Secara pasti saya tidak tahu kapan
kata galau ini menjadi trend di ranah publik negeri ini, siapa yang pertama
kali memulai dan dimanapun itu saya tidak tahu. Hanya saja, kata galau ini
sebelum se-pupuler sekarang jarang digunakan dalam percakapan sehari-hari
bahkan saya jarang sekali menemukan kata-kata galau dari ebrbagai bahan bacaan,
baik fiksi ataupun non fiksi. Dan sekarang kata ini menjadi virus yang
menjangkit ke setiap orang yang ada di Indonesia, mungkin saya salah satunya.
Heu ...
Kenapa saya terjangkit, ya buktinya
saya menulis catatan ini karena galau tengah tren dan memaksa saya menulis
tentang galau ini.
Apa sih Galau ???
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
galau memiliki 2 (dua) arti, yaitu; pertama,
galau diartikan sebagai suatu kondisi tidak menentu yang dirasakan oleh
seseorang, baik itu kondisi secara fisik dan lebih tepatnya lagi adalah kondisi
psikis. Sedangkan arti galau yang kedua,
galau diartikan sebagai suatu keadaan bising atau ribut.
Nah lho, setelah tahu galau secara
definisi itu apa, maka dapat diambil kesimpulan bahwa galau yang sekarang
sedang mewabah di Indonesia ini adalah galau dalam arti pertama. Dimana galau
bisa disamakan juga dengan perasaan gelisah, resah, mata menatap kosong, bibir
mengucapkan kata yang tak dimengerti, ingin selalu menyendiri di kamar atau
tempat yang sepi, ada perasaan tidak senang ketika melihat yang lain bahagia,
ada cemburu yang yang terbit dan tak bertuan, ada kepiluan yang menyayat hati, ada gumpalan
amarah yang bersemanyam dalam jiwa, namun tetap tak berbuat apa-apa, dan ada banyak
lagi kondisi-kondisi yang mewakili tingkah galau ini.
Mungkin kita -masyarakat Indonesia-
‘sepakat’ bahwa kita adalah masyarakat yang latah. Media elektronik yang
berkembang pesat menjadi sarana empuk menebar kelatahan itu dan semakin
menggila kelatahan yang dialami masyarakat kita. Bayangkan, ketika Ponsel
Pintar Black Berry yang harganya relatif mahal untuk kalangan masyarakat
Indonesia ternyata malah banyak yang membelinya. Atau contoh yang gratis
adalah, ketika ada media jejaring sosil seperti facebook atau twitter,
ramai-ramai orang Indonesia memilikinya. Ini adalah fakta bahwa masyarakat
Indonesia menyepakati bahwa mereka adalah masyarakat yang latah. Dan latah ini
menjadi indikasi terhadap gengsi dan pergaulan. Jika tidak sepakat, terserah
anda. Saya hanya mengabarkan dan anda yang memutuskan, he ...
Kok jadi ngomongin latah, apa hubungannya
? ya, karena budaya latah inilah kata galau menyebar dan mengakar dikalangan
kita, teruatama anak muda. Dikit-dikit bilang galau, ketik sms lagi galau,
update status sedang galau, BBM-an ngomongin galau, ah poko na mah semuanya tentang galau. Dan sayapun, gara-gara ‘si
galau’ ini, akhirnya ‘dipaksa’ untuk menulis catatan ringan ini yang judulnya
juga ada ‘galau’nya. Jadi, saya pun merasa tidak afdol kalau tidak menulis
tentang galau.
Galau adalah Fitrah
Adalah ‘Aisyah r.a. sang istri
jelita baginda Nabi Saw., seorang yang mempesona, cerdas, enerjik, licah, manja
dan imut-imut dan juga sebagai ummul mukminin, pernah suatu ketika membanting
pinggan yang berisi hais lezat buatan
shafiyyah tepat disaat para tamu mengulurkan tangan untuk mkengambilnya. Lalu
sang Nabi hanya tersenyum di depan belalak para tamu seraya meminta maaf.
Inilah kegalauan yang ditampilkan oleh Istri baginda Nabi yang mulia.
Kegalauan berkecamuk pun pernah
dialami oleh oleg Sayyidni Ali bin Abi Thalib, ia mencintai Fatmah binti
Muhammad Rasulullah Saw. Yang telah memesonakan dirinya, kegalauan itu bermula
ketika ada seseorang yang akan melamarnya, tak lain adalah lelaki itu adalah
Abu Bakar As-shidiq. Seorang sahabat setia Nabi dan rela mengorbankan seluruh
hartanya untuk Islam, namun ternyata lamaranya ditolak. Kemudian terbitlah harapan
bagi Ali untuk mempersiapkan diri kembali.
Namun, kegalauan itupun belum usai
melanda, karena seseorang pun hendak datang melamar fathimah kepada baginda
Nabi, lelaki kedua itu adalah Umar al-Faruq, lelaki gagah berani, sang pembeda
yang haq dan bathil, dan karenanya umat Islam berdiri dengan tegak dihadapan
para musuh. Hampir putus asa saja Ali r.a., namun tak disangka, lamaran Umar
pun ditolak oleh Nabi.
Ali bertanya dalam hati, menantu
seperti apakah yang didambakan Nabi untuk puteri tercintanya itu ? “Mengapa bukan engkau yang mencoba untuk
melamarnya ?” tanya para shahabat Anshar kepadanya. “Aku ?” jawab Ali dengan ragu. “ya,
engkau wahai saudaraku. Aku punya firasat bahwa Nabi akan menerimamu.” Ungkap
para shahabat “Aku hanya pemuda miskin,
apa yang bisa kuandalkan ?” jawab Ali. “Kami
dibelakangmu kawan, semoga Allah menolongmu”
Akhirnya ‘Ali pun menghadap Nabi
dengan penuh keberanian, dan ia meyakinkan dirinya dengan berkata “Engkau
adalah lelaki sejati wahai ‘Ali’, kemudian ia menyampaikan niatnya untuk
menikahi Fathimah. Gayungpun bersambut, Nabi menjawab kegalauan ‘Ali dengan
ucapan “Ahlan wasahlan ...” ungkapan
penerimaan penuh dengan sanjungan dan mengakhiri kegalauan Ali ra. Sang Pejuang
Cinta Sejati, yang mampu menghalau segala galau dengan sabar yang menyemikan
dada. Subhanallah ...
Dari kisah diatas membuktikan bahwa
galau adalah fitrah, ia dapat hinggap kepada siapa saja. Tak memilih gadis
shalihah dan pemuda cerdas, tak memilih kaum kaya atau papa, dan semua orang
pernah merasakan kegalauan ini. Dan berbahagialah bagi yang memiliki rasa
galau, karena galau dapat membuncahkan harapan ketika kita dipersimpangan.
Menyikapi Rasa Galau
“... Sesungguhnya Allah tidak mengubah apa-apa yang ada pada suatu kaum
sehingga mereka mengubah apa-apa yang ada pada jiwa mereka ...” (Q.S. Ar-Ra’d [13]: 11)
Namun, harus kita sadari, bahwa
galau bukanlah untuk kegalauan itu sendiri. Kegalauan adalah letupan emosi dan
gairah yang harusnya kita hijrahkan kepada ketenangan jiwa dan menyiasatinya
dengan kebijakan berpikir dan kedewasaan bertindak.
Jelas
sekali, kita tahu bahwa ikan-ikan yang ada dilautan tak asin meski disekitarnya
bahkan ia menghirup air yang asin, namun ia sendiri tak asin bukan ? mengapa
demikian? Karena ia hidup. Ya, ia tak menjadi asin hanya karena tinggal di air
asin, tetapi ia akan menjadi asin ketika ia mati. Begitupun kita, jika hati dan
pikiran kita hidup, maka kegalauan yang ada dan menimpa diri sesungguhnya diri
kita sendirilah yang bisa mengatasinya. Meskipun disekitar kita sangat buruk
dan sangat memungkinkan untuk memperburuk kegalau kita, maka ambil alih diri
kita dan hidupkan kembali hati dan pikiran kita.
Seburuk
apapun yang terjadi diluar diri kita, lingkungan, teman kerja, atau dimanapun
itu sebenarnya mereka adalah ladang bagi kita, apakah kita hanya akan
menggerutu pada lading yang tandus ataukah kita akan menjadikan ladang itu
subur. Lingkungan buruk mungkin akan berakibat buruk tapi jiwa yang hidup tak
akan tekontaminasi oleh keadaan yang sangat buruk.
So,
curhatlah pada-Nya. Jika kita dalam keadaan krisis, maka Dia Maha Mendengar dan
Maha Memahami setiap keluh kesah kita, setiap galau yang dirasa dan setiap
keresahan yang menyiksa. Allah Maha Lembut, dan Dia akan melembutkan hati kita,
Allah Maha Gagah dan Dia akan memberikan kekuatan pada kita. Jika orang-orang
disekitar kita tak mau dan tak mampu menahan beban yang begitu besar dipundak
kita, maka Dialah Allah yang akan menunjukan kita jalan yang mudan dan ringan
sehingga terbebas dari segala beban, penderitan dan kegalauan kita.
Wallahu
A’lam …
Tidak ada komentar:
Posting Komentar