a. Fase Makkiyah
Ada 6
ayat al-Qur’an yang memuat kata jihâd dengan segala derivasinya yang
tergolong makkiyah.
Yang
tergolong makkiyah, yaitu:
i. QS. al-‘Ankabût [29]: 6
وَمَنْ جَاهَدَ فَإِنَّمَا يُجَاهِدُ لِنَفْسِهِ إِنَّ اللَّهَ
لَغَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ
Dan barangsiapa yang
berjihad, maka sesungguhnya jihadnya itu adalah untuk dirinya sendiri.
Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari
semesta alam.
Ayat di
atas, diturunkan sebelum Nabi hijrah ke Madinah. Berjihad dengan mengangkat
senjata diizinkan oleh Allah setelah Nabi hijrah ke Madinah. Atas dasar itu,
kata jihâd yang terdapat pada ayat ini dipahami dalam arti mujâhadah, yaitu upaya yang
sungguh-sungguh melawan hawa nafsu. Indikasi lainnya adalah bahwa kata kerja jâhada di atas, tidak mempunyai objek,
sehingga yang memperoleh manfaat adalah jiwa (li-nafsih), karena nafsu selalu mendorong
kepada kejahatan. (Biqâ’iy)
Pemahaman
serupa dikutip juga oleh Sayid Quthb. Menurutnya, jihad pada ayat di atas
berfungsi meningkatkan kualitas spiritual mujâhid, sehingga mampu mengalahkan
kekikiran jiwa dan harta bendanya. Efek positif yang diperoleh mujâhid tersebut adalah ia berhasil
membangkitkan potensi positif yang terdapat dalam jiwanya, sehingga berdampak
pula pada masyarakat. (Sayid Qutb)
ii. QS. al-‘Ankabût [29]: 8
وَوَصَّيْنَا
الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حُسْنًا وَإِنْ جَاهَدَاكَ لِتُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ
بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا
كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
Dan Kami wajibkan
manusia (berbuat) kebaikan kepada dua orang ibu-bapaknya. Dan jika keduanya
memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu
tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya. Hanya kepada-Ku-lah
kembalimu, lalu Aku kabarkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.
Ayat di
atas diturunkan kepada Sa‘d ibn Abî Waqqâsh (w. 55 H). Menurut Sa‘d, suatu
ketika ibunya bersumpah bahwa ia tidak akan berbicara, tidak makan, dan tidak
minum hingga Sa‘d kembali ke agama nenek-moyangnya (murtad), meskipun untuk itu
ia harus meninggal dunia. Ibu Sa‘d menjalani sumpahnya itu hingga tiga
harisebagai pertanda akan kegigihannya menyuruh Sa‘d murtad. Atas dasar ini,
turunlah ayat 8 yang menjelaskan bahwa anak wajib berbakti kepada orang tua,
meskipun orang tua itu memaksanya untuk berbuat syirik.[1]
Meskipun
ayat tersebut berkenaan dengan Sa‘d dan ibunya, ayat ini juga ditujukan kepada
umat Islam pada umumnya. Kata jihâd pada ayat di atas digunakan
dalam konteks upaya atau kesungguhan orang tua memaksa anaknya berbuat syirik.
Ayat kedelapan surah al-‘Ankabut di atas berisikan kewajiban menusia agar
berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Kewajiban berbakti kepada orang tua bersifat
mutlak, meskipun keduanya berusaha sekuat tenaga mengajak anak berbuat syirik.
Dengan demikian, jihad pada ayat di atas dipahami dengan makna literal, yaitu
usaha dan kesungguhan dengan mencurahkan segala kemampuan, hingga terkadang
memunculkan pemaksaan.
iii. QS. Luqmân [31]: 15
وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا
لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا
مَعْرُوفًا وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ
فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
Dan jika keduanya
memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu
tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya
di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian
hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Ku-beritakan kepadamu apa yang telah kamu
kerjakan.
Ayat di
atas merupakan lanjutan dari ayat sebelumnya yang berisikan rangkaian
penjelasan tentang kewajiban berbakti kepada orang tua. Berbakti kepada orang
tua adalah suatu keniscayaan, meskipun mereka berbeda agama dan memaksa si anak
untuk beralih ke agama lain. Kata jâhada pada ayat di atas tidak dapat
dipahami dengan berperang. Ia mesti dipahami secara literal, yaitu kesungguhan
atau kegigihan orang tua hingga mencurahkan segenap upaya dalam memaksa si anak
untuk berpaling dari agama yang tengah dianutnya.
Ayat 15 dari surah Luqmân [31] di atas diturunkan berkenaan dengan Sa‘d ibn
Mâlik, seorang yang taat dan menghormati ibunya. Ketika ia memeluk Islam,
ibunya berkata, “Wahai Sa‘d, mengapa Engkau tega meninggalkan agamamu yang lama
dan memeluk agama baru. Wahai anakku, “Pilihlah salah satu; kamu kembali
memeluk agama yang lama, atau aku tidak akan makan serta minum hingga mati.”
Sa‘d kebingungan. Ia berkata “Wahai ibu, jangan lakukan hal yang demikian. Aku
memeluk agama baru yang tidak akan mendatangkan mudharat, dan aku tidak akan
meninggalkannya.” Ibunda Sa‘d nekat untuk tidak makan selama tiga hari-tiga
malam. Sa‘d berkata, “Wahai ibu, seandainya Engkau memiliki seribu jiwa
kemudian satu per satu meninggal, aku tetap tidak akan meninggalkan agama
baruku (Islam). Oleh karena itu, terserah ibu, mau makan atau tidak.” Setelah
itu, barulah ibunda Sa‘d makan.
iv. QS.
al-Furqân [25]: 52
فَلَا
تُطِعِ الْكَافِرِينَ وَجَاهِدْهُمْ بِهِ جِهَادًا كَبِيرًا
Maka janganlah kamu
mengikuti orang-orang kafir, dan berjihadlah terhadap mereka dengan al-Qur'an
dengan jihad yang besar.
Ayat
ini berhubungan dengan ayat-ayat sebelumnya yang menjelaskan keengganan (keras
kepala) kaum musyrik mematuhi dakwah Nabi, seperti keinginan mereka agar Nabi
saw mendatangkan malaikat untuk mendukungnya. Padahal, Nabi Muhammad saw datang
untuk membenarkan akidah mereka yang sesat. Atas dasar ini, Allah swt
memerintahkan Nabi saw agar berjihad dengan “jihad yang besar”. Yang dimaksud
“jihad yang besar” di sini adalah “al-Qur’an”, yaitu mencurahkan segenap
kemampuan dalam menyampaikan risalah kenabian dengan argumentasi yang
menampilkan keutamaan al-Qur’an.
Dengan
demikian, jihad yang dimaksud di sini bukanlah dengan mengangkat pedang atau
berperang sebagaimana yang sering kali dituduhkan kepada Islam. Jihad dalam
ayat ini adalah jihad dengan argumentasi dan menampilkan keteladanan al-Qur’an
bagi manusia. Informasi yang berisikan argumentasi kebenaran Islam dipandang
sebagai “jihad besar”. Fungsi dari jenis jihad seperti ini adalah untuk
menampik berita miring atau pemutarbalikkan fakta tentang Islam. Indikasi lain
dapat dilihat dari kata penghubung dan kata ganti “bihî” sesudah “wa jâhid
hum”. Kata ganti “hi” di sini merujuk kepada al-Qur’an.
v. QS. al-Nahl [16]: 110
ثُمَّ
إِنَّ رَبَّكَ لِلَّذِينَ هَاجَرُوا مِنْ بَعْدِ مَا فُتِنُوا ثُمَّ جَاهَدُوا وَصَبَرُوا إِنَّ رَبَّكَ مِنْ
بَعْدِهَا لَغَفُورٌ رَحِيمٌ
Dan sesungguhnya Tuhanmu
(pelindung) bagi orang-orang yang berhijrah sesudah menderita cobaan, kemudian
mereka berjihad dan sabar; sesungguhnya Tuhanmu sesudah itu benar-benar Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.
Ayat di atas terkait dengan ‘Ammâr ibn Yasîr. Ketika ‘Ammâr berhijrah ke
Madinah, ia mendapat siksaan yang sangat kejam hingga tidak menyadari apa yang
diucapkannya dan tidak mengerti bagaimana ia harus berbuat. Hal yang sama juga
menimpa Fukaihah, Bilal ibn Rabah, Shuhaib, Amir ibn Fuhairah, dan kaum
Muslimin yang lain. (HR. Ibn Sa‘d). Ayat ini menegaskan janji Allah swt untuk
melindungi dan menyelamatkan mereka sampai tujuan setelah menghadapi
penderitaan dengan tabah dan sabar.
Ayat sebelumnya (106-109) menjelaskan murka Allah yang diberikan kepada
orang yang murtad atas kehendaknya sendiri. Lain halnya dengan orang yang
dipaksa murtad sedang hatinya tetap beriman, seperti kasus ‘Ammâr ibn Yasîr,
maka ia tiada berdosa. Dan, Allah lebih mengetahui keimanannya.
Kata jâhada pada ayat di atas adalah jihad
dengan menggunakan pedang. Pemahaman ini berdasarkan konteks ayat, bahwa jihad
dimaksud untuk membela diri karena kaum Muslimin difitnah dan disiksa seperti
kasus ‘Ammâr ibn Yasîr.
vi. QS.
al-‘Ankabût [29]: 69
وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا
وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ
Dan orang-orang yang
berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan Kepada
mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang
yang berbuat baik.
Ayat di
atas diturunkan berkenaan dengan penduduk Mekah yang memeluk Islam serta
berkeinginan untuk hijrah ke Madinah menyusul Rasulullah saw. Dalam perjalanan,
mereka dicegat oleh kaum musyrikin dan digiring kembali ke Mekah. Kaum Muslimin
yang berdomisili di Madinah mengirim surat kepada mereka bahwa Allah swt
menurunkan ayat 1 dan 2 berkenaan dengan nasib mereka. Setelah menerima surat
tersebut, mereka kembali hijrah sehingga di antara mereka ada yang gugur
terbunuh oleh kaum musyrik, dan ada yang selamat hingga ke Madinah. Kata jâhada pada ayat 69 di atas berhubungan dengan jihad dalam makna literal,
yaitu kegigihan dan kesungguhan penduduk Mekah untuk berhijrah dan mengikuti
perintah Allah dan rasul-Nya.
Dilihat
dari konteks ayat di atas, ayat ini diturunkan sebelum adanya perintah untuk
berperang. Atas dasar itu, ayat ini tidak cocok jika dipahami dengan perang
melawan musuh. Pasalnya, pada periode Mekah, Nabi saw dan para sahabat tidak
pernah melakukan perlawanan secara fisik terhadap kafir Quraisy. Dikaitkan
dengan pandangan sufi, ayat ini terkait dengan pujian Allah swt terhadap orang
mukmin yang bersedia ber-mujâhadah,berusaha sekuat tenaga memikul beban
berat yang datang dari hawa nafsunya. Kata jihâdpada ayat ini dipahami sebagai
wujud dari mujâhadah, yaitu perjuangan dan upaya spiritual melawan hawa nafsu. Dengan
begitu, mujâhadah bersifat terus-menerus. Hal ini seiring dengan pernyataan sahabat
yang menyatakan bahwa masih ada peperangan yang lebih berat yaitu berperang
terus-menerus yang disebut “perang suci besar” (jihâd akbar). Orang yang mampu ber-mujâhadah termasuk golongan orang muhsin.
b. Fase Madaniyah
Ayat
al-Qur’an yang menyebut kata jihâd dan segenap derivasinya dan
tergolongmadaniyah berjumlah 24 ayat.
i. QS. al-Baqarah [2]: 218
إِنَّ
الَّذِينَ ءَامَنُوا وَالَّذِينَ هَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولَئِكَ يَرْجُونَ رَحْمَةَ اللَّهِ وَاللَّهُ
غَفُورٌ رَحِيمٌ
Sesungguhnya
orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan
Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.
Ayat di
atas turun terkait dengan ‘Abd Allâh ibn Jahsy dan para sahabat yang
telah berperang, sedangkan mereka sangat mengharapkan pahala dari Allah. Mereka
bertanya, “Wahai Rasulullah, kami sangat mengharapkan adanya peperangan yang
mengantarkan kami mendapat pahala mujahid. Adakah peperangan yang telah kami
lakukan itu mendapat pahala jihad?” (HR. Ibn Abî Hâtim)
Ayat di
atas berhubungan dengan ayat-ayat sebelumnya. QS. al-Baqarah [2]: 216
menjelaskan kewajiban qitâl. Pada dasarnya, qitâl adalah sesuatu yang tidak
disukai oleh sahabat Nabi saw, namun Allah swt mewajibkannya setelah sebelumnya
melarang. Alasan utama diwajibkannya qitâl adalah untuk menghentikan kejahatan musuh-musuh Islam terhadap
para sahabat ketika itu. Di antara kejahatan yang mereka lakukan adalah
melarang orang memeluk Islam dengan menyiksanya atau mengucilkannya dari
masyarakat. Selain itu, kaum kafir Quraisy kerap kali mengusir sahabat Nabi
dari kampung halaman mereka. Untuk itu, pada QS. al-Baqarah [2]: 218 ini, Allah
menegaskan bahwa orang beriman, ikut hijrah bersama Nabi dan berjihad di jalan
Allah, sedangkan mereka mengharapkan pahala di sisi-Nya. Berdasarkan konteks
ayat ini, penggunaan kata jâhada dapat dipahami sebagai berperang untuk membela diri dari siksaan
musuh.
ii. QS. Âlu ‘Imrân [3]: 142
أَمْ
حَسِبْتُمْ أَنْ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَعْلَمِ اللَّهُ الَّذِينَ جَاهَدُوا مِنْكُمْ وَيَعْلَمَ
الصَّابِرِينَ
Apakah kamu mengira
bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang
berjihad di antaramu, dan belum nyata orang-orang yang sabar.
Ayat di
atas, berhubungan dengan ayat sebelumnya (QS. Âlu ‘Imrân [3]: 140-141) yang
berisikan penjelasan tentang kondisi kaum Muslimin yang terluka dalam Perang
Uhud, sedangkan kaum kafir mendapat luka pada Perang Badar. Ayat 142 dari surah
Âlu Imrân di atas berisikan bantahan al-Qur’an terhadap orang yang mengaku
bahwa ia akan masuk surga padahal mereka belum diuji kesabarannya dalam
berjihad. Dikaitkan dengan ayat sebelumnya, kata jâhada pada ayat tersebut adalah
bermakna berperang.
iii. QS. al-Nisâ’ [4]: 95
لَا
يَسْتَوِي الْقَاعِدُونَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ غَيْرُ أُولِي الضَّرَرِ وَالْمُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فَضَّلَ اللَّهُ الْمُجَاهِدِينَ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ
عَلَى الْقَاعِدِينَ دَرَجَةً وَكُلًّا وَعَدَ اللَّهُ الْحُسْنَى وَفَضَّلَ
اللَّهُ الْمُجَاهِدِينَ عَلَى الْقَاعِدِينَ أَجْرًا
عَظِيمًا
Tidaklah sama antara
mu'min yang duduk (yang tidak turut berperang) yang tidak mempunyai uzur dengan
orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta mereka dan jiwanya. Allah
melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang
yang duduk satu derajat. Kepada masing-masing mereka Allah menjanjikan pahala
yang baik (surga) dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang
yang duduk dengan pahala yang besar.
Ketika
ayat لَا
يَسْتَوِي الْقَاعِدُونَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ diturunkan, Rasulullah saw
memanggil Zaid ibn Tsâbit untuk menulisnya. Ia datang menghadap dengan membawa
kertas dan tinta. Ketika itu, sahabat ‘Abd Allâh ibn Umm Maktûm (seorang
sahabat yang buta) berada di belakang Rasulullah saw dan berkata, “Wahai
Rasulullah, aku adalah seorag yang buta.” Sehubungan dengan itu, Allah
menurunkan ayat selanjutnya غَيْرُ
أُولِي الضَّرَرِ yang memberikan izin kepada
orang yang uzur untuk tidak ikut jihad.
Pada ayat di atas, kata jâhada dengan segala derivasinya terulang sebanyak tiga kali. Kata al-mujâhidûn pertama, disertai dengan jalan
Allah dan dengan pengorbanan materiil/harta serta jiwa raga. Pengungkapan jihad
di jalan Allah dengan harta dan jiwa ini bertujuan memisahkan antara orang yang
berani berjihad di medan perang dengan mereka yang enggan. Kata al-mujâhidîn kedua, tidak disertai dengan
jalan Allah, tetapi tetap memakai pengorbanan harta dan nyawa. Adapun kata al-mujâhidîn terakhir diungkap dengan tidak
menggunakan tiga embel-embel di atas.
Ayat di atas berhubungan erat dengan ayat sebelumnya yang berisikan etika
di medan perang. Dengan demikian, konteks kata jâhada pada ayat ini berkaitan dengan jihad di medan perang.
iv. QS. al-Mâ’idah [5]: 35
يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُوا
فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Hai orang-orang yang
beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri
kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan.
Dihubungkan
dengan ayat sebelumnya, ayat ini berbicara tentang gugurnya sanksi hukum atas
pelaku kejahatan jika mereka bertobat. Ayat di atas berisikan perintah untuk
bertakwa dan mencari wasilah atau cara mendekatkan diri kepada-Nya. Ayat di atas juga mengandung perintah untuk berjihad di jalan-Nya agar
menjadi orang yang beruntung.
v. QS. al-Mâ’idah [5]: 54
يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ ءَامَنُوا مَنْ يَرْتَدَّ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي
اللَّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ
أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا يَخَافُونَ لَوْمَةَ لَائِمٍ ذَلِكَ
فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
Hai orang-orang yang
beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah
akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun
mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang
bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan
yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah,
diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas
(pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.
vi. QS. al-Anfâl [8]: 72
إِنَّ
الَّذِينَ ءَامَنُوا وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ
وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَالَّذِينَ ءَاوَوْا وَنَصَرُوا أُولَئِكَ
بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا وَلَمْ يُهَاجِرُوا مَا
لَكُمْ مِنْ وَلَايَتِهِمْ مِنْ شَيْءٍ حَتَّى يُهَاجِرُوا وَإِنِ
اسْتَنْصَرُوكُمْ فِي الدِّينِ فَعَلَيْكُمُ النَّصْرُ إِلَّا عَلَى قَوْمٍ
بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ مِيثَاقٌ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
Sesungguhnya
orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan harta dan jiwanya
pada jalan Allah dan orang-orang yang memberikan tempat kediaman dan
pertolongan (kepada orang-orang muhajirin), mereka itu satu sama lain
lindung-melindungi. Dan (terhadap) orang-orang yang beriman, tetapi belum
berhijrah, maka tidak ada kewajiban sedikitpun atasmu melindungi mereka,
sebelum mereka berhijrah. (Akan tetapi) jika mereka meminta pertolongan
kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, maka kamu wajib memberikan pertolongan
kecuali terhadap kaum yang telah ada perjanjian antara kamu dengan mereka. Dan
Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.
Ayat di
atas merupakan lanjutan dari ayat sebelumnya yang menjelaskan bahwa kebaikan
yang terpendam dalam hati para tawanan tidak bisa dijadikan sebagai tebusan
karena sifatnya tidak nyata. Hal ini terbukti dari Abû Azzah al-Jumahi, salah
seorang tawanan Perang Badar yang bermohon agar dibebaskan tanpa tebusan,
dengan alasan tidak mampu secara finansial. Ia berjanji tidak akan memerangi
atau membantu orang lain memerangi Nabi saw. Abû Azzah berkhianat. Ketika Nabi
mengejar pasukan musyrik setelah Perang Uhud, Abû Azzah pun tertangkap. Ia
merengek untuk dibebaskan dan Nabi saw pun menolak dengan berkata, “Jika engkau
dibebaskan, besok engkau akan mengelilingi kota Mekah dan berkata bahwa engkau
telah menipu Muhammad dua kali.” Nabi saw pun memerintahkan agar dia dijatuhi
hukuman mati.
Ayat di
atas mengungkapkan tentang pembuktian nyata keislaman seseorang, yaitu iman
yang dibuktikan dengan hijrah dan berjihad di jalan Allah. Ayat di atas
membuktikan bahwa kaum Muslimin terbagi kepada tiga kelompok besar: 1)
muhajirin yang berhijrah ke Madinah; 2) kaum Anshar yang menampung dan membela
kaum Muslimin; dan 3) kaum beriman yang menetap di Mekah dan tidak hijrah
bersama Rasulullah saw. Kelompok pertama dan kedua ini adalah orang yang mesti
dibela, sedangkan kelompok ketiga tidak termasuk kaum yang mesti dibela, karena
mereka tidak bersedia memikul tanggung jawab perjuangan menegakkan nilai-nilai
agama. Sesuai dengan konteks ayat di atas, jihad yang dimaksud adalah perang.
vii. QS. al-Anfâl [8]: 74
وَالَّذِينَ
ءَامَنُوا وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَالَّذِينَ
ءَاوَوْا وَنَصَرُوا أُولَئِكَ هُمُ الْمُؤْمِنُونَ حَقًّا لَهُمْ مَغْفِرَةٌ
وَرِزْقٌ كَرِيمٌ
Dan orang-orang yang
beriman dan berhijrah serta berjihad pada jalan Allah, dan orang-orang yang
memberi tempat kediaman dan memberi pertolongan (kepada orang-orang muhajirin),
mereka itulah orang-orang yang benar-benar beriman. Mereka memperoleh ampunan
dan rezeki (nikmat) yang mulia.
Pada
ayat sebelumnya (73) dijelaskan bahwa antarsesama orang kafir terjadi saling
tolong-menolong. Ayat 74 di atas berkenaan dengan kedudukan orang-orang
beriman, ikut hijrah, dan berjihad bersama Nabi saw di Madinah sebagai bukti
mukmin yang sebenarnya. Jika dilihat secara redaksional, ayat ini mirip dengan
ayat (72) sebelumnya. Jika ayat 72 menceritakan pembagian orang beriman di
zaman Nabi kepada tiga kelompok, maka pada ayat ini (74) menjelaskan tentang
balasan yang akan diterima oleh orang beriman, dan ikut hijrah serta berjihad
bersama Nabi saw.
viii. QS. al-Anfâl [8]: 75
وَالَّذِينَ
ءَامَنُوا مِنْ بَعْدُ وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا مَعَكُمْ فَأُولَئِكَ
مِنْكُمْ وَأُولُو الْأَرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَى بِبَعْضٍ فِي كِتَابِ اللَّهِ
إِنَّ اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
Dan orang-orang yang
beriman sesudah itu, kemudian berhijrah dan berjihad bersamamu maka orang-orang
itu termasuk golonganmu (juga). Orang-orang yang mempunyai hubungan itu
sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang kerabat) di dalam
kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
Ayat 75
di atas, berkenaan dengan peristiwa bahwa Rasulullah saw pernah
mempersaudarakan antara Zubair ibn Awam dan Ka‘b ibn Mâlik. Zubair berkata,
“Sewaktu aku melihat Ka‘b terluka parah dalam Perang Uhud, aku berkata bahwa bila
ia gugur akulah yang menjadi ahli warisnya. Keluarganya tidak ada hak lagi
untuk mengambil harta kekayaan Ka‘b sebagai warisan.” Peristiwa ini
melatarbelakangi turunnya ayat 75 yang secara tegas menerangkan bahwa harta
kekayaan yang paling utama diberikan kepada ahli waris dari pihak keluarga, dan
tidak diberikan kepada orang yang diangkat sebagai saudara.
Selain
peristiwa tersebut, ayat di atas menjelaskan kedudukan orang yang beriman,
tetapi tidak ikut hijrah bersama Nabi saw. Ada yang memahami dari kata فَأُولَئِكَ
مِنْكُمْ bahwa orang mukmin yang tidak ikut hijrah bersama Nabi mempunyai
hak dan kedudukan yang sama dengan mukmin yang berhijrah. Kata jâhada pada ayat ini masih berkaitan
dengan jihad mengangkat senjata (perang), karena konteks Nabi saw dan sahabat
ketika itu diusir dari Mekah. Atas dasar inilah, Nabi saw dan sahabat diizinkan
membela diri dan mengambil hak-haknya terhadap kota Mekah.
ix. QS. al-Taubah [9]: 16
أَمْ
حَسِبْتُمْ أَنْ تُتْرَكُوا وَلَمَّا يَعْلَمِ اللَّهُ الَّذِينَ جَاهَدُوا مِنْكُمْ وَلَمْ يَتَّخِذُوا
مِنْ دُونِ اللَّهِ وَلَا رَسُولِهِ وَلَا الْمُؤْمِنِينَ وَلِيجَةً وَاللَّهُ
خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
Apakah kamu mengira
bahwa kamu akan dibiarkan (begitu saja), sedang Allah belum mengetahui (dalam
kenyataan) orang-orang yang berjihad di antara kamu dan tidak mengambil menjadi
teman yang setia selain Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman. Dan
Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Ayat
ini berhubungan dengan beberapa ayat sebelumnya yang menjelaskan tentang
perintah memerangi orang musyrik. Berdasarkan ayat 13, alasan utama jihad
dengan menyerang kaum musyrik Quraisy adalah karena mereka membatalkan
perjanjian damai, mengusir Nabi saw dan para sahabat dari Mekah, dan memulai
menyerang kaum Muslimin.
Ayat
ini berisikan tantangan bagi sahabat Nabi saw agar berjihad melawan musuh dan
bukan hanya berpangku tangan menunggu pertolongan kemenangan dari Allah swt.
Ayat ini juga menjelaskan bahwa jihad sebenarnya merupakan ujian bagi mukmin,
terhadap siapa yang taat maupun tidak taat. Kata jâhada pada ayat ini adalah jihad
berperang untuk membela diri dan menuntut hak-hak Nabi yang dirampas.
x. QS. al-Taubah [9]: 19
أَجَعَلْتُمْ
سِقَايَةَ الْحَاجِّ وَعِمَارَةَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ كَمَنْ ءَامَنَ بِاللَّهِ
وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَجَاهَدَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ لَا يَسْتَوُونَ عِنْدَ اللَّهِ وَاللَّهُ لَا
يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
Apakah (orang-orang)
yang memberi minuman kepada orang-orang yang mengerjakan haji dan mengurus
Masjidilharam, kamu samakan dengan orang-orang yang beriman kepada Allah dan
hari kemudian serta berjihad di jalan Allah? Mereka tidak sama di sisi Allah;
dan Allah tidak memberikan petunjuk kepada kaum yang zalim.
Ayat
ini berkenaan dengan al-Nu‘mân ibn Basyîr yang berada di samping mimbar
Rasulullah saw bersama para sahabat. Di antara mereka ada yang berkata, “Aku
tidak akan memerhatikan amal saleh yang lain setelah Islam tersebar luas dengan
terbukanya kota Mekah, kecuali memberi minuman kepada orang yang beribadah haji.”
Yang lain berkata, “Aku hanya akan berjihad di jalan Allah, karena yang
demikian lebih baik daripada apa yang kamu lakukan.” Yang lain berkata, “Aku
hanya akan memakmurkan al-Masjid al-Haram.” Mendengar pembicaraan ini, Umar
membentak mereka seraya berkata, “Janganlah kamu berbicara keras di sisi mimbar
Rasulullah, karena hari ini adalah Jumat. Setelah shalat Jumat, saya akan
bertanya kepada Rasulullah tentang apa yang kamu perselisihkan,” maka turunlah
ayat di atas[2] sebagai ketegasan bahwa orang yang mengkhususkan pada suatu amal
saleh, tidak sama dengan orang yang beriman, hijrah, dan berjihad di jalan
Allah.
xi. QS. al-Taubah [9]: 20
الَّذِينَ
ءَامَنُوا وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِأَمْوَالِهِمْ
وَأَنْفُسِهِمْ أَعْظَمُ دَرَجَةً عِنْدَ اللَّهِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْفَائِزُونَ
Orang-orang yang
beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta benda dan diri
mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan itulah orang-orang
yang mendapat kemenangan.
Ayat
ini merupakan penjelasan dari ayat sebelumnya (19) yaitu bahwa amal saleh
tertentu tidak sama kedudukannya dengan iman, hijrah, dan jihad. Sebagaimana
telah dijelaskan latar historisnya (sabab al-nuzûl) ayat sebelumnya, bahwa banyak
sahabat yang hanya fokus melakukan amal saleh tertentu setelah Fath Makkah. Di antara mereka, ada yang fokus pada memakmurkan al-Masjid
al-Haram saja, dan ada pula yang fokus beribadah dengan hanya memberi minum
jamaah haji saja.
Ayat
ini juga membuktikan bahwa pahala setiap amal saleh tidaklah sama, dan yang
tertinggi adalah orang beriman, ikut berhijrah, serta berjihad di jalan Allah.
Dalam konteks setelah Fath Makkah, berhijrah dapat dipahami sebagai “beranjak atau berpindahnya
seseorang dari kebiasaan buruk kepada kebiasaan yang baik”. Jihad pada konteks
ayat di atas adalah jihad menyebarkan agama dengan pengorbanan materiil dan
jiwa. Jihad seperti ini terbuka atau berlaku sepanjang masa.
xii. QS. al-Taubah [9]: 24
قُلْ
إِنْ كَانَ ءَابَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ
وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا
وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ
فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ وَاللَّهُ لَا
يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ
Katakanlah: "Jika
bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluargamu, harta
kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatirkan kerugiannya, dan
rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada
Allah dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai
Allah mendatangkan keputusan-Nya." Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada
orang-orang fasik.
Ayat
ini berhubungan dengan ayat sebelumnya (23) yang melarang orang beriman untuk
tidak menjadikan karib-kerabat dan pemimpin lebih mengutamakan kekufuran
daripada keimanan. Ayat ini merupakan
peringatan lanjutan agar lebih mencintai Allah dan rasul-Nya. Wujud kecintaan
ini dapat dibuktikan dengan jihad di jalan-Nya.
xiii. QS. al-Taubah [9]: 41
انْفِرُوا
خِفَافًا وَثِقَالًا وَجَاهِدُوا بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ فِي
سَبِيلِ اللَّهِ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Berangkatlah kamu baik
dalam keadaan merasa ringan ataupun merasa berat, dan berjihadlah dengan harta
dan dirimu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu jika kamu
mengetahui.
Pada
zaman Rasulullah, di antara kaum Muslimin ada yang berjihad yang sudah lanjut
usia, sehingga fisik mereka sudah lemah. Mereka memaksakan diri dengan alasan
merasa berdosa kalau tidak ikut perang. Ayat di atas menegaskan bahwa berjihad
dalam konteks ayat di atas adalah wajib dalam kondisi apa pun. Jika seseorang
berada dalam kondisi fisik yang lemah, ia bisa melakukan jihad dengan harta.
Dikaitkan
dengan ayat sebelumnya yang menjelaskan bahwa pada dasarnya jihad bukanlah
kebutuhan Allah swt, melainkan kebutuhan manusia. Pasalnya, tanpa berjihad,
tindakan kaum kafir Quraisy melanggar harga diri dan kebebasan orang lain.
Untuk menyikapi hal tersebut, Allah memerintahkan untuk berjihad.
xiv. QS. al-Taubah [9]: 44
لَا
يَسْتَأْذِنُكَ الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ أَنْ يُجَاهِدُوا بِأَمْوَالِهِمْ
وَأَنْفُسِهِمْ وَاللَّهُ عَلِيمٌ بِالْمُتَّقِينَ
Orang-orang yang
beriman kepada Allah dan hari kemudian, tidak akan meminta izin kepadamu untuk
(tidak ikut) berjihad dengan harta dan diri mereka. Dan Allah mengetahui
orang-orang yang bertakwa.
Ayat
ini menjelaskan bahwa orang yang benar-benar beriman kepada Allah dan hari
akhir, pada prinsipnya, tidak minta izin untuk berjihad. Mereka selalu siap
untuk berjihad meskipun dengan pengorbanan harta dan jiwa. Ayat ini merupakan
sindiran bagi orang munafik yang meminta izin untuk berjihad. Bagi mereka,
diizinkan atau tidak, mereka tetap tidak mau pergi berjihad.
xv. QS. al-Taubah [9]: 73
يَاأَيُّهَا
النَّبِيُّ جَاهِدِ الْكُفَّارَ وَالْمُنَافِقِينَ وَاغْلُظْ عَلَيْهِمْ وَمَأْوَاهُمْ
جَهَنَّمُ وَبِئْسَ الْمَصِيرُ
Hai Nabi, berjihadlah
(melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan bersikap keraslah
terhadap mereka. Tempat mereka ialah neraka Jahannam. Dan itulah tempat kembali
yang seburuk-buruknya.
Setelah
menjelaskan keburukan orang munafik pada ayat-ayat sebelumnya, Allah
memerintahkan Nabi Muhammad saw untuk memerangi mereka beserta orang kafir.
Orangkafir adalah yang nyata-nyata menolak ajakan Muhammad dan
melakukan permusuhan yang mengganggu penyebaran Islam. Adapun munafik adalah mereka yang menolak secara sembunyi-sembunyi, atau
menyembunyikan kekufuran dalam hati mereka. Perintah untuk bersikap keras
terhadap orang kafir dan munafik, sebagaimana dijelaskan pada ayat 13 surah
yang sama, adalah karena mereka membatalkan perjanjian damai dengan Nabi saw,
mengusir Nabi saw dan para sahabat dari Mekah, dan memulai menyerang kaum
Muslimin. Atas berulang-ulangnya perlakuan kafir dan munafik terhadap nabi dan
sahabatnya, maka diperintahkan untuk bersikap keras terhadap mereka.
xvi. QS. al-Taubah [9]: 81
فَرِحَ الْمُخَلَّفُونَ
بِمَقْعَدِهِمْ خِلَافَ رَسُولِ اللَّهِ وَكَرِهُوا أَنْ يُجَاهِدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ
فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَقَالُوا لَا تَنْفِرُوا فِي الْحَرِّ قُلْ نَارُ جَهَنَّمَ
أَشَدُّ حَرًّا لَوْ كَانُوا يَفْقَهُونَ
Orang-orang yang ditinggalkan
(tidak ikut berperang) itu merasa gembira dengan tinggalnya mereka di belakang
Rasulullah, dan mereka tidak suka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada
jalan Allah dan mereka berkata, “Janganlah kamu berangkat (pergi berperang)
dalam panas terik ini”. Katakanlah, “Api neraka Jahannam itu lebih sangat panas
(nya)”, jikalau mereka mengetahui.
Ayat
ini berhubungan dengan seorang munafik yang pernah berkata, “Janganlah kamu
keluar ke medan perang di musim panas ini”. Sehubungan dengan itu, Allah swt
menurunkan ayat di atas sebagai ancaman bagi orang yang merasa berat untuk
berjihad.
Jihad pada ayat di atas adalah berhubungan dengan Perang Tabuk. Suasana
Perang Tabuk adalah di bawah terik matahari dengan suhu panas yang sangat
tinggi. Orang munafik
menjadikan situasi tersebut sebagai alasan untuk membatalkan atau tidak ikut
serta dalam berperang yang telah mereka sepakati dengan Nabi sebelumnya. Sikap
orang munafik seperti ini terlihat dalam beberapa kesempatan peperangan
Rasulullah saw.
xvii. QS. al-Taubah [9]: 86
وَإِذَا
أُنْزِلَتْ سُورَةٌ أَنْ ءَامِنُوا بِاللَّهِ وَجَاهِدُوا مَعَ رَسُولِهِ
اسْتَأْذَنَكَ أُولُو الطَّوْلِ مِنْهُمْ وَقَالُوا ذَرْنَا نَكُنْ مَعَ
الْقَاعِدِينَ
Dan apabila diturunkan
sesuatu surah (yang memerintahkan kepada orang munafik itu): “Berimanlah kamu
kepada Allah dan berjihadlah beserta Rasul-Nya”, niscaya orang-orang yang
sanggup di antara mereka meminta izin kepadamu (untuk tidak berjihad) dan
mereka berkata: “Biarkanlah kami berada bersama orang-orang yang duduk”.
Ayat
ini masih berisikan sindiran terhadap kaum munafik yang mengundurkan diri untuk
tidak ikut berjihad dalam Perang Tabuk. Dijelaskan sebelumnya bahwa alasan
utama mereka untuk tidak berperang adalah karena terik atau panas matahari.
Berdasarkan ayat di atas, seandainya pun ada alasan lain agar bisa tidak ikut
perang atau berjihad, maka akan digunakan oleh orang munafik untuk meminta izin
kepada Rasulullah saw. Sebagai contohnya, mereka akan lebih memilih untuk duduk
bersama orang tua serta kaum wanita yang tidak turun ke medan jihad.
xviii. QS. al-Taubah [9]: 88
لَكِنِ
الرَّسُولُ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا مَعَهُ جَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ
وَأَنْفُسِهِمْ وَأُولَئِكَ لَهُمُ الْخَيْرَاتُ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Tetapi Rasul dan orang-orang yang beriman bersama dia, mereka berjihad
dengan harta dan diri mereka. Dan mereka itulah orang-orang yang memperoleh
kebaikan; dan mereka itulah (pula) orang-orang yang beruntung.
Kondisi orang munafik seperti yang dijelaskan pada beberapa ayat surah
al-Taubah ini sangat berbeda dengan Rasulullah saw dan orang beriman.
Rasulullah saw dan para sahabat senantiasa siap berjihad dengan harta dan jiwa,
jika situasi menghendaki. Dan dengan semangat jihat ini, mereka memperoleh
kemenangan yang telah dijanjikan oleh Allah swt.
xix. QS. al-Hajj [22]: 78
وَجَاهِدُوا فِي اللَّهِ حَقَّ جِهَادِهِ هُوَ اجْتَبَاكُمْ وَمَا جَعَلَ
عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ مِلَّةَ أَبِيكُمْ إِبْرَاهِيمَ هُوَ
سَمَّاكُمُ الْمُسْلِمِينَ مِنْ قَبْلُ وَفِي هَذَا لِيَكُونَ الرَّسُولُ شَهِيدًا
عَلَيْكُمْ وَتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ فَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ
وَءَاتُوا الزَّكَاةَ وَاعْتَصِمُوا بِاللَّهِ هُوَ مَوْلَاكُمْ فَنِعْمَ
الْمَوْلَى وَنِعْمَ النَّصِيرُ
Dan berjihadlah kamu
pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan
Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.
(Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian
orang-orang Muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (al-Qur’an) ini, supaya
Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas
segenap manusia, maka laksanakanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan berpeganglah
kamu pada tali Allah. Dia adalah Pelindungmu, maka Dialah sebaik-baik Pelindung
dan sebaik-baik Penolong.
Ungkapan berjihadlah kamu pada jalan
Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya pada ayat di atas mengindikasikan bahwa shalat, ibadah, dan amal
kebajikan lainnya bukanlah sesuatu yang mudah untuk dilaksanakan. Begitu banyak
cobaan dan rintangan yang harus dihadapi. Semuanya itu bersumber dari nafsu
yang terdapat dalam diri manusia. Untuk dapat melaksanakan semua ibadah
tersebut, dibutuhkan jihad, yakni dengan mencurahkan segenap tenaga dan
kemampuan agar amalan tersebut dapat terlaksana dengan baik.
Kata jâhada pada ayat di atas bermakna mencurahkan segenap kemampuan dan
menanggung pengorbanan untuk mencapai maksud yang diinginkan. Dengan demikian,
jihad adalah cara untuk mencapai tujuan. Ia membutuhkan pengorbanan nyawa,
tenaga, pikiran, emosi dan apa saja berkaitan dengan diri manusia. Jihad tidak
mengenal putus asa, menyerah, bahkan kelesuan, dan pamrih.
xx. QS. Muhammad [47]: 31
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ حَتَّى نَعْلَمَ الْمُجَاهِدِينَ مِنْكُمْ وَالصَّابِرِينَ وَنَبْلُوَ أَخْبَارَكُمْ
Dan sesungguhnya Kami
benar-benar akan menguji kamu agar Kami mengetahui orang-orang yang berjihad
dan bersabar di antara kamu; dan agar Kami menyatakan (baik-buruknya)
hal-ihwalmu.
Ayat di
atas berbicara mengenai jihad dalam konteks peperangan seperti yang telah
diperintahkan pada ayat-ayat lainnya. Pada ayat-ayat sebelumnya, al-Qur’an
menguraikan rahasia atau sikap dan tindak-tanduk kaum munafik terhadap kaum
Muslimin. Di antaranya adalah bahwa orang munafik ketika akan pergi ke medan
perang untuk berjihad, mereka mencari alasan agar diizinkan untuk tidak ikut
bersama Rasulullah saw. Untuk membedakan munafik dan orang mukmin sebenarnya,
maka ayat di atas menyatakan bahwa Allah swt benar-benar akan menguji sahabat
Nabi saw, sehingga akan diketahui orang-orang yang berjihad dan bersabar di
antara mereka.
xxi. QS. al-Hujurât [49]: 15
إِنَّمَا
الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ ءَامَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا
وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولَئِكَ
هُمُ الصَّادِقُونَ
Sesungguhnya
orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan
Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan
jiwa mereka pada jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang benar.
Ayat
ini merupakan penegasan terhadap Arab Badui sebagaimana tersirat pada ayat
sebelumnya, yang mengaku bahwa mereka telah beriman. Ayat ini menegaskan bahwa
mukmin itu adalah orang yang beriman dengan Allah dan Rasul-Nya sepenuh hati. Kendati
di kemudian hari, mereka diuji oleh berbagai musibah, mereka tetap beriman dan
tidak pernah ragu. Selain itu, bukti seorang mukmin adalah turut berjihad
membela kebenaran, meskipun mengorbankan harta dan jiwa mereka. Kata jâhada pada ayat di atas dipahami sebagai kesungguhan dan kegigihan dalam
membela kebenaran yang dibuktikan dengan mencurahkan segenap potensi, baik
materiil maupun nyawa.
xxii. QS. al-Mumtahanah [60]:
1
يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاءَ
تُلْقُونَ إِلَيْهِمْ بِالْمَوَدَّةِ وَقَدْ كَفَرُوا بِمَا جَاءَكُمْ مِنَ
الْحَقِّ يُخْرِجُونَ الرَّسُولَ وَإِيَّاكُمْ أَنْ تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ
رَبِّكُمْ إِنْ كُنْتُمْ خَرَجْتُمْ جِهَادًا فِي سَبِيلِي وَابْتِغَاءَ
مَرْضَاتِي تُسِرُّونَ إِلَيْهِمْ بِالْمَوَدَّةِ وَأَنَا أَعْلَمُ بِمَا
أَخْفَيْتُمْ وَمَا أَعْلَنْتُمْ وَمَنْ يَفْعَلْهُ مِنْكُمْ فَقَدْ ضَلَّ سَوَاءَ
السَّبِيلِ
Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman
setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa
kasih sayang; padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang
datang kepadamu, mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kamu karena kamu beriman
kepada Allah, Tuhanmu. Jika kamu benar-benar keluar untuk berjihad pada
jalan-Ku dan mencari keridhaan-Ku (janganlah kamu berbuat demikian). Kamu
memberitahukan secara rahasia (berita-berita Muhammad) kepada mereka, karena
rasa kasih sayang. Aku lebih mengetahui apa yang kamu sembunyikan dan apa yang
kamu nyatakan. Dan, barangsiapa di antara kamu yang melakukannya, maka
sesungguhnya dia telah tersesat dari jalan yang lurus.
Sabab
al-nuzûl ayat ini adalah berdasarkan riwayat dari ‘Ali berikut:
Ali
berkata, “Rasulullah mengutus aku, Zubair, dan Miqdad seraya berkata, “Pergilah
kalian ke kebun Khâkh! Di sana ada seorang wanita membawa surat, ambillah surat
itu darinya”. Kami pergi ke tempat
yang dimaksud dan bertemu dengan wanita tersebut. Kami berkata, “Serahkan
kepada kami surat itu!”. Wanita itu menjawab, “Saya tidak membawa surat”.
Kemudian kami berkata, “Sekiranya engkau tidak menyerahkannya, maka kami akan
telanjangi engkau.” Lalu ia mengeluarkan surat tersebut dari sanggul rambutnya,
kemudian kami mendatangi Nabi saw. Ternyata surat tersebut ditulis oleh Hâthib
ibn Abî Balta‘ah kepada penduduk Mekah yang berisikan beberapa rencana Nabi
saw. Selanjutnya, Nabi saw memanggil Hâthib dan berkata, “Surat apa ini wahai
Hâthib?” Hâthib menjawab, “Jangan tergesa-gesa menghukum aku wahai Rasulullah.
Saya mempunyai teman dari golongan Quraisy tetapi aku tidak termasuk golongan
mereka, di antara sahabat Muhajirin yang ada sekarang, mereka mempunyai saudara
yang bisa menjaga keluarga dan harta benda di Mekah, sedangkan aku tidak punya. Untuk itu, saya ingin berbuat budi kepada mereka agar
mereka menjaga saudara saya. Saya melakukan itu tidak bermaksud kufur atau
murtad.” Rasulullah saw bersabda, “Engkau benar”. Umar berkata, “Izinkan aku
memenggal kuduknya wahai Rasulullah”. Rasulullah berkata, “Ia termasuk veteran
Badar, engkau tidak tahu pasti, boleh jadi Allah yang mengetahui jasa mereka
yang ikut Perang Badar”, sehingga berfirman, “Lakukanlah sesukamu, sungguh Aku
telah mengampunimu.”[3]
xxiii. QS. al-Shaff [61]: 11
تُؤْمِنُونَ
بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَتُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِأَمْوَالِكُمْ
وَأَنْفُسِكُمْ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
(yaitu) kamu beriman
kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu.
Itulah yang lebih baik bagi kamu jika kamu mengetahuinya,
Ayat
ini diturunkan berkenaan dengan pertanyaan sahabat kepada Rasulullah saw
tentang perbuatan yang paling disukai oleh Allah swt. Sehubungan dengan itu,
Allah swt menurunkan ayat 10 surah al-Shaff. Pada ayat ini, Allah memerintahkan
orang beriman agar meraih perniagaan yang menguntungkan. Penjelasan tentang
perniagaan tersebut terdapat pada ayat 11 di atas, yaitu dengan beriman kepada
Allah dan Rasul-Nya, dan berjihad fî sabîlillâh dengan harta dan jiwa. Menurut
al-Râghib al-Ishfahânî, kata jihâd yang dimaksud di atas dapat berupa jihad berperang melawan musuh
yang tampak jelas, jihad melawan keinginan dan kehendak setan, serta jihad
dalam membendung hawa nafsu.[4] Merujuk pada keterangan ayat
10, maka jihad dengan harta dan jiwa fî sabîlillâh dapat menghindarkan diri dari siksaan yang pedih.
xxiv. QS. al-Tahrîm [66]: 9
يَاأَيُّهَا
النَّبِيُّ جَاهِدِ الْكُفَّارَ وَالْمُنَافِقِينَ وَاغْلُظْ عَلَيْهِمْ وَمَأْوَاهُمْ
جَهَنَّمُ وَبِئْسَ الْمَصِيرُ
Hai Nabi, perangilah
orang-orang kafir dan orang-orang munafik dan bersikap keraslah terhadap
mereka. Tempat mereka adalah neraka Jahannam dan itu adalah seburuk-buruk
tempat kembali.
Ayat
sebelumnya menjelaskan sikap terhadap istri, anjuran mendidik keluarga, dan
gambaran tentang Nabi saw dan orang beriman. Rahasia penempatan perintah
berjihad mengubah karakter orang kafir dan munafik ini adalah untuk
mensterilkan lingkungan dari pengaruh mereka, sehingga keluarga terhindar dari
pengaruh negatif orang munafik.
Ayat
ini berisikan perintah jihad kepada Nabi Muhammad terhadap orang kafir dan
orang munafik. Jihad dalam ayat ini dipahami sebagai upaya dengan kesungguhan
untuk memperbaiki keadaan orang kafir dan munafik tersebut agar mereka beriman
dengan tulus dan juga untuk menghindari ancaman dan gangguan mereka. Pada zaman
Nabi saw, menjadikan orang kafir dan orang munafik percaya kemudian memeluk
agama Islam, membutuhkan keseriusan dan upaya yang maksimal. Apabila upaya ini
berhasil, di sanalah letak jihad yang sesungguhnya.
Dalam
konteks ayat ini, jihad bermakna upaya mengubah karakter orang kafir dan
munafik karena mereka selalu mengganggu dan mengancam dakwah Nabi. Untuk itu, Nabi saw diperintahkan membela diri dan berjihad menghadapi
mereka. Jika gangguan dan ancaman orang kafir ini berlanjut, Nabi saw diizinkan
untuk membela diri dengan cara mengangkat pedang. Sejarah mencatat bahwa Nabi
saw tidak pernah memerangi orang munafik. Ungkapan
yang terkesan “memerangi orang munafik” berfungsi sebagai ancaman bagi orang
munafik, bahwa status mereka dapat disamakan dengan kafir.[]
[1]Muslim, Shahîh Muslim, jilid IV, hal. 1877,
al-Turmudziy, Sunan al-Turmudziy, jilid V, hal. 341.
[2] Muslim, Shahîh Muslim, jilid III, hal. 1499.
[3] Al-Bukhâriy, Shahîh al-Bukhâriy, jilid III, hal 184, Muslim, Shahîh
Muslim, jilid IV, hal. 1941.
[4] Al-Râghib
al-Isfahâniy, al-Mufradât fî Gharîb al-Qur’ân, (Beirut: Dâr al-Ma‘rifah, t.th.), hal. 101.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar