15 Mei 2010

Relasi Agama dan Negara

BAB I
PENDAHULUAN

Membincang Negara dan agama adalah sebuah pembicaraan yang cenderung mengarah pada ruang lingkup membangun persepsi. Ini bisa kita lihat bagaimana penafsiran agama dan negara cenderung pada porsi bagaimana negara dan bagaimana agama menjadi menarik untuk diketengahkan sebagai dua perbedaan.
Negara dan Agama merupakan persoalan yang banyak menimbulkan perdebatan (discource) yang terus berkelanjutan di kalangan para ahli. Hal ini disebabkan oleh perbedaan pandangan dalam menerjemahkan Agama sebagai bagian dari Negara atau Negara merupakan bagian dari dogma Agama.
Pada hakekatnya, Negara sendiri diartikan sebagai suatu persekutuan hidup bersama sebagai penjelmaan sifat kodrati manusia sebagai makhluk individu dan makhluk social. Oleh karena itu, sifat dasar kodrat manusia tersebut merupakan sifat dasar Negara pula sehingga Negara sebagai manifestasi kodrat manusia secara horizontal dalam hubungan manusia dengan manusia lain untuk mencapai tujuan bersama. Dengan demikian, Negara memiliki sebab akibat langsung dengan manusia karena manusia adalah pendiri Negara itu sendiri.

Tidak pernah selesainya perdebatan mengenai hubungan antara agama dan Negara seolah menjadikan persoalan tertsebut menjadi persoalan abadi, tidak hanya dalam konteks ke-Indonesia-an, melainkan juga dunia pada umumnya. Hampir setiap fase dalam sejarah sebuah bangsa selalu saja muncul persoalan ini. Meskipun di beberapa Negara, utamanya Negara Barat dan Eropa yang menganut sistem Demokrasi Liberal, persoalan tersebut sudah dapat diselesaikan melalui prinsip pemisahan Negara dan agama.
Proses sekularisasi yang berkembang di Barat juga menjadi salah satu kekuatan yang secara genuin mampu menyelesaikan problematika antara Negara dan Agama. Sekularisasi tersebut berupaya untuk meletakkan Agama pada posisi yang bersifat private-sacred (problem ketuhanan) dengan Negara sebagai institusi sosial yang bersifat publics-profane. Realitas ini mengedepankan di hampir semua Negara yang menganut demokrasi liberal dalam sistem kepemerintahannya. Meskipun untuk beberapa Negara persoalan ini jelas masih memunculkan problem yang cukup sensitif.
Jika demikian, persoalan mengenai hubungan Negara dan Agama pada dasarnya terletak pada masalah, apakah dalam Agama dapat diinstitusionalisasikan dalam berbagai lembaga formal, termasuk Negara atau tidak? Atau apakah Negara sebagai sebuah sistem sosial yang dibentuk berdasarkan kesepakatan publik harus mendasarkan dari secara ideologis kepada institusinalisasi sebuah Agama atau tidak? Jika demikian, persoalan tersebut bermuara kepada bagaimana asumsi masyarakat atau manusia terhadap Agama dan juga terhadap Negara? Asumsi tersebut berpengaruh secara masif terhadap persepsi dan sikap mereka atas posisi Agama vis-a-vis Negara, begitu pula sebaliknya.
Dalam konsepsi Islam, dengan mengacu pada al-Quran dan al-Sunnah, tidak ditemukan rumusan tentang Negara secara eksplisit, hanya di dalam al-Quran dan al-Sunnah terdapat prinsip-prinsip dasar dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Selain itu, konsep Islam tentang Negara juga berasal dari 3 (tiga) paradigma, yaitu:
  1. Paradigma tentang teori khilafah yang dipraktikkan sesudah Rasulullah saw. terutama biasanya merujuk pada masa Khulafa al-Rasyidun.
  2. Paradigma yang bersumber pada teori Imamah dalam paham Islam Syi’ah.
  3. Paradigma yang bersumber dari teori Imamah atau pemerintahan.
Dari beberapa poin di atas dapat dipahami secara sederhana bahwa yang dimaksud Negara adalah suatu daerah teritorial yang rakyatnya diperintah (governed) oleh sejumlah pejabat yang berhak menuntut dari warga negaranya untuk taat pada peraturan perundang-undangan melalui penguasaan (control) monopolistis dari kekuasaan yang sah.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hakikat Agama dan Negara
1) Hakikat Agama
Agama adalah realitas yang selalu melingkupi manusia. Muncul dari berbagai dimensi sejarah kehidupan. Karena itu tidak muda mendefinisikannya. Dapat dipastikan akan selalu diwarnai oleh latar belakang pemikiran yang digelutinya. Termasuk spesifikasi para ahli dalam ranah paradigma kajian yang mengkhususkan pada agama tertentu.
Agama secara etimologis berasal dari bahasa sansekerta yang tersusun dari kata ”a” yang berati tidak dan “gam” yang berati pergi. Dalam bentuk harfiah yang terpadu kata agama berati tidak pergi, tetap ditempat, langgeng abadi yang diwariskan terus menerus dari satu generasi kepada generasi lainnya.
Secara umum kata agama berarti tidak kacau yang secara analitis kritis diuraikan dengan cara memisahkan kata demi kata: “a” berati tidak dan “gama” berarti kacau. Jadi kehidupan orang yang memeluk agama atau beragama akan mengamalkan ajaran-ajaranya dengan sungguh sungguh tidak akan mengalami kekacauan atau split personality.
Bahkan kalau kita rujuk dari berbagai referensi agama bisa menjadi definisi yang multi interpretasi. Termasuk disetiap daerah dan pemeluknya cenderung terikat pada khasanah maritimnya. Sehingga kita tidak terjebak pada ranah penafsiran linier. Bahkan agama menut bahasa arab mempunyai banyak arti sesuai dengan konteksnya, secara terminologis memiliki arti berbeda-beda bahkan setiap ahli mengemukakan sesuai fokus keilmuannya. Tapi dari beberapa konsepsi yang ada saya melihat agama merupakan satu syistem credo (tata keimanan atau keyakinan) atas sesuatu yang mutlak diluar manusia. Agama juga sistem ritus manusia kepada yang dianggapnya mutlak. Juga sistem norma yang mengatur hubungan antara manusia dan sesama manusia, serta hubungan antara manusia dan alam lainnya yan sesuai dan sejalan dengan tata keimanan dan tata peribadatan yang dimaksud.
2) Hakikat Negara
Hakikat negara menjadi suatu hal yang penting ketika kita hidup dalam wilayah kekuasaan. Negara adalah suatu wilayah di permukaan bumi yang kekuasaannya baik politik, militer, ekonomi, sosial maupun budayanya diatur oleh pemerintahan yang berada di wilayah tersebut. Bahkan negara merupakan pengorganisasian masyarakat yang mempunyai rakyat dalam suatu wilayah tersebut, dengan sejumlah orang yang menerima keberadaan organisasi ini.
Syarat lain keberadaan negara adalah adanya suatu wilayah tertentu tempat negara itu berada. Yang disebut sebagai kedaulatan, yakni bahwa negara diakui oleh warganya sebagai pemegang kekuasaan tertinggi atas diri mereka pada wilayah tempat negara itu berada. Keberadaan negara, seperti organisasi secara umum, adalah untuk memudahkan anggotanya (rakyat) mencapai tujuan bersama atau cita-citanya.
Keinginan bersama ini dirumuskan dalam suatu dokumen yang disebut sebagai Konstitusi, termasuk didalamnya nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh rakyat sebagai anggota negara. Sebagai dokumen yang mencantumkan cita-cita bersama, maksud didirikannya negara Konstitusi merupakan dokumen hukum tertinggi pada suatu negara. Karenanya dia juga mengatur bagaimana negara dikelola. Konstitusi di Indonesia disebut sebagai Undang-Undang Dasar.
Dalam bentuk modern negara terkait erat dengan keinginan rakyat untuk mencapai kesejahteraan bersama dengan cara-cara yang demokratis. Bentuk paling kongkrit pertemuan negara dengan rakyat adalah pelayanan publik, yakni pelayanan yang diberikan negara pada rakyat. Terutama sesungguhnya adalah bagaimana negara memberi pelayanan kepada rakyat secara keseluruhan, fungsi pelayanan paling dasar adalah pemberian rasa aman.
Negara menjalankan fungsi pelayanan keamanan bagi seluruh rakyat bila semua rakyat merasa bahwa tidak ada ancaman dalam kehidupannya. Dalam perkembangannya banyak negara memiliki kerajang layanan yang berbeda bagi warganya. Bahkan negara menjadi penting bila kita lihat dari fungsi dalam mensejahterakan serta memakmurkan rakyat Melaksanakan ketertiban Pertahanan dan keamanan Menegakkan keadilan.

B. Relasi Agama dan Negara

Agama dan negara adalah dua istilah yang mempunyai keterikatan dan keterkaitan. Baik darai sisi peran, fungsi hingga klasifikasi kepentingan. Bila sejarah kia jadikan rujukan, maka banyak perlakuan berbeda dari kesaling pautan antara negara dan agama. Keduanya saling mengisi denfan agama sebagai ajaran yang mengikat untuk mempraktekan dan negara sebagai bagian yang mengikat akan fungsi pelayanan atas kesepakatan kolektif.
Pada awalnya, terdapat tiga sistem hubungan antara keduanya yang hingga kini masih sering dipermasalahkan oleh para cendekiawan.
Pertama, hubungan paralel. Dalam hal ini, terdapat suatu relasi yang tidak sejalan antara agama dan negara. Di mana, antara keduanya sama-sama jalan dan menerapkan sistem (pemerintahan) yang dimilikinya sendiri-sendiri. Agama menjalankan dan berjalan pada sistem kepentingannya sendiri. Negara pun juga demikian adanya dan hanya mementingkan keinginannya masing-masing. Sehingga terjadilah suatu konsep yang tidak sejalan dan sepaham yang kemudian antara keduanya tidak akan pernah bertemu dan bertutursapa sampai kapan pun. Sementara, yang diinginkan banyak kalangan adalah adanya suatu hubungan dan adanya pertemuan antar-keduanya.
Kedua, hubungan linier. Hampir sama dengan hubungan yang pertama, namun, ada perbedaan yang sedikit mencolok. Dalam arti bahwa antara agama dan negara itu sama-sama jalan akan tetapi pada akhirnya akan menemukan jalan kebuntuan. Dengan lain ungkapan, salah satu dari mereka akan menafikan yang lain dan akan terjadi hegemoni dan dogma-dogma bahwa ada salah satunya yang menjadi primadona (negara atau agama).
Mereka hanya menganggap bahwa itulah satu-satunya yang paling benar. Padahal, masih ada yang lebih unggul darinya. Meski hal itu tidak sepenuhnya sesuai, paling tidak, ada sedikit kesesuaian. Singkat kata, di sini, masih ada pendikotomian yang sifatnya hanya mementingkan dan menganggap bahwa dirinyalah yang paling benar (agama atau negara).
Ketiga, hubungan sirkuler. Dalam hubungan ini, antara agama dan negara, sama-sama mempunyai posisi yang cukup penting dalam masyarakat. Artinya, sama-sama jalan dan mempunyai suatu hubungan yang saling mengontrol. Dengan begitu, adanya kekakuan, rigiditas, dan kekurangan, bahkan ketidaksesuaian antara keduanya dapat dikurangi dan akan berkurang yang kemudian akan tercipta suatu hubungan yang harmonis dan adanya saling keterkaitan antar-keduanya.
Sehingga, hal ini dapat menjadi kontrol dan dapat saling mengisi kekurangan yang melekat pada diri masing-masing dan harus bisa menerima kekurangan-kekurangan, baik yang sifatnya intern maupun ekstern. Dengan demikian, diperlukan suatu hubungan yang cukup berarti antara agama dan negara, di mana, agama itu bisa menjadi sistem kontrol dan melengkapi kekurangan yang terdapat pada sebuah negara. Begitu juga negara bisa menjadi kontrol untuk agama, yang mana agama itu, agar tidak menjalankan keinginannya sendiri secara individu, melainkan harus ada campur tangan negara agar tercipta suatu tatanan kehidupan yang sejahtera dan berlandaskan pada agama (Islam) dan negara.

C. Paradigma Hubungan Islam dengan Negara
Hubungan Islam dengan politik pada dasarnya merupakan realitas yng tak terbantahkan; yang dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) pola : Pertama, negara yang secara eksplisit menyatakan diri sebagai negara Islam. Pakistan dan Iran adalah contoh untuk pola hubungan yang pertama ini. Kedua, negara yang tiak menyatakan diri sebagai negara Islam sebagai agam resmi negara. Malaysia adalah contoh untuk pola hubungan ini. Ketiga, negara sekuler,negara yang bercita-cita untuk melokalisir agama sebagai urusan pribadi, sementara negara dihindarkan dari persentuhan agama Islam, karena negara termauk urusan publik. Turki adalah contoh bentuk hubungan pola ini.
Para pakar menjelaskan bahwa paradigma hubungan antara agam dengan negara dapat dibedakan menjadi 3 (tiga).
1) Unified Paradigm (Paradigma Integralistik)
Unified Paradigm (paradigma integralistik), yaitu agama dan negara merupakan satu kesatuan 9integrated), dan politik atas negaramerupakan dari agama; negara merupakan lembaga politik dan lembaga agama sekaligus. Paradigma integralistik merupakan paham dan konsep hubungan Negara dan Agama yang menganggap bahwa Negara dan agama merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya merupakan dua lembaga yang menyatu (integrated). Ini juga memberikan pengertian bahwa Negara merupakan suatu lembaga politik dan sekaligus lembaga Agama. Konsep ini menegaskan kembali bahwa Islam tidak mengenal pemisahan antara agama dan politik atau Negara. Konsep seperti ini sama dengan konsep teokrasi.
Paradigma ini dianut oleh kalangan Syi’ah dan Suni yang diwakili oleh Abul A’la Al-maududi; dan paradigma ini kebmudian melahirkan paham negara-agama (kehidupan negara diatur dengan prinsip-prinsip agama) sehingga melahirkan konsep al-islam din wal dawlat (islam adalah agama, sekaligus sebagai sistem negara). Hanya saja kalangan Syi’ah tidak menggunakan kata Daulah melainkan Imamah.

2) Symbiotic paradigm (Paradigma Simbiotik)
Symbiotic paradigm (paradigma simbiotik); agama dan negara berhubungan secara simbiosis (hubungan saling menguntungkan dan bersifat timbal balik); agama memerlukan negara dan negara memerlukan agama. Pendukung paradigma ini aalah Al-Mawardi (w. 1058 M). Beliau menjelaskan bahwa penegakan negara merupakan tugas suci yang dituntut oleh agama sebagai salah satu perangkat untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Dalam konteks paradigma simbiotik ini, Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa adanya kekuasaan yang mengatur kehidupan manusia merupakan kewajiban Agama yang paling besar, karena tanpa kekuasaan Negara, maka Agama tidak bisa berdiri tegak. Pendapat Ibnu Taimiyah tersebut melegitimasi bahwa antara Negara dan Agama merupakan dua entitas yang berbeda, tetapi saling membutuhkan. Oleh karenanya, konstitusi yang berlaku dalam paradigma ini tidak saja berasal dari adanya social contract, tetapi bisa saja diwarnai oleh hukum Agama (syari’at).

3) Secularistic paradigm (paradigma sekularistis)
Paradigma sekularistik beranggapan bahwa ada pemisahan (disparitas) antara Negara dan Agama. Negara dan Agama merupakan dua bentuk yang berbeda dan satu sama lain memiliki garapan bidangnya masing-masing, sehingga keberadaannya harus dipisahkan dan tidak boleh satu sama lain melakukan intervensi. Berdasar pada pemahaman yang dikotomis ini, maka hukum positif yang berlaku adalah hukum yang betul-betul berasal dari kesepakatan manusia melalui social contract dan tidak ada kaitannya dengan hukum Agama (syari’ah).
Paradigma ketiga ini merupakan penolakan terhadap paradigma sebelumnya (paradigma integralistik dan simbiotik). Penganut paradigma ini mengajukan pemisahan (disparitas) antara agam dan negara. Salah seorang pemrakarsa paradigma ini ialah Ali Abd Ar-Raziq (1887-1966). Ali Abdul Raziq yang menyatakan bahwa dalam sejarah kenabian Rasulullah pun tidak ditemukan keinginan Nabi Muhammad untuk mendirikan Agama. Rasulullah hanya penyampai risalah kepada manusia dan mendakwahkan ajaran agama kepada manusia.

D. Hubungan Agama dan Negara di Indonesia
Hubungan negara dan agama di Indonesia juga telah diteliti dan dijelaskan oleh banyak ahli. Diantara mereka adalah Fakhri Ali dan Bahtiar Efendi, dan M. Syafi’i Anwar. Hal menarik mengenai hubungan negara dengan agama di Indonesia adalag suatyu jalan tengah (sintesis) antara negara dan agama (paradigma integrasi dan simbiosis) dengan negara sekuler, yaitu Indonesia bukAnlah negara agama dan juga bukan negara sekuler. Suatu pernyataan politik yang menarik untuk dikaji dan diteliti.
M. Syafi’i Anwar telah meneliti pola hubungan Islam dengan negara pda masa Orde Baru (1966-1988). Menurutnya, dalam kurun waktu 32 tahun trerdapat 3 (tiga) pola (fase) hubungan antara Islam dengan negara.
Pertama, fase hubungan antagonistik (1966-1981); yaitu hubungan agama dengan negara yang ditandai dengan hegemoni politik (negara) terhadap agama (ulama) dan kebijakan politik Orde Baru telah melahirkan ketegangan yang mempersoalkan hubungan antara Islam dengan Negara.
Kedua, fase resiprokal kritis (1982-1985), yaitu hubungan yang ditandai dengan dimulainya keterbukaan dari masing-masing pihak. Pemerintah memberikan ruang terhadap kalangan Islam dalam wilayah politik dan sebaliknya. Fase ini dinilai memberi arti penting bagi pencapaian tujuan masing-masing dalam mempertegas arah pembangunan bangsa di segala bidang.
Ketiga, fase akomodatif (1985-1998), yaitu pola hubungan yang lebih dinamis antara Islam dengan Negara. Beberapa kalangan politisi Islam yang mauk dalam struktur pemerintahan Orde baru merupakan indikatorpenting yang mendukung pola hubungan yang harmonis antara Islam dengan Negara. Beberapa politisi Islam mendapat posisi yang istimewa di lembaga Negara yang sekaligus melahirkan kebijakan pemerintah bagi kepentingan umat Islam itu sendiri. Barangkali, pernytaan bahwa Indonesia bukan negara agama tapi juga bukan merupakan Negara Sekuler dibuktikan dengan hubungan simbiosis antara agama dan Negara, fase-fase tersebut menunjukan hubungan ”simbiosis” yang ditandai dengan ketegangan (berlawanan), saling mengerti dan memahami, serta hubungan akomodatif (saling memberi dan menerima).
Indonesia (mayoritas penduduknya mengaku agama Islam_ adalah negara yang unik. Dia tidak menyatakan diri sebagai negara agama-tidak menjadikan Islam sebagai agama resmi Negara- juga tidak menyatakan diri sebagai negara sekuler. Munawir Syadzali (Mantan Menteri Agama RI) permnah melansir pendapat yang menyatakan bahwa Indonesia bukan Negara agama dan bukan pula Negara Sekuler. Departemen Agama (Depag) merupakan jaminan bahwa Indonesia bukan Negara Sekuler.

BAB III
PENUTUP

Diskursus hubungan agama dan negara memang bukan tergolong baru dalam politik, tapi kini mendapat aktualisasinya kembali setelah merebaknya fenomena fundamentalisme Islam yang mengintrodusir berdirinya negara Islam, kesatuan agama dan negara. Dalam Islam sendiri, representasi aktual hubungan agama dan negara dalam Islam ada sejak masa kepemimpinan Nabi di Madinah. Namun, bagaimana seharusnya hubungan agama dan negara sepeninggal Muhammad dan berakhirnya masa kepemimpinan khulafa rasyidun masih diperdebatkan. Sebab, al-Qur an ataupun sunnah Nabi sendiri tidak pernah menggariskan secara tegas terkait sistem politik Islam.
Relasi antara agama dengan negara senantiasa menjadi perbincangan hangat dan senantiasa membawa pada arus perbedaan pendapat yang tak jarang berujung pada perpecahan dalam tubuh ummat, hal ini seharusnya dapat dihindari karena dapat melemahkan kekuatan (’izzah Islam). Apapaun dan bagaimanapun dari masing-masing konsep tentang agama dan negara haruslah dijadikan sebagai manifestasi keberagaman/ multikulturalisme yang pada dasarnya setiap individu dan komunitas mempunyai prinsip masing-masing. Maka dari itu hendaknya yang perlu disikapi adalah persoalan ummat yang semakin hari semakin merosot moralitas dan keyakinannya terhadap agamanya yang sangat mengkhawatirkan.
Konsep pertama tentang agama dijadikan sebagai sebuah sistem hukum dan landaskan kebijakan dalam menjalankan roda pemerintahan atau disebut juga theokrasi akan menghasilkan sebuah negara yang kuat dan sesuai dengan janji Allah, apabila suautu kaum bertaqwa kepada Allah maka bumi dan langit akan memberikan keberkahan pada penduduk kampung itu. Dan mungkin yang menjadi dalil tentang konsep pertama ini adalah firman Allah Swt yang tercantum dalam Q.S. Al-Maidah : 44 ”Barangsiapa yang memutuskan suatu perkara tanpa hukum Allah, maka mereka termasuk orang-orasng yang dzalim”.
Konsep kedua tentang pengakuan agama dalam sebuah negara atau tepatnya terdapat hubungan timbal balik antara agama dan negara. Hal ini dapat diterima, karena memang Rosululloh Saw. Secara eksplisit tidak pernah memerintahkan untuk membangun sebuah Negara Islam, akan tetapi secara implisit di Madinah Al-Munawwaroh Rosulullah yang diangkat sebagai kepala pemerintahan pada saat itu membentuk sebuah koloni atu komunitas dengan tatanan soial yang islami.
Adapun theori ketiga tentang konsep sekuler yakni yang memisahkan antara negara dan agama menjadi bagian yng berbeda. Hal ini didasarkan pada pemahaman bahwa negara dan agama adalah dua hal ya ng berbeda. Baik dari segi tatanan norma, aturan dan prinsip yang digunakan, dan mereka beranggapan jika negara disatukan dalam sebuah lembaga pemerintahan maka dikhawatirkan agama akn terkontaminasi oleh keburukan manusia, dan sebuah negara akan mandega karena prinsip-prinsip agama yang dianggap bersebrangan jalan dengan konsep ketatanegaraan.
Dari ketiga konsep tersebut memiliki latar belakang dan pemahaman yang kompleks dengan masing-masing dalil yang rasional dan universal. Hanya saja yang menentukan adalah komunitas terkuat dan sejauhmana komitmen terhadapa sebuah prinsip yang dianut oleh negara tersebut. Adapun di Indonesia telah disinggung dalam pembahasan, bahwa Indonesia bukanlah Negara Agama dan bukan pula Negara Sekuler.
Lalu seperti apakah Negara Indonesia dalam konsep relasi antara agama dengan Negara ? dalam hal ini KH. Abdurrahman Wahid menegaskan Abdurrahman Wahid, sebagai tokoh yang secara gigih memberikan alternatif-alternatif dalam dua pertentangan relasi Negara dan Agama, ia berpendapat bahwa, pemikiran Negara dalam pandangan Islam pada dasarnya dapat dibagi ke dalam dua jenis pemikiran, yaitu pemikiran idealistik dan pemikiran realistik. Pemikiran idealistik berusaha secara sadar merumuskan sebuah kerangka Negara yang sepenuhnya berdasarkan wawasan Islam.
Dalam pandangan ini, Islam merupakan sebuah konsep kenegaraan yang harus diwujudkan secara penuh dalam sebuah bangunan masyarakat yang seratus persen islami. Dengan demikian discourse relasi Negara dan agama memang ada dalam dialektika Islam.
Hal inilah yang kemudian tidak bisa dijustifikasi kebenarannya yang mana yang benar atau yang mana yang salah. Hanya saja sebagai solusi alternatif, bagaimana kemudian masyarakat bisa mendapatkan keadilan dan kesejahteraan dalam bernegara, dimana hal inilah yang dijelaskan dalam kehidupan Agama, khususnya Islam.

Wallahu A’lam bi al Shawab.

DAFTAR PUSTAKA

Al Usairi, Ahmad., 2008; Sejarah Islam Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX, Jakarta : Akbar Media Eka Sarana.
Al Maududi, Abul A’la, 2007; Khilafah dan Kerajaan (al-Khilafah wal Mulk), terj. Muhammad al-Baqir, Bandung : Karisma.
Ibrahim, Tatang., Drs. M.Pd., 2004; Sejarah Kebudayaan Islam untuk Kelas VII MTs, Bandung : Armico.
Mubarok, Jaih. Prof. Dr. M.Ag, 2008; Sejarah Peradaban Islam, Bandung : Pustaka Islamika.
Syalibi, A. Prof. Dr., 2000; Sejarah dan Kebudayaan Islam Jilid 2, Jakarta : Al-Huna Zikra.
Yatim, Badri, Dr. M.A., 2000; Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, Jakarta : Raja Grafindo Persada.
http://thohir3.blogspot.com/
http://digilib.uin-suka.ac.id/index.php
http://cakwawan.wordpress.com/
http://www.wahidinstitute.org/

Tidak ada komentar: