allah
secara yang mendatangkan takut pada-Nya, serta menumbuhkan di dalam hati jiwa
rasa keagungan kebesaranNya dan kesempurnan kekuasaan-Nya. Makna lainya ialah:
hakikat Shalat yaitu mendzahirkan hajat dan keperluan kita kepada Allah yang
kita sembah dengan perkataan dan perbuatan.
Bila kita pahami dalam proses solat terdapat dialog antara Allah dan
hambaNya, seperti dalam surat Fatihah terjadi dialaog yang sangat dalam antar
hamba dan Allah SWT. Di dalam surat ini manusia memohon perlindugan kepada
Allah dari godaan sayithan, menyatakan Allah itu yang Maha Pengasih dan
Penyayang, memuji Allah sebagi penguasa mutlak alam semesta, menyatakan
bahwasnya Allah penguasa mutlak hari kiamat, manusia mengakui kelemahannya
dengan penyataan kepadaMu kami menyembah, hanya kepadaMu kami meminta
pertolongan, manusia memohon petunjuk kepada Allah dalam menjalani kehidupan
sebagaimana orang-orang yang Allah telah beri nikmat, dan berlindung dari
kesesatan.
Metode dialog ini begitu meyadarkan kita akan akan kelemahan dan
kekurangan. Dalam pendidikan seorang guru perlu melakukan dialog untuk mengetahui
perkembangan siswa dan mengidentifikasi masalah-masalah yang dapat menjadi
factor penghambat belajar. Untuk itu seorang guru harus memiliki sikap
bersahabat, kasih sayang kepada peserta didik.
Nurcholis Majid menyatakan lebih jauh makna Shalat dalam kehidupan
sehari-hari ialah mengandung ajaran berbuat amal saleh kepada manusia dan
lingkungan, sesuai pesan-pesan Shalat sejak takbir hingga salam.
3.
Shalat
Membiasakan Berprilaku Positif
Metode pembiasaan
atau dalam istilah psikologi pendidikan dikenal dengan istilah operant conditioning. Siswa diajarkan untuk
membiasakn prilaku terpuji, giat belajar, bekerja keras, berrtanggung jawab
atas setiap tugas yang telah diberikan.
Shalat dilakukan 5
kali sehari semalam ialah membiaskan umat manusia untuk hidup bersih dengan
symbol wudhu, disiplin waktu dengan ditandai azan disetiap waktu Shalat,
bertanggung jawab dengan simbol pengakuan di dalam bacaan doa iftitah “sesungguhnya Shalatku, ibadahku, hidup dan
matiku untuk Allah”, do’a ini memberikan isyarat berupa tanggung jawab atas
anugrah yang Allah telah berikan.
Pada saat ruku dan
sujud umat muslim diajarkan untuk bersikap rendah hati sikap rendah hati inilah
merupakan awal kemulian seseorang. Di dalam hadits Qudsi Allah berfirman: “tidaklah aku
menerima Shalat setiap orang, Aku menerima slat dari orang yang merendah demi
ketinggianku, berkhusyuk demi keagunganku, mencegah nafsunya demi larangku,
melewatkan siang dan malam dalam mengingatku, tidak terus menerus dalam
pembangkanagan terhadapku, tidak bersikap angkuh terhadap mahlukku, dan selalu
mengasihani yang lemah dan menghibur orang miskin demi keridhoanku. Bila ia
memanggilku, aku akan memberinya. Bila ia bersumpah dengan namaku aku akan
membuatnya mampu memenuhinya. Akan aku jaga ia dengan kekuatanku dan
kubanggakan dia diantara malaikatku. Seandainya aku bagi-bagikan nurnya untuk
seluruh penghuni bumi, niscaya akan cukp bagi mereka. Perumpamaannya seperti
surga firdaus, bebuahannya tidak akan rusak dan kenikmatannya tidak akan sirna” (H.R. Muslim)
Dari matan hadis
ini dapat penulis pahami bahwa, pelaksanaan Shalat tidak hanya sekedar
melaksanakan kewajiban pada waktu-waktu Shalat, melainkan tetap memaknai Shalat
sepanjang aktivitas sehari-hari.
Imam fachrurrazi
menjelaskan kata shalatihim
daaimuun ialah
orang-orang yang menjaga Shalat dengan menunaikannya diwaktunya masing-masing
dan memperhatikan hal-hal yang terkait dengan kesempurnaan Shalat. Hal-hal
tersebut baik yang dilakukan sebelum Shalat dan setelah Shalat.
Metode pembiasaan
ini perlu diterapkan oleh guru dalam proses pembentukan karakter, bila seorang
anak telah terbiasa dengan sifat-sifat terpuji, impuls-impuls positif menuju
neokortek lalu tersimpan dalam system
limbic otak sehingga aktivitas yang dilakuakn oleh siswa tercover secara
positif.
4. Shalat Menumbuhkan Kedisiplinan dengan Metode Targib dan Tarhib
Metode ini dalam
teori metode belajar modern dikenal dengan reward
dan punishment. Yaitu suatu metode
dimana hadiah dan hukuman menjadi konsekuensi dari aktivitas belajar siswa,
bila siswa dapat mencerminkan sikap yang baik maka iaberhak mendapatkan hadiah
dan sebaliknya mendapatkan hokum ketika ia tidak dapat dengan baik menjalankan
tugasnya sebgai siswa.
Begitupun halnya
Shalat, saat seorang melakukan Shalat dengan baik dan mampu ia implementasikan
dalam kehidupan sehari-hari maka ia mendapatkan kebaiakn baik dari Allah dan
masyarakat sebagaimana yang telah dijelaskan dimuka hadis riwayat Muslim “surga
firdaus untuk orang-orang yang dapat mengamalkan Shalat dengan baik dan benar”.
Sebaliknya bagi mereka yang melalaikan dan tidak melakasanakan Shalat neraka weil dan Saqor baginya dan alam firman Allah Swt. :
×@÷uqsù ú,Íj#|ÁßJù=Ïj9 ÇÍÈ tûïÏ%©!$#
öNèd
`tã öNÍkÍEx|¹
tbqèd$y
ÇÎÈ
“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat,
(yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya.”
Metode reward dan punishment ini menjadi motivasi eksternal bagi siswa dalam proses
belajar. Sebab, khususnya anak-anak dan remaja awal ketika disuguhkan hadiah
untuk yang dapat belajar dengan baik dan ancaman bagi mereka yang tidak
disiplin, mayoritas siswa termotivasi belajar dan bersikap disiplin.
Hal ini bisa
terjadi karena secara psikologi manusia memiliki kecenderungan untuk berbuat
baik dan mendapatkan balasan dari perbuatan baiknya.
C.
Realitas Sosial
Kenyataan bahwa sebagi umat Islam masih melaksanakan ibadah shalat sebatas
rutinitas atau formalistic sesungguhnya merupakan tahap awal dari pelaksanaan
ibadah shalat yang diharapkan yang sesungguhnya masih harus ditingkatkan agar
ibadah shalat tiak hany sekedar formalitas dan seremonial belaka yang cenderung
sia-sia atau tiak bernilai. Berkaitan dengan keadaan dan upaya umat Islam dalam
memelihara dan melaksanakan ibadah shlatanya Ibnu Qayyim alam Khalid
(2005:86-87) telah menjelaskan adanya lima tingkatan shalat dan seseorang tidak
akan memahami dan menyadari akan nilai dari tingkatan-tingkatan ini kecuali
orang yang berjalan nilai dari tingkatan-tingkatan ini kecuali orang yang
berjalan naik atau berusaha untuk mencapai tingkatan yang lebih tinggi. Oleh
karena itu, perlu adanya perlu adanya upaya pembinaan agar umat Islam dapat
melaksanakan ibadah shalatnya dengan baik sebagai kewajibannya sekaligus
membina eksistensi diri dan kepribadiannya melalui nilai-nilai yang terkandung
dalam ibadah shalat.
Pentingnya menjaga shalat perlu dilakukan sejak dini, dalam hal ini orang
tua dan guru menjadi factor penting dalam upaya menjadikan genersi Islam yang
senantiasa menjaga shalat dan memahami betapa pentingnya shalat dalam kehidupan
sehari-hari.
Anak-anak sampai umur tujuh tahun
biasanya lbh terpengaruh oleh kebiasaan dan didikan orang tuanya. Namun setelah
mulai masuk sekolah ia akan terbina oleh gurunya dan terpengaruh oleh
teman-temannya di sekolah. Kalau pembinaan guru-gurunya baik dan pengaruh
teman-temannya pun baik maka insya Allah jiwa anak terbina dengan baik.
Sebaliknya kalau pembinaan dari guru-gurunya hanya sekadarnya dan pengaruh
teman-temannya buruk maka si anak terbentuk dalam pola yang kurang baik.
Di saat seperti itu pembinaan ataupun
kebiasaan kedua orang tuanya yang ditanamkan kepada si anak selama 7 tahun itu
lambat laun terkikis lama-lama bisa habis. Sedang pembinaan dari orang tua
belum tentu berlanjut atau setidak-tidaknya tak ada peningkatan. Karena orang
tua merasa anaknya sudah disekolahkan pasti telah dibina oleh guru-gurunya di
sekolah. Wal hal guru-guru belum tentu membina si anak dengan baik/ intensip.
Apalagi kebanyakan pendidikan selama ini kurikulumnya hanya sekadar
menyampaikan pelajaran yang sasarannya hanya membekali otak dengan ilmu teori
dan itupun sifatnya lbh menjurus kepada materi keduniaan. Sedikit sekali yang
menyangkut pembinaan rohani akhlaq jiwa hati keimanan keikhlasan atau akhlaq
secara keseluruhan. Sehingga aspek ukhrawi justru terabaikan.
Pincangnya dunia pendidikan itu sendiri
sudah menjadi masalah besar lagi berat bagi tiap orangtua Muslim. Masih pula
pengaruh dari teman-teman si anak di sekolah yang belum tentu baik. Ditambah
lagi kesibukan-kesibukan orang tua hingga tak instensip dalam mengontrol si
anak. Belum lagi pengaruh-pengaruh yang kurang baik dari tayangan-tayangan
televisi bacaan-bacaan yang merusak moral dan aqidah. Anak yang belum dibina
fitrah Islamnya dengan baik itu sudah langsung menghadapi aneka pengaruh
negatif yang tidak mendukung fitrahnya alias akan membredel fitrahnya.
Secara Islami anak-anak wajib dibina
fitrahnya agar menjadi Muslim yang shalih. Maka ketika anak umur 7 tahun orang
tuanya disuruh oleh Nabi ` untuk memerintah anak-anaknya shalat. Nabi `
bersabda “Perintahkanlah anak itu shalat ketika ia telah sampai tujuh tahun.
Dan jika telah sampai sepuluh tahun maka pukullah dia”.
Al-’Alqami dalam kitab Tuhfatul Ahwadzi
dalam syarah Al-Jami’ush Shaghir berkata “Hen-daklah mengajarkan mereka
hal-hal yang diperlukan mengenai shalat di antaranya tentang syarat-syarat dan
rukun shalat. Dan memerintahkan mereka untuk mengerjakan shalat setelah
belajar.” Dia katakan juga bahwa “Diperintah-kannya memukul itu hanyalah
terhadap yang telah berumur sepuluh tahun krn saat itu ia telah mampu menahan
derita pukulan pada umumnya. Dan yang dimaksud dengan memukul itu pukulan yang
tidak mem-bahayakan dan hendaknya menghindari wajah dalam memukul.”
Faktor-faktor tumbuhnya generasi yang
buruk di antaranya telah tertanam di dalam jiwa anak-anak sejak umur tujuh
tahun berupa perasaan bahwa shalat itu hanyalah perintah informal tidak dikerjakan
toh tidak ada hukuman . Kalau para orang tua dan wali konsekuen maka mereka
memperhatikan betul shalat-tidaknya anak-anaknya. Hanya saja rata-rata orang
tua kurang memahami perasaan anak yang di dalam jiwanya telah tertanam suatu
sikap bahwa shalat itu hanyalah perintah informal keluarga tidak sewajib
perintah guru sekolah seperti keharusan mengerjakan PR. Karena tidak memahami
sikap dan jiwa anak seringkali orang tua melengahkan bahkan “memaafkan” alias
membiarkan anak-anaknya meninggalkan atau melalaikan shalat. Dengan anggapan
toh mereka masih anak-anak. Padahal dalam jiwa anak itu sudah tumbuh rasa dan
sikap “meremehkan” kewajiban shalat akibat didikan guru sekolah yang rata-rata
tidak menghiraukan shalat tidaknya anak-anak murid.
Masalah ini serius tidak bisa dianggap
sepele. Hampir tiap anak kini merasakan hal itu. Sedang orang tuanya pun
memaafkan dengan longgar tanpa merasa bersalah. Sehingga makin kentallah
perasaan si anak bahwa shalat itu hanya urusan kecil tidak ada sangsi tidak ada
hukuman tidak ada resiko bagi yang melalaikannya bahkan meninggalkannya.
Apalagi kalau si anak melihat ayahnya atau ibunya atau pamannya bibinya dan
tetangganya tidak shalat maka perasaan yang meremehkan shalat yang ada pada
jiwa si anak itu akan lbh kental lagi.
Anak-anak yang terbebas dari perasaan
buruk seperti itu sedikit sekali. Hanyalah anak-anak yang dididik oleh orang
tuanya dalam lingkungan Islami yang teguh disekolahkan atau dipesantrenkan di
pendidikan yang mendisiplinkan penegakan shalat berjama’ah.
Jalan keluar Setelah kita ketahui
betapa seriusnya masalah jiwa anak yang meremehkan kewajiban shalat maka
penanggulangannya adalah diadakan kondisi dan situasi bagaimana agar anak-anak
tumbuh dengan sikap jiwa yang sadar bahwa shalat itu merupakan kewajiban tiap
Muslim bahkan pembeda antara mukminin dan kafirin. Orang tua mengikuti perintah
Nabi menyuruh anak-anaknya shalat sejak 7 tahun dengan memberikan kesadaran
bahwa perintah itu nilainya justru lbh wajib dibanding sakadar mengerjakan PR
tanpa mengajari untuk melengahkan PR.
D.
Epilog Perenungan
Shalat dapat membuka pintu horizon
ilahi. Saat suara adzan dikumandangkan, hati pendiri shalat akan merasakan
getaran spritual dan rasa kerinduan kepada Allah Swt yang memuncak. Dalam
berbagai riwayat disebutkan bahwa shalat diibaratkan seperti kepala dalam tubuh
manusia. Dari ibarat itu dapat disimpulkan bahwa shalat begitu penting dalam
kehidupan manusia. Sebab, perumpamaan kepala dalam tubuh manusia menunjukkan
peran luar biasa shalat bagi kehidupan manusia.
Shalat yang merupakan pembangun jiwa
dan pengubah manusia, sudah sepatutnya menebar semerbak harum bak bunga wangi
untuk kehidupan manusia. Menggoyang tembok pembatas yang menjauhkan manusia
dari kebaikan, dan mempersembahkan sari kehambaan kepada Allah Swt.
Menurut
pandangan para psikolog, kecenderungan akan agama, akhlak dan kondisi religius
muncul di masa remaja dan baligh. Mouris Debs yang banyak melakukan riset di
bidang psikologi, mengatakan, "Kecenderungan pada agama muncul di masa
remaja dan baligh, bahkan hal itu juga dialami bagi orang-orang yang tidak
akrab dengan agama. Perubahan ini adalah bagian dari kedewasaan remaja."
Dikatakannya pula, "Antara umur 15 dan17, banyak pemuda dipengaruhi
panggilan religius dan keberanian. Mereka berharap dapat merekonstruksi dunia
dari awal, memberantas kebatilan dan menerapkan keadilan."
Sebagaimana
disinggung sebelumnya bahwa kondisi religius sarat dengan ketenangan diri
dan banyak remaja haus akan kondisi ini. Tentunya, kenikmatan spritual berbeda
dengan seluruh kenikmatan di dunia ini. Dalam kenikmatan duniawi, seseorang
akan merasa puas dan klimaks setelah mendapatkannya. Akan tetapi berbeda dengan
kenikmatan spritual. Dalam kenikmatan spritual, manusia tidak akan merasa puas.
Para penyelenggara pendidikan
hendaknya membimbing anak-anak sejak SD kelas satu untuk shalat dan
diselenggarakan shalat berjama’ah. Anak kelas satu dan dua yang kini biasa
dipulangkan pukul 10-11 hendaknya dialihkan waktunya sampai anak-anak
digerakkan untuk shalat berjama’ah dhuhur di masjid atau mushalla terdekat.
Syukur-syukur sekolahan itu sendiri memiliki tempat untuk shalat berjama’ah.
Apabila masalah ini tidak
dipecahkan bersama-sama antara pihak orang tua dan sekolah maka sulit bagi
ummat Islam untuk menurunkan generasi yang taat shalat. Dan itu merupakan
ancaman yang benar-benar sudah menghadang di depan mata kita. Tinggal bagaimana
tekad kita untuk memecahkannya demi mengamalkan perintah Rasulullah.
Wallahu A’lam …
Tidak ada komentar:
Posting Komentar