BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Hadits atau yang lebih dikenal dengan sunnah adalah
segala sesuatu yang bersumber atau disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, baik
berupa perkataan, perbuatan. Dan peran hadits sebagai salah satu sumber ajaranIslam yang
diakui oleh mayoritas madzhab, tidak dapat dinafikan.
Kendati demikian, keberadaan al-Hadits dalam proses tadwin (kodifikasi) nya sangat berbeda
dengan al-Quran. Sejarah hadits dan periodesasi penghimpunan nya lebih lama dan
panjang masanya dibandingkan dengan al-Qur’an. Al-Hadits butuh waktu 3 abad
untuk pentadwinanya secara menyeluruh. Banyak sekali liku-liku dalam sejarah
pengkodifikasian hadits yang
berklangsung pada waktu itu.
Atas dasar masalah yang diuraikan di atas makalah ini disusun Disamping itu adalah untuk memenuhi tugas kelompok dalam mata kuliah ulumul hadits.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah
makalah ini akan membahas beberapa hal sebagai berikut :
1.
Kapankah
Kodifikasi Hadits Resmi dilaksanakan ?
2.
Metode
apa saja yang dilakukan untuk pengkodifikasi hadits ?
3.
Adakah
implikasi dari kegiatan pentadwinan hadits ini ?
C.
Ruang
Lingkup
Menjelaskan tentang Sejarah Kodifikasi Hadits dari abad
Ke II, III, IV dan V Hijriyah dan
perkembangannya.
D. Tujuan Penulisan
Tujuan merupakan ungkapan sasaran-sasaran yang ingim
dicapai dalam makalah ini. Dalam makalah ini memiliki tujuan sebagai berikut :
1.
Untuk
mengetahui sejarah Pengkodifikasian hadits dan perkembanganya
2.
Untuk
mengetahui metode apa saja dalam pentadwinan hadits tersebut
3.
Untuk
mengetahui implikasi kegiatan pengkodifikasian hadits ini
4.
Untuk
memenuhi tugas kelompok mata kuliah Ulumul Hadits .
BAB II
PEMBAHASAN
KODIFIKASI (TADWIN)
HADITS
A. Latar Belakang
Para ahli hadits menyatakan bahwa
penulisan hadits telah dimulai sejak Rasulullah saw masih hidup, kemudian
tulisan hadits tersebut disebut dengan shahifah (suhuf
(jamak). Seperti shahifah
as-shadiqah karya Abdullah bin Amr bin As.Shahifah ini sampai kepada kita melalui kitab
kumpulan hadis karya Ahmad bin Hanbal yang berjudul Musnad.
Akan tetapi di antara para ahli hadits berbeda pendapat tentang kebolehan
menulis hadis pada saat Nabi saw masih hidup, yang didasarkan adanya hadis yang
membolehkan dan melarang menuliskanya. Hadis yang membolehkan penulisan hadis
berasal :
1. Riwayat
Abdullah bin Amr bin As. Ia menulis apa saja yang didengarnya dari Rasulullah
saw karena ingin menghafalkanya, tetapi orang Quraisy mengkritiknya. Menurut
mereka Nabi hanya manusia biasa yang berbicara dalam keadaan senang dan marah.
Hal ini kemudian Abdullah bin Amr bin As menyampaikan kepada Rasulullah saw
yang kemudian bersabda “Tulislah (hadis itu)! Demi Allah, tidak keluar dari
Rasul itu kecuali suatu kebenaran”(HR Bukhari).
2.
Jabir bin Abdillah bin Amr al-Anshari (w
78 H). Ia memiliki catatan hadis dari Rasul SAW tentang manasik haji. Hadisnya
diriwayatkan Muslim. Catatanya dikenal Sahifah Jabir.
3. Abu
Hurarirah ad-Dausi (w. 59 H). Ia memiliki catatan yang dikenal dengan Sahifah
Shahihah. Yang diriwayatkan kepada anaknya Hammam.
4. Abu
Syah (Umar bin Sa’ad al-Anmari), seorang penduduk Yamman. Ia meminta Rasul saw
mencatatkan hadis, ketika Rasul berpidato dalam penakklukan Makkah (futuh
Makkah).
Dan adapun diantara hadis yang
melarang menuliskanya berasal dari :
1. Hadis
riwayat Ahmad bin Hanbal yang berbunyi “Jangan kamu menuliskan apa-apa yang
datang dariku, siapa yang menuliskan sesuatu dariku selain Al-Qur’an, maka
hapuslah”.
2. Riwayat
Abu Hurairah ra “Rasul saw datang kepada kami sedang kami menulis hadis, lalu
beliau bersabda “Apa yang kalian tulis ?” Kami menjawab “Hadis-hadis yang kami
dengar dari engkau. Beliau berkata “Apakah kalian menghendaki kitab selain
kitabullah ? Tidaklah sesat umat sebelum kalian melainkan karena mereka menulis
dari kitab-kitab selain kitabullah”.
Dari uraian diatas memang nampak
pertentangan mengenai kebolehan dan pelarangan penulisan hadis. Abdul Halim
Mahmud, mantan rektor Universitas Al-Azar Kairo menyatakan bahwa kedua hadis
diatas benar. Mengenai larangan menulis hadis itu bersifat umum sedang
kebolehan menulis hadis bersifat khusus. An-Nawawi dan as-Suyuthi berpendapat
bahwa larangan tersebut adalah bagi yang kuat hafalanya, sehingga tidak
khawatir terjadinya campur aduk Al-Qur’an dan hadis. Tetapi bagi yang mudah
lupa dibolehkan mencatatnya. Hajjar al-Asqalani mengatakan larangan penulisan
hadis adalah karena ada kekhawatiran tercampurnya antara Al-Qur’an dengan
hadis. Atau juga untuk tidak menuliskan Al-Qur’an dan hadis dalam satu shuhuf.
Kemudian muncul perintah resmi
berdasarkan perintah khalifah untuk menuliskan hadis yakni pada masa Khalifah
dari bani Ummayah Umar bin Abdul Azis (w. 124 H/720 M). Dia terkenal kejujuran
dan keadilanya yang memerintahkan para gubenurnya mengumpulkan hadis seantero
negeri. Salah satu tokoh yang mendapat mandat adalah Muhammad bin Muslim
bin Ubaidillah bin Syihab as-Zuhri (w. 124 H/742 M) untuk
mengumplkan hadis yang ada pada para penghafal hadis di negeri Hijas dan
Suriah. Kemudian juga memerintahkan gubenur Madinah Abu Bakar bin Muhammad bin
Amru bin Hazm (w. 117 H) untuk mengumpulkan hadis yang terdapat pada penghafal
Amrah binti Adurrahman (murid kepercayaan ‘Aisyah) dan Qosim bin Muhammad bin
Abu Bakar as-Shiddiq keduanya adalah ulama besar dari Madinah.
Para ulama hadis tidak sependapat
dalam menentukan jumlah periodisasi hadis. Ada yang membaginya menjadi tiga
periode, lima periode, bahkan tujuh periode. Berikut ini adalah periodisasi
hadis secara garis besar.
B. Pengertian
Di dalam penulisan hadits Nabi saw. sejak beliau masih hidup sampai
dengan khalifah Umar bin Abdul Aziz sering muncul istilah-istilah : Al-Khitabah,
At-Tadwin dan Al-Tasnif .
Al-kitabah secara etimlogi berasal
dari bahasa Arab yang artinya penulisan[8]. Sedang menurut etimologi al-Kitabah mempunyai arti
penulisan hadits secara pribadi. Seperti
penulisan hadits yang terjadi sejak Nabi
saw, Khulafa al-Rasyidin sampai pada masa Umar bin Abdul Azis. Diantara sahabat
yang telah menulis hadits adalah
Abdullah bin Amr bin As (27 SH-63 H) dengan kumpulan hadits Shahifah
As-Shadiqah, Shahifah
Jabir bin Abdillah yang
ditulis oleh Jabir bin Abdillah bin Amr Al Anshari (16 SH-78 H) yang masih utuh
sampai zaman tabi’in, Anas bin Malik (10 SH – 93 H), ash-Sahahifah ash-Sahihah yang
disusun oleh Abu Hurairah ad-Dausi (19 SH-59 H) maupun Ali bin Abi Thalib (23
SH-40 H).
At Tadwin artinya kodifikasi
(pembukuan)/pencatatan. Sedangkan menurut terminologi al-tadwin artinya
pengumpulan dan penyusunan hadits yang
secara resmi didasarkan perintah khalifah dengan melibatkan beberapa personil,
yang ahli dalam masalah ini, bukan yang dilakuan secara peseorangan seperti
yang terjadi di masa-masa sebelumnya. Seperti pada saat Umar bin Abdul Azis
menjadi khalifah pada tahun 99-101 H kemudian tahun 100 H meminta Gubernur
Madinah Abu Bakar bin Muhammad bin Amir bin Hazm supaya membukukan hadits Rasul yang terdapat pada para penghafal Amrah
bin Abdi Rahman Al-Anshariyah dan Al Qosim bin Muhammad bin Abi Bakr Ash
Shiddieq dan juga kepada Ibnu Syihab az-Zuhri.
At-Tasnif artinya klasifikasi,
kategorisasi menurut istilah
mengandung makna usaha menghimpun atau menyusun beberapa hadits (kitab hadits ) dengan membubuhi keterangan
mengenai arti kalimat yang sulit-sulit dan memberi interpretasi sekedarnya.
Jika dalam memberikan interpretasi itu dengan jalan mempertalikan atau
menghubungkan dan menjelaskan dengan hadits lain, dengan ayat-ayat Al-Qur’an atau dengan
ilmu-ilmu lain maka disebut dengan ilmuSharah dan meringkas. At-Tasnif ini muncul
pada abad ke V dan seterusnya yaitu abad periodisasi klasifikasi dan
sistematisasi susunan kitab-kitab hadits .
Mengutip kitab Al Muhith, Al-Fairuz
mengatakan bahwa: “Tadwin secara bahasa diterjemahkan dengan kumpulan shahifah
(mujtama’ al-shuhuf). Menurut Dr. Muhammad Ibn Mathar Al-Zahrani tadwin adalah
: ”Mengikat yang berserakan lalu
mengumpuklannya menjadi satu diwan atau kitab yang terdiri dari
lembaran-lembaran. Sedangkan secara luas tadwin sendiri diartikan dengan al
Jam’u (mengumpulkan).”
Apabila merujuk dari 2 pengertian
diatas dapat disimpulkan pentadwinan hadits bisa diartikan Diwanul Hadits Dalam bahasa Indonesianya tadwin ini lebih
umum dikenal dengan nama kodifikasi.
C. Pendapat tentang Waktu Kodifikasi Hadits
Beberapa pendapat yang berbeda
berkembang mengenai kapan kodifikasi secara resmi dan serentak dimulai. Adapun
beberapa pendapat tersebut adalah :
1. Kelompok
Syi’ah, mendasarkan pendapat Hasan al-Sadr (1272-1354 H), yang menyatakan bahwa
penulisan hadits telah ada sejak masa Nabi dan kompilasi hadits telah ada sejak awal khalifah Ali bin Abi
Thalib (35 H), terbukti adanya Kitab Abu Rafi;, Kitab al-Sunan wa al-Ahkam wa
al-Qadaya.
2. Sejak
abad I H, yakni atas prakarsa seorang Gubernur Mesir Abdul Aziz bin Marwan yang
memerintahkan kepada Kathir bin Murrah, seorang ulama HImsy untuk mengumpulkan hadits
, yang kemudian disanggah Syuhudi Ismail dengan alasan bahwa perintah Abdul
Aziz bin Marwan bukan merupakan perintah resmi, legal dan kedinasan terhadap
ulama yang berada di luar wilayah kekuasaannya.
3.
Sejak awal abad II H, yakni masa Khalifah
ke-5 Dinasti Abbasiyyah, Umar ibn Abdul Aziz yang memerintahkan kepada semua
gubernur dan ulama di wilayah kekuasaannya untuk mengumpulkan hadits -hadits Nabi Khalifah ini terkenal dengan sebutan
kehormatan, Umar II, yang mengisyaratkan pengakuan bahwa ia adalah pelanjut
kekhalifahan ‘Umar Ibn al-Khaththab yang bijak bestari. Khalifah Umar
menginstruksikan kepada Gubernur Madinah Abu
Bakar Bin Muhammad Bin ‘Amr Bin Hazm (Ibnu Hazm) untuk mengumpulkan hadits yang
ada padanya dan pada tabi’in wanita ‘Amrah Binti ‘AbdurRahman Bin Sa’ad Bin Zurarah Bin ‘Ades, murid
Aisyah-Ummul Mukminin. kepada Abu Bakar Muhammad ibn Amr ibn Hazm, beliau
menyatakan: “Lihat dan periksalah apa
yang dapat diperoleh dari hadits Rasulullah, lalu tulislah karena aku takut
akan lenyap ikmu disebabkan meninggalnya ulama dan jangan anda terima selain hadits Rasulullah saw dan hendaklah
anda sebarkan ilmu dan mengadakan majelis-majelis ilmu supaya orang yang tidak mengetahui dapat
mengetahuinya, lantaran tidak lenyap ilmu hingga dijadikannya barang rahasia.”
Berdasarkan instruksi resmi Khalifah
itu, Ibnu Hazm minta bantuan dan menginstruksikan kepada Abu Bakar Muhammad Bin Muslim Bin Ubaidillah Bin Syihab az-Zuhry
(Ibnu Syihab Az-Zuhry) seorang ulama besar dan mufti Hijaz dan Syam untuk turut
membukukan hadits Rasulullah saw.
Pendapat ketiga ini yang dianut Jumhur
Ulama Hadits , dengan pertimbangan jabatan khalifah gaungnya lebih besar
daripada seorang gubernur, khalifah memerintah kepada para gubernur dan ulama
dengan perintah resmi dan legal serta adanya tindak lanjut yang nyata dari para
ulama masa itu untuk mewujudkannya dan kemudian
menggandakan serta menyebarkan ke berbagai tempat.
Dengan demikian, penulisan hadits yang sudah ada dan marak tetapi belum selesai
ditulis pada masaNabi, baru
diupayakan kodifikasinya secara serentak, resmi dan massal pada awal abad II H,
yakni masa Umar bin Abdul Aziz,
meskipun bisa jadi inisiatif tersebut berasal dari ayahnya, Gubernur Mesir yang
pernah mengisyaratkan hal yang sama sebelumnya.
D. Latar Belakang Kodifikasi (Tadwin) Hadits
Pembukuan hadits dimulai pada akhir abad pertama Hijriah,
dan rampung pada pertengahan abad ketiga. Hal ini tidak lepas dari adanya
dorongan pembukuan hadits oleh Khalifah ‘Umar Ibn ‘Abd al-’Aziz (w. 102 H.)
dari Bani Umayyah. Pada waktu itu Umar Bin Abdul Aziz (Khalifah ke-8 Bani
Umayyah) yang naik tahta pada tahun 99 H berkuasa. Beliau ini dikenal sebagai orang yang adil dan wara’ bahkan sebagian
ulama menyebutnya sebagai Khulafaur Rasyidin yang ke-5, tergeraklah hatinya
untuk membukukan hadits dengan motif :
1. Beliau khawatir ilmu hadits akan
hilang karena belum dibukukan dengan baik.
2. Kemauan beliau untuk menyaring hadits
palsu (maudhu’) yang banyak beredar.
3. Al-Qur’an sudah dibukukan dalam
mushaf, sehingga tidak ada lagi kekhawatiran tercampur dengan hadits bila
hadits dibukukan.
4. Peperangan dalam penaklukan negeri
negeri yang belum Islam dan peperangan antar sesama kaum
Muslimin banyak terjadi, dikhawatirkan ulama hadits berkurang karena wafat
dalam peperangan – peperangan tersebut.
Dari sudut analisa politik, tindakan ‘Umar II ini adalah
untuk menemukan dan mengukuhkan landasan pembenaran bagi ideologi Jama’ah-nya, yang dengan ideologi itu
ia ingin merangkul seluruh kaum Muslim tanpa
memandang aliran politik atau pemahaman keagamaan
mereka, termasuk kaum Syi’ah dan Khawarij yang merupakan kaum oposan terhadap
rezim Umayyah. ‘Umar II melihat bahwa sikap yang serba akomodatif pada semua
kaum muslim tanpa memandang aliran politik atau paham keagamaan khasnya
itu telah diberikan contohnya oleh penduduk Madinah,
di bawah ke kepeloporan tokoh-tokohnya seperti ‘Abdullah ibn ‘Umar (Ibn
al-Khaththab), ‘Abdullah Ibn ‘Abbas dan ‘Abdullah Ibn Mas’ud.
Mushthafa al-Siba’i dalam majalah Al-Muslimin seperti yang dikutip
Nurcholis Madjid amat menghargai kebijakan ‘Umar II berkenaan dengan pembukaan
sunnah itu, sekalipun ia menyesalkan sikap Khalifah yang baginya terlalu banyak
memberi angin pada kaum Syi’ah dan Khawarij (karena, dalam pandangan al-Siba’i,
golongan oposisi itu kemudian mampu memobilisasi diri sehingga, dalam
kolaborasinya dengan kaum Abbasi, mereka akhirnya mampu meruntuhkan Dinasti
Umayyah dan melaksanakan pembalasan dendam yang sangat kejam). Dan menurut
al-Siba’i, sebelum masa‘Umar II
pun sebetulnya sudah ada usaha – usaha pribadi untuk mencatat hadits,
sebagaimana dilakukan oleh ‘Abd Allah Ibn ‘Amr Ibn al -’Ash.
E. Kodifikasi Hadits Abad II H
Sebagian besar ahli hadits berpedapat bahwa perintah resmi untuk
menuliskan hadits muncul pada masa Umar
bin Abdul Azis (w. 720 M) yang menjadi khalifah pada masa Bani Ummayah (717-720
M). Tetapi dalam kitab Tabaqat Ibn Sa’d, Tahzib at-Tahzib dan Tazkirat
al-Huffaz disebutkan bahwa pengumplan hadits sudah dimulai terlebih dahulu oleh ayah Umar
bin Abdul Azizi yaitu Abdul Aziz bin Marwan bin Hakkam (w 704 M), yang menjabat
Gubernur di Mesir. Yang memerintahkan kepada Kasir bin Murrah al-Hadrami (w.
688 M) untuk mengumpulkan hadits Rasul
saw. Ini berarti bahwa Umar bin Abdul Aziz meneruskan usaha bapaknya yang
berkuasa di Mesir tahun 684–704 M. Namun data kongkrit hasil karya ulama yang
diperintahkan ayah Umar bin Adul Aziz tidak sampai ke kita.
Pembukuan hadits pada periode ini belum disusun secara
sistematis dan tidak berdasarkan pada urutan bab-bab pembahasan ilmu. Upaya
pembukuan hadits setelah Az-Zuhri
dilakukan secara berbeda-beda yang masih mencampurkan perkataan sahabat dan
fatwa tabi’in. Ada seorang ulama’ yang berhasil menyusun kitab tadwin, yang
sampai kepada kita sekarang, yaitu Malik bin Anas (93-179 H) di Madinah, dengan
kitabnya Al-Muwaththa’. Kitab
tersebut disusun tahun 143 H atas permintaan Khalifah Al-Mansur.
Yang kemudian diikuti oleh
ulama’-ulama’ seperti Muhammad bin Ishaq (w 151 H), Ibnu Abi Zi’bin (80-158 H)
di Madinah. Ibnu Juraij (80-150 H) di Makkah; Al-Rabi’ Ibn Sabih (w 160 H),
Hammad Ibnu Salamah (w 176 H) di Basrah. Syufyan At-Tsaury (79-161 H) di Kuffah
; Al-Auza’I (88-157 H) di Syam; Ma’mar bin Rasyid (93-153 H) di Yamman ; Ibn
al-Mubarrak 118-181 H) di Khurasan dan Jarir bin Abd Al-Hamid (110-188 H).
Akan tetapi penulisan
penulisan hadits pada zaman tabi’in ini masih bercampur antara sabda Rasul saw,
fatwa sahabat serta tabi’in. Seperti di dalam kumpulan hadits al-Muwatta’ karya Malik bin Anas , kitab ini tidak
hanya memuat hadits Rasul saw saja
tetapi juga memuat ucapan sahabat atau tabi’in bahkan tidak sedikit yang berupa
pendapat Malik sendiri atau praktek ulama’ dan masyarakat Madinah. Akan
tetapi Asy Syafi’i memberi pujian kepada Malik bin Anas “kitab shahih setelah
Al-Qur’an ialah Al Muwwata’.
1. Ciri – ciri Pentadwinan tadwin
hadits pada abad ke 2 H
Ada beberapa hal yamg menjadi ciri –
ciri proses pengkodifikasian hadits yang ditulis pada periode ini :
a) Umumnya
menghimpun dari hadits Rasul SAW serta fatwa sahabat dan tabi’in
b) Himpunan
Hadits masih bercampur aduk antara beberapa topikyang ada
c)
Belum dijumpai upaya pengklasifikasian antara
hadits shahih, hadits hasan dan hadits Dhaif.
2. Kitab – kitab hadits Abad Ke 2 H
Setelah itu penulisan hadits pun marak dan dilakukan oleh
banyak ulama abad ke-2 H, yang terkenal diantaranya :
a)
Al
– Muwaththa oleh Imam Malik Anas ( 93 – 179 H ). Selama rentang waktu
ini,sejumlah buku hadîts telah disusunnya. Kitab ini memiliki kedudukan
tersendiri pada periode ini.Buku ini ditulis antara tahun 130H ampai 141H. Buku
ini memiliki kurang lebih 1.720 hadits ,dimana :
•
600
hadîtsnya marfu’ (terangkat sampai kepada Nabi SAW ).
•
222
hadîtsnya mursal (adanya perawi sahabat yang digugurkan).
•
617
hadîtsnya mauquf (terhenti ampai kepada tâbi ’în).
•
275
sisanya adalah ucapan tâbi ’in.
b)
Al-Musnad
oleh Imam Abu Hanifah an-Nu’man (wafat 150 H).
c)
Al-Musnad
oleh Muhammad bin Idris asy-Syafi’I (150 – 204 H).
d)
Mukhtaliful
Hadits oleh Muh, bin Idris asy-Syafi’I (150 – 204 H).
e)
Al-Musnad
oleh Imam Ali Ridha al-Katsin (148 – 203).
f)
Al-Jami’
oleh Abdulrazaq al-Hamam ash Shan’ani (wafat 311 H ).
g)
Mushannaf
oleh Imam Syu’bah bin Jajaj ( 80 – 180 H ).
h)
Mushannaf
oleh Imam Laits bin Sa’ud (94 – 175 H).
i)
Mushannaf
oleh Imam Sufyan bin ‘Uyaina (107 – 190 H ).
j)
as-Sunnah
oleh Imam Abdurrahman bin ‘Amr al-Auza’i ( wafat 157 H ).
k)
as-Sunnah
oleh Imam Abd bin Zubair bin Isa al-Asadi.
Seluruh kitab-kitab hadits yang ada pada abad ini tidak
sampai kepada kita kecuali 5 buah saja yaitu nomor 1 sampai dengan 5.
F. Kodifikasi Hadits Abad III H : Masa Pemurnian dan
Penyaringan
Periode berikutnya adalah
periode tabi’ at-tabi’in (generasi sesudah Tabi’in) yang memisahkan sabda
Rasulullah saw dan fatwa sahabat dan tabi’in. Pada masa penyeleksian atau
penyaringan hadis ini terjadi pada zaman pemerintahan Bani Abbasiyah, yakni
pada masa al-Makmun sampai al-Muktadir (sekitar tahun 201-300 H). Periode
penyeleksian ini terjadi karena pada masa tadwin belum bisa memisahkan hadis
mauquf dan maqtu’ dan hadis marfu’. Hadis yang dha’if dari yang shahih ataupun
hadis yang maudhu’ bercampur dengan yang shahih. Mereka kemudian membuat
kaidah-kaidah dan syarat-syarat untuk menentukan apakah hadis itu shahih atau
dha’if. Para perawipun tidak luput dari sasaran penelitian mereka untuk
diselidiki kejujuranya, kehafalanya dan lain sebagainya.
1. Karakteristik
Periode ini
Pada abad
ke 3H ini para ulam’ Hadits memfokuskan
pengkodifikasian hadits pada beberapa
hal yang dikala waktu abad ke 2 H tidak terlaksana. Sudah di kemukaan pada bab
sebelumnya bahwa pembukuan hadits belum
terpisah – pisah antara hadits yang
shahih, mauquf maupun yang maudu’.
Beberapa
langkah-langkah untuk melestarikan hadits pada abad ke-3 H ini adalah sebagai
berikut :
a)
Perlawatan
ke Daerah-daerah para perowi hadits yang
jauh dari pusat kota, Contoh : • Imam Bukhari melakukan perlawatan selama 16
tahun ke lebih dari 8 kota di timur tengah seperti mekah, madinah Baghdad
mesir.
b)
Pengklasifikasian
hadits Marfu’, hadits mauquf dan maudlu’ (palsu).
c)
Ahadits Nabi, atsar sahabat dan aqwal (ucapan)
tâbi ’în dikategorikan, dipisahkan dan dibedakan.
d)
Riwayat yang maqbulah (diterima) dihimpun
secara terpisah dan buku – buku pada abad ke – 2 H diperiksa kembali dan di
tashih (diautentikasi).
e)
Selama
periode ini, bukan hanya riwayat yang dikumpulkan, namun untuk memelihara dan
menjaga hadîts, para ulamâ`menformulasikan ilmu yang berkaitan dengan hadîts
(lebih dari 100 ilmu 19 ) dimana ribuan buku mengenai ini telah ditulis
f)
Penyeleksian
dan pemilahan hadits kepada shahih, hasan dan Dhaif. Contoh :
•
Penyaringan hadits sahih oleh imam ahli hadits Ishaq Bin Rahawih (guru Imam
Bukhari).
•
Penyusunan kitab Sahih Bukhari.
2.
Kitab-kitab Hadits pada abad ke -3 H.
a)
Penyusunan
enam kitab induk hadits (kutubus sittah), yaitu kitab-kitab hadits yang diakui
oleh jumhur ulama sebagai kitab-kitab hadits yang paling tinggi mutunya,
sebagian masih mengandung hadits dhaif tapi ada yang dijelaskan oleh penulisnya
dan dhaifnya pun yang tidak keterlaluan dhaifnya, ke – 6 kuttubus shittah itu
adalah :
•
Ash-Shahih
oleh Imam Muh bin Ismail al-Bukhari (194-256 H).
•
Ash-Shahih
oleh Imam Muslim al-Hajjaj (204-261 H).
•
As-Sunan
oleh Imam Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy’at (202-275 H).
•
As-Sunan
oleh Imam Ahmad b.Sya’ab an-Nasai (215-303 H).
•
As-Sunan
oleh Imam Abu Isa at-Tirmidzi (209-279 H).
•
As-Sunan
oleh Imam Muhammad bin Yazid bin Majah Ibnu Majah (209-273 H).
b)
As
– Sunan oleh Imam Abu Muhammad Abdullah bin Abdurrahman ad Damiri (181-255 H).
c)
Al
-Musnad oleh Imam Ahmad bin Hambal (164-241 H).
d)
A
l-Muntaqa al-Ahkam oleh Imam Abd Hamid bin Jarud (wafat 307 H).
e)
Al
– Mushannaf oleh Imam Ibn. Abi Syaibah (wafat 235 H).
f)
Al
– Kitab oleh Muhammad Sa’id bin Manshur (wafat 227 H).
g)
Al-Mushannaf
oleh Imam Muhammad Sa’id bin Manshur (wafat 227 H).
h)
Tandzibul
Afsar oleh Imam Muhammad bin Jarir at-Thobari (wafat 310 H).
i)
Al
– Musnadul Kabir oleh Imam Baqi bin Makhlad al-Qurthubi (wafat 276 H).
j)
Al
– Musnad oleh Imam Ishak bin Rawahaih (wafat 237 H).
k)
Al
– Musnad oleh Imam ‘Ubaidillah bin Musa (wafat 213 H).
l)
A
– Musnad oleh Abdibni ibn Humaid (wafat 249 H).
m)
Al
– Musnad oleh Imam Abu Ya’la (wafat 307 H).
n)
Al
– Musnad oleh Imam Ibn. Abi Usamah al-Harits ibn Muhammad at-Tamimi (282 H).
Dan masih
banyak sekali kitab-kitab musnad yang ditulis oleh para ulama abad ini.
G. Kodifikasi Hadits Abad IV dan V H : Masa Menghafal dan
Mengisnadkan
1.
Kegiatan periwayatan Hadits
Pada
periode ini penghimpunan hadits ts disertai pemeliharaanya tetap dilakukan
walau tidak sebanyak yang sebelumnya. Hanya saja hadits – hadits
yang dihimpun tidaklah sebanyak sebelum periode ini.
Di dalam
era ini jenis kitab – kitab hadits Nabi
Saw.mencakup sebagian besar kitab kitab hadits
yang sifatnya mengumpulkan kitab – kitab hadits yang telah di himpun dalam kitab kitab
hadits Nabi Saw. sebelumnya.
Kegiatan
periwayatan Hadits pada periode ini banyak dilakukan dengan cara ijazah
(Lisensi / sertifikat dari guru untuk murid untuk mendapat izin meriwayatkan
hadits) dan muktabah (pemberian catatan hadits dari gurunya). Sedikit sekali
para ulama’ yang melakukan hafalan seperti ulama Muqaddimin
2. Bentuk penyusunan kitab pada
periode ini
Para
Ulama’ Hadits pada umumnya merujuk kepada karya yang telah ada dengan bentuk
kegiatan seperti mempelajari, menghafal, memeriksa, dan meyelidiki sanad –
sanadnya. Seperti :
•
Kitab
Jami’ kutub as – sittah ( kitab hadits
yang mengumpulkan hadits
hadits Nabi Saw yang telah
tertuang dalam gabungan beberapa kitab hadits
seperti (Shahîh al-Bukhâri, Shahîh Muslim, Sunan at-Turmudzi, Sunan Abi
Dawud, Sunan an-Nasa’i, dan Sunan Ibn Majah di antaranya karya Ahmad bin Razin
bin Mu ’awiyyah al Abdari al Sarqisthi (w.535 H.) dan beberapa kitab lainnya.
•
kitab
istikhraj, yaitu mengambil sesuatu hadits dari sahih Bukhory Muslim umpamanya,
lalu meriwayatkannya dengan sanad sendiri, yang lain dari sanad Bukhary atau
Muslim karena tidak memperoleh sanad sendiri. Contoh : Mustakhraj shahih
bukhari oleh Jurjani, dan Mustakhraj Sahih Muslim Oleh Abu Awanah
•
kitab
Athraf, yaitu kitab yang hanya menyebut sebagian hadits kemudian mengumpulkan
seluruh sanadnya, baik sanad kitab maupun sanad dari beberapa kitab.
•
kitab-kitab
Zawaid, yaitu mengumpulkan hadits-hadits yang tidak terdapat dalam kitab-kitab
yang sebelumnya kedalam sebuah kitab yang tertentu. Contoh : Zawaid ibnu Majah
‘ala al – usuli al Khamsah.
•
Kitab
Syarah
•
Kitab
Mukhtashar
•
Kitab
Petunjuk
•
Kitab
Istidrak, yaitu mengumpulkan hadits-hadits yang memiliki syarat-syarat Bukhary
dan Muslim atau syarat salah seorangnya yang kebetulan tidak diriwayatkan atau
di sahihkan oleh keduanya. Contoh : Al-Mustadrak ‘ala-Shahihaini oleh Imam Abu
Abdullah Muhammad bin Abdullah al-Hakim an-Naisaburi ( 321 – 405 H ).
H.
Penentu
Kebijakan Kodifikasi dan Ulama’ yang Terlibat di Dalamnya.
Khalifah Umar bin Abdul Aziz sebagai Khalifah di zaman
dinasti Umayah melakukan kodifikasi hadis atas beberapa alasan sebagai berikut
:
1.
Sudah
tidak adanya pelarangan pembukuan, karena al-Qur’an telah dihafal oleh ribuan orang,
telah dikumpulkan dan dibukukan dimasa sahabat Utsman, sehingga dapat dibedakan
dengan jelas antara al-Qur’an dan Hadis.
2.
Beliau
khawatir hadis berngsur-angsur hilang jika tidak dikumpulkan dan di bukukan. Ia
melihat bahwa para penghafal hadis semakin berkurang karena meninggal dalam
peperangan dan para ulama’ telah menyebar keberbagai wilayah islam bersamaan
dengan perluasan wilayah islam. Sedang kemampuan antara ulama’ satu dengan
lainya berbeda-beda.
3.
Munculnya
pemalsuan hadis akibat perselisihan politik dan mazhab. Masing-masing golongan
(baik pengikut Ali, Muawiyah dan Khawarij) berusaha memperkuat mazhab-mazhabnya
dengan cara membuat hadis yang Rasul saw sendiri tidak mengatakanya, guna
memperkuat pendapat mereka.
Atas pertimbangan demikian dengan didukung para ulama’,
Khalifah Umar bin Abdul Azis memerintahkan kepada pejabat-pejabat yang ada
dibawahnya untuk melakukan kodifikasi hadis. Usaha-usaha yang dilakukan para
pejabat dibawah Khalifah Umar bin Abdul Azis, diantaranya :
1.
Abu
Bakar bin Muhammad bin Amru bin Hazm (w. 117 H) seorang pejabat dan hakim di
Madinah. Ia dikirimi surat oleh Khalifah Umar bin Adul Azis supaya mengumpulkan
hadis-hadis supaya tidak lenyap. Sebagian isi surat itu berbunyi “Perhatikanlah hadis Rasul saw
dan tulislah, karena aku takut ilmu para ulama’ akan lenyap”. Untuk menindak lanjuti perintah
khalifah, Muhammad bin Amru bin Hazm lalu mengumpulkan hadis-hadis yang
terdapat pada penghafal Amrah binti Abdurahman dan Qosim bin Muhammad bin Abu
Bakar as-Shidiq (keduanya ulama besar Madinah yang banyak menerima
hadis dan paling dipecaya dalam meriwayatkan hadis dari Aisyah binti Abu
Bakar). Akan tetapi Khalifah Umar bin Abdul Aziz telah meninggal dunia sebelum
Muhammad bin Amru bin Hazm belum sempurna mengumpulkan hadis secara
menyeluruh.
2.
Tokoh
kedua yang mendapat mandat untuk mengumpulkan hadis adalah Muhammad bin Syihab
az-Zuhri (w 124 H) seorang ulama’ besar di Hijaz dan Syam. Beliau mengumpulkan
hadis-hadis yang ada di Hijaz dan Suriah. Kemudian ia menulisnya dalam lembaran-lembaran
dan dikirimkan ke masing-masing penguasa daerah satu lembar. Itulah sebabnya
para ahli hadis menganggap beliau yang mendewankan hadis secara resmi atas
perintah Umar bin Abdul Azis. Ia menyambut dengan tulus perintah tersebut
karena kecintaan beliau pada hadis Rasulullah saw dan keinginannya untuk
melakukan pengumpulan.
BAB III
KESIMPULAN
Dari uraian singkat diatas dapat
diambil suatu kesimpulan bahwa penulisan hadis telah dimulai saat Nabi Muhammad
SAW masih hidup, zaman khulafa urasyidin, tabi’in, tabi’i at-tabi’in namun
masih dalam bentuk shahifah.
Pada abad ke dua atas perintah
Kahlifah Umar bin Abdul al-Azis kepada Abu bakar bin Muhamad ibn Amr ibn Hazm
dan Muhamad bin Shihab Az-Zuhri dilakukan pembukuan hadis (tadwin) dan
dilanjutkan usaha-usaha penyeleksian hadis-hadis yang shahih saja.
Pada periode berikutnya (ulama’
mutaakhirin) dilakukan penyusunan, klasifikasi serta pembukuan
hadis-hadis yang diupayakan agar hadis bisa dengan mudah di gunakan oleh
masyarakat muslim seluruh dunia.
Faktor yang mempengaruhi pembukuan
hadis yang dilakukan para sahabat, tabi’in, tabi’ at-tabi’in adalah semangat
dorongan dari Rasul saw. Sedangkan faktor kedua dipengaruhi oleh keadaan
politik perebutan kekuasaan, dengan membuat hadis-hadis palsu untuk mencari
pengaruh.
Adanya pembukuan hadits mempunyai
banyak implikasi-implikasi terhadap perkembangan pemahaman tentang ajaran Islam
umumnya, serta perkembangan hadits dan ulumul hadits itu sendiri khususnya.
a.
Implikasi
Praksis
Implikasi praksis dapat kami uraikan menjadi beberapa
bagian di bawah ini :
1)
Memudahkan
pencarian hukum – hukum syari’at mengingat hadits sebagai sumber hukum Islam
kedua setelah Al Qur’an. Berhukum dengan hadits Nabawi merupakan kebutuhan
agama yang sudah pasti. Dan dalam perkembangannya hadits – hadits tersebut
telah disusun atau dibukukan berdasarkan masailul fiqh. Seperti kitab – kitab
sunan dan lain -lain.
2)
Memudahkan
penilaian hadits karena sebagian hadits sudah diteliti secara mendalam oleh
peneliti sebelumnya.
3)
Terpeliharanya
kemurnian tradisi Nabi; Banyaknya berita-berita yang sampai ke hadapan kita
dengan mengatasnamakan Nabi, sering membuat kita ragu akan kebenaran berita
tersebut. Hanya dalam hadits (sunnah) Nabi, yang terwakili dengan hadits shahih,
kemurnian warisan Nabi Muhammad dapat terpelihara.
4)
Memungkinkan
adanya penulisan -penulisan buku hadits baru setelah penulisan kitab-kitab
terdahulu
b.
Implikasi
Teoritis
1)
Hadits
ahad dapat diterima
2)
Ilmu
hadits akan berkembang sejalan dengan semakin banyaknya tantangan yang dihadapi
oleh hadits
3)
Pintu
ijtihad semakin lebar dan pintu taklid semakin sempit.
Namun
tidak menutup kemungkinan adanya implikasi yang lain yang belum terinventarisir
dengan baik oleh penulis.
Wallahu A’lam Bisshawab ...
DAFTAR
PUSTAKA
Al-munawar,
Said agil. 2004. Al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki. Jakarta :
Ciputat Press.
Al-Rahman,
Fathur, Ihtisar Mustalah Hadis,
(Bandung, Al-Ma’arif) 1974.
Ash
Shiddieqy, M. Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis,
Cet. IV, (Semarang, Pustaka Riski Putra) 1999.
Azami,
Muhammad Musthafa., 1994. Hadits Nabawi
dan Sejarah Kodifikasinya (terjemahan Ali Mustafa Yaqub), Jakarta: Pustaka
Firdaus Kodifikasi Hadits: Sebuah Telaah Historis http://uin-suka.info/ejurnal
Powered by Joomla! Generated: 16 February, 2010, 16:01.
Hasan
ar-Rahmânî, Abdul Ghoffâr. 2007. Pengantar Sejarah Tadwîn (Pengumpulan) Hadîts
Sumber : http://www cl earpath com
Supatra
Munzier. 2006. Ilmu Hadits . Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada
Ulama
’i , A.Hasan Asy ’ari. Sejarah dan Tipologi Syarah Hadits .
Yuslem
Nawir. 2001. Ulumul Hadits. Jakarta : PT. Mutiara sumber Widyia
Zuhri, Muh., Hadis
Nabi Telaah Historis dan Metodologis, (Yogyakarta, Tiara Wacana)
1997.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar