Oleh: Samsudin Kadir
Siapa lagi yang mau pergi,
“dipergikan” atau mungkin ada yang mau ikutan “mati”? Ya negeri ini memang
masih menyisahkan manusia kerdil yang tak punya rasa hormat kepada
manusia-manusia besar. Provokasi dengan nalar atau rasionalitas tak mereka
pahami, nalar gila juga tak mereka terima… Lalu, apakah dengan menghidupkan
Fir’aun, baru membuat mereka bersuara dan mengalur,,, mendaur kesepian? Oh
bangsa, oh negeri. Maaf, kami terserang penyakit buta… Buta memandang kaum
super di alam nyata depan mata, tapi mengharap dalam kebisuan pada Fir’aun yang
anti instrupsi, ogah kritik dan angkuh… Sampai kapan mereka yang lugu menerima
kenyataan tandus patriotis berdiam diri? Jujur, aku tak begitu tahu. Jika boleh
manmpar, aku hanya ingin mengatakan : Ah mayit, masuklah ke dalam liang
kuburmu. Jangan ganggu kami, jangan halangi kami, dan jangan bunuh kami!
Sumpah! Akar-akar palsu ditanam,
disirami sirup yang memabukkan: tanpa orientasi dan buah pasti. Lalu tak
malu-malu berkata pada “nyamuk” yang doyan menggigit: Ahai,,, aku penting, aku
pahlawan, dan sabda-sabda tak bernyawa. Lalu, kesepian dan ketandusan itu
dianggap “takdir”? Ah, batu nisan menjadi saksi jika kau memang mayit yang
tidak dimandikan. Bukan karena kau syahid. Tapi air yang dipakai tuk
memandikanmu telah kau buang sendiri di tengah lapangan tak bertuan, walau
ramai seperti di pasar dusta para elit, janji indah para penjajah dan nyanyi
jorok pedangdut sumbing. Jorok memang, memang jorok. Itu fakta. Matahari,
bulan, bintang dan kehidupan menjadi saksinya. Atau tanya saja pada rumput yang
bergoyang.
Air mata ini tak selalu berharga, dan
memang bisa jadi tak bernilai apa-apa. Tapi nurani ini tak mau menutup diri,
tak mau membungkam melihat fenomena dan fakta. Ini bukan wujud kecewa tanpa
buah seperti patung-patung yang bangga menelanjangi diri dan melaparkan diri di
depan istana atau rumah-rumah “Fir’aun” yang mereka banggakan bahkan mereka
tanamkan sekian dasawarsa. (Itu tak salah, tapi terlalu picik). Tapi, belajar
menampar stagnasi langkah dan kematian nurani di tengah tangisan jutaan anak
manusia di seluruh penjuru. Ini keyakinan, ini sabda keabadian. Atau apakah
jiwa-jiwa garang itu sudah kena racun tikus sehingga enggan berkata apa-apa
selain diam? Sepi terus, bisa jadi mati. Lalu, kesepian itu dibiarkan begitu
dengan alasan: on mission. Eh. Dunggunya negeriku, dunggunya anak-anak muda
berjas, dungunya mereka yang punya lidah… Atau jangan-jangan aku, kau, dia dan
kita semua sama-sama dungu? Ah malu aku menjawabnya. Tapi aku yakin di pojok
nurani selalu ada “nurani”. Dan, ya tanya saja nurani tulus itu.
Ah bisa jadi,,, Bisa jadi negeri ini
lebih banyak tembok “piramida’ Fir’aun daripada “tongkat” Musa. Bangga dengan
simbol “persatuan” tapi “membunuh” bibit jenius, buah apel manis dan jutaan
“emas” kenyal. Atau aku, kau dan dia sudah tak bermata nurani, sehingga tak
merasa apa-apa ketika disiram berhala “picisan” seperti janji palsu para elit,
nalar capital para penjajah atau “air kencing” tuan PT? Masya Allah. Mari
bertaubat bangsaku, mari beristighfar kaum muda!
Sungguh, ini cinta. Ya ekspresi
cinta. Walau di antara anak bangsa mencampakkannya dalam lubang syahwat, cinta
selalu membuat keraguan ke tanam indah keyakinan. Ya ‘Abdun, si pemilik sangkar
cerah, sapa mereka yang “menghakimi” cinta sebagai sabda jahil. Mereka seperti
itu karena jahil filosofi, buta nurani, korban acting dan praktik “badut” di
kaca TV dalam rumah mereka. Bahkan dalam kemaluan mereka yang salah guna. Atau
dalam kutub sulbi mereka tak ada cinta? Bukan kah cinta yang membuatnya indah,
elok dan mau menghargai potensi dirinya tanpa agunan? Katakan pada mereka wahai
‘Abdun: cinta itu indah, bukan pepesan kosong seperti yang dipertontonkan oleh
“sampah” jahil, pembantu palsu, pelayan angkuh, atau penjaga lembaga instan
bentukan para pemabuk yang doyan renang di lautan “bertahi ayam”.
Oh Natsir, Oh Hatta, Oh Habibie,
percayalah kami segera hadir. Mudah-mudahan ide besar, narasi apik, rencana
strategi, api semangat dan nurani cerah selalu terlahir dari sini. Dari rahim
organisasi mungil yang dideklarasikan pada 29 Maret 1998 ini. Kini ia sudah
berusia 14 tahun. Muda, dan ya benar-benar muda. Walau berbeda, kita semua
adalah Indonesia. Ya, aku KAMMI : Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia.
Aku yakin kau bersama aku di sini, di negeri indah Indonesia. Walau fisikmu tak
bersama aku di sini, tapi kau tetap membersamaiku: menanam benih cinta
untuk-Nya dengan menata taman indah Indonesia. Semoga kelak kita bersua di
sana, di alam keabadian: surga-Nya! [Syamsudin Kadir, Bidang Pembinaan
Kader KAMMI Pusat 2011-2013]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar