BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Islam
adalah agama yang suci, yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. sebagai rahmat
untuk semesta alam.
“Maka
demi Tuhanmu, mereka pada hakikatnya tidak beriman hingga mereka menjadikan
kamu (Muhammad) sebagai pemutus perkara yang mereka perselisihkan di antara
mereka.” (Q.S. An Nisaa` (4) : 65)
“Dan
tidak patut bagi seorang mu`min laki-laki dan mu`min perempuan, jika Allah dan
Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang
lain) tentang urusan mereka.” (Q.S. Al Ahzab : 36)
Allah
menciptakan manusia makhluk yang berinteraksi sosial dan saling membutuhkan
satu sama lainnya. Ada yang memiliki kelebihan harta namun tidak memiliki waktu
dan keahlian dalam mengelola dan mengembangkannya, di sisi lain ada yang
memiliki skill kemampuan namun tidak memiliki modal. Dengan berkumpulnya dua
jenis orang ini diharapkan dapat saling melengkapi dan mempermudah pengembangan
harta dan kemampuan tersebut. Untuk itulah Islam memperbolehkan syarikat dalam
usaha diantaranya Al Mudharabah.
B.TUJUAN
1. Tujuan Umum
Agar
mahasiswa dapat memahami dan menjelaskan tentang Koperasi (Syirkah Ta’awuniyah), Mudharabah
dan Musyarakah (Joint Venture & Profit Sharing).
2. Tujuan Khusus
a. Agar mahasiswa mampu memahami Koperasi (Syirkah Ta’awuniyah), Mudharabah dan Musyarakah (Joint Venture
& Profit Sharing).
b. Agar mahasiswa mampu dan mengetahui hal - hal
yang berkaitan dengan Koperasi (Syirkah
Ta’awuniyah), Mudharabah dan Musyarakah (Joint Venture & Profit Sharing).
BAB
II
PEMBAHASAN
KOPERASI (SYIRKAH
TA’AWUNIYAH), AL-MUDHARABAH
DAN
JOINT VENTURE
A. KOPERASI
(SYIRKAH TA’AWUNIYAH)
1.
Pengertian
Syirkah
berarti ikhtilath (percampuran). Para fuqaha mendefinisikan sebagai: Akad
antara orang-orang yang berserikat dalam hal modal dan keuntungan. Definisi ini
dari mazhab Hanafi.
Sebelum
membahas tentang koperasi (syirkah ta’awuniyah), syirkah secara umum
disyariatkan dengan Kitabullah, Sunnah dan Isjma’.
Di
dalam Kitabullah, Allah berfirman yang artinya:
bÎ*sù (#þqçR%2 usYò2r& `ÏB y7Ï9ºs ôMßgsù âä!%2uà° Îû Ï]è=W9$# 4
“Maka mereka bersekutu
dalam yang sepertiga.” (Q.S. An-Nisa [4] : 12)
t¨bÎ)ur #ZÏVx. z`ÏiB Ïä!$sÜn=èø:$# Éóö6us9 öNåkÝÕ÷èt/ 4n?tã CÙ÷èt/ wÎ) tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qè=ÏJtãur ÏM»ysÎ=»¢Á9$# ×@Î=s%ur $¨B öNèd 3
“… Dan
sesungguhnya kebanyakan orang-orang yang berserikat itu sebagian mereka berbuat
zalim kepada sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal
shaleh; dan amat sedikitlah mereka itu
…”
(Q.S. Shaad [38]: 24)
Di
dalam As-Sunnah, Rasulullah SAW bersabda, yang artinya: “Allah SWT berfirman: “Aku ini Ketiga dari dua orang yang
berserikat, selama salah seorang mereka tidak mengkhianati temannya. Apabila
salah seorang telah berkhianat terhadap temannya Aku keluar dari antara mereka.”
(HR.
Abu Daud dari Abu Hurairah)
Adapun
para ulama telah berijma’ mengenai bolehnya berserikat (syirkah).
Lalu
bagaimana dengan koperasi atau Syirkah
Ta’awuniyah?
Dari
segi etimologi kata “koperasi” berasal dan bahasa Inggris, yaitu cooperation yang artinya bekerja sama.
Sedangkan dari segi terminologi, koperasi ialah suatu perkumpulan atau
organisasi yang beranggotakan orang-orang atau badan hukum yang bekerja sama
dengan penuh kesadaran untuk meningkatkan kesejahteraan anggota atas dasar
sukarela secara kekeluargaan.
Koperasi di Indonesia, menurut UU tahun
1992, didefinisikan sebagai badan usaha yang beranggotakan orang-seorang atau
badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip-prinsip
koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang
berdasar atas asas kekeluargaan. Di Indonesia, prinsip koperasi telah dicantumkan dalam UU No. 12 Tahun
1967 dan UU No. 25 Tahun 1992. Prinsip koperasi di
Indonesia kurang lebih sama dengan prinsip yang diakui dunia internasional
dengan adanya sedikit perbedaan, yaitu adanya penjelasan mengenai SHU (Sisa
Hasil Usaha).
Dari
pengertian koperasi di atas, dapat ditarik kesimpulan, bahwa yaag mendasari
gagasan koperasi sesungguhnya adalah kerja sama, gotong-royong dan demokrasi
ekonomi menuju kesejahteraan umum. Keja sama dan gotong-royong ini
sekurang-kurangnya dilihat dari dua segi. Pertama,
modal awal koperasi dikumpulkan dari semua anggota-anggotanya. Mengenai
keanggotaan dalam koperasi berlaku asas satu anggota, satu suara. Karena itu
besarnya modal yang dimiliki anggota, tidak menyebabkan anggota itu lebih
tinggi kedudukannya dari anggota yang lebih kecil modalnya. Kedua, permodalan itu sendiri tidak
merupakan satu-satunya ukuran dalam pembagian sisa hasil usaha. Modal dalam
koperasi diberi bunga terbatas dalam jumlah yang sesuai dengan keputusan rapat
anggota. Sisa hasil usaha koperasi sebagian Uesar dibagikan kepada anggota
berdasarkan besar kecilnya peranan anggota dalam pemanfaatan jasa koperasi.
Misalnya, dalam koperasi konsumsi, semakin banyak membeli, seorang anggota akan mendapatkan
semakin banyak keuntungan. Hal ini dimaksudkan untuk lebih merangsang peran
anggota dalam perkoperasian itu. Karena itu dikatakan bahwa koperasi adalah
perkumpulan orang, bukan perkumpulan modal. Sebagai badan usaha, koperasi tidak
semata-mata mencari keuntungan akan tetapi lebih dari itu, koperasi
bercita-cita memupuk kerja sama dan mempererat persaudaraan di antara sesama
anggotanya.
2.
Sejarah Koperasi
Sejarah
singkat gerakan koperasi bermula pada abad ke-20 yang pada umumnya merupakan
hasil dari usaha yang tidak spontan dan tidak dilakukan oleh orang-orang yang
sangat kaya. Koperasi tumbuh dari
kalangan rakyat, ketika penderitaan dalam lapangan ekonomi dan sosial yang
ditimbulkan oleh sistem kapitalisme semakin memuncak. Beberapa orang yang penghidupannya
sederhana dengan kemampuan ekonomi terbatas, terdorong oleh penderitaan dan
beban ekonomi yang sama, secara spontan mempersatukan diri untuk menolong
dirinya sendiri dan manusia sesamanya.
Pada
tahun 1896 seorang Pamong Praja Patih R.Aria Wiria Atmaja di Purwokerto mendirikan sebuah Bank untuk
para pegawai negeri (priyayi). Ia
terdorong oleh keinginannya untuk menolong para pegawai yang makin menderita
karena terjerat oleh lintah darat yang memberikan pinjaman dengan bunga yang
tinggi. Maksud Patih tersebut
untuk mendirikan koperasi kredit model seperti di Jerman. Cita-cita semangat tersebut
selanjutnya diteruskan oleh De Wolffvan Westerrode, seorang asisten residen Belanda. De Wolffvan Westerrode sewaktu cuti
berhasil mengunjungi Jerman dan menganjurkan akan mengubah Bank Pertolongan Tabungan yang
sudah ada menjadi Bank Pertolongan, Tabungan dan Pertanian. Selain pegawai negeri juga para petani
perlu dibantu karena mereka makin menderita karena tekanan para pengijon. Ia juga menganjurkan mengubah Bank tersebut menjadi koperasi.
Di
samping itu ia pun mendirikan lumbung-lumbung desa yang menganjurkan para petani menyimpan pada pada musim panen dan memberikan pertolongan
pinjaman padi pada musimpaceklik. Ia pun berusaha menjadikan
lumbung-lumbung itu menjadi Koperasi Kredit Padi. Tetapi Pemerintah Belanda pada waktu
itu berpendirian lain. Bank Pertolongan, Tabungan dan Pertanian dan Lumbung
Desa tidak dijadikan Koperasi tetapi Pemerintah Belanda membentuk lumbung-lumbung
desa baru, bank –bank Desa, rumah
gadai dan Centrale
Kas yang kemudian menjadi
Bank Rakyak Indonesia (BRI). Semua
itu adalah badan usaha Pemerntah dan dipimpin oleh orang-orang Pemerintah.
Pada
zaman Belanda pembentuk koperasi belum dapat terlaksana karena:
1. Belum ada instansi pemerintah
ataupun badan non pemerintah yang memberikan penerangan dan penyuluhan tentang
koperasi.
2. Belum ada Undang-Undang yang
mengatur kehidupan koperasi.
3. Pemerintah jajahan sendiri
masih ragu-ragu menganjurkan koperasi karena pertimbangan politik, khawatir
koperasi itu akan digunakan oleh kaum politik untuk tujuan yang membahayakan pemerintah
jajahan itu.
Pada
tahun 1908, Budi Utomo yang didirikan oleh Dr. Sutomo memberikan peranan bagi
gerakan koperasi untuk memperbaiki kehidupan rakyat. Pada tahun 1915 dibuat peraturan Verordening op de Cooperatieve Vereeniging,
dan pada tahun 1927 Regeling Inlandschhe
Cooperatieve.
Pada
tahun 1927 dibentuk Serikat Dagang Islam, yang bertujuan untuk memperjuangkan
kedudukan ekonomi pengusah-pengusaha pribumi. Kemudian
pada tahun 1929, berdiri Partai Nasional Indonesia yang memperjuangkan
penyebarluasan semangat koperasi.
Namun,
pada tahun 1933 keluar UU yang mirip UU no. 431 sehingga mematikan usaha
koperasi untuk yang kedua kalinya. Pada
tahun1942 Jepang menduduki Indonesia. Jepang lalu mendirikan koperasi kumiyai. Awalnya koperasi ini berjalan mulus. Namun fungsinya berubah drastis dan
menjadi alat Jepang untuk mengeruk keuntungan, dan
menyengsarakan rakyat Indonesia.
Setelah
Indonesia merdeka, pada tanggal 12 Juli 1947, pergerakan koperasi di Indonesia
mengadakan Kongres Koperasi yang pertama diTasikmalaya. Hari ini kemudian ditetapkan sebagai
Hari Koperasi Indonesia.
3.
Prinsip-prinsip Koperasi
Prinsip-prinsip
koperasi Indonesia menurut UU No.25 tahun 1992 yang berlaku di Indonesia saat
ini adalah sebagai berikut :
a.
Keanggotaan bersifat sukarela dan terbuka;
b.
Pengelolaan dilakukan secara demokrasi;
c.
Pembagian SHU dilakukan secara adil sesuai dengan besarnya
jasa usaha masing-masing anggota;
d.
Pemberian batas jasa yang terbatas terhadap modal;
e.
Kemandirian;
f.
Pendidikan perkoperasian; dan
g.
Kerja sama antar koperasi.
4.
Tujuan Koperasi
Dalam
UU No.25/1992 tentang Perkoperasian pasal 3 disebutkan bahwa, koperasi
bertujuan memajukan kesejahteraan anggotanya pada khususnya dan pada masyarakat
pada umumnya, serta ikut membangun tatanan perekonomian nasional, dalam rangka
mewujudkan masyarakat yang maju, adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD
1945. Fungsi koperasi berdasarkan UU No.25/1992 :
a. Membangun dan mengmbangkan
potensi dan kemampuan ekonomi anggotanya pada khususnya dan pada msyarakat pada
umumnya untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan sosialnya.
b. Berperan aktif dalam upaya
mempertinggi kualitas dalam upaya mempertinggi kualitas kehidupan manusia dan
masyarakat.
c. Memperkokoh perekonomian
rakyat sebagai dasar kekuatan dan ketahanan perekonomian nasional dengan
koperasi sebagai sokogurunya.
d. Berusaha untuk mewujudkan
dan mengembangkan perekonomian nasinaol yang merupakan usaha bersama yang
berdasar asas kekeluargaan dan demokrasi ekonomi.
5.
Macam dan Jenis Koperasi
Dalam praktiknya, usaha koperasi
disesuaikan dengan kondisi organisasi dan kepentingan anggotanya. Berdasar
kondisi dan kepentingan inilah muncul jenis-jenis koperasi.
a. Koperasi Berdasarkan Jenis Usahanya
Secara
umum, berdasar jenis usaha, koperasi terdiri atas Koperasi Simpan Pinjam (KSP),
Koperasi Serba Usaha (KSU), Koperasi Konsumsi, dan Koperasi Produksi.
1)
Koperasi
Simpan Pinjam (KSP); KSP adalah koperasi yang memiliki usaha tunggal yaitu
menampung simpanan anggota dan melayani peminjaman. Anggota yang menabung
(menyimpan) akan mendapatkan imbalan jasa dan bagi peminjam dikenakan jasa.
Besarnya jasa bagi penabung dan peminjam ditentukan melalui rapat anggota. Dari
sinilah, kegiatan usaha koperasi dapat dikatakan “dari, oleh, dan untuk
anggota.”
2)
Koperasi
Serba Usaha (KSU); KSU adalah koperasi yang bidang usahanya bermacam-macam.
Misalnya, unit usaha simpan pinjam, unit pertokoan untuk melayani kebutuhan
sehari-hari anggota juga masyarakat, unit produksi, unit wartel.
3)
Koperasi
Konsumsi; Koperasi konsumsi adalah koperasi yang bidang usahanya menyediakan
kebutuhan sehari-hari anggota. Kebutuhan yang dimaksud misalnya kebutuhan bahan
makanan, pakaian, perabot rumah tangga.
4)
Koperasi
Produksi; Koperasi produksi adalah koperasi yang bidang usahanya membuat barang
(memproduksi) dan menjual secara bersama-sama. Anggota koperasi ini pada
umumnya sudah memiliki usaha dan melalui koperasi para anggota mendapatkan
bantuan modal dan pemasaran.
b. Koperasi Berdasarkan Keanggotaannya
1)
Koperasi
Unit Desa (KUD); Koperasi Unit Desa adalah koperasi yang beranggotakan
masyarakat pedesaan.. Koperasi ini melakukan kegiatan usaha ekonomi pedesaan,
terutama pertanian. Untuk itu, kegiatan yang dilakukan KUD antara lain
menyediakan pupuk, obat pemberantas hama tanaman, benih, alat pertanian, dan
memberi penyuluhan teknis pertanian.
2)
Koperasi
Pegawai Republik Indonesia (KPRI); Koperasi ini beranggotakan para pegawai
negeri. Sebelum KPRI, koperasi ini bernama Koperasi Pegawai Negeri (KPN). KPRI
bertujuan terutama meningkatkan kesejateraan para pegawai negeri (anggota).
KPRI dapat didirikan di lingkup departemen atau instansi.
3)
Koperasi
Sekolah; Koperasi Sekolah meiliki anggota dari warga sekolah, yaitu guru,
karyawan, dan siswa. Koperasi sekolah memiliki kegiatan usaha menyediakan
kebutuhan warga sekolah, seperti buku pelajaran, alat tulis, makanan, dan
lain-lain. Keberadaan koperasi sekolah bukan semata-mata sebagai kegiatan
ekonomi, melainkan sebagai media pendidikan bagi siswa antara lain
berorganisasi, kepemimpinan, tanggung jawab, dan kejujuran.
Selain
tiga jenis koperasi tersebut, sesuai keanggotaannya masih banyak jenis lainnya.
Misalnya koperasi yang anggotanya para pedagang di pasar dinamakan Koperasi
Pasar, koperasi yang anggotanya para nelayan dinamakan Koperasi Nelayan.
6.
Koperasi dalam Pandangan Islam
Sebagian
ulama menganggap koperasi (Syirkah
Ta’awuniyah) sebagai akad mudharabah, yakni suatu perjanjian kerja sama
antara dua orang atau lebih, di satu pihak menyediakan modal usaha, sedangkan
pihak lain melakukan usaha atas dasar profit sharing (membagi keuntungan)
menurut perjanjian, dan di antara syarat sah mudharabah itu ialah menetapkan
keuntungan setiap tahun dengan persentasi tetap, misalnya 1% setahun kepada
salah satu pihak dari mudharabah tersebut. Karena itu, apabila koperasi itu termasuk mudharabah atau
qiradh, dengan ketentuan tersebut di atas (menetapkan persentase keuntungan
tertentu kepada salah satu pihak dari mudharabah), maka akad mudharabah itu
tidak sah (batal), dan seluruh keuntungan usaha jatuh kepada pemilik modal,
sedangkan pelaksana usaha mendapat upah yang sepadan atau pantas.
Mahmud
Syaltut tidak setuju dengan pendapat tersebut, sebab Syirkah Ta’awuniyah tidak
mengandung unsur mudharabah yang dinimuskan oleh fuqaha. Sebab Syirkah
Ta’awuniyah, modal usahanya adalah dari sejumlah anggota pemegang saham, dan
usaha koperasi itu dikelola oleh pengurus dan karyawan yang dibayar oleh
koperasi menurut kedudukan dan fungsinya masing-masmg. Kalau pemegang saham
turut mengelola usaha koperasi itu, maka ia berhak mendapat gaji sesuai dengan
sistem penggajian yang balaku. Menurut Muhammad Syaltut, koperasi merupakan
syirkah baru yang diciptakan oleh para ahli ekonomi yang dimungkinkan banyak
sekali manfaatnya, yaitu membari keuntungan kepada para anggota pemilik saham,
memberi
lapangan kerja kepada para karyawannya, memberi bantuan keuangan dan sebagian
hasil koperasi untuk mendirikan tempat ibadah, sekolah dan sebagainya. Dengan demikian jelas, bahwa
dalam koperasi ini tidak ada unsur kezaliman dan pemerasan (eksploitasi oleh
manusia yang kuat/kaya atas manusia yang lemah/miskin). Pengelolaannya demokratis
dan terbuka (open management) serta
membagi keuntungan dan kerugian kepada para anggota menurut ketentuan yang
berlaku yang telah diketahui oleh seluruh anggota pemegang saham. Oleh sebab
itu koperasi itu dapat dibenarkan oleh Islam.
Mengenai
status hukum berkoperasi bagi urnmat Islam juga didasarkan pada kenyataan,
bahwa koperasi merupakan lembaga ekonomi yang dibangun oleh pemikiran barat,
terlepas dari ajaran dan kultur Islam. Artinya, bahwa Al-Quran dan hadis tidak
menyebutkan, dan tidak pula dilakukan orang pada zaman Nabi. Kehadirannya di
beberapa negara Islam mengundang para ahli untuk menyoroti kedudukan hukumnya
dalam Islam.
Khalid
Abdurrahman Ahmad, panulis Al-Tafkir
Al-Iqrishadi Fi Al-Islam (pemikiran-pemikiran ekonomi Islam), Penulis Timur
Tengah ini berpendapat, haram bagi ummat Islam berkoperasi. Sebagai
konsekuensinya, penulis ini juga mengharamkan harta yang diperoleh dari
koperasi. Argumentasinya dalam mengharamkan koperasi, ialah pertama disebabkan
karena prinsip-prinsip keorganisasian yang tidak memenuhi syarat-syarat yang
ditetapkan syariah. Di antara yang dipersoalkan adalah persyaratan anggota yang
harus terdiri dari satu jenis golongan saja yang dianggap akan membentuk
kelompok-kelompok yang eksklusif. Argumen kedua adalah mengenai
ketentuan-ketentuan pembagian keuntungan. Koperasi mengenal pembagian
keuntungan yang dilihat dari segi pembelian atau penjualan anggota di
koperasinya. Cara ini dianggap menyimpang dari ajaran Islam, karena menurut
bentuk kerja sama dalam Islam hanya mengenal pembagian keuntungan atas dasar
modal, atas dasar jerih payah atau atas dasar keduanya. Argumen selanjutnya
adalah didasarkan pada penilaiannya mengenai tujuan utama pembentukan koperasi
dengan persyaratan anggota dan golongan ekonomi lemah yang dianggapnya hanya
bermaksud untuk menenteramkan mereka dan membatasi keinginannya serta untuk
mempermainkan mereka dengan ucapan-ucapan atau teori-teori yang utopis
(angan-angan/khayalan).
Pendapat
tersebut belum menjadi kesepakatan/ijma para ulama. Sebagai bagian bahasan yang
bermaksud membuka spektrum hukum berkoperasi,
maka selain melihat segi-segi etis hukum berkoperasi dapat dipertimbangkan dari
kaidah penetapan hukum, ushul al-fiqh
yang lain. Telah diketahui bahwa hukum Islam mengizinkan kepentingan masyarakat
atau kesejahteraan
bersama melalui prinsip ishtishlah
atau al-maslahah. Ini berarti bahwa
ekonomi Islam harus memberi prioritas pada kesejahleraan rakyat bersama yang
merupakan kepentingan masyarakat. Dengan menyoroti fungsi koperasi di
antaranya:
1. Sebagai alat perjuangan
ekonomi untuk mempertinggi kesejahteraan rakyat dan
2. Alat pendemokrasian ekonomi
nasional.
Dengan
demikian bahwa prinsip ishtishlah
dipenuhi di sini dipenuhi oleh koperasi.
Demikian
juga halnya, jika dilihat dari prinsip istihsan
(metode preferensi). Menyoroti koperasi menurut metode ini paling tidak dapat
dilihat pada tingkat makro maupun mikro. Tingkat makro berarti mempertimbangkan
koperasi sebagai sistem ekonomi yang lebih dekat dengan Islam dibanding
kapitalisme dan sosialisme. Pada tingkat mikro berarti dengan melihat terpenuhi
prinsip hubungan
sosial secara saling menyukai yang dicerninkan pada prinsip keanggotaan terbuka
dan sukarela, prinsip mementingkan pelayanan anggota dan prinsip solidaritas.
Dengan
pendekatan kaidah ishtishlah dan istihsan di atas, ada kecenderungan
dibolehkannya kegiatan koperasi. Juga telah disebutkan banyak segi-segi
falsafah, etis dan manajerial yang menunjukkan keselarasan, kesesuaiandan
kebaikan koperasi dalam pandangan Islam. Secara keseluruhan hal ini telah
memberi jalan ke arah istimbath hukum terhadap koperasi. Hasil istimbath ini
tidak sampai kepada wajib, juga tidak sampai kepada haram, sebagaimana
dikemukakan oleh Khalid Abdurrahman Ahmad.
Jika
demikian halnya, lantas bagaimana hukum berkoperasi? Kembali pada sifat
koperasi sebagai praktek mu’amalah, maka dapat ditetapkan hukum koperasi adalah
sesuai dengan ciri dan sifat-sifat koperasi itu sendiri dalam menjalankan roda
kegiatannya. Karena dalam kenyataannya, koperasi itu berbeda-beda substansi
model pergerakannya. Misalnya koperasi simpan pinjam berbeda dengan koperasi
yang bergerak dalam bidang usaha perdagangan dan jasa lainnya. Koperasi simpan
pinjam bahkan banyak yang lebih tinggi bunga yang ditetapkannya bagi para
peminjam daripada bunga yang ditetapkan oleh bank-bank konvensional. Tentunya
hal seperti ini tidak diragukan lagi adalah termasuk riba yang diharamkan.
Adapun koperasi semacam kumpulan orang yang mengusahakan modal bersama untuk
suatu usaha perdagangan atau jasa yang dikelola bersama dan hasil keuntungan
dibagi bersama, selagi perdagangan atau jasa itu layak dan tidak berlebihan di
dalam mengambil keuntungan, maka dibolehkan, apalagi jika keberadaan koperasi
itu memudahkan dan meringankan bagi kepentingan masyarakat yang bersangkutan.
B.
MUDHARABAH
1. Pengertian
Syarikat
Mudhaarabah
memiliki dua istilah yaitu Al Mudharabah dan Al Qiradh sesuai
dengan penggunaannya di kalangan kaum muslimin. Penduduk Irak menggunakan
istilah Al Mudharabah untuk mengungkapkan transaksi syarikat ini.
Disebut sebagai mudharabah karena diambil dari kata dharb di muka bumi
yang artinya melakukan perjalanan yang umumnya untuk berniaga dan berperang,
Allah berfirman:
عَلِمَ أَنْ سَيَكُونُ مِنْكُمْ
مَرْضَى وَآخَرُونَ يَضْرِبُونَ فِي الْأَرْضِ يَبْتَغُونَ مِنْ فَضْلِ اللَّهِ
وَآخَرُونَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ...
“Dia mengetahui
bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang
berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang lain
lagi yang berperang di jalan Allah, maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari
al-Qur’an.”
(Qs. Al-Muzzammil []: 20)
Ada
juga yang mengatakan diambil dari kata: dharb (mengambil) keuntungan
dengan saham yang dimiliki.
Dalam
istilah bahasa Hijaaz disebut juga sebagai qiraadh, karena diambil dari
kata muqaaradhah yang arinya penyamaan dan penyeimbangan. Seperti yang
dikatakan:
تَقَارَضَ الشَاعِرَانِ
“Dua orang
penyair melakukan muqaaradhah,”
yakni saling membandingkan syair-syair mereka. Disini perbandingan antara usaha
pengelola modal dan modal yang dimiliki pihak pemodal, sehingga keduanya
seimbang. Ada juga yang menyatakan bahwa kata itu diambil dari qardh
yakni memotong. Tikus itu melakukan qardh terhadap kain, yakni
menggigitnya hingga putus. Dalam kasus ini, pemilik modal memotong sebagian
hartanya untuk diserahkan kepada pengelola modal, dan dia juga akan memotong
keuntungan usahanya.
Sedangkan
dalam istilah para ulama Syarikat Mudhaarabah memiliki
pengertian: Pihak pemodal (Investor) menyerahkan sejumlah modal kepada pihak
pengelola untuk diperdagangkan. Dan berhak mendapat bagian tertentu dari keuntungan.
Dengan kata lain Al Mudharabah adalah akad (transaksi) antara dua pihak dimana
salah satu pihak menyerahkan harta kepada yang lain agar diperdagangkan dengan
pembagian keuntungan diantara keduanya sesuai dengan kesepakatan. Sehingga Al
Mudharabah adalah bentuk kerja sama antara dua atau lebih pihak dimana pemilik
modal (Shahib Al Mal/Investor) mempercayakan sejumlah modal kepada
pengelola (Mudharib) dengan suatu perjanjian pembagian keuntungan.
Bentuk ini menegaskan kerja sama dengan kontribusi 100% modal dari Shahib Al
Mal dan keahlian dari Mudharib.
2. Jenis Al Mudharabah
Para
ulama membagi Al Mudharabah menjadi dua jenis:
a) Al Mudharabah Al Muthlaqah (Mudharabah bebas). Pengertiannya
adalah sistem mudharabah dimana pemilik modal (investor/Shohib Al Mal)
menyerahkan modal kepada pengelola tanpa pembatasan jenis usaha, tempat dan
waktu dan dengan siapa pengelola bertransaksi. Jenis ini memberikan kebebasan
kepada Mudhorib (pengelola modal) melakukan apa saja yang dipandang
dapat mewujudkan kemaslahatan.
b) Al Mudharabah Al Muqayyadah (Mudharabah terbatas).
Pengertiannya pemilik modal (investor) menyerahkan modal kepada pengelola dan
menentukan jenis usaha atau tempat atau waktu atau orang yang akan bertransaksi
dengan Mudharib. Jenis kedua ini diperselisihkan para ulama keabsahan
syaratnya, namun yang rajih bahwa pembatasan tersebut berguna dan tidak sama
sekali menyelisihi dalil syar’i, itu hanya sekedar ijtihad dan dilakukan dengan
kesepakatan dan keridhoan kedua belah pihak sehingga wajib ditunaikan.
Perbedaan
antara keduanya terletak pada pembatasan penggunaan modal sesuai permintaan
investor.
3. Hukum Al Mudharabah Dalam Islam
Para
ulama sepakat bahwa sistem penanaman modal ini dibolehkan. Dasar hukum dari
sistem jual beli ini adalah ijma’ ulama yang membolehkannya. Seperti dinukilkan
Ibnul Mundzir[5], Ibnu Hazm[6] Ibnu Taimiyah dan lainnya.
Ibnu
Hazm menyatakan: “Semua bab dalam fiqih selalu memiliki dasar dalam Al Qur’an
dan Sunnah yang kita ketahui -Alhamdulillah- kecuali Al Qiraadh (Al
Mudharabah (pen). Kami tidak mendapati satu dasarpun untuknya dalam Al
Qur’an dan Sunnah. Namun dasarnya adalah ijma’ yang benar. Yang dapat kami
pastikan bahwa hal ini ada dizaman shallallahu’alaihi wa sallam, beliau
ketahui dan setujui dan seandainya tidak demikian maka tidak boleh.”
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah mengomentari pernyataan Ibnu Hazm di atas dengan
menyatakan: “Ada kritikan atas pernyataan beliau ini:
- Bukan termasuk madzhab beliau
membenarkan ijma’ tanpa diketahui sandarannya dari Al Qur’an dan Sunnah
dan ia sendiri mengakui bahwa ia tidak mendapatkan dasar dalil Mudharabah
dalam Al Qur’an dan Sunah.
- Beliau tidak memandang bahwa
tidak adanya yang menyelisihi adalah ijma’, padahal ia tidak memiliki
disini kecuali ketidak tahuan adanya yang menyelisihinya.
- Beliau mengakui persetujuan
Nabi shallallahu’alaihi wa sallam setelah mengetahui sistem
muamalah ini. Taqrier (persetujuan) Nabi shallallahu’alaihi wa sallam
termasuk satu jenis sunnah, sehingga (pengakuan beliau) tidak adanya dasar
dari sunnah menentang pernyataan beliau tentang taqrir ini.
- Jual beli (perdagangan) dengan
keridhaan kedua belah fihak yang ada dalam Al Qur’an meliputi juga Al
Qiradh dan Mudharabah
- Madzhab beliau menyatakan harus
ada nash dalam Al Qur’an dan Sunnah atas setiap permasalahan, lalu bagaimana
disini meniadakan dasar dalil Al Qiradh dalam Al Qur’an dan Sunnah
- Tidak ditemukannya dalil tidak
menunjukkan ketidak adaannya
- Atsar yang ada dalam hal ini
dari Nabi shallallahu’alaihi wa sallam tidak sampai pada derajat
pasti (Qath’i) dengan semua kandungannya, padahal penulis (Ibnu
Hazm) memastikan persetujuan Nabi dalam permasalahan ini.
Demikian
juga Syaikh Al Albani mengkritik pernyataan Ibnu Hazm diatas dengan menyatakan:
“Ada beberapa bantahan (atas pernyataan beliau), yang terpenting bahwa asal
dalam Muamalah adalah boleh kecuali ada nas (yang melarang) beda dengan ibadah,
pada asalnya dalam ibadah dilarang kecuali ada nas, sebagaimana dijelaskan
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Al Qiradh dan Mudharabah jelas
termasuk yang pertama. Juga ada nash dalam Al Qur’an yang membolehkan
perdagangan dengan keridhoan dan ini jelas mencakup Al Qiraadh. Ini
semua cukup sebagai dalil kebolehannya dan dikuatkan dengan ijma’ yang beliau
akui sendiri.”
Dalam
kesempatan lain Ibnu Taimiyah menyatakan: “Sebagian orang menjelaskan beberapa
permasalahan yang ada ijma’ padanya namun tidak memiliki dasar nas, seperti Al
Mudharabah, hal itu tidak demikian. Mudharabah sudah masyhur
dikalangan bangsa Arab dijahiliyah apalagi pada bangsa Quraisy, karena umumnya
perniagaan jadi pekerjaan mereka. Pemilik harta menyerahkan hartanya kepada
pengelola (‘umaal). Rasulullahshallallahu’alaihi wa sallam
sendiri pernah berangkat membawa harta orang lain sebelum kenabian sebagaimana
telah berangkat dalam perniagaan harta Khadijah. Juga kafilah dagang yang
dipimpin Abu Sufyan kebanyakannya dengan sistem mudharabah dengan Abu
Sufyan dan selainnya. Ketika datang Islam Rasulullah shallallahu’alaihi wa
sallam menyetujuinya dan para sahabatpun berangkat dalam perniagaan harta
orang lain secara Mudharabah dan beliau shallallahu’alaihi wa sallam
tidak melarangnya. Sunnah disini adalah perkataan, pebuatan dan persetujuan
beliau, ketiak beliau setujui maka mudharabah dibenarkan dengan sunnah.
Juga
hukum ini dikuatkan dengan adanya amalan sebagian sahabat Rasulullah shallallahu’alaihi
wa sallam diantaranya yang diriwayatkan dalam Al-Muwattha’ dari Zaid
bin Aslam, dari ayahnya bahwa ia menceritakan: Abdullah dan Ubaidillah bin Umar
bin Al-Khattab pernah keluar dalam satu pasukan ke negeri Iraaq. Ketika mereka
kembali, mereka lewat di hadapan Abu Musa Al-Asy’ari, yakni gubernur Bashrah.
Beliau menyambut mereka berdua dan menerima mereka sebagai tamu dengan suka
cita. Beliau berkata: “Kalau aku bisa
melakukan sesuatu yang berguna buat kalian, pasti akan kulakukan.” Kemudian
beliau berkata: “Sepertinya aku bisa
melakukannya. Ini ada uang dari Allah yang akan kukirimkan kepada Amirul
Mukminin. Beliau meminjamkannya kepada kalian untuk kalian belikan sesuau di
Iraaq ini, kemudian kalian jugal di kota Al-Madinah. Kalian kembalikan modalnya
kepada Amirul Mukminin, dan keuntungannya kalian ambil.” Mereka berkata: “Kami suka itu.” Maka beliau menyerahkan
uang itu kepada mereka dan menulis surat untuk disampaikan kepada Umar bin
Al-Khattab agar Amirul Mukminin itu mengambil dari mereka uang yang dia
titipkan. Sesampainya di kota Al-Madinah, mereka menjual barang itu dan
mendapatkan keuntungan. Ketika mereka membayarkan uang itu kepada Umar. Umar
lantas bertanya: “Apakah setiap anggota
pasukan diberi pinjaman oleh Abu Musa seperti yang diberikan kepada kalian
berdua?” Mereka menjawab: “Tidak.”
Beliau berkata: “Apakah karena kalian
adalah anak-anak Amirul Mukminin sehingga ia memberi kalian pinjaman?” Kembalikan uang itu beserta keuntungannya.”
Adapun Abdullah, hanya membungkam saja. Sementara Ubaidillah langsung angkat
bicara: “Tidak sepantasnya engkau berbuat
demikian wahai Amirul Mukminin! Kalau uang ini berkurang atau habis, pasti kami
akan bertanggungjawab.” Umar tetap berkata: “Berikan uang itu semaunya.” Abdullah tetap diam, sementara
Ubaidillah tetap membantah. Tiba-tiba salah seorang di antara penggawa Umar
berkata: “Bagaimana bila engkau
menjadikannya sebagai investasi modal wahai Umar?” Umar menjawab: “Ya. Aku jadikan itu sebagai investasi modal.”
Umar segera mengambil modal beserta setengah keuntungannya, sementara Abdullah
dan Ubaidillah mengambil setengah keuntungan sisanya.
Kaum
muslimin sudah terbiasa melakukan akad kerja sama semacam itu hingga jaman
kiwari ini di berbagai masa dan tempat tanpa ada ulama yang menyalahkannya. Ini
merupakan konsensus yang diyakini umat, karena cara ini sudah digunakan bangsa
Quraisy secara turun temurun dari jaman jahiliyah hingga zaman Nabi shallallahu’alaihi
wa sallam, kemudian beliau mengetahui, melakukan dan tidak mengingkarinya.
Tentulah
sangat bijak, bila pengembangan modal dan peningkatan nilainya merupakan salah
satu tujuan yang disyariatkan. Sementara modal itu hanya bisa dikembangkan
dengan dikelola dan diperniagakan. Sementara tidak setiap orang yang mempunyai
harta mampu berniaga, juga tidak setiap yang berkeahlian dagang mempunyai
modal. Maka masing-masing kelebihan itu dibutuhkan oleh pihak lain. Oleh sebab
itu Mudharabah ini disyariatkan oleh Allah demi kepentingan kedua belah pihak.
4. Rukun
Al Mudharabah
Al
Mudharabah seperti usaha
pengelolaan usaha lainnya memiliki tiga rukun:
a) Adanya dua atau lebih pelaku yaitu
investor (pemilik modal) dan pengelola (mudharib).
Kedua pelaku kerja sama ini adalah
pemilik modal dan pengelola modal. Disyaratkan pada rukun pertama ini keduanya
memiliki kompetensi beraktifitas (Jaiz Al Tasharruf) dalam pengertian
mereka berdua baligh, berakal, Rasyid dan tidak dilarang beraktivitas
pada hartanya[18]. Sebagian ulama mensyaratkan bahwa keduanya harus muslim atau
pengelola harus muslim, sebab seorang muslim tidak ditakutkan melakukan
perbuatan riba atau perkara haram.[19] Namun sebagian lainnya tidak mensyaratkan
hal tersebut, sehingga diperbolehkan bekerja sama dengan orang kafir yang dapat
dipercaya dengan syarat harus terbukti adanya pemantauan terhadap aktivitas
pengelolaan modal dari pihak muslim sehingga terlepas dari praktek riba dan
haram.[20]
b) Objek transaksi kerja sama yaitu
modal, usaha dan keuntungan
Objek
transaksi dalam Mudharabah mencakup modal, jenis usaha dan keuntungan.
1) Modal; Dalam sistem Mudharabah
ada empat syarat modal yang harus dipenuhi: (a) Modal harus berupa alat
tukar/satuan mata uang (Al Naqd) dasarnya adalah ijma’[21] atau barang
yang ditetapkan nilainya ketika akad menurut pendapat yang rojih. (b) Modal
yang diserahkan harus jelas diketahui. (c) Modal yang diserahkan harus
tertentu. (d)Modal diserahkan kepada pihak pengelola modal dan pengelola
menerimanya langsung dan dapat beraktivitas dengannya.
2) Jenis Usaha; Jenis usaha di sini
disyaratkan beberapa syarat: (a) Jenis usaha tersebut di bidang perniagaan. (b)
Tidak menyusahkan pengelola modal dengan pembatasan yang menyulitkannya, seperti
ditentukan jenis yang sukar sekali didapatkan, contohnya harus berdagang
permata merah delima atau mutiara yang sangat jarang sekali adanya.
3) Keuntungan; Setiap usaha dilakukan
untuk mendapatkan keuntungan, demikian juga Mudharabah. Namun dalam Mudharabah
disyaratkan pada keuntungan tersebut empat syarat: (a) Keuntungan khusus untuk kedua pihak yang
bekerja sama yaitu pemilik modal (investor) dan pengelola modal. Seandainya
disyaratkan sebagian keuntungan untuk pihak ketiga, misalnya dengan menyatakan:
‘Mudharabah dengan pembagian 1/3 keuntungan untukmu, 1/3 untukku dan 1/3
lagi untuk istriku atau orang lain, maka tidak sah kecuali disyaratkan pihak
ketiga ikut mengelola modal tersebut, sehingga menjadi qiraadh bersama
dua orang. Seandainya dikatakan: ’separuh keuntungan untukku dan separuhnya
untukmu, namun separuh dari bagianku untuk istriku’, maka ini sah karena ini
akad janji hadiyah kepada istri. (b) Pembagian keuntungan untuk berdua tidak
boleh hanya untuk satu pihak saja. Seandainya dikatakan: ‘Saya bekerja sama Mudharabah
denganmu dengan keuntungan sepenuhnya untukmu’ maka ini dalam madzhab Syafi’i
tidak sah. (c) Keuntungan harus diketahui secara jelas. (d) Dalam transaksi
tersebut ditegaskan prosentase tertentu bagi pemilik modal (investor) dan
pengelola. Sehingga keuntungannya dibagi dengan persentase bersifat merata
seperti setengah, sepertiga atau seperempat. Apa bila ditentuan nilainya,
contohnya dikatakan kita bekerja sama Mudharabah dengan pembagian keuntungan
untukmu satu juta dan sisanya untukku’ maka akadnya tidak sah. Demikian juga
bila tidak jelas persentase-nya seperti sebagian untukmu dan sebagian lainnya
untukku.
c) Pelafalan perjanjian (Shighot Transaksi)
Shighah adalah ungkapan yang berasal dari
kedua belah pihak pelaku transaksi yang menunjukkan keinginan melakukannya. Shighah
ini terdiri dari ijab qabul. Transaksi Mudharabah atau Syarikat
dianggap sah dengan perkataan dan perbuatan yang menunjukkan maksudnya.
Sedangkan imam Al Syarbini dalam Syarh
Al Minhaaj menjelasakan bahwa rukun Mudharabah ada lima, yaitu
Modal, jenis usaha, keuntungan, pelafalan transaksi dan dua pelaku transaksi.17
Ini semua ditinjau dari perinciannya dan semuanya tetap kembali kepada tiga
rukun di atas.
5. Syarat Dalam Mudharabah
Pengertian
syarat dalam Al Mudharabah adalah syarat-syarat yang ditetapkan salah
satu pihak yang mengadakan kerjasama berkaitan dengan Mudharabah. Syarat
dalam Al Mudharabah ini ada dua:
a.
Syarat
yang shahih (dibenarkan) yaitu syarat
yang tidak menyelisihi tuntutan akad dan tidak pula maksudnya serta memiliki
maslahat untuk akad tersebut. Contohnya Pemilik modal mensyaratkan kepada
pengelola tidak membawa pergi harta tersebut keluar negeri atau membawanya keluar
negeri atau melakukan perniagaannya khusus dinegeri tertentu atau jenis
tertentu yang gampang didapatkan. Maka syarat-syarat ini dibenarkan menurut
kesepakatan para ulama dan wajib dipenuhi, karena ada kemaslahatannya dan tidak
menyelisihi tuntutan dan maksud akad perjanjian mudharabah.
b.
Syarat
yang fasad (tidak benar). Syarat ini terbagi tiga:
·
Syarat
yang meniadakan tuntutan konsekuensi akad, seperti mensyaratkan tidak membeli
sesuatu atau tidak menjual sesuatu atau tidak menjual kecuali dengan harga modal
atau dibawah modalnya. Syarat ini disepakati ketidak benarannya, karena
menyelisihi tuntutan dan maksud akad kerja sama yaitu mencari keuntungan.
·
Syarat
yang bukan dari kemaslahatan dan tuntutan akah, seperti mensyaratkan kepada
pengelola untuk memberikan Mudharabah kepadanya dari harta yang lainnya.
·
Syarat
yang berakibat tidak jelasnya keuntungan seperti mensyaratkan kepada pengelola
bagian keuntungan yang tidak jelas atau mensyaratkan keuntungan satu dari dua
usaha yang dikelola, keuntungan usaha ini untuk pemilik modal dan yang satunya
untuk pengelola atau menentukan nilai satuan uang tertentu sebagai keuntungan.
Syarat ini disepakati kerusakannya karena mengakibatkan keuntungan yang tidak
jelas dari salah satu pihak atau malah tidak dapat keuntungan sama sekali.
Sehingga akadnya batal.
6. Berakhirnya
Usaha Al Mudharabah
Mudharabah termasuk akad kerjasama yang
diperbolehkan. Usaha ini berakhir dengan pembatalan dari salah satu pihak.
Karena tidak ada syarat keberlangsungan terus menerus dalam transaksi usaha
semacam ini. Masing-masing pihak bisa membatalkan transaksi kapan saja dia menghendaki.
Transaksi Mudharabah ini juga bisa berakhir dengan meninggalnya salah
satu pihak transaktor, atau karena ia gila atau idiot.
Imam
Ibnu Qudamah (wafat tahun 620 H) menyatakan: “Al Mudharabah termasuk
jenis akad yang diperbolehkan. Ia berakhir dengan pembatalan salah seorang dari
kedua belah pihak -siapa saja-, dengan kematian, gila atau dibatasi karena
idiot; hal itu karena ia beraktivitas pada harta orang lain dengan sezinnya,
maka ia seperti wakiel dan tidak ada bedanya antara sebelum beraktivitas
dan sesudahnya. Sedangkan Imam Al Nawawi menyatakan: Penghentian qiraadh
boleh, karena ia diawalnya adalah perwakilan dan setelah itu menjadi syarikat.
Apabila terdapat keuntungan maka setiap dari kedua belah pihak boleh
memberhentikannya kapan suka dan tidak butuh kehadiran dan keridoan mitranya.
Apabila meninggal atau gila atau hilang akal maka berakhir usaha terbut.”
Imam
Syafi’i menyatakan: “Kapan pemilik modal
ingin mengambil modalnya sebelum diusahakan dan sesudahnya dan kapan pengelola
ingin keluar dari qiraadh maka ia keluar darinya.”
Apabila
telah dihentikan dan harta (modal) utuh, namun tidak memiliki keuntungan maka
harta tersebut diambil pemilik modal. Apabila terdapat keuntungan maka keduanya
membagi keuntungan tersebut sesuai dengan kesepakatan. Apabila berhenti dan
harta berbentuk barang, lalu keduanya sepakat menjualnya atau membaginya maka
diperbolehkan, karena hak milik kedua belah pihak. Apabila pengelola minta
menjualnya sedang pemilik modal menolak dan tampak dalam usaha tersebut ada
keuntungan, maka penilik modal dipaksa menjualnya; karena hak pengelola ada
pada keuntungan dan tidak tampak decuali dengan dijual. Namun bila tidak tampak
keuntungannya maka pemilik modal tidak dipaksa.
Tampak
sekali dari sini keadilan syariat islam yang sangat memperhatikan keadaan dua
belah pihak yang bertransaksi mudharabah. Sehingga seharusnya kembali
memotivasi diri kita untuk belajar dan mengetahu tata aturan syariat dalam
muamalah sehari-hari.
7. Hikmah Disyariatkannya Al Mudharabah
Islam
mensyariatkan akad kerja sama Mudharabah untuk memudahkan orang, karena
sebagian mereka memiliki harta namun tidak mampu mengelolanya dan disana ada
juga orang yang tidak memiliki harta namun memiliki kemampuan untuk mengelola
dan mengembangkannya. Maka Syariat membolehkan kerja sama ini agar mereka bisa
saling mengambil manfaat diantara mereka. Shohib Al Mal (investor)
memanfaatkan keahlian Mudhorib (pengelola) dan Mudhorib
(pengelola) memanfaatkan harta dan dengan demikian terwujudlah kerja sama harta
dan amal. Allah Ta’ala tidak mensyariatkan satu akad kecuali untuk mewujudkan
kemaslahatan dan menolak kerusakan.[14]
C.
JOINT VENTURE PROFIT SHARING
(MUSYARAKAH)
1. Pengertian
Musyarokah (Joint Venture),
konsep ini diterapkan pada model partnership atau joint venture. Keuntungan
yang diraih akan dibagi dalam rasio yang disepakati sementara kerugian akan
dibagi berdasarkan rasio ekuitas yang dimiliki masing-masing pihak. Perbedaan
mendasar dengan mudharabah ialah dalam konsep ini ada campur tangan pengelolaan
manajemennya sedangkan mudharabah tidak ada campur tangan. Atau dengan kata
lain musyarakah ialah Adalah akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk
suatu usaha tertentu di mana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana
atau amal / expertise dengan kesepakatan
bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.
2. Rukun
a)
Sigot (ucapan), ijab
& qabul (penawaran & penerimaan).
b)
Pihak
yang berkontrak.
c)
Obyek kesepakatan: modal / dana
& kerja
3. Syarat
a)
Tidak ada bentuk khusus dari kontrak.
Berakad dianggap sah jika diucapkan secara verbal atau ditulis dalam bentuk
kontrak /tulisan
dan disaksikan. Namun denganmematuhi prinsip kehati-hatian ditulis tentu lebih
tepat.
b)
Mitra harus kompeten dalam memberikan
atau diberikan kekuasaan perwalian.
c)
Modal harus uang tunai, emas, perak atau yang
nilainya sama. Dapat juga terdiri dari aset perdagangan, hak yang tidak
terlihat (mis.lisensi, hak paten, dsb.)
d)
Partisipasi para mitra dalam pekerjaan,
adalah sebuah hukum dasar,dan tidak dibolehkan bagi salah satu dari mereka
untuk mencantumkan tidak ikut sertanya mitra lainnya.Namun porsi melaksanakan
pekerjaan tidak perlu harus sama, demikian pula dengan bagian keuntungan yang
diterima.
4. Jenis-Jenis
Musyarakah
Menurut
Sayyid Sabiq, Syirkah itu ada empat macam, yaitu:
1. Syirkah
‘Inan; yaitu
kerja sama antara dua orang atau lebih dalam permodalan untuk melakukan suatu usaha
bersama dengan cara membagi untung atau rugi sesuai dengan jumlah modal
masing-masing.
2. Syirkah
Mufawadhah; yaitu
kerja sama antara dua orang atau lebih untuk melakukan suatu usaha dengan
persyaratan sebagai benkut:
b. Modalnya harus sama banyak.
Bila ada di antara anggota persyarikatan modalnya lebih besar, maka syirkah itu
tidak sah.
c. Mempunyai wewenang untuk
bertindak, yang ada kaitannya dengan hukum. Dengan demikian, anak-anak yang
belum dewasa belum bisa menjadi anggota persyarikatan.
d. Satu agama, sesama muslim.
Tidak sah bersyarikat dengan non muslim.
e. Masing-masing anggota
mempunyai hak untuk bertindak atas nama syirkah (kerja sama).
3. Syirkah
Wujuh; yaitu
kerja sama antara dua orang atau lebih untuk membeli sesuatu tanpa modal,
tetapi hanya modal kepercayaan
dan keuntungan dibagi antara sesama mereka.
4. Syirkah
Abdan; yaitu
karja sama antara dua orang atau lebih untuk melakukan suatu usaha atau
pekerjaan. Hasilnya dibagi antara sesama mereka berdasarkan perjanjian seperti
pemborong bangunan, instalasi listrik dan lainnya.
Mazhab
Hanafiah menyetujui (membolehkan) keempat macam Syirkah tersebut.
Sementara
mazhab Syafi’iah melarang Syirkah Abdan, Mufawadhah, Wujuh dan membolehkan
Syirkah Inan. Tiga macam dilarang dan hanya satu macam saja yang dibolehkan.
Mazhab
Malikiah membolehkan Syirkah Abdan, Syirkah ‘Inan, dan Syirkah Mufawadhah dan
melarang Syirkah Wujuh.
Mazhab Hanabilah membolehkan
Syirkah ‘Inan, Wujuh dan Abdan, dan melarang Syirkah Mufawadhah.
Al-Musyarakah lazimnya
diaplikasikan untuk pembiayaan
proyek di
mana nasabah & bank sama-sama menyediakan dana untuk membiayai proyek
tersebut. Setelah proyek tersebut selesai, nasabah mengembalikan dana tersebut
bersama bagi hasil yang telah disepakati untuk bank. Pada lembaga keuangan
khusus yang dibolehkan melakukan investasi dalam kepemilikan perusahaan, Al-musyarakah diterapkan
dalam sekema modal ventura. Penanaman
modal dilakukan untuk jangka waktu tertentu & setelah itu bank melakukan
divestasi atau menjual bagian sahamnya, baik secara singkat maupun bertahap.
BAB
III
P E
N U T U P
A. Kesimpulan
§ Mudhorobah, adalah perjanjian antara
penyedia modal dengan pengusaha. Setiap keuntungan yang diraih akan dibagi
menurut rasio tertentu yang disepakati. Resiko kerugian ditanggung penuh oleh
pihak Bank kecuali kerugian yang diakibatkan oleh kesalahan pengelolaan, kelalaian
dan penyimpangan pihak nasabah seperti penyelewengan, kecurangan dan
penyalahgunaan.
§ Musyarokah (Joint Venture), konsep ini
diterapkan pada model partnership atau joint venture. Keuntungan yang diraih
akan dibagi dalam rasio yang disepakati sementara kerugian akan dibagi
berdasarkan rasio ekuitas yang dimiliki masing-masing pihak. Perbedaan mendasar
dengan mudharabah ialah dalam konsep ini ada campur tangan pengelolaan
manajemennya sedangkan mudharabah tidak ada campur tangan
§ Murobahah , yakni penyaluran dana
dalam bentuk jual beli. Bank akan membelikan barang yang dibutuhkan pengguna
jasa kemudian menjualnya kembali ke pengguna jasa dengan harga yang dinaikkan
sesuai margin keuntungan yang ditetapkan bank, dan pengguna jasa dapat
mengangsur barang tersebut. Besarnya angsuran flat sesuai akad diawal dan
besarnya angsuran=harga pokok ditambah margin yang disepakati. Contoh:harga
rumah, 500 juta, margin bank/keuntungan bank 100 jt, maka yang dibayar nasabah
peminjam ialah 600 juta dan diangsur selama waktu yang disepakati diawal antara
Bank dan Nasabah.
B. Kritik
Dan Saran
Dari Pembahasan ini dapat disimpulkan bahwa
Musyarakah berasal dari kontrak sederhana dalam tradisi perdagangan saat Islam
berkembang di Timur Tengah. Konsep ini kemudian berkembang seiring dengan
perkembangan kondisi masyarakat pemakainya, dan saat ini telah menjadi tulang
punggung dalam sistem perbankan tanpa bunga. Musyarakah dikaji para ahli hukum
Islam dan menghasilkan serangkaian ajaran mendetail tentang aplikasi musyarakah
dengan kacamata dan pendekatan saat itu. Musyarakah merupakan kerjasama dua
pihak atau lebih, masing-masing pihak memiliki saham dan berkecimpung dalam
usaha yang dirintis dan dijalankan bersama.
Realita bisnis saat ini menempatkan musyarakah
sebagai salah satu produk perekonomian modern, baik di bidang perbankan, pasar
uang atau aspek lainnya. Saat ini musyarakah merupakan penempatan modal dalam
usaha tertentu, yang kebanyakan tidak melibatkan diri dalam manajemen secara
standard. Realitas bisnis saat ini memang membutuhkan suatu ajaran yang lebih
konkrit dan sesuai dengan kondisi faktual saat ini dan solusi terhadap
permasalahan hukum yang muncul. Jika hanya berpedoman pada formalitas yang
telah dirumuskan para ahli hukum Islam terdahulu, dikhawatirkan bentuk formalitas
itu menjadi kendala dalam mencapai tujuan syariah (maqasid asy-syar’iyah).
Musyarakah diaplikasikan dalam dunia perbankan
dengan mereformulasi konsep musyarakah guna diaplikasikan dalam perbankan.
Perbedaannya adalah dalam masalah tertentu yang secara teknis harus juga
diterapkan dalam dunia perbankan di Indonesia seperti adanya jaminan dalam
pembiayaan. Perbedaan-perbedaan itu tidaklah bertentangan dengan hukum Islam,
setidaknya bisa dieliminir dengan adanya Dewan Pengawas Syariah. Dalam perjanjian
musyarakah yang biasanya berbentuk notariil akta telah terdapat pakem yang
telah disetujui oleh Dewan Pengawas Syariah.
Saran yang dapat diberikan ialah mengingat
Musyarakah adalah konsep Hukum Islam dalam bidang muamalah yang tidak diatur
secara rinci dalam syariat Islam, maka alangkah baiknya aturan mendetail
diserahkan pada ketentuan Dewan Pengawas Syariah dalam masing-masing bank tanpa
perlu ada aturan mendetail dalam bentuk produk peraturan perundang-undangan.
Biarlah masyarakat bisnis mengatur dirinya sendiri.
Wallâhu
a‘lam bi ash – shawâb …
DAFTAR PUSTAKA
Al Baghdadi, Abdurrahman, 1998,
Emansipasi Adakah Dalam Islam, Gema Insani Press, Jakarta.
Hasan, M. Ali, 1995, Masail
Fiqhiyah Al Haditsah Pada Masalah-Masalah Kontemporer Hukum Islam, RajaGrafindo
Persada, Jakarta
Mahjuddin, 1990, Masailul
Fiqhiyah Berbagai Kasus Yang Yang Dihadapi Hukum Islam Masa Kini, Kalam Mulia,
Jakarta
Uman, Cholil, 1994, Agama
Menjawab Tentang Berbagai Masalah Abad Modern, Ampel Suci, Surabaya.
Zuhdi, Masjfuk, 1993, Masail
Fiqhiyah Kapita Selekta Hukum Islam, Haji Masagung, Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar