‘Pahlawan
Perang Uhud’
“Di antara orang-orang Mu’min itu terdapat
sejumlah laki-laki yang memenuhi janji-janji mereka terhadap Allah. Di antara
mereka ada yang memberikan nyawanya, sebagian yang lain
sedang menunggu gilirannya. Dan tak pernah mereka
merubah pendiriannya sedikit pun juga.”
Setelah Rasulullah saw. membacakan ayat yang
mulia ini, beliau menatap wajah para shahabatnya sambil menunjuk kepadaThalhah
sabdanya:
“Siapa yang suka melihat seorang laki-laki
yang masih berjalan di muka bumi, padahal ia telah memberikan nyawanya,
maka hendaklah ia memandang Thalhah.
Tak ada satu kegembiraan yang paling
didambakan oleh shahabat Rasul, di mana hati mereka terbang merindukannya,
melebihi kedudukan seperti yang disandangkan Rasul kepada Thalhah bin
Ubaiaillah ini! Karena itu, tidak heran bila Thalhah hatinya tenteram mendengar
akhir hayatnya serta kesudahan nasibnya dalam hidup ini.
Ia akan hidup dan mati dan termasuk
salah seorang dari mereka yang menepati benar apa, yang telah mereka janjikan
kepada Allah, dan ia tak terkena fitnah dan tidak mendapat kesukaran. la telah
digembirakan Rasul akan beroleh surga. Nah, bagaimanakah riwayat kehidupannya,
orang yang telah diramalkan akan berbahagia itu.
Dalam perjalanannya berniaga ke kota Bashra,
Thalhah sempat berjumpa dengan seorang pendeta yang amat baik. Di waktu itu
sang pendeta memberi tahu padanya, bahwa Nabi yang akan muncul di tanah Haram,
sebagaimana telah diramalkan oleh para Nabi yang shaleh, masanya telah datang
menampakkan diri. Diperingatkannya Thalhah agar tidak ketinggalan menyertai
kafilah kerasulan itu, yaitu kafilah pembawa petunjuk rahmat dan pembebasaan.
Dan sewaktu Thalhah tiba kembali di negerinya
Mekah sesudah berbulan-bulan dihabiskannya di Bashra dan dalam perjalanan, ia
menangkap bisik-bisik penduduk dan mendengar percakapan tentang “Muhammad
al-Amin” dan tentang wahyu yang datang kepadanya begitu pun tentang kerasulan
yang dibawanya kepada seluruh ummat manusia.
Orang yang mula-mula ditanyakan Thalhah ialah
Abu Bakar.
Maka diketahuinyalah bahwa ia baru saja
pulang dengan kafilah beserta barang perniagaannya, dan bahwa ia berdiri di
samping Muhammad saw. selaku Mu’min, sebagai pembela yang menyerahkan dirinya
kepada Tuhan.
Thalhah berbicara kepada dirinya sendiri:
‘Muhammad saw. dan Abu Bakar? Demi Allah, tak mungkin kedua orang ini akan
bersekongkol dalam kesesatan kapan pun!”
Muhammad saw. telah mencapai usia 40 tahun.
Kita belum pernah mengenal kebohongannya sekalipun dalam jangka usianya yang
sekian lama itu. Apakah mungkin ia berdusta hari ini terhadap Allah, lalu
mengatakan bahwa Tuhan telah mengutusnya dan mengirimkan wahyu kepadanya.
Suatu hal yang tidak masuk akal.
Thalhah mempercepat langkahnya menuju rumah
Abu Bakar. Tak berlangsung lama pembicaraan di antara keduanya, maka rindunya
hendak menemui Rasulullah saw. dan hasratnya hendak berjanji setia kepadanya
serasa semakin cepat dari debar jantungnya sendiri. Ia ditemani Abu Bakar
pergi kepada Rasulullah saw. di mana ia menyatakan keislamannya dan mengambil
tempat dalam kafilah yang diberkati ini.
dari angkatan pertama. Begitulah Thalhah termasuk orang yang memeluk Islam pada
angkatan terdahulu
Sekalipun ia orang yang terpandang dalam
kaumnya, dan seorang hartawan besar dengan perniagaannya yang selalu meningkat,
namun ia tidak luput menderitakan penganiayaan dari orang-orang Quraisy karena
Islam. Untunglah ia dan Abu Bakar mendapat perlindungan dari Naufal bin
Khuwailia, si Singa Quraisy paman Khadijah istri Rasul. Sehingga penganiayaan
terhadap keduanya tidak berlangsung lama, karena orang-orang musyrik Quraisy
merasa Segan kepadanya serta takut pula akan akibat perbuatan mereka.
Thalhah hijrah ke Madinah sewaktu orang-orang
Islam diperintahkan hijrah. Kemudian ia selalu menyaksikan semua peperangan
bersama Rasulullah saw. kecuali perang Badar, karena waktu itu, Rasul
mengutusnya bersama Sa’ia bin Zaia untuk suatu keperluan penting keluar kota
Madinah.
Sewaktu keduanya telah menyelesaikan tugas
mereka dengan baik, dan kembali ke Madinah, kebetulan Nabi dengan para
shahabatnya yang lain sedang kembali pula dari perang Badar. Alangkah sedih dan
perih perasaan keduanya kehilangan pahala karena tidak menyertai Rasulullah
saw. berjihad dalam peperangan yang pertama itu.
Tetapi Rasul telah menenteramkan hati mereka
hingga tenang dan mantap dengan memberitahukan bahwa mereka tetap memperoleh
pahala dan ganjaran yang sama seperti orang-orang yang berperang. Bahkan Rasul
membagikan rampasan perang kepada keduanya tidak kurang dari yang didapat oleh
mereka yang menyertainya.
Sekarang datanglah masa perang Uhud yang akan
memperlihatkan segala kebengisan dan kekejaman Quraisy, yang tampil hendak
membalas dendam atas kekalahannya di perang Badar dan untuk mengamankan tujuan
terakhirnya dengan menimpakan kekalahan yang menentukan atas Muslimin yang
menurut. perkiraan mereka suatu soal mudah dan pasti dapat terlaksana.
Peperangan dahsyat pun berlangsunglah dan
korban-korban yang berjatuhan segera menutupi muka bumi,
serta kekalahan tampak berada di fihak kaum musyrikin. Kemudian sewaktu Kaum
Muslimin melihat musuh mengundurkan diri, mereka sama meletakkan senjata, dan
para pemanah turun meninggalkan kedudukan mereka, pergi memperebutkan harta
rampasan.
Tiba-tiba sewaktu mereka lengah pasukan
Quraisy menyerang kembali dari belakang hingga berhasil merebut prakarsa dan
menguasai kendali pertempuran.
Sekarang peperangan mulai berkecamuk lagi
dengan segala kekejaman dan kedahsyatannya. Serangan mendadak yang tiba-tiba
itu, rupanya telah mengkucar-kacirkan barisan Kaum Muslimin. Thalhah
memperhatikan daerah peperangan tempat Rasulullah saw. berdiri.
Dilihatnya Rasulullah menjadi sasaran empuk
serbuan pasukan penyembah berhala dan musyrik, maka ia pun dengan cepat segera
ke arah Rasul. Thalhah r.a. terus maju menebas jalan yang walaupun pendek
tetapi terasa panjang. setiap jengkal jalan dihadang puluhan pedang yang
bersilang dan tombak-tombak yang mencari mangsanya.
Dari jauh dilihatnya Rasulullah saw.
bercucuran darah dari pipinya, sedang beliau menahan kesakitan yang amat
sangat. Ia naik pitam dan berang, lalu diambilnya jalan pintas, dengan satu
atau dua lompatan dahsyat dari kudanya, dan benarlah di hadapan Rasul sekarang
ia menemukan apa yang ditakutinya. pedang-pedang musyrikin menyambar-nyambar ke
arah Rasul, mengepung dan hendak membinasakannya.
Bagaikan satu peleton tentara jua, Thalhah
berdiri kukuh, dan mengayunkan pedangnya yang ampuh ke kiri dan ke kanan. Ia
dapat melihat darah Rasul yang mulia menetes dan mendengar rintihan
kesakitannya. Maka diraihnya Nabi dengan tangan kiri dari lobang tempat kakinya
terperosok. Sambil memapah Rasul yang mulia dengan dekapan tangan kiri ke
dadanya, ia mengundurkan diri ke tempat yang aman, sementara tangan kanannya,
Allah memberkati tangan kanannya mengayun-ayunkan pedangnya bagaikan
kilat menusuk dan menyabet orang-orang musyrik yang hendak mengerumuni Rasul
bagaikan belalang memenuhi medan pertempuran.
Marilah kita dengarkan Abu Bakar Shiadiq r.a.
menggambarkan keadaan medan tempur kala itu: Kata Aisyah:
Bila disebutkan perang Uhud, maka Abu Bakar
selalu berkata: “Itu semuanya adalah hari Thalhah. Aku adalah orang yang
mula-mula mendapatkan Nabi saw., maka berkatalah Rasul kepadaku dan kepada Abu
Ubaidah ibnul Jarrah: “Tolonglah saudaramu itu (Thalhah)!” Kami lalu menengoknya,
dan ternyata pada sekujur tubuhnya terdapat lebih dari tujuh puluh luka berupa
tusukan tombak, sobekan pedang dan tancapan panah, dan ternyata pula anak
jarinya putus, maka kami segera merawatnya dengan baik”.
Di semua medan tempur dan peperangan Thalhah
selalu berada di barisan terdepan mencari keridaan Allah dan membela bendera
Rasulnya. Thalhah hidup di tengah-tengah jama’ah Muslimin, mengabdi kepada
Allah bersama mereka yang beribadat, dan berjihad pada jalan-Nye bersama
mujahidin yang lain. Dengan tangannya dikukuhkanlah bersama kawan-kawan yang
lain tiang-tiang Agama yang baru ini, Agama yang akan mengeluarkan manusia dari
kegelapan kepada cahaya yang terang benderang.
Dan Bila ia telah melaksanakan haq Tuhannya,
ia pergi berusaha di muka bumi, mencari keridaan Allah, dengan mengembangkan
perniagaannya yang memberi laba, dan usaha-usaha lain yang membawa hasil.
Thalhah r.a. adalah seorang Muslim yang terbanyak hartanya dan paling
berkembang kekayaannya. Semua harta bendanya dipergunakannya untuk berkhidmat
kepada Agama Islam, yang benderanya dipanggulnya, bersama Rasulullah saw.
Dinafqahkannya hartanya tanpa batas, dan
oleh sebab itu pula Allah menambahkan untuknya secara tak berhingga pula.
Rasulullah saw. memberinya gelar “Thalhah si
Baik Hati atau “Thalhah si Pemurah” dan “Thalhah si Dermawan”, sebagai pujian
atas kedermawanannya yang melimpah-limpah. Dan setiap kali ia mengeluarkan
hartanya sebegitu banyak, maka ternyata
Allah yang Maha Pemurah menggantinya berlipat ganda.
Istrinya Su’da bin Auf menceriterakan kepada
kita, katanya: “Suatu hari saya menemukan Thalhah berdukacita, saya bertanya
kepadanya: “Ada apa dengan kanda … ?”
Maka jawabnya: “Soal harta yang ada padaku
ini semakin banyak juga, hingga menyusahkanku dan menyempitkanku” Kataku:
“Tidak jadi soal, bagi-bagikan saja” Ia lalu berdiri memanggil orang banyak,
kemudian membagi-bagikannya kepada mereka, hingga tidak ada yang tinggal lagi walau satu dirham pun.
Di suatu saat setelah ia menjual sebidang
tanah dengan harga yang tinggi, maka dilihatnya tumpukan harta, lalumengalirlah
air matanya, kemudian katanya: “Sungguh, Bila seseorang dibebani harta
yang begini banyaknya dan tidak tahu apa yang akan terjadi, pasti akan
mengganggu ketenteraman ibadah kepada Allah” Kemudian dipanggilnya sebagian
shahabatnya dan bersama-sama mereka membawa hartanya itu berkeliling melalui
jalan-jalan kota Madinah dan rumah-rumahnya sambil membagi-bagikannya sampai
Siang sehingga tak ada pula yang tinggal lagi walau satu dirhampun.
Jabir bin Abdullah menggambarkan pula
kepemurahan Thalhah dengan berkata: “Tak pernah aku melihat seseorang yang
lebih dermawan dengan memberikan hartanya yang banyak tanpa diminta lebih dulu,
daripada Thalhah bin Ubaidillah” Ia adalah seorang yang paling banyak berbuat baik
kepada keluarga dan kaum kerabatnya; ditanggungnya nafqah mereka semua
sekalipun demikian banyaknya. Mengenai itu dikatakan orang tentang dirinya:
“Tak seorang pun dari Bani Taira yang mempunyai tanggungan, melainkan
dicukupinya perbelanjaan keluarganya. Dinikahkannya anak-anak yatim mereka,
diberinya pekerjaan keluarga mereka dan dilunasinya hutang-hutang mereka.
As-Sa’ib bin Zaia, lain pula ceriteranya
tentang Thalhah: “Aku telah menemui Thalhah baik dalam perjalanan maupun waktu
menetap, maka tak pernah kujumpai seseorang yang lebih merata kepemurahannya,
baik mengenai uang atau makanan daripada Thalhah”
Timbul fitnah yang terkanal dalam masa
Khilafat Utsman r.a. Thalhah menyokong alasan mereka yang menentang Utsman dan
membenarkan sebagian besar tuntutan mereka mengenai perubahan dan perbaikan.
Tetapi dengan pendirian itu, apakah ia mengajak orang membunuh Utsman atau ia
merestuinya? Oh, seandainya ia tahu bahwa fitnah itu akan berlarut-larut dan
membawa kepada permusuhan dan saling menuduh serta menimbulkan dendam kebencian
yang menyala-nyala hingga akhirnya jatuh qurban menemui ajalnya “Dzun Nurain”
Utsman bin ‘Affan dalam peristiwa berdarah dan kejam itu.
Kita katakan: “Seandainya ia mengetahui bahwa
fitnah itu akan berakhir dengan pembunuhan seperti itu, pastilah ia akan
menentangnya bersama shahabat-shahabat yang mula-mula menyokong, karena
anggapan dan dugaan bahwa gerakan itu hanyalah sebagai gerakan perbaikan dan
peringatan semata tidak lebih”
Maka pendirian Thalhah ini berubah menjadi
kemelut hidupnya, yakni sesudah terjadinya cara kekerasan dan kekejaman di
mana Utsman dikepung lalu dibunuh orang.
Tak lama setelah Imam Ali menerima bai’at
dari Kaum Muslimin di Madinah di antaranya Thalhah dan Zubair, keduanya telah
meminta izin pergi melaksanakan ‘umrah ke Mekah. Dari Mekah mereka menuju
Bashrah dan di sana telah berhimpun banyak kekuatan yang hendak menuntutkan
bela kematian Utsman.
“Waq’atul Jammal” atau peristiwa perang
Berunta adalah perang, di mana bertempur dua pasukan, yang satu menuntut bela
atas terbunuhnya Utsman dan yang lain pasukan pemerintah di bawah Khalifah Ali.
Adapun Imam Ali dalam memikirkan situasi
sulit yang sedang melanda Agama Islam dan Kaum Muslimin, timbullah murung
hatinya, melelehlah air matanya, dan terdengar isak tangianya.
Ia telah dipaksa untuk bertindak keras. Dalam
kedudukannya selaku Khalifah Muslimin, tak ada jalan lain, dan tidak sepantasnya
ia bersikap lunak terhadap pembangkangan atas pemerintahan, atau terhadap
setiap pemberontakan bersenjata melawan Khalifah yang telah dikukuhkah
syari’at.
Di kala ia bangkit untuk memadamkan
pemberontakan semacam ini, maka ia selalu mencari jalan untuk menghindarkan
tertumpahnya darah saudara-saudaranya, para shahabat dan teman-temannya, para
pengikut Rasul yang seagama, yaitu mereka yang semenjak lama telah berperang
bersamanya melawan tentara syirik, menerjuni pertempuran bahu-membahu di bawah
bendera tauhid yang mempersatukan mereka sebagai satu keluarga, bahkan
menjadikan mereka sebagai saudara kandung yang saling membela.
Bencana apakah ini ? Dan ujian sulit apa lagi
yang lebih dari itu ? Dalam mencari jalan ke luar dari bencana ini, dan untuk
menjaga jangan sampai tertumpah darahnya Muslimin, Imam Ali selalu
mempergunakan setiap cara yang dapat dipakai dan harapan yang dapat diandalkan.
Tetapi orang-orang yang dahulu pernah menjadi intrik-intrik Romawi dan
kekaisaran Persi yang dahulu telah menemui kehancurannya di saat kejayaan Islam
di bawah Khalifah Utsman nan bijaksana, dengan sikap munafik telah menyebar
luaskan fitnah dan hasutan, maka kekalutan tambah menjadi-jadi.
Ali menangis mengucurkan air mata sewaktu ia
melihat Ummul Mu’minin Aisyiah dalam sekedup untanya, bertindak mengepalai
balatentara yang hendak memeranginya. Dan ketika dilihatnya pula Thalhah dan Zubair,
pembela-pembela Rasulullah itu berada di tengah-tengah pasukan, Ali lalu
memanggil Thalhah dan Zubair agar keduanya muncul menghadapnya; keduanya pun
tampillah hingga leher kuda-kuda mereka bersentuhan, Ali berkata kepada
Thalhah: “Hai Thalhah, pantaslah engkau membawa-membawa istri Rasulullah untuk
berperang, sedangkan istrimu sendiri kau tinggalkan di rumah’ Kemudian katanya
kepada Zubair: “Hai Zubair, aku minta kau jawab karena Allah! Tidakkah engkau
ingat, di suatu hari Rasulullah lewat di hadapanmu sedang ketika itu kita
sedang berada di tempat Anu. Beliau berkata kepadamu: “Wahai Zubair, tidakkah
engkau cinta kepada Ali. . . !’ Maka jawabmu: “Masa kan aku tidak akan cinta
kepada saudara sepupuku, anak bibi dan anak pamanku, serta orang yang satu
Agama denganku’ Waktu itu beliau berkata lagi: “Hai Zubair demi Allah, bila
engkau memeranginya, jelas engkau berlaku dhalim kepadanya” Waktu itu
berkatalah Zubair r.a.: -“Yah,
sekarang aku ingat, hampir aku melupakannya! Demi Allah aku tak akan memerangimu.”
Thalhah dan Zubair menarik diri dari perang
saudara ini
. Mereka menghentikan perlawanan, segera
setelah mengetahui duduk persoalan, dan demi melihat Ammar bin Yasir berperang
di fihak Ali. Mereka teringat akan sabda Rasulullah saw. kepada Ammar: “Yang
akan membunuhmu ialah golongan orang durhaka”Seandainya Ammar
terbunuh dalam peperangan yang disertai Thalhah ini, tentulah ia termasuk
golongan orang yang durhaka.
Thalhah dan Zubair mengundurkan diri dari
peperangan, dan mereka terpaksa membayar harga pengunduran itu dengan nyawa
mereka. Tetapi mereka beruntung dapat menemui Allah mereka dengan hati yang
senang dan tenteram, disebabkan karunia yang telah dilimpahkan-Nya kepada
mereka, berupa petunjuk dan fikiran yang benar.
Adapun Zubair ia telah diikuti seorang
laki-laki bernama Amru bin Jarmuz yang membunuhnya di kala ia sedang lengah,
yakni sewaktu ia sedang bershalat. Dan
mengenai Thalhah, ia dipanah oleh Marwan bin Hakam yang menghabisi hayatnya.
Peristiwa terbunuhnya Utsman telah mendatangkan
keresahan pada jiwa Thalhah, hingga sebagaimana telah kami katakan dahulu
menyebabkan kemelut hidupnya. Padahal, ia tidaklah ikut dalam pembunuhan, tidak ‘pula menghasut orang untuk
membunuhnya, ia hanya membela orang yang menentang Utsman, di waktu belum ada
tanda-tanda bahwa penentangan itu akan berlanjut dan berlarut-larut hingga
berubah menjadi kejahatan atau tindak pidana yang kejam.
Dan sewaktu ia ikut mengambil bagian dalam
perang Jamal bersama pasukan yang menentang Ali bin Abi Thalib menuntut bela
kematian Utsman, maka tujuannya dengan tindakan itu, ialah untuk menebus dosa
yang akan membebaskannya dari tekanan bathinnya.
Sebelum memulai pertempuran, dengan suara
yang tersekat oleh air mata, ia berdu’a dan merendahkan diri, katanya: “Ya Allah
ambillah sekarang balasan kesalahanku terhadap Utsman hingga Engkau ridha
kepadaku”. Maka tatkala ia ditemui Ali seperti yang
telah kita ceriterakan, kata-kata Ali telah menerangi hatinya, sehingga
bersama Zubair mereka melihat kebenaran lalu meninggalkan medan perang.
Tetapi mati sebagai syahid telah disediakan
untuk mereka ber dua! Benar.
Mati syahid adalah hak Thalhah yang dikejarnya dan mengejar dirinya, di mana
pun ia berada, karena bukanlah Rasulullah telah bersabda
tentang hal ini: “Inilah dia orang yang akan mengurbankan nyawanya! Siapa yang
ingin menyaksikan seorang syahid yang berjalan di muka bumi, maka lihatlah
Thalhah … !”
Karena itulah ia menemukan syahid, tempat
kembalinya yang agung dan yang telah ditentukan, dan dengan demikian berakhir
pula perang Jamal. Ummul Mu’minin Aisyiah menyadari bahwa ia telah tergesa-gesa
dalam menghadapi persoalan itu, karena itu ditinggalkannya Bashrah menuju
Baitul Haram dan terns ke Madinah, tak hendak campur tangan lagi dalam
pertarungan itu. la dibekali oleh Imam Ali dalam perjalanannya dengan segala
perbekalan dan diiringi penghormatan.
Sewaktu Ali meninjau orang-orang yang gugur
sebagai syuhada di medan tempur, semua mereka dishalatkannya, baik yang
bertempur di fihaknya maupun yang menentangnya. Dan tatkala selesai memakamkan
Thalhah dan Zubair, ia berdiri melepas keduanya dengan kata-kata indah dan
mulia, yang disudahinya dengan kalimat-kalimat berikut ini:
“Sesungguhnya aku amat mengharapkan agar aku
bersama Thalhah dan Zubair dan Utsman, termasuk di antara orangorang yang
difirmankan Allah:
“Dan Kami cabut apa yang bersarang dalam dada
mereka dari
kebencian sebagai layaknya orang bersaudara, dan di atas
pelaminan mereka bercengkerama berhadap-hadapan…” (Q.S al-Hijr[15]: 47)
Kemudian disapunya makam mereka dengan
pandangan kasih sayang, yang keluar dari hati bersih dan penuh belas kasih,
seraya katanya:
“Kedua telingaku ini telah mendengar sendiri
sabda Rasulullah saw. Thalhah dan Zubair menjadi tetanggaku dalam surga…”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar