Oleh: Syamsudin Kadir
Kedangkalan JIL
Beberapa tahun terakhir, Dunia
Islam—terutama Indonesia—mendapatkan suguhan berbagai pemikiran yang cendrung
destruktif bahkan sangat nyeleneh. Hal ini dilakukan oleh mereka yang suka
mengidentivikasi diri sebagai kaum liberal, penegak HAM, pembela kebebasan
beragama, penganut kebebasan akal dan lain-lain. Secara umum dalam lingkup
sosial mereka suka menamai diri sebagai aktivis Jaringan Islam Liberal
(JIL)—yang sebetulnya menurut seorang teman saya lebih layak disebut sebagai
Jaringan ‘Ingusan’
Liberal. Entahlah, siapa dan apapun yang menjadi label mereka, jika bertentangan
dengan prinsp-prinsip dasar dan otentik, maka perlu dihadapi secara serius.
Di antara gagasan kontroversial yang
sering mereka suarakan adalah (1) kejumudan pemikiran Imam Syafi’i. Mereka
mengatakan bahwa sumber kedangkalan pemikiran umat Islam adalah metodologi dan
pemikiran Syafi’i. Karena itu metodologi dan pemikiran-pemikirannya perlu
didaur ulang bahkan umat Islam perlu mencari format baru.
Secara sepintas ada benarnya, namun di
balik itu semua terdapat subhat pemikiran yang sangat fatal. Mengapa? Karena
dengan menggugat metodologi dan berbagai pemikiran Syafi’i dalam konteks ushul
fiqih dan fiqih, misalnya, akan menjadi peluang terbuka bagi mereka untuk
membongkar dan mendekonstruksi seluruh aspek-aspek hukum dalam Islam seperti
kewajiban berjilbab (menutup aurat), pembagian warisan, nikah sejenis, nikah
beda agama, menggugat keabsahan teks al-Qur’an dan lain-lain.
(2) Semua agama sama. Mereka
membolak-balikan makna teks maupun substansi ayat-ayat al-Qur’an, tanpa
sedikitpun menjadikan penjelasan atau penafsiran para ulama yang ahli di
bidangnya sebagai rujukan atau penguat argumentasi. Mereka bilang, bukan Islam
saja yang layak dijadikan agama. Karena itu, mengikuti keyakinan agama lain
adalah sesuatu yang sangat wajar, sebab semuanya menuju Tuhan yang sama. Dengan
cara seperti ini mereka secara langsung menolak berbagai konsep dasar dalam
Islam seperti konsep ketuhanan, konsep kenabian, konsep ibadah dan berbagai
konsep terkait. Mengapa? Perlu dipahami bahwa menolak keberadaan syari’at
seperti cara beribadah kepada Allah berarti menolak konsep ketuhanan sekaligus
konsep kenabian dalam Islam.
Dan tentu saja masih banyak hal yang
sering mereka ungkap di berbagai forum maupun melalui berbagai publikasi yang
konon disebut karya ilmiah—padahal sangat jauh dari standar ilmiah. Alih-alih
mau membuka jalan tajdid
dalam pemikiran Islam, mereka justru memiliki takaran jumud yang sangat akut.
Mereka mengklaim diri modernis, namun cara mereka berpikir selalu menggunakan
cara berpikir kaum jumud dalam sejarah peradaban manusia. Saya bahkan
berkeyakinan bahwa pemikiran mereka yang mengklaim modernis dan menolak
berbagai karya pemikiran ulama klasik adalah orang-orang jumud dan jauh dari
nalar keilmuan yang sistematis. Mereka tidak bisa dikategorikan sebagai pemikir
pembaharu, apalagi disamakan dengan al-Afgan, al-Maududi, Natsir, al-Banna dan
lain-lain, itu sangat jauh. Alih-alih menjadi pembaharu dalam Islam, mereka
lebih tepat dikategorikan sebagai perusak pemikiran Islam. Maaf, saya tidak
memiliki kosa kata yang halus untuk menamai mereka, termasuk dalam melawan
berbagai wacana mereka selama ini. Mudah-mudahan aktivis KAMMI atau siapapun
yang membaca tulisan ini mau dan siap meluruskan atau mengingatkan saya jika
saya terlalu frontal atau emosional.
Meluruskan Kedangkalan JIL
Entahlah, sebagai manusia biasa yang
kini masih aktif di KAMMI Pusat, tepatnya Bidang Pembinaan Kader (BPK), saya
merasa terpanggil untuk berbicara. Apalagi dulu saya sempat belajar di
pesantren selama 8 tahun kemudian kuliah di Universitas Islam. Saya menganggap
keterpanggilan ini sebagai upaya memperteguh keyakinan dan merealiasikan
pemahaman keislaman yang saya pelajari dan pahami selama ini, baik dari
pesantren, kampus maupun madrasah tarbawi yang saya ikuti. Sungguh
terlalu naïf jika saya tidak bersedia menyampaikan pendapat mengenai
fenomena-fenomena tersebut.
Begini. Saya memahami Islam sebagai
din yang sempurna dan menyeluruh; mencakup seluruh kehidupan manusia, konsep
ketuhanan, konsep kenabian, konsep ibadah dan lain-lain. Ia memiliki konsep
yang kuat, tak terterjangi kemampuan dan akal manusia yang terbatas. Saya
meyakini itu tanpa meletakkan Islam pertama-tama sebagai sebuah “organisme”
yang hidup; dalam artian agama yang bisa diotak-atik oleh manusia seenaknya. Ia
memang selalu sesuai dengan zaman dan tempat, tapi bukan berarti Islam bisa
dirombak konsep dan prinsip-prinsipnya pada etalase ruang dan waktu secara
dangkal dan membabibuta. Kesesuaian Islam dengan ruang dan waktu yang
dimaksudkan adalah bahwa konsep, nilai-nilai dan pesan-pesan Islam tidak
mungkin bertabrakan dengan proses alamiyah dan perputaran sunatullah yang
berlaku di alam raya ini. Islam tidak seperti yang dipahami atau yang diyakini
oleh kaum liberal yang memahami : “Islam sebagai agama “abad 7 masehi”,
dan karenanya, Islam hanya berlaku untuk zaman itu. Selebihnya, Islam perlu
dikontekstualisasikan sesuai selera dan sesukanya. Dalam pengertian bahwa
hal-hal prinsip maupun cabang dalam Islam perlu dirombak atau menurut bahasa
mereka “digugat.” Kedangkalan pemikiran kaum liberal dalam memahami Islam,
dengan begitu, mereka memahami Islam sebagai patung. Sebagaimana galibnya,
patung bisa dipahat, dirubah bentuk dan segala macamnya sesuai selera pematung
atau pemahat patung. Karena Islam bukan patung, kecuali kaum liberal itu
sendiri, bahkan dalam hal tertentu mereka tak jauh beda dengan patung yang bisa
dipahat dalam bentuk yang variatif sesuai selera nara sumber mereka yang kaku
dan gila dari Barat.
Saya—semoga juga aktivis KAMMI yang
lain—melihat kecenderungan yang kuat dan jelas dari ide-ide mereka untuk
“memperkosa” Islam, bahkan akhir-akhir ini amat menonjol. Karena itu, saya
perlu mengatakan suatu hal : sudah saatnya suara lantang dikemukakan untuk
menghalangi atau membatasi berbagai kecenderungan liberalisme dan pluralisme
seperti ini. Kalau dibiarkan begitu saja, bisa jadi akan menjadi penyakit yang
menular ke seluruh keyakinan, pemikiran dan praktik keislaman kaum Muslim. Dan
itu sangat berbahaya, lebih berbahaya dari praktik terorisme.
Saya mengemukakan sejumlah pokok
pikiran di bawah ini sebagai usaha sederhana menyegarkan kembali pemikiran kaum
liberal atas Islam yang saya pandang cenderung merusak keyakinan umat Islam dan
konsep-konsep dasar dalam Islam. Nalar mereka terlalu naïf untuk dianggap
ilmiah dan rasional. Pemahaman dan pemikiran yang disuguhkan dengan cara
demikian sebetulnya amat berbahaya bagi kemajuan Islam bahkan tradisi ilmiah
itu sendiri.
Di antara jalan menuju kemajuan
berpikir yang lebih objektif dalam lingkup pemikiran kaum liberal adalah dengan
mempersoalkan cara mereka dalam menafsirkan agama ini. Untuk menuju ke arah
itu, aktivis KAMMI memerlukan beberapa hal. Mudah-mudahan kaum JIL, umat
berbagai agama dan secara khusus aktivis KAMMI bisa mengambil manfaat
penjelasan ini. Itu harapan saya. Selebihnya, saya hanya ingin mengatakan : ya
Allah, hamba sudah menyampaikan, semoga usaha ini Engkau ridhoi! Selanjutnya,
mari memulai!
Pertama, penafsiran Islam di atas dasar atau
landasan ilmu yang benar, bukan sesuai denyut nadi kaum liberal yang pragmatis.
Jadi, yang diperlukan adalah
penafsiran Islam yang utuh dan menyeluruh, bukan penyimpangan pemahaman ala
kaum liberal. Islam itu memiliki nilai-nilai yang universal, mencakup setiap
masa dan tempat. Apa yang dianggap haram oleh Islam pada masa lalu, maka
berlaku juga untuk saat ini. Begitu juga yang halal. Hal ini tidak dimaknai
bahwa Islam mesti dipahami berdasarkan selera budaya tertentu misalnya konteks
Arab, Melayu, Asia Tengah, dan seterusnya. Seperti kata kaum liberal:
“Aspek-aspek Islam yang merupakan cerminan kebudayaan Arab, misalnya, tidak
usah diikuti. Contoh, soal jilbab, potong tangan, qishash, rajam…. tidak wajib
diikuti, karena itu hanya ekspresi lokal partikular Islam di Arab. Yang harus
diikuti adalah nilai-nilai universal yang melandasi praktik-praktik itu. Jilbab
intinya adalah mengenakan pakaian yang memenuhi standar kepantasan umum (public
decency). Kepantasan umum tentu sifatnya fleksibel dan berkembang sesuai
perkembangan kebudayaan manusia. Begitu seterusnya.”
Kira-kira apa pendapat aktivis KAMMI
mendengar pernyataan seperti itu? Kalau saya, nalar seperti ini mencerminkan
kepicikan dan kedangkalan dalam menggunakan akal dan dalam memahami pesan-pesan
historis dan hukum dalam sejarah Islam. Apakah mereka menganggap pantas dan wajar
jika kebiasaan “telanjang” dalam satu geo (tempat) tertentu dipamerkan di geo
(tempat) yang berbeda? Lalu, standar kepantasan atau kewajarannya sistem apa
dan dari siapa? Hm kaum liberal, coba yang cerdas sedikit, kalau lapar
janganlah menjual agama. Atau begini saja, jika kalian menganggap itu satu
kepantasan, sekarang silahkan kalian tak mengenakan pakian alias telanjang
bulat saja, itu kan sesuatu yang biasa di berbagai Negara tempat tinggal
guru-guru kalian. Hayo, silahkan saja. Asal jangan memaksa umat Islam untuk
mengikuti langkah hidup kalian. Itu baru jujur dan disiplin dengan ide
kebebasan. Silahkan saja. Kalau tidak, ya bertaubatlah!
Kedua, umat Islam hendaknya memandang
dirinya sebagai “masyarakat” atau “umat” yang memiliki posisi strategis sebagai
umat terbaik, “bersyarat”. (Qs. Ali ‘Imran : 104, 110)
Dengan munculnya berbagai ide dangkal
kaum liberal justru mengingkari bahwa umat Islam memiliki peluang untuk menjadi
umat terbaik. Bahkan dengan serta merta kaum liberal mengingkari kenyataan
bahwa umat manusia adalah keluarga universal sebagaimana yang digariskan Islam
dengan tanpa sedikitpun embel-embel liberalisme dan isme-isme lainnya.
Kemanusiaan adalah nilai yang sejalan, bukan berlawanan dengan Islam. Dalam
keragaman bukan berarti hal-hal prinsip dalam Islam digadai untuk kebutuhan
politik, kebutuhan pemesan, kebutuhan seks, kepentingan perut dan lain-lainnya.
Kebolehan untuk menikah beda agama seperti yang menjadi salah satu tema atau
ajaran kaum pluralisme adalah semata-mata bukan untuk menghormati keragaman
tapi untuk mencderai, dan tentu saja itu termasuk kebodohan yang bersifat
sesaat, bahkan konon karena kebutuhan biologis semata. Perlu diketahui bahwa
larangan nikah beda agama dalam Islam, dalam hal ini antara perempuan Islam dengan
lelaki non-Islam, adalah suatu prinsip yang sangat relevan untuk setiap zaman,
termasuk zaman sekarang dan di masa depan. Itu justru sebagai wujud penghargaan
Islam terhadap kaum perempuan, yang tentu saja tidak ditemukan dalam konsep
agama di luar Islam.
Islam sendiri sangat tegas melarang
itu, karena Islam menganut pandangan universal, legalitas dan taat hukum serta
berperadaban. Ia menghargai martabat manusia yang sederajat, yang kemudian
mendapat jaminan derajat berdasarkan kualitas takwa. Orang kafir tentu tidak
bertkawa kepada Allah dan nabi Muhammad Saw. Dan tentu saja orang bertakwa
tidak mau menikahkan anaknya kepada orang yang mengingkari Allah dan nabi
Muhammad Saw.
Karena itu, segala produk pemikiran
liberal yang tidak mengakui adanya terminologi “Iman”, Kafir” dan sejeninya,
menurut saya, perlu direvisi bahkan dimusnahkan dari warisan sejarah keilmuan
umat manusia—apalagi sejarah pemikiran Islam. Karena, anti terminologi tersebut
juga merupakan wujud nyata bahwa ide liberalisme memang bukan ide yang dibangun
di atas landasan rasionalitas tapi khayalan yang berdiri tegak di atas ranjang
dogmatis dan doktrin-doktrin usang kaum liberal yang mereka dapatkan dari
tokoh-tokoh dan guru-guru mereka.
Ketiga, kita perlu menegaskan bahwa Islam
memiliki konsep mengenai struktur sosial, politik dan semacamnya.
Kebenaran Islam dan berbagai konsep
yang terkandung di dalamnya bukan konsep yang berlaku hanya untuk individu,
tapi juga untuk kehidupan publik. Karena itu, pemahaman liberal yang mengatakan
Islam adalah urusan individu adalah wujud kebodohan atas ajaran Islam itu
sendiri. Kegagalan dalam memaknai Islam sebagai agama yang mengatur aspek
kehidupan, baik yang bersifat individu maupun publik, akan berakibat pada
jauhnya praktik islami dalam kehidupan nyata. Hal ini bisa diperhatikan dalam
praktik nyata ajaran-ajaran Islam dalam lingkup kehidupan dan kenyataan sosial
kaum liberal. Sederhananya, susah ditemukan Islam dalam lingkup kehidupan
mereka. Apakah kaum liberal itu taat beragama? Tentu saja tidak. Bagaimana
mungkin mereka taat beragama sementara sumber-sumber serta konsep-konsep
dasarnya mereka tabrak dan acuhkan. Bukan kah mereka yang tidak malu
menggembar-gemborkan tema-tema using seperti : dekonstruksi syari’ah, menggugat
otentitas al-Qur’an dan melawan teks nubuwah dalam Islam?
Saya termasuk yang berbeda dengan kaum
liberal. Menurut saya, syari’at itu ada dalam Islam, dalam pengertian seperti
dipahami kebanyakan orang Islam, bukan seperti keyakinan dan pemikiran
segelintir kaum liberal yang kini semakin punah ditelan ruang dan waktu—apalagi
konon di antara mereka sudah mencari aman di bawah ketiak kekuasaan. Misalnya,
hukum tentang pencurian, jual beli, pernikahan, pemerintahan, dan sebagainya.
Dan beberapa hal lain yang mengandung prinsip-prinsip umum dan universal.
Nilai-nilai itu adalah perlindungan atas keteraturan, akal, kepemilikan,
keluarga/keturunan, dan kehormatan (honor). Bagaimana nilai-nilai itu
diterjemahkan dalam ruang kenyataan? Itu tidak diserahkan begitu saja dalam
konteks sejarah dan sosial tertentu. Karena itu, ia perlu patokan dari konsep
utama Islam. Sebab budaya dan kondisi sosial selalu berubah. Realitas yang
berubah tidak bisa dijadikan sebagai tolak ukur untuk menentukan salah dan
benarnya sesuatu, apalagi untuk mengukur keabsahan ibadah dan amal dalam
seorang muslim. Sederhananya, umat Islam mesti lebih percaya kepada para
imam-imam yang memiliki kapasitas keilmuan yang mumpuni dan memiliki jiwa
ikhlas dalam beragama daripada kepada kaum liberal yang sering mengikuti cara
berpikir dan mengambil pendapat para orientalis yang jelas-jelas sangat
membenci Islam dan keunikan ajarannya. Apa sih keunggulan pemikir Barat (baca :
orientalis) jika dibandingkan dengan pemikiran ulama-ulama dalam Islam? Maaf,
saya bukan merendahkan kapasitas dan kemampuan mereka, tapi saya belum
menemukan ketinggian pemikiran mereka melebihi kapasitas dan kemampuan
ulama-ulama dalam Islam. Jadi, hingga kini saya termasuk yang masih menyimpan
pamrih kepada mereka.
Keempat, Di antara nilai luhur ajaran Islam
adalah konsep-konsep keadilan.
Nilai yang diutamakan Islam adalah
keadilan dan penegakannya. Di antara misi Islam yang paling penting adalah
bagaimana menegakkan keadilan di muka Bumi, terutama di bidang politik, ekonomi
(tentu juga di bidang budaya), dan berbagai tata etik dalam Islam seperti
menutup aurat (jilbab dan lain-lain), menempatkan perempuan sesuai fitrah yang
digariskan Islam, menjaga hak azasi, memelihara sunnah dan semacamnya.
Dengan begitu, Islam mengingkari
misi “pemerkosaan” atas Islam seperti yang dilakukan oleh kaum liberal
dengan mencurigai konsep-konsepnya yang agung dan fitrawi. Keadilan itu tidak
bisa hanya dikhotbahkan (seperti yang dilakukan oleh kaum liberal), tetapi
harus diwujudkan dalam bentuk sistem dan aturan main, undang-undang, dan
sebagainya, dan diwujudkan dalam perbuatan. Termasuk dalam rumah tangga juga
kehidupan sosial.
Upaya menafsirkan Islam secara
liberal, bagi saya, adalah wujud ketidakberdayaan kaum liberal dalam menghadapi
masalah ekonomi, kemajuan ilmu, dan kedinamisan Islam serta berbagai problem
sosial yang menghimpit mereka. Kaum liberal menganggap, semua masalah akan
selesai dengan sendirinya (1) manakala Islam dipahami secara bebas, (2) umat
Islam mesti kufur terhadap Islam, (3) dalam penafsirannya, umat Islam mesti
percaya dengan keyakinan dogmatis-keseragaman, dalam pengertian bahwa Islam
mesti dipahami dengan cara keluar dari konsep dasar atau utama Islam.
Karena itu, menurut saya, masalah
kemanusiaan tidak bisa diselesaikan dengan merujuk kepada “kaum liberal”
(sekali lagi: saya tidak percaya adanya kebenaran dalam gagasan dan penafsiran
yang bersifat liberal dari “kaum liberal”; saya hanya percaya pada pemahaman
para ulama yang saleh, berilmu dan bertanggung jawab atas ilmunya), tetapi
harus merujuk kepada hukum-hukum atau sunnah yang telah diletakkan Allah dalam
wahyu-Nya. Baik dalam masalah ibadah maupun dalam masalah muamalah, yang dalam
konteks tertentu sudah diformulasikan oleh para ulama dalam berbagai tema ilmu
dalam tradisi Islam.
Kata Nabi, man aradad dunya fa’alihi
bil ‘ilmi, wa man aradal akhirata fa ‘alihi bil ‘ilmi; barang siapa hendak
mengatasi masalah keduniaan, hendaknya memakai ilmu, begitu juga yang hendak
mencapai kebahagiaan di dunia, juga harus pakai ilmu. Barang siapa yang
menghendaki akhirat juga mesti dengan ilmu. Saya tak menemukan nuansa ilmiah
dalam kajian dan pemikiran kaum liberal, yang ada justru kajian dogmatis bahkan
sangat radikal. Dengan mudahnya mereka meneror agama Islam dan para ulama kaum
Muslim dengan sangat sadis. Saya termasuk orang yang percaya bahwa ilmu dunia
maupun akhirat takkan ditemukan dalam etalase kaum liberal. Susah
menemukannya. Atau ada aktivis KAMMI yang menyebut atau tunjukan kepada saya?
Saya siap merubah pemahaman jika ada yang menunjukkan kepada saya contohnya
disertai penjelasan argumentaif.
Pandangan bahwa pemikiran liberal
adalah suatu “paket lengkap” yang sudah jadi, suatu resep ideal dalam
menyelesaikan masalah keumatan dan kemanusiaan adalah pandangan yang sangat
keliru, bahkan akan menimbulkan masalah yang sangat dahsyat. Mengajukan satu
model penafsiran tunggal seperti “hermeneutika” sebagai solusi atas semua
masalah adalah sebentuk kemalasan berpikir, atau lebih parah lagi, merupakan
upaya lari dari kebenaran Islam kemudian serta merta mencari kesesatan;
sebentuk eskapisme dengan memakai alasan kebebasan, untuk kemudian “mencuri
cara orang lain” untuk menafsirkan kitab suci sendiri yang sudah memiliki
metode tafsir tersendiri.
Eskapisme inilah yang menjadi sumber
kemunduran intelektual di mana-mana. Saya tidak bisa menerima “kemalasan”
semacam ini, apalagi kalau ditutup-tutupi dengan alasan, itu semua demi
menegakkan kebebasan akal dan kebebasan berekspresi. Jangan dilupakan : tak ada
kebebasan abadi. Sebab dalam kehidupan sosial kebebasan dibatasi oleh kebebasan
orang lain yang berbeda. Dan karena itu diperlukan aturan yang dijadikan
patokan atau alat ukur. Itulah yang dalam tradisi Islam disebut sebagai wahyu
berupa al-Qur’an dan as-Sunah.
Selebihnya, umat Islam perlu tahu
bahwa tak ada kebebasan objektif dalam kredo kaum liberal, yang ada hanyalah
pemaksaan pemikiran yang bersumber dari keyakinan dan pemikiran tokoh-tokoh
fosil yang tak memiliki peran sejarah dalam membangkitkan peradaban manusia ke
arah yang berperadaban—selain kejumudan, taklid, dan dogmatis.
Saya berkeyakinan bahwa musuh Islam
paling berbahaya sekarang ini adalah dogmatisme kaum liberal, sejenis keyakinan
yang tertutup bahwa suatu doktrin tokoh tertentu merupakan obat mujarab atas
semua masalah, dan mengabaikan bahwa kehidupan manusia terus berkembang, dan
perkembangan peradaban manusia dari dulu hingga sekarang adalah hasil dari
pemahaman yang benar atas Islam yang ditorehkan oleh generasi awal Islam dan
ulama yang berilmu dan sholeh.
Doktrin “kami” dan “mereka” yang biasa
dipajang oleh kaum liberal sebetulnya hendak membangun tembok antara “kaum
liberal” dan “kaum Muslimin”. Ini juga merupakan bukti nyata sekaligus penyakit
sosial kaum liberal yang tak bisa kita ingkari. Karena nyatanya begitu. Itulah
terminologi yang sering mereka ungkapkan dalam berbagai pertemuan, seminar,
kajian bahkan karya-karya mereka.
Pemisah antara “kami” dan “mereka”
sebagai akar pokok dogmatisme kaum liberal, mengingkari kenyataan bahwa mereka
adalah bagian dari manusia yang lain, bahkan menurut saya dalam konteks
tertentu, mereka mengikari bahwa mereka adalah bagian dari umat Islam.
Terminologi “kami” untuk kaum liberal dan “mereka” untuk umat Islam umumnya
adalah di antara bukti nyata bahwa mereka sebetulnya ingin melucuti konsep
kesatuan umat dalam Islam dan menegasikan keberpihakan mereka terhadap kaum
Muslim.
Saya memahami bahwa Islam adalah agama
Allah yang dianugrahkan kepada manusia melalui seperangkat aturan, konsep dan
nilai-nilai yang tersistematiskan dalam wahyu-Nya. Islam bukan agama seperti
yang diyakini kaum liberal : “Bahwa Islam adalah sebuah “proses” yang tak
pernah selesai, ketimbang sebuah “lembaga agama” yang sudah mati, baku, beku,
jumud, dan mengungkung kebebasan.” Al-Qur’an surat Ali ‘Imran ayat 19 adalah
tamparan gratis dan telak bagi kaum liberal. Itu juga jika mereka mau membaca
dan memahami secara utuh pesan dan substansi ayat tersebut.
Mereka bilang : “semua agama sama”.
Dengan tanpa rasa sungkan dan kikuk, saya mengatakan, tidak semua agama adalah
tepat berada pada jalan seperti itu, jalan panjang menuju Yang Mahabenar.
Dengan demikian, tidak semua agama adalah benar. Semua agama bukan berada ada
dalam satu keluarga besar yang sama : yaitu keluarga pencinta jalan menuju
kebenaran yang tak pernah ada ujungnya. Islam memiliki konsepnya sendiri yang
sangat berbeda dengan agama lain. Saya beragama dengan memilih Islam karena
saya yakin bahwa keyakinan selainnya adalah keliru atau salah. Itu sudah jelas
diungkap di dalam al-Qur’an, baik secara tekstual maupun pesan-pesan konteks
ayat-ayatnya. Termasuk dalam sistem keyakinan dan praktik keyakinan dalam Islam
yang dilakoni oleh generasi awal Islam hingga kini. Jadi, tidak perlu membuat
model keyakinan baru dan mengada-ada terhadap ajaran agama Islam. Kalau mau
mengikuti cara beragama agama lain, silahkan saja. Tapi jangan menggugat sistem
keyakinan atau prinsip-prinsip dasar dalam Islam. Itu ngawur namanya. Katanya
toleran dan menghargai HAM, tapi kok menggugat keyakinan dan parktik keagamaan
kaum Muslim?
Kelima, Syarat dasar memahami Islam yang
tepat adalah dengan tetap mengingat, apa pun penafsiran yang kita bubuhkan atas
agama itu, patokan utama yang harus menjadi batu uji adalah maslahat manusia
itu sendiri.
Selama ini penjelasan atau
interpertasi kaum liberal jelas-jelas justru mendatangkan mafsadat yang besar.
Islam adalah anugrah buat umat manusia. Memang manusia adalah makhluk yang
terus berkembang, baik secara kuantitatif dan kualitatif, tapi tidak serta
merta agama juga harus bisa mengembangkan diri sesuai kebutuhan manusia itu
sendiri. Yang ada adalah manusia mesti menjadikan takaran-takaran agama sebagai
landasan agar tidak terjerumus dalam lembah kenistaan.
Jika Islam hendak diseret kepada suatu
penafsiran yang justru berlawanan dengan arus kemaslahatan manusia itu
sendiri sebagaimana yang sering dilontarkan oleh kaum liberal, atau malah
menindas kemanusiaan itu sendiri, maka pemahaman yang semacam ini adalah
keyakinan dan kepercayaan kaum fosil yang tak lagi berguna buat umat manusia.
Lalu, di manakah titik maslahat yang dihasilkan oleh pemikiran kaum liberal?
Pada bagian atau aspek apakah dari pemikiran dan perilaku mereka yang
mendatangkan kemaslahatan bagi kemanusiaan? Ah kaum liberal, jangan belagu ah.
Banyak taubat yuk ah. Saya juga banyak dosa kok. Begitu juga aktivis KAMMI yang
lain. Mari taubat barengan, hidup di dunia sementara kok. Kalau tidak taubat,
nanti nyesal.
Pesan Untuk Aktivis KAMMI
Saya sulit menemukan penjelasan ilmiah
dalam menghadapi berbagai bentuk pendistorsian Islam yang dilakukan oleh kaum
liberal, karena itu apa yang saya lakukan ini hanyalah ‘kerumunan’ yang bisa
jadi terlalu emosional, dengan harapan getarannya mampu mencerahkan kaum
liberal dan tentu saja aktivis KAMMI sendiri. Bahkan penjelasan ini bisa jadi
masih jauh dari adab-adab hiwar (dialektika) islami. Atas dasar itu secara
sadar saya mohon maaf, terutama kepada para ahli ilmu, aktivis dakwah dan
siapapun yang memahami kebenaran. Di samping itu, saya memohon agar saya
diarahkan ke jalan yang benar. Jujur, saya menanti para pencerah yang
mencerahkan.
Jadi, tentu saja penjelasan ini tidak
tuntas dan masih memiliki kekurangan. Bahkan saya menyadari bahwa saya terbawa
emosi. Bagaimanapun, selama sekian tahun menekuni dunia pemikiran, ternyata saya
menemukan betapa rapuhnya pemikiran dan gagasan kaum liberal. Di antara
kerapuhan tersebut adalah pada nama mereka sendiri : JIL. Jika mereka
menganggap bahwa setiap agama memiliki konsep ‘kebenaran’ dan karenanya tidak
bisa dianggap ‘salah’ oleh yang lain, maka atas alasan apa mereka menjadikan
Islam sebagai kepanjangan huruf I pada nama JIL? Mengapa tidak JKL atau JHL
saja, sehingga nanti bisa diterjemehkan menjadi Jaringan Kristen Liberal atau
Jaringan Hindu Liberal saja? Kan semua agama sama, walaupun mereka mengaku
muslim. Silahkan saja kalau berani. Paling dapat tamparan tuh dari
kalangan agama lain.
Selebihnya, saya mengusulkan agar
aktivis KAMMI tidak tinggal diam dengan berbagai kondisi keumatan, terutama
yang berkaitan dengan pemikiran yang berkembang. Aktivis KAMMI perlu melakukan
langkah-langkah antisipasi yang serius, di antaranya :
Pertama, perkuat basis keilmuan dan
pengetahuan. Caranya : banyak membaca dan mengkaji serta mendalami berbagai
kitab tafsir dan karya-karya otentik para ulama klasik dan modern yang memiliki
pijakan kuat terhadap sumber utama Islam berupa al-Qur’an dan as-Sunnah.
Kedua, memahami secara utuh berbagai
pemikiran yang bersifat destruktif terhadap Islam. Hal ini bisa dilakukan
dengan membaca dan mengkaji berbagai referensi terkait. Kata-kata bijak
mengingatkan, “jika ingin mengingkari kemungkaran, maka pahamilah kemungkaran
itu sendiri”. Karena itu, aktivis KAMMI juga perlu paham ide-ide kaum liberal
dan tokoh-tokohnya.
Ketiga, lakukan upaya pematangan
pengetahuan dengan diskusi : mencari titik temu pemikiran, mematangkan
pengetahuan dan tentu saja menuliskan kembali dalam bentuk makalah, artikel
atau sejenisnya, lalu terbitkan atau publikasikan. Diskusi adalah salah satu
tradisi dalam sejarah peradaban Islam yang perlu diwariskan. Saya bahkan
mengusulkan agar aktivis KAMMI juga siap dan bersedia untuk berdiskusi dengan
kaum liberal secara langsung. Bagaimana, siap?
Ah, susah bicara tentang yang
aneh-aneh. Begini saja, untuk aktivis KAMMI atau siapapun yang ingin objektif
dalam berpikir, mari kita cari pemahaman Islam yang lebih segar, lebih cerah,
lebih memenuhi maslahat manusia dan yang sesuai dengan isi atau pesan-pesan
sumber Islam. Mari kita tinggalkan pemahaman kaum liberal yang beku, yang
menjadi sarang dogmatisme dan yang menindas maslahat manusia itu sendiri.
Akhirnya, kita perlu menyampaikan kepada aktivis liberal : taubatlah wahai
fosil-fosil liberalisme! [Cirebon, 5 Januari 2012]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar