Oleh : Samsudin Kadir
“Tanpa rasa cinta yang mendalam
terhadap KAMMI, kita tidak punya kemauan dan ketulusan untuk memberi dan
berkorban. Pengorbanan bukanlah ‘ritual’ kewajiban sebagai anggota KAMMI.
Pengorbanan di KAMMI haruslah menjadi ‘ritual’ cinta.”
SUATU ketika saya merenung, apa gerangan
yang bisa saya berikan untuk KAMMI. Jika dihitung, maka harta saya tak
seberapa. Alih-alih untuk KAMMI, untuk kebutuhan diri sendiri, istri dan anak
saja selalu ‘kepepet’. Kalau ditelisik, gagasan saya juga seadanya. Alih-alih
untuk berbagi, untuk diri sendiri saja masih mencari. Ah, daripada banyak
berpikir dan berkhayal yang tidak-tidak, lebih baik saya melakukan sesuatu.
Ya, pada momentum usia 14 tahunnya
KAMMI ini saya ingin memberi hadiah kepada KAMMI sebagai satu bentuk syukur
kepada Allah Swt. dan wujud terima kasih kepada sesama aktivis KAMMI. Saya
menulisnya dalam satu serpihan yang saya namai SERPIHAN INTELEKTUAL KAMMI : Upaya Membangun Tradisi.
Mungkin aktivis KAMMI ada yang
berpikiran, “Ah itu tema istimewa yang berlebihan”. Betul, saya sadar bahwa
judul ini terlalu bombastis—apalagi di KAMMI saya hanya Anggota Biasa (AB) yang
berada pada “kulit luar” atau “akar rumput” dan bukan “isi dalam” atau
“langitnya” KAMMI. Bahkan dalam konteks yang lebih jauh, bisa jadi saya bukan
bagian dari KAMMI yang “KAMMI”. Saya teringat ungkapan Ust. Rahmat Abdullah,
“Ada yang bersama dengan kita padahal bukan bagian dari kita, dan ada sebagian
dari kita walau mereka tidak bersama kita”.
Sebagaimana saya yang hanya AB itu,
serpihan ini saya memahaminya sebagai serpihan tak bertema juga tak berisi. Ya,
saya terlalu “gagah” menamainya sebagai Serpihan Intelektual KAMMI, padahal
hanya “cemilan” kosong seorang AB KAMMI yang kini masih nimprung di Bidang
Pembinaan Kader KAMMI Pusat. Ini bukan soal rendah diri, tapi sadar dan tahu
diri.
Di pengantar buku Mengapa Aku
Mencintai KAMMI : Serpihan Hati Para Pejuang yang diterbitkan oleh Penerbit
Muda Cendekia (Bandung 2010, hal. v-vi), saya mengatakan, [“Tidak ada yang
lebih indah dalam sejarah perasaan manusia seperti saat-saat ketika ia sedang
jatuh cinta. Bukan karena dunia di sekeliling kita berubah pada kenyataannya.
Tapi saat-saat jatuh cintahlah yang seketika mengubah persepsi kita tentang
dunia di sekeliling kita”, demikian ungkapan Ust. Anis Matta dalam bukunya
Serial Cinta.
Namun cinta di sini tidak dimaknai
sebagai ‘perasaan syahwat’ yang tak terkendali. Sebagaimana para pecinta palsu
memahami cinta. Di sini, cinta benar-benar cinta. Cintanya para pecinta.
Bagaimana tidak, KAMMI yang masih berusia muda—ibarat gadis cantik itu—membuat
mereka tergila-gila. Yang membuat mereka ‘menggodanya’ tapi juga
‘menikmatinya’. Memberi makna terhadap diri mereka sendiri, dan juga untuk
KAMMI tempat mereka memulai karya.
Mengapa? Selain namanya yang memang
menujukan representasi kecintaan anak muda pecinta Islam (agama mereka) dan
Indonesia (negeri mereka)—sebagaimana Al-Fatih dalam menaklukan
Konstantinopel—,lebih dari itu, suasana yang terbangun dalam ruang gerakan
KAMMI, di mana mereka hidup, bergerak dan melangkah memang sarat dengan
keindahan, penuh heroisme, kaya kenangan dan juga pengorbanan. Bahkan juga
cinta itu sendiri, cinta persaudaraan dan cinta perjuangan.
Bukti cinta mereka terhadap KAMMI dan
juga kader-kadernya tak berhenti di lorong perjuangan dalam periode tertentu,
tapi juga sampai di negeri keabadian yang niscaya. Hingga hari ini dan untuk
selamanya. Ruang kontribusi mereka kepada KAMMI tidak hanya dibangun di
atas dan atas nama cinta, bahkan lebih dari itu. Walau kata cinta lebih tepat
untuk menunjukan segalanya.
Mereka menunaikan semuanya bukan
dengan pelemahan atas jiwa juang mereka yang kuat. Kuat karakternya, kuat juga
jiwanya. Namun, justru dengan penguatan jiwa mereka yang semakin kuat, bahkan
tahan banting. Hal ini terlihat dalam peran mereka selama di KAMMI yang
terrekam dalam cerita dan diksi tulisan-tulisan mereka yang punya kekhasan,
lugu (berbicara sesederhana mungkin), terbuka (berbicara apa adanya) dan secara
emosional terlihat tak berjarak dengan kepribadian mereka sendiri bahkan
kader-kader KAMMI.”]
Saya sadari bahwa karya ini tidak
sedahsyat karya-karya aktivis KAMMI yang lain, sebagaimana yang saya ungkapkan
di atas. Dimana hampir semua yang mereka suguhkan adalah daftar pekerjaan dan
gagasan yang telah mereka kontribusikan sekaligus daftar impian yang segera
mereka wujudkan. Semuanya merupakan kerja nyata, gagasan jenial, dan tentu saja
punya narasi jangka panjang. Potret ideal sebuah gerakan modern.
Karena itu, saya malu menamai karya
ini sebagai buku. Akan lebih elegan jika saya menamainya “Serpihan”. Serpihan
adalah lintasan pikiran, suara hati dan gagasan “nakal” yang berserakan dalam
kertas-kertas kusam. Adapun “Intelektual KAMMI” adalah ekspresi cinta
saja. Ya, sebagai wujud cinta kepada KAMMI. Sama sekali bukan sebagai bentuk
kontribusi ide untuk KAMMI. Ah, itu terlalu jauh. Intinya, saya ingin berbicara
secara bebas saja mengenai apa saja yang “berbau” KAMMI ketika “bergulat” di
KAMMI. Hanya itu.
Ya, serpihan ini adalah kumpulan
sebagian rekaman dan tulisan atau “coretan-coretan” saya pada momentum acara
diskusi atau menjadi pemateri pada acara KAMMI—dan umumnya Aktivis Dakwah
Kampus (ADK)—di beberapa kota di Indonesia. Karena serpihan, maka sejak awal
perlu saya akui bahwa kelak aktivis KAMMI akan sulit menemukan narasi ilmiah
atau ide yang matang di dalamnya. Justru karena itulah saya menyusunnya menjadi
satu serpihan sederhana, harapannya aktivis KAMMI di seluruh penjuru dunia bisa
memberi masukan, mengkritik, memperdebatkan, bahkan mungkin menggugat saya
secara intelektual.
Saya punya harapan bahwa apapun yang
saya suguhkan mampu memicu dan memacu aktivis KAMMI untuk membangun gerakannya
secara sadar dan massif. Dalam konteks kekinian dan masa depan, aktivis KAMMI
mesti memiliki semangat dan tekad dalam membangun kompetesi diri. Hanya dengan
begitulah aktivis KAMMI bisa mengambil posisi dan peran strategis dalam menata
masa depan bangsa dan peradaban dunia yang lebih maju.
Dalam dinamika pemikiran yang begitu
kompleks dan tantangan masa depan yang nyaris tak terdeteksi, aktivis KAMMI di
manapun perlu membangun kesadaran esensial bahwa tak ada kebatilan pemikiran
yang terkalahkan kecuali dengan kekuatan pemikiran atau kekuatan ilmu
pengetahuan, dan tak ada problematika dan tantangan gerakan yang terselesaikan
kecuali dengan ilmu pengetahuan. Bahkan sejarah peradaban Islam memberi satu
pelajaran dahsyat bahwa perubahan dan peradaban yang gemilang hanya dilahirkan
dari satu gerakan intelektual atau pembangunan tradisi secara massif. Tradisi
yang saya maksud adalah tradisi intelektual berupa baca, tulis dan
diskusi—tentu saja penelitian.
Ah saya malu berbicara gagasan, tapi
punya keinginan untuk memberi nasehat kepada sesama aktivis KAMMI. Maaf ya,
saya ingin menyampaikan beberapa hal : jangan saling merendahkan “derajat”
pengkaderan sesama aktivis KAMMI, jangan mudah “menuduh” yang aneh-aneh sesama
aktivis KAMMI, jangan angkuh dan sombong atas amanah dakwah, jangan nodai KAMMI
dengan orientasi pribadi dan kepentingan sesaat, jangan “munafik” di hadapan atau
di belakang aktivis KAMMI, dan jangan… Pokoknya janganlah tampilan fisik dan
amanah lembaga atau institusi dijadikan sebagai pemicu untuk menganggap yang
lain rendah, kecil, cemeng dan tak melakukan apa-apa. Jangaaan!
Saya juga tentu layak menyampaikan terima
kasih kepada saudara-saudara tercinta yang kadang tak terbilang, mereka yang
nyaris tak dipandang, mereka yang matang dan dewasa terhadap dinamika dan
keragaman, mereka yang jauh dari orientasi duniawi semata menuju duniawi
sekaligus ukhrawi, mereka yang menghela dari kepentingan sesaat demi
kepentingan jangka panjang, mereka yang tak lelah mengkampanyekan gerakan tutup
aurat, mereka yang berkarya dan menyuarakan kebenaran di berbagai media massa,
mereka yang tidak menghitung ulang kelelahan dalam berdakwah, mereka yang
berjuang tanpa menakar jumlah potensi dan materi yang dikorbankan, mereka yang
selalu menangis di ujung malam ketika menghadap Sang Kuasa, mereka yang selalu
terpaut hati dan pikiran dengan saudara—saudara mereka, mereka yang terjaga lidah
dan sikapnya dari ucapan dan langkah-langkah yang menyakitkan saudara mereka
yang lain, mereka yang mata hati atau nuraninya tajam dalam memandang persoalan
dan dinamika perjuangan, mereka yang malu berdusta kepada sesama demi
kepentingan perut dan syahwat…. Ya untuk kalian semua wahai saudara-saudara
saya di jalan Allah!
Jujur, di KAMMI saya menemukan
kekuatan iman, ukhuwah,
cinta, ilmu, amal dan perjuangan. Di KAMMI juga saya menemukan visi, misi,
nilai, prinsip dan orientasi kehidupan. Bagi saya, KAMMI adalah rumah tempat
saya mencari dan menemukan jati diri, tempat saya berteduh dan menatap
kehidupan. Bahkan KAMMI adalah tempat menanam berbagai karya sederhana.
Di rumah ini saya menemukan berbagai keunikan yang susah untuk dianggap sepele.
Sebagian aktivis KAMMI sangat tahu
bagaimana kondisi saya selama ini di KAMMI, termasuk saat saya melangsungkan
pernikahan pada 4 Oktober 2010 yang lalu. Ya, saya menikah di KAMMI dengan
seorang muslimah KAMMI. Dan yang menjadi keluarga, saksi dan yang hadir adalah
aktivis KAMMI. Benar-benar terasa KAMMI-nya. Mereka rela tak masuk kuliah,
libur kerja dan tidak mengajar sehari agar bisa hadir di acara pernikahan saya.
Di KAMMI saya tersadarkan bahwa betapa
saya hanyalah manusia biasa yang banyak dosa dan maksiat, yang punya jiwa namun
kering, yang punya otak tapi sedikit gagasan dan yang punya potensi namun
sering mengabaikan. Ah saya memang perlu menata diri. Banyak menghitung
“kekurangan” diri, sehingga membuatnya menjadi “kelebihan”.
Saya menyadari bahwa hingga kini saya
masih memiliki kekuatan. Kekuatan saya adalah aktivis KAMMI. Di atas
“kekotoran” dan “keterbatasan” diri saya, saudara-saudara saya di KAMMI
mengingatkan, meluruskan dan memberi saya pencerahan untuk memperbaiki diri dan
segera bangkit melanjutkan perjalanan. Bukan bicara di belakang dengan
berpura-pura baik padahal bertopeng kepalsuan, bukan “menghukumi” tanpa memberi
pencerahan.
Banyak kisah dan pengalaman yang
terajut selama di KAMMI, baik tentang diri saya sendiri yang kadang
tergopoh-gopoh maupun tentang mereka yang ikhlas dan tulus itu. Dan jujur saja,
saya sulit mengingat dan mencatatnya satu persatu, apalagi membubuhkannya dalam
satu buku dokumentasi yang ilmiah dan apik. Biarkanlah tinta sejarah yang
menorehkannya kelak, bahwa mereka, aktivis KAMMI itu, memiliki kesadaran
keberlanjutan perjuangan seperti elang yang menghadang angin yang akan terus
saja menerjang. Mereka adalah elang-elang muda. “… Maka masa depan Indonesia—bahkan umat manusia—kata
Imron Rosyadi, adalah elang-elang muda itu. Elang muda yang tumbuh dalam
lingkungan kebaikan dan cinta. Elang muda yang berhasil memenangkan
kecenderungan kebaikannya (taqwa) atas ego kejahatannya (fujuur). Yang akan terus menerus tumbuh
besar untuk menghadang angin. Terus menerus hingga angin kelelahan dan pulang.”
Saya pernah dan insya Allah akan terus
di KAMMI bersama aktivis KAMMI. Saya menyaksikan bagaimana aktivis KAMMI
merumuskan dan mengejahwantahkan berbagai agenda gerakan, sebuah upaya
berkontribusi : melayani masyarakat, membangun Indonesia dan menata peradaban
baru. Ah cinta ini terlalu istimewa untuk disisihkan begitu saja hanya karena
keangkuhan dan kesombongan diri. Karena itu, saya berupaya untuk selalu di
KAMMI, ya bersama kalian yang selalu ikhlas dan tulus berjuang di organisasi KAMMI
yang dideklarasikan pada 29 Maret 1998 di Universitas Muhammadiyah Malang-Jawa
Timur ini.
Banyak hal yang saya temukan dalam
etalase perjuangan bersama aktivis KAMMI, namun mungkin lebih banyak yang
berserak di catatan pribadi seperti di laptop, kertas kusam, web, blog atau
sejenisnya. Atau juga di pelbagai bacaan, termasuk buku-buku di rak-rak buku
masing-masing aktivis KAMMI—itupun jika mereka memilikinya. Sungguh sebuah
gambaran nyata betapa negeri ini kaya sumber daya, bahwa Indonesia masih memiliki
harapan untuk bangkit. Ya, di pundak aktivis KAMMI-lah masa depan negeri ini
dipertaruhkan dan di pundak aktivis KAMMI juga-lah kebangkitan dunia Islam
dititipkan.
Pada akhirnya, kegelisahan akan selalu
ada bagi saya dan mungkin juga aktivis KAMMI yang hendak memikirkan apa yang
pantas untuk diperbincangkan dan dilakukan ke depan. Kegelisahan itu sendiri
sulit memiliki daya ledak saat ia hanya berada dalam bungkaman pemikiran
semata, tanpa sesekali dilukiskan dengan nyata lewat pergumulan intelektual berupa
tulisan, diskusi bahkan perdebatan sengit sesame aktivis. Dukungan referensi
seadanya dan pengalaman pribadi dalam mengkaji atau menjadi pemandu kajian
tentang tema-tema terkait diharapkan akan menambah masifnya tradisi intelektual
semacam menjamurnya tradisi baca-tulis dan semaraknya diskusi dalam ruang
dinamika gerakan KAMMI dan elemen umat Islam yang lain ke depan.
Tentu, serpihan sederhana ini lahir
dari tangan yang tidak memiliki otoritas yang memadai untuk berbicara mengenai
tema-tema pemikiran atau yang berbau “intelektual” di KAMMI. Bahkan akan tampak
pengetahuan saya hanya secuil, dan sangat jauh dari nalar ilmiah dan karakter
dialektika kaum intelektual. Karena itu, ide dalam serpihan ini tidak berhak
saya klaim secara “merdeka” jika ia benar-benar ide intelektual KAMMI—dan
apalagi islami. Kekurangan dan kelemahan tersebut akan lebih bijak jika saya
jadikan sebagai “kelebihan” untuk memberanikan diri berbicara tentang apa yang
saya tahu, yang pernah saya baca, yang pernah saya sampaikan dan yang pernah
saya saksikan. Hanya itu. Selebihnya, aktivis KAMMI lebih tahu, dan saya mesti
ber-istighfar
untuk kekurangan dan kelemahan tersebut, terutama karena saya memberanikan diri
mengatasnamakan diri sebagai aktivis KAMMI—tepatnya Bidang Pembinaan Kader KAMMI
Pusat.
Serpihan ini walaupun tidak sistematis
saya anggap sebagai setitik upaya, agar jangan ada lagi interupsi yang tak
didengar, lantaran telinga-telinga tuli enggan mendengar dan para pemburu dunia
sungkan menggubris. Agar jangan ada lagi ide yang tak punya kesempatan untuk
dibukukan, lantaran setiap generasi belum punya obsesi untuk melakukan peran
menyusun kata-kata dalam kertas-kertas yang terlihat kusam. Padahal semua orang
bisa melakukan peran ini, terutama aktivis dan intelektual muda, walaupun
ditulis di antara “rintihan kesepian” dan “kepenatan diri” yang tak kenal jeda.
Akhirnya, pilihan sikap ada pada
masing-masing aktivis KAMMI, apakah mau mengambil manfaat atau tidak dari
serpihan ini, itu terserah masing-masing. Yang jelas, serpihan ini saya
suguhkan sebagai wujud rasa cinta kepada KAMMI dan aktivisnya, negeri tercinta
Indonesia dan Islam sebagai dien.
Tentu yang tak kalah pentingnya adalah sebagai upaya membangun dan mewariskan
tradisi intelektual dalam etalase pemikiran dan dinamika gerakan KAMMI. Salam
motivasi, salam aksi! [Syamsudin Kadir, Bidang Pembinaan Kader KAMMI Pusat
2011-2013]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar