Oleh: Miftah Ali Sadikin
BAB I
PENDAHULUAN
Nabi Muhammad SAW memang tidak menentukan
bagaimana cara pergantian pimpinan setelah ditinggalkannya. Beliau nampaknya,
menyerahkan masalah ini kepada kaum muslimin sejalan dengan jiwa kerakyatan
yang berkembang di kalangan masyarakat Arab dan ajaran demokrasi dalam Islam.
Dalam perkembangan selanjutnya, proses suksesi kepemimpinan politik dalam
sejarah Islam berbeda-beda dari satu masa ke masa yang lain. Ada yang
berlangsung aman dan damai, tetapi sering juga melalui konflik dan pertumpahan
darah akibat ambisi tak terkendali dari pihak-pihak tertentu.
Setelah Nabi wafat, terjadi pertentangan
pendapat antara kaum Muhajirin dan Anshar di balai kota Bani Sa’idah di
Madinah. Masing-masing golongan berpendapat bahwa kepemimpinan harus berada di
pihak mereka, atau setidak-tidaknya masing-masing golongan mempunyai pemimpin
sendiri. Akan tetapi, karena pemahaman keagamaan mereka yang baik dan semangat
musyawarah dan ukhuwah yang tinggi perbedaan itu dapat diselesaikan, Abu Bakar
terpilih menjadi Khalifah.
Pertumpahan darah pertama dalam Islam karena
perebutan kekuasaan terjadi pada masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib.
Pertama-tama Ali menghadapi pemberontakan Thalhah, Zubair, dan Aisyah.
Alasan pemberontakan itu adalah Ali tidak mau
menghukum para pembunuh Usman, dan mereka menuntut bela terhadap darah Usman
yang ditumpahkan secara zalim. Namun di balik alasan itu, menurut Ahmad
Syalabi, Abdullah ibn Zubairlah yang menyebabkan terjadinya pemberontakan yang
banyak membawa korban tersebut. Dia berambisi besar untuk menduduki kursi
khilafah. Untuk itu, ia menghasut bibi dan ibu asuhnya, Aisyah, agar
memberontak terhadap Ali, dengan harapan Ali gugur dan ia dapat menggantikan
posisi Ali.
Dengan tujuan mendapatkan kedudukan khilafah
itu pula Muawiyah, gubemur Damaskus, memberontak. Selain banyak menimbulkan
korban, Muawiyah berhasil mencapai maksudnya, sementara Ali terbunuh oleh bekas
pengikutnya sendiri.
Pemberontakan-pemberontakan
yang muncul pada masa Ali ini bertujuan untuk menjatuhkannya dari kursi
khilafah dan diganti oleh pemimpin pemberontak itu.
Hal yang sama juga terjadi pada masa
pemerintahan Bani Umayyah di Damaskus. Pemberontakan-pemberontakan sering
terjadi, diantaranya pemberontakan Husein ibn Ali, Syi’ah yang dipimpin oleh
al-Mukhtar, Abdullah ibn Zubair, dan terakhir pemberontakan Bani Abbas yang
untuk pertama kalinya menggunakan nama gerakan Bani Hasyim. Pemberontakan
terakhir ini berhasil dan kemudian mendirikan pemerintahan baru yang diberi
nama khilafah Abbasiyah atau bani Abbas.
Dalam makalah ini penulis
mencoba menyajikan fokus terhadap perebutan kekuasaan pada masa bani Abbasiyah.
BAB II
PEREBUTAN
KEKUASAAN
DI PUSAT
PEMERINTAHAN
BANI ABBASIYAH
Pada masa pemerintahan
Bani Abbas, perebutan kekuasaan seperti yang tersebut dalam latar belakang itu
juga terjadi, terutama di awal berdirinya. Akan
tetapi, pada masa-masa berikutnya, seperti terlihat pada periode kedua dan
seterusnya, meskipun khalifah tidak berdaya, tidak ada usaha untuk merebut
jabatan khilafah dari tangan Bani Abbas. Yang ada hanyalah usaha merebut
kekuasaannya dengan membiarkan jabatan khalifah tetap dipegang Bani Abbas.
1.
Khalifah sudah dianggap sebagai jabatan
keagamaan yang sakral dan tidak bisa diganggu gugat lagi. Sedangkan kekuasaan
dapat didirikan di pusat maupun di daerah yang jauh dari pusat pemerintahan
dalam bentuk dinasti-dinasti kecil yang merdeka.
2.
Tentara Turki berhasil merebut kekuasaan
tersebut. Di tangan mereka khalifah bagaikan boneka yang tak bisa berbuat
apa-apa. Bahkan merekalah yang memilih dan menjatuhkan khalifah sesuai dengan
keinginan politik mereka. Setelah kekuasaan berada
di tangan orang-orang Turki pada periode kedua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar