Oleh: Syamsudin Kadir
Sekarang
kita tidak lagi berfikir tentang sekadar bagaimana membesarkan generasi muda
tetapi bagaimana generasi muda membesarkan bangsa ini dan membangkitkan kaum
muslimin di seluruh dunia. Setelah itu kita berfikir ke level lebih tinggi
bagaimana bangsa Indonesia punya kontribusi besar ke dunia internasional.
Begitu generasi muda punya ide dan narasi yang ditawarkan kepada publik, maka
generasi muda sedang menjemput takdir menjadi pemimpin, leader,
perubahan. Begitulah idealnya.
Lalu,
bagaimana kenyataannya? Itulah yang perlu kita bicarakan. Yang jelas, jika
generasi muda ingin leading, maka perlu memiliki tiga hal besar berupa
: narasi, kapasitas dan sumber daya.
Jika
ingin bercampur baur dengan publik, maka generasi muda mesti memiliki kapasitas
seorang pemimpin yaitu naratif intelijen. Kemampuan menguasai orang
melalui kata atau ide. Itulah yang menjelaskan mengapa Soekarno dan Mohammad
Natsir masih bertahan sampai sekarang. Dan itu juga yang menjelaskan mengapa
mukjizat Rasulullah Saw. itu adalah al-Qur’an, yang mudah dibaca dan dipahami.
Generasi
muda itu, bedanya antara periode yang lalu dan yang sekarang adalah : kalau
periode yang lalu cukup dikenal dengan “I can see”, seksi di mata orang.
Ada anak-anak muda bersih dan memiliki semangat. Tapi begitu generasi muda itu
sekarang ingin menjadi leader, expectasi orang berubah.
Generasi muda tidak lagi dipersepsi sebagai generasi yang “anak-anak”.
Sebelumnya,
generasi muda dipersepsi sebagai anak manis. Kumpulan anak-anak manis negeri
ini. Berkumpul jadi satu, dinamis dan baik-baik. Tapi untuk jadi pemimpin,
tidak cukup dengan sanjungan seperti itu. Karena itu, generasi muda mesti
berubah.
Nah,
sekarang ketika generasi muda ingin “berkontribusi”, maka persepsi generasi
muda juga harus dirubah. Kita berharap agar persepsi publik dan kapasitas
generasi muda diisi dengan kompetensi. Di sini, kata kuncinya ada dua, yaitu
Kompeten dan Keterbukaan.
Kompeten
merupakan integritas generasi muda, di sini menyangkut masalah kapasitas;
sedangkan keterbukaan adalah image-nya. Maksudnya, generasi muda
diterima di semua basis kehidupan dan oleh semua pihak. Ini namanya (kompeten) what
to say-nya bukan how to say-nya. Bagaimana cara mengatakannya itu
lain lagi.
Naratif
intelijen hanya akan dimiliki oleh mereka
yang memiliki narasi yang sistematis dan konsepsional. Selain konseptor, mereka
juga mesti orator; yang mampu menyusun konsep strategis dan teknis, serta mampu
mengorasikannya ke ruang publik.
Dalam
konteks ini, ada buku yang bagus untuk dibaca dari “Kumpulan Pidato-pidato yang
paling Berpengaruh Sepanjang Abad ke-20”. Atau mungkin juga dalam buku karya
yang lain.
Kalau
kita baca sejarah Islam, kita dalam memahami bahwa Khalid bin Walid itu bukan
sekadar jago bertarung, tapi juga orator. Contohnya; di perang Yarmuk (dia
tadinya ada di Irak). Jumlah pasukan yang sudah masuk di Yarmuk waktu itu
sekitar 27 ribu, berhadapan dengan 240 ribu pasukan Romawi, ini berbulan-bulan
lamanya pasukan saling berhadap-hadapan tapi tidak saling bertempur. Ini
periodenya Abu Bakar.
Ini
soal komandan lapangan, mengapa tidak bertempur? Artinya begini, yang 240 ribu
tidak berani menyerang yang 27 ribu. Masing-masing punya alasan, memang (pasukannya) kecil tapi pengalaman menangnya terlalu banyak. Yang satu lagi (pasukan Islam), memang pengalaman menangnya banyak tapi belum pernah bertemu pasukan sebanyak ini.
tidak berani menyerang yang 27 ribu. Masing-masing punya alasan, memang (pasukannya) kecil tapi pengalaman menangnya terlalu banyak. Yang satu lagi (pasukan Islam), memang pengalaman menangnya banyak tapi belum pernah bertemu pasukan sebanyak ini.
Khalid
datang dan pasukan Khalid dipanggil, dan ditambah lagi pasukan sebanyak 9 ribu
orang sehingga menjadi 36 ribu. Waktu Khalid dating wacananya sama seperti Abu
Bakar. Cuma dalam sikologi militer itu bahaya, tentara dibiarkan begini, karena
lama-lama itu ketakutan mulai merasuk ke dalam. Mau lari tidak bisa. Mau maju
juga tidak bisa. Harus ada keputusan.
Begitu
Khalid datang, dia konsolidasikan pasukannya. Dan setelah konsolidasi satu bulan
lamanya, diputuskan memimpin secara bergantian. Pemimpin pertamanya Khalid.
Setelah itu bergantian. Setelah itu dia putuskan hari penyerangan. Waktu hari penyerangan
itu dia pidato. Pidatonya tidak terlalu panjang.
Dan
kita perhatikan para sahabat itu kalau pidato kenegaraan atau pidato perang
hampir tidak ada yang lebih dari 5 menit. Dilihat dari segi teksnya. Dia bilang
begini: “Ya ma’syirol muslimin, hadza yaumun min ayyamillah”, Hai kaum
muslimin, ini adalah hari di antara hari-hari Allah.
Di
sini terdapat kemampuan mengartikulasi sebuah makna yang tervisualisasi begitu
kuat ketika langsung terikat dengan Allah Swt., terikat pada statemen pertama “hadza
yaumun min ayyamillah, fa akhlisu fiihi jihadakum lillah”. Dia mulai dari
pernyataan yang pertama “Fa akhlisu fiihi jihadakum fillah”.
Setelah itu, masuk pada tekhnisnya. Setelah itu takbir Allahu Akbar
sambil maju menyerang. Selesai dan menang.
Jadi,
seorang pemimpin—sebagaimana komandan perang—mesti memiliki kapasitas naratif
intelijen. Selain sebagai konseptor juga orator ulung. Dia memang tidak
akan abadi, tapi ini keterampilan mutlak. Itu adalah di antara basic
kompeten dari seorang pemimpin.
Kita
lihat lagi presiden-presiden Amerika yang berpengaruh dari yang lain. Umumnya
begitu. Waktu perang dunia kedua siapa Perdana Menteri Inggris? Itulah
kelebihannya. Umumnya orang Inggris itu tinggi-tinggi, tapi dia pendek dan
seorang orator. Dari dialah istilah “Saya tidak punya sesuatu di Inggris,
kecuali hanya darah, keringat dan air mata” terhembus. Pidato itu abadi.
Jadi, begitu kita punya ide, kita jadi tren setter. Yang lain, semuanya
jadi follower.
Nah,
yang kedua dari kapasitas leadership itu adalah kapasitas eksekusi.
Kapasitas eksekusi itu ditentukan oleh orang dan uang. Ada orang yang
punya kapasitas dan ada sumber daya. Kita datang dan mau masuk dalam struktur
Negara atau kekuasaan tapi tidak ada orang untuk mengeksekusinya, itu tidak
bisa.
Sekarang
pertanyaannya adalah apakah generasi muda cukup siap? Tentu saja tidak bakal
cukup. Lalu, apakah generasi muda harus menunggu sampai cukup? Tidak juga.
Karena manusia berkapasitas juga sudah banyak, tapi mereka belum tersentuh oleh
spirit dan prinsip-prinsip perubahan. Itu saja. Tetapi kalau generasi muda
punya ide besar, maka generasi muda bisa mendayagunakan semua orang dengan
kapasitas yang mereka miliki. Jadi kapasitas eksekusi ini menyangkut orang.
Selanjutnya,
sumber daya. Ini juga bukan sekadar uang. Sebenarnya media itu adalah sumber
daya. Informasi adalah sumber daya. Uang adalah sumber daya. Tentara juga
sumber daya. Jadi kita perlu sosial capital, kita juga perlu financial
capital, kita juga perlu political capital.
Pertanyaan
besarnya : Bagaimana cara merakit semua potensi-potensi itu sekaligus? Yang
tidak boleh tergantikan pada orang adalah narasi; itu yang harus orisinal.
Adapun kapasitas dan sumber daya bisa disesuaikan dengan orang. Karena ada
banyak orang yang punya kapasitas dan sumber daya tapi tidak menjadi apa-apa.
Jadi,
uang itu menyangkut persoalan yang lebih teknis. Dalam hal-hal seperti ini kita
tidak bicara masalah hal-hal yang bersifat idealisme dan pragmatisme. Ini
persoalannya adalah pemahaman tentang realitas. Kita akan menjadi sangat picik
kalau kita menyederhanakan masalah ini dengan persoalan idealis atau pragmatis.
Karena tidak ada urusannya ke situ. Sama sekali tidak ada.
Nah,
itulah ide tentang strategic partnership. Bagaimana memperbesar aset
dengan mangakumulasi aset orang digabung menjadi satu kekuatan. Konsep itu
adalah konsep pendayagunaan. Ini bukanlah konsep suatu antitesa yang harus kita
pertentangkan dengan konsep konspirasi yang selalu kita pelajari dalam rencana
strategi perang, misalnya.
Jadi
ide-ide perubahan itu hanya mungkin terjadi kalau ada civil society
yang kuat, ada pemerintahan yang efektif. Kalau sekarang, ada civil society
yang tidak terlalu kuat tapi ada juga pemerintahan yang tidak efektif. Dan
karena itu ada pasar yang tidak dinamis, itu sebabnya setelah kita demokratis
kita tidak jadi sejahtera, tidak kunjung sejahtera. Kalau ini kita pahami,
dengan demikian sekarang kita bisa memahami kata kunci yang kita sebut sebagai strategic
partnership.
Di
sini kita berbicara mengenai bagaimana kita mampu menerima orang lain. Pada
konteks ini seringkali tak mampu dilalui manusia. Makanya imam Ghazali
mengatakan: “Al-Insanu aduwwun ma yajhulu”. Manusia memusuhi apapun yang
tidak diketahuinya. Karena kita tidak tahu orang lain kita cenderung memusuhi
orang lain. Padahal tidak semua orang yang berbeda itu “memusuhi” kita.
Dalam
mengelola urusan publik—seperti pemerintahan Negera dari pusat hingga
daerah—juga begitu. Dalam bukunya Managing The Next Society, Peter R. Gardner,
mengungkap secara serius mengenai peran dan fungsi Negara. Bagi Gardner, Negara
bangsa itu, dalam era globalisasi, sejauh mana akan survive—baik karena
pengaruh perkembangan teknologi maupun karena pengaruh rasionalitas
ekonomi—maka sejauh itu pulalah peran dan fungsinya di masa mendatang.
Jadi,
kita membutuhkan instrumen besar (Negara) itu, kalau kita ingin memimpin.
Sampai di sini kita tidak punya perdebatan. Perdebatan kita adalah tentang
kapasitas apa yang diperlukan untuk mengelola itu semua. Itulah kepemimpinan.
Oleh karena itu persoalan fundamental ini harus kita pisahkan dulu dari
persoalan yang teknis, tentang bagaimana memenangkan perhelatan opini
publik terhadap Islam, misalnya.
Image semangat pada generasi muda adalah modal terbesar. Di image
ini terserap dan memberikan ruang yang besar kepada generasi muda di tengah
masyarakat. Namun, jika generasi muda tiba-tiba masuk dalam pemerintahan, itu
terlalu cepat.
Jadi
strategy to win itu adalah persoalan how to send, tetapi
persoalan leverage to win itu adalah persoalan how to deliver
bagaimana men-delivery ide-ide itu menjadi suatu kenyataan. Dan itu
membutuhkan kualitas tertentu dari generasi muda. Tidak sesederhana yang kita
bayangkan.
Sekarang
tentang reference to lead, apa yang kita perlukan untuk memimpin? Reference
apa yang kita perlukan? Sekarang perlu diceritakan dulu sedikit mengenai
realitas generasi muda.
Kita
perlu menyadari bahwa di antara kelemahan kita adalah kurang memiliki kapasitas
atau pengetahuan teritori yang kuat. Padahal ia adalah unsure penting dalam
bernegara juga dalam mendakwahkan Islam. Karena itu, satu hal penting yang
mesti kita miliki adalah Kesadaran Geografis. Tentang Indonesia, atau tentang
wilayah kekuasaan Islam di masa lalu. Dalam konteks ini, sepertinya, generasi
muda perlu membaca salah satu buku bagus yang ditulis oleh Malik bin Nabi,
judulnya “Miladul Mujtama”, Kelahiran sebuah Masyarakat dan yang kedua “Wijhatul
‘Alam Islami”, Dunia Baru Islam. Di situ Malik bin Nabi menjelaskan
mengenai unsur hardware dari sebuah peradaban, yaitu : al-ard/at
turab, wazzaman, wal insan, (tanah, waktu dan manusia).
Konteks
Indonesia, waktu imperialis datang ke Indonesia, perjuangan itu sifatnya
kedaerahan. Itu zamannya Imam Bonjol, Diponegoro, Sultan Hasanuddin, Cut Nya
Dien, Pattimura dan seterusnya. Tapi kemudian muncul yang namanya kegelisahan
politik, bahwa perlu ada pola baru dalam perjuangan. Dari situ timbul
kesadaran universal yang menggabungkan kesadaran geografis dan kesadaran
politik, sehingga lahirlah Budi Utomo dengan Syarekat Islam. Tetapi ini
kemudian menjadi kesadaran yang konteknya lebih kuat lagi, setelah era Sumpah
Pemuda. Sumpah Pemuda: Satu Bangsa, Bahasa Pemersatu dan Satu Tanah Air. Itu
adalah gabungan antara kesadaran geografis, kesadaran teritorial, kesadaran
sosiologis dan kesadaran budaya (bahasa). Terkait tema ini, ada buku bagus yang
boleh dibaca judulnya Collaps, di situ ada sedikit kisah tentang Polenesia
“How China become Chinese. Di situ, pada pembahasan akhirnya ditulis
tentang Polenesia.
Jadi,
Sumpah Pemuda itu menggerakkan, menyatakan diri sebagai satu kesatuan yang utuh
tetapi isinya juga dibuat; ada geografisnya, ada teritorinya, ada bahasanya,
dan juga isi politiknya yang namanya bangsa. Jadi, karena bobotnya itulah
Sumpah Pemuda menjadi satu momentum yang sangat historis dalam sejarah
Indonesia.
Sejarah
pembentukan Negara kita pada momentum proklamasi kemerdekaan RI 1945, juga
dibangun di atas kesadaran yang beragam seperti itu. Soekarno hadir di atas
situasi yang sangat menguntungkan, karena dia melanjutkan proses itu. Ia
memiliki kesadaran yang mendalam tentang teritori Indonesia. Dan juga punya
kesadaran tentang struktur sosiologis tentang masyarakat Indonesia. Kalau kita
baca buku “Bung Karno Menyambung Lidah Rakyat”, maka akan dipahami bahwa
kesadaran-kesadaran di atas itulah yang menyebabkan Negeri ini ada.
Seharusnya kita berfikir seperti begitu, sebagai wujud kapasitas wawasan
teritori yang matang.
Generasi
muda mempunyai kelebihan dalam berbagai hal, misalnya dalam hal pemikiran,
semangat, logika, dan lain sebagainya. Generasi muda adalah motor penggerak
utama perubahan. Begitulah sejarah bangsa Indonesia memberi kita pengalaman dan
pengetahuan. Dari situ kita dapat memahami bahwa dalam konteks Indonesia,
pemuda adalah penentu perjalanan Indonesia di masa yang akan datang. Dan kita
sangat percaya itu.
Aktivis
‘98 yang juga Direktur Eksekutif Lingkar Madani Indonesia (Lima), Ahmad Fauzi
Ray Rangkuti, sangat percaya dan optimis dengan modal yang dimiliki generasi
muda, yaitu memiliki jiwa visioner, kesejarahan pemuda, serta kapasitas yang
dimiliki akan bisa melakukan perubahan. Kata tokoh muda yang satu ini, “Saya optimistis
dengan modal yang dimiliki kaum muda, maka sangat terbuka melakukan perubahan”.[1]
Semangat
berkontribusi merupakan semangat, sikap dan tingkah laku yang merujuk pada
loyalitas dan pengabdian. Patriotisme hendaknya dijadikan budaya dan kebiasaan
yang dapat diterapkan dalam segala sendi kehidupan. Pemuda perlu mempersiapkan
diri sebaik-baiknya dalam membangkitkan kembali semangat patriotisme dan
kontribusi.
Pemuda
harus menyadari bahwa semangat tersebut tidak terlepas dari situasi global.
Generasi muda Islam harus mencermati secara kritis realitas kepentingan global
terhadap Indonesia. Generasi muda dituntut agar memahami dan terlibat dalam menyelesaikan
masalah Indonesia dan umat Islam.
Secara
sederhana dapat disampaikan bahwa untuk memupuk semangat tersebut, pemuda Islam
diharapkan dapat meningkatkan partisipasinya dalam meningkatkan pengetahuan dan
kualitas ilmu, keterlibatan diri dalam berbagai lembaga sosial kemasyarakatan
dan organisasi kepemudaan, terlibat dalam kewirausahawan muda, menciptakan
karya generasi muda dan apresiasi pemuda di berbagai bidang pembangunan, ikut
serta dalam gerakan pencegahan dan penanggulangan narkoba, dan lain sebagainya.
Sifat
idealisme yang terkandung dalam jiwa dan pikiran generasi muda harus dapat
dimanfaatkan untuk memainkan peranan penting dalam kelangsungan hidup dan
perubahan Indonesia dan umat Islam. Pemuda adalah kelompok yang potensial untuk
mendukung pembangunan. Dengan demikian, pemuda perlu dilibatkan dalam setiap
perencanaan pembangunan, sehingga pelayanan dapat lebih disesuaikan dengan
sasaran yang ingin dicapai. Namun demikian, progresifitas generasi muda tidak
hanya penting dalam kerangka pemberdayaan generasi muda, tapi juga memberikan
kontribusi bagi penyiapan generasi selanjutnya, serta regenerasi kepemimpinan
umat dan bangsa di masa mendatang.
[1] Pernyataan Ahmad Fauzi Ray Rangkuti kepada INILAH.COM,
Senin (27/10/2008) di Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar