Dalam sebuah hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Abu Hurairah, Rasulullah saw pernah
bersabda, “Seorang laki-laki berkata, ‘Sungguh aku akan bersedekah.’ Lalu dia
pergi membawa sedekahnya. Dia meletakkannya di tangan pencuri. Di pagi hari orang-orang
membicarakannya, ‘Seorang pencuri diberi sedekah.’
Tampilkan postingan dengan label Hadits. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Hadits. Tampilkan semua postingan
19 September 2014
13 Januari 2013
Makalah: Hadits tentang Syirik
BAB
I
PENDAHULUAN
Kebaikan itu memiliki tingkatan yang
berbeda-beda. Demikian juga halnya dengan kejahatan dan dosa. Kebaikan apa saja
yang mempunyai manfaat besar, maka pahalanya di sisi Allah akan besar juga.
Sedangkan kebaikan yang manfaatnya lebih rendah, maka pahalanya pun seimbang
dengan kebaikan tersebut. Sebaliknya, setiap kejahatan yang mudharatnya lebih
besar, maka ia disebut sebagai dosa-dosa besar yang membinasakan dan siksanya
pun sangat berat. Adapun kejahatan yang mudharatnya lebih rendah dari itu, maka
ia tergolong kepada dosa-dosa kecil yang dapat terhapus dengan jalan menjauhi
dosa-dosa besar.
Allah SWT
berfirman didalam Al-Qur’an Surat An-Nisa ayat 31:
bÎ) (#qç6Ï^tFøgrB tͬ!$t62 $tB tböqpk÷]è? çm÷Ytã öÏeÿs3çR öNä3Ytã öNä3Ï?$t«Íhy Nà6ù=ÅzôçRur WxyzôB $VJÌx.
“Apabila kamu menjauhi dosa-dosa
besar yang telah dilarang bagimu untuk mengerjakannya, maka Kami hapuskan
dosa-dosamu yang kecil dan Kami masukkan kamu kedalam tempat yang mulia
(Surga).”
Dari ayat di atas, jelas terdapat dua macam dosa, yakni dosa besar dan dosa
kecil. Jelas pula bahwa Allah SWT berjanji bahwa jika seorang hamba menjauhkan
diri dari dosa-dosa besar, maka Allah SWT memaafkan kesalahan/dosa kecil yang
pernah dilakukannya. Haruslah kita ingat bahwa terdapat prasyarat untuk
terpenuhinya (janji Allah SWT itu) yakni, semua yang fardlu (wajib) seperti
halnya shalat, zakat, dan puasa, harus tetap dikerjakan dengan tertib dan
teratur, sambil terus berusaha menjauhi dosa-dosa besar, sebab meninggalkan
yang fardlu itupun tergolong melakukan dosa besar. Jadi, jika seorang hamba
melaksanakan semua yang diwajibkan (fardlu) dan meninggalkan perbuatan dosa
besar maka Allah SWT akan memaafkan dosa-dosa kecilnya.
Apakah dosa
itu? Apa sajakah dosa-dosa kecil itu? Dan, apa saja pulakah yang tergolong
dosa-dosa besar?
Dosa adalah
segala perbuatan yang bertentangan dengan kehendak dan perintah Allah SWT.
Sampai disini belum dibedakan besar kecilnya dosa. Abdullah bin Abbas berkata, “ Setiap perbuatan menentang
ajaran Islam adalah dosa besar.”
Berdasarkan
penjelasan diatas, maka setiap seorang muslim sudah selayaknya mampu menjaga
dirinya untuk menghindari dosa-dosa yang dapat menjerumukan dia kedalam lubang
kenestapan, baik di dunia maupun di akhirat, adapun dosa yang tak akan mendapat
ampunan dari Allah Swt. Adalah syirik atau menyekutukan Allah.
InsyaAllah
penulis akan membahas tentang hadits yang berkaitan dengan syirik sebagai
salahsatu dosa besar dari tujuh dosa besrta hadits-hadits lainnya yang mebahas
tentang bahayanya dosa syirik serta ancaman bagi orang-orang musyrik.
BAB
II
PEMBAHASAN
TUJUH MACAM DOSA BESAR
1.
Beberapa
Hadits tentang Syirik
a.
7
Dosa Besar
اِجْتَنِبُواالسَّبْعَ الْمُوْ بِقَاتِ اَلشِّرْكُ
بِاللهِ وَالسِّحْرُ وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِىْ حَرَّمَ اللهُ اِلاَّ بِالْحَقِّ
وَاٰكِلُ الرِّبَا وَاٰكِلُ مَالِ الْيَتِيْمِ وَالتَّوَ لِّى يَوْمَ الزَّحْفِ
وَقَذْ فَ الْمُحْصَنَا تِ الْغَا فِلاَ تِ الْمُؤْ مِنَا تِ. رواه البخار ى و
مسلم.
ﺍﺨﺭﺠﻪﺍﻟﺑﺨﺎﺭﻯﻓﻰ ׃٥٥ـ ﮐﺘﺎﺏﺍﻟﻭﺻﺎﻴﺎ׃٢٣ـ
ﺑﺎﺏﻗﻭﻝﺍﷲﺗﻌﺎﻟﻰ׃ﺍﻦﺍﻟﺬﻴﻥﻴﺄﻛﻟﻮﻦﺍﻤﻭﺍﻞ ﺍﻟﻴﺘﺎﻤﻰﻈﻟﻤﺎ.
7 Agustus 2012
Panduan Ringkas I’tikaf Ramadhan
Ada suatu amalan di bulan Ramadhan yang mesti kita ketahui bersama demi meraih banyak pahala di bulan tersebut. Amalan tersebut adalah i’tikaf. Bagaimanakah tuntunan Islam dalam menjalankan i’tikaf di bulan Ramadhan? Berikut panduan ringkas yang semoga bermanfaat bagi para pengunjung www.fimadani.com yang kami kutip dengan perubahan dari nukilan Buku Panduan Ramadhan karya Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal. Semoga Allah senantiasa memberkahi beliau dan kita semua.
I’tikaf secara bahasa berarti menetap pada sesuatu. Sedangkan secara syar’i, i’tikaf berarti menetap di masjid dengan tata cara yang khusus disertai dengan niat.
Dalil Disyari’atkannya I’tikaf
Ibnul Mundzir mengatakan, “Para ulama sepakat bahwa i’tikaf itu sunnah, bukan wajib kecuali jika seseorang mewajibkan bagi dirinya bernadzar untuk melaksanakan i’tikaf.”
Dari Abu Hurairah, ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa beri’tikaf pada bulan Ramadhan selama sepuluh hari. Namun pada tahun wafatnya, beliau beri’tikaf selama dua puluh hari.” (HR Bukhari)
Waktu i’tikaf yang lebih afdhol adalah di akhir-akhir ramadhan (10 hari terakhir bulan Ramadhan) sebagaimana hadits ‘Aisyah, ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf pada sepuluh hari yang akhir dari Ramadhan hingga wafatnya kemudian isteri-isteri beliau pun beri’tikaf setelah kepergian beliau.” (HR Bukhari)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir dengan tujuan untuk mendapatkan malam lailatul qadar, untuk menghilangkan dari segala kesibukan dunia, sehingga mudah bermunajat dengan Rabbnya, banyak berdo’a dan banyak berdzikir ketika itu.
I’tikaf Harus Dilakukan di Masjid
Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala, “(Tetapi) janganlah kamu campuri mereka sedang kamu beri’tikaf dalam masjid”(QS. Al Baqarah: 187).
Demikian juga dikarenakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam begitu juga istri-istri beliau melakukannya di masjid, dan tidak pernah di rumah sama sekali. Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Para ulama sepakat bahwa disyaratkan melakukan i’tikaf di masjid.” Termasuk wanita, ia boleh melakukan i’tikaf sebagaimana laki-laki, tidak sah jika dilakukan selain di masjid.
I’tikaf Boleh Dilakukan di Masjid Mana Saja
Menurut mayoritas ulama, i’tikaf disyari’atkan di semua masjid karena keumuman firman Allah di atas (yang artinya) “Sedang kamu beri’tikaf dalam masjid”.
Imam Bukhari membawakan bab dalam kitab Shahih-nya, “I’tikaf pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan dan i’tikaf di seluruh masjid.” Ibnu Hajar menyatakan, “Ayat tersebut (surat Al Baqarah ayat 187) menyebutkan disyaratkannya masjid, tanpa dikhususkan masjid tertentu.”
Adapun hadits marfu’ dari Hudzaifah yang mengatakan, ”Tidak ada i’tikaf kecuali pada tiga masjid yaitu masjidil harom, masjid nabawi dan masjidil aqsho”; perlu diketahui, hadits ini masih diperselisihkan statusnya, apakah marfu’ (sabda Nabi) atau mauquf (perkataan sahabat). (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/151). Jika melihat perkataan Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah, beliau lebih memilih bahwa hadits tersebut hanyalah perkataan Hudzaifah ibnul Yaman. Lihat Fathul Bari, 4/272.
Para ulama selanjutnya berselisih pendapat masjid apakah yang dimaksud. Apakah masjid biasa di mana dijalankan shalat jama’ah lima waktu ataukah masjid jaami’ yang diadakan juga shalat jum’at di sana?
Walaupun namanya beraneka ragam di tempat kita, baik dengan sebutan masjid, mushalla, langgar, maka itu dinamakan masjid menurut istilah para ulama selama diadakan shalat jama’ah lima waktu di sana untuk kaum muslimin. Ini berarti jika itu mushalla rumahan yang bukan tempat ditegakkan shalat lima waktu bagi kaum muslimin lainnya, maka ini tidak masuk dalam istilah masjid. Sedangkan dinamakan Masjid Jaami’ jika ditegakkan shalat Jum’at di sana.
Imam Malik mengatakan bahwa i’tikaf boleh dilakukan di masjid mana saja (asal ditegakkan shalat lima waktu di sana, pen) karena keumuman firman Allah Ta’ala, “Sedang kamu beri’tikaf dalam masjid”(QS. Al Baqarah: 187).
Ini juga menjadi pendapat Imam Asy Syafi’i. Namun Imam Asy Syafi’i rahimahullah menambahkan syarat, yaitu masjid tersebut diadakan juga shalat Jum’at. Tujuannya di sini adalah agar ketika pelaksanaan shalat Jum’at, orang yang beri’tikaf tidak perlu keluar dari masjid.
Kenapa disyaratkan di masjid yang ditegakkan shalat jama’ah? Ibnu Qudamah mengatakan, “Shalat jama’ah itu wajib (bagi laki-laki). Jika seorang laki-laki yang hendak melaksanakan i’tikaf tidak berdiam di masjid yang tidak ditegakkan shalat jama’ah, maka bisa terjadi dua dampak negatif: (1) meninggalkan shalat jama’ah yang hukumnya wajib, dan (2) terus menerus keluar dari tempat i’tikaf padahal seperti ini bisa saja dihindari. Jika semacam ini yang terjadi, maka ini sama saja tidak i’tikaf. Padahal maksud i’tikaf adalah untuk menetap dalam rangka melaksanakan ibadah pada Allah.”
Wanita Boleh Beri’tikaf
Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan istri beliau untuk beri’tikaf. ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam biasa beri’tikaf pada bulan Ramadhan. Apabila selesai dari shalat shubuh, beliau masuk ke tempat khusus i’tikaf beliau. Dia (Yahya bin Sa’id) berkata: Kemudian ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha meminta izin untuk bisa beri’tikaf bersama beliau, maka beliau mengizinkannya.” (HR Bukhari)
Dari ‘Aisyah, ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf pada sepuluh hari yang akhir dari Ramadhan hingga wafatnya kemudian isteri-isteri beliau pun beri’tikaf setelah kepergian beliau.”(HR Bukhari dan Muslim)
Namun wanita boleh beri’tikaf di masjid asalkan memenuhi 2 syarat: (1) Meminta izin suami dan (2) Tidak menimbulkan fitnah (godaan bagi laki-laki) sehingga wanita yang i’tikaf harus benar-benar menutup aurat dengan sempurna dan juga tidak memakai wewangian.
Lama Waktu Berdiam di Masjid
Para ulama sepakat bahwa i’tikaf tidak ada batasan waktu maksimalnya. Namun mereka berselisih pendapat berapa waktu minimal untuk dikatakan sudah beri’tikaf.
Bagi ulama yang mensyaratkan i’tikaf harus disertai dengan puasa, maka waktu minimalnya adalah sehari. Ulama lainnya mengatakan dibolehkan kurang dari sehari, namun tetap disyaratkan puasa. Imam Malik mensyaratkan minimal sepuluh hari. Imam Malik juga memiliki pendapat lainnya, minimal satu atau dua hari. Sedangkan bagi ulama yang tidak mensyaratkan puasa, maka waktu minimal dikatakan telah beri’tikaf adalah selama ia sudah berdiam di masjid dan di sini tanpa dipersyaratkan harus duduk.
Yang tepat dalam masalah ini, i’tikaf tidak dipersyaratkan untuk puasa, hanya disunnahkan. Menurut mayoritas ulama, i’tikaf tidak ada batasan waktu minimalnya, artinya boleh cuma sesaat di malam atau di siang hari. Al Mardawi rahimahullah mengatakan, “Waktu minimal dikatakan i’tikaf pada i’tikaf yang sunnah atau i’tikaf yang mutlak adalah selama disebut berdiam di masjid (walaupun hanya sesaat).”
Yang Membatalkan I’tikaf
- Keluar masjid tanpa alasan syar’i dan tanpa ada kebutuhan yang mubah yang mendesak.
- Jima’ (bersetubuh) dengan istri berdasarkan Surat Al Baqarah ayat 187. Ibnul Mundzir telah menukil adanya ijma’ (kesepakatan ulama) bahwa yang dimaksud mubasyarah dalam surat Al Baqarah ayat 187 adalah jima’ (hubungan intim).
Yang Dibolehkan Ketika I’tikaf
- Keluar masjid disebabkan ada hajat yang mesti ditunaikan seperti keluar untuk makan, minum, dan hajat lain yang tidak bisa dilakukan di dalam masjid.
- Melakukan hal-hal mubah seperti mengantarkan orang yang mengunjunginya sampai pintu masjid atau bercakap-cakap dengan orang lain.
- Istri mengunjungi suami yang beri’tikaf dan berdua-duaan dengannya.
- Mandi dan berwudhu di masjid.
- Membawa kasur untuk tidur di masjid.
Mulai Masuk dan Keluar Masjid
Jika ingin beri’tikaf selama 10 hari terakhir bulan Ramadhan, maka seorang yang beri’tikaf mulai memasuki masjid setelah shalat Shubuh pada hari ke-21 dan keluar setelah shalat shubuh pada hari ‘Idul Fithri menuju lapangan. Hal ini sebagaimana terdapat dalam hadits ‘Aisyah, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam biasa beri’tikaf pada bulan Ramadhan. Apabila selesai dari shalat shubuh, beliau masuk ke tempat khusus i’tikaf beliau. Dia (Yahya bin Sa’id) berkata: Kemudian ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha meminta izin untuk bisa beri’tikaf bersama beliau, maka beliau mengizinkannya.” (HR Bukhari)
Namun para ulama madzhab menganjurkan untuk memasuki masjid menjelang matahari tenggelam pada hari ke-20 Ramadhan. Mereka mengatakan bahwa yang namanya 10 hari yang dimaksudkan adalah jumlah bilangan malam sehingga seharusnya dimulai dari awal malam.
Adab I’tikaf
Hendaknya ketika beri’tikaf, seseorang menyibukkan diri dengan melakukan ketaatan seperti berdo’a, dzikir, bershalawat pada Nabi, mengkaji Al Qur’an dan mengkaji hadits. Dan dimakruhkan menyibukkan diri dengan perkataan dan perbuatan yang tidak bermanfaat.
Semoga panduan singkat ini bermanfaat bagi pembaca sekalian. Semoga menjadi ilmu yang bermanfaat dan membuahkan amalan tentunya.
Sumber: Fimadani
Nuzulul Quran Bukan Pada Malam 17 Ramadhan
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,
أُنْزِلَتْ صُحُفُ إِبْرَاهِيمَ أَوَّلَ لَيْلَةٍ مِنْ شَهْرِ رَمَضَانَ، وَأُنْزِلَتِ التَّوْرَاةُ لِسِتٍّ مَضَيْنَ مِنْ رَمَضَانَ وَأُنْزِلَ الإِنْجِيلُ لِثَلاثَ عَشْرَةَ مَضَتْ مِنْ رَمَضَانَ ، وَأُنْزِلَ الزَّبُورُ لِثَمَانَ عَشْرَةَ خَلَتْ مِنْ رَمَضَانَ ، وَأُنْزِلَ الْقُرْآنُ لأَرْبَعٍ وَعِشْرِينَ خَلَتْ مِنْ رَمَضَانَ
“Shuhuf Ibrahim diturunkan pada malam pertama Ramadhan. Taurat diturunkan pada hari keenam Ramadhan. Injil diturunkan pada tanggal tiga belas Ramadhan. Zabur diturunkan pada tanggal delapan belas Ramadhan. Dan Al Qur`an diturunkan pada tanggal dua puluh empat Ramadhan.”
Takhrij
Hadits ini diriwayatkan Imam Abul Qasim Sulaiman bin Ahmad Ath Thabarani Al Lakhami rahimahullah (w. 360 H) dari Ali bin Abdil Aziz dari Abdullah bin Raja` dari Imran Al Qaththan dari Qatadah bin Di’amah dari Abul Malih bin Usamah dari Watsilah bin Al Asqa’ Radhiyallahu ‘Anhu, dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.[1]
Hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad (16370), Al Baihaqi dalam Al Kubra (18429), Abu Ya’la (2136), Hisyam bin Ammar (13), Ibnu Asakir dalam Tarikhnya (59), Al Wahidi dalam Asbab Nuzul Al Qur`an (Bab Al Qaul fi Ayati At Tasmiyah wa Bayan Nuzuliha); dari Watsilah bin Al Asqa’ dan Jabir bin Abdillah Radhiyallahu ‘Anhuma.
Derajat Hadits: Hasan
Imam Al Haitsami berkata, “Diriwayatkan Ahmad dan Ath Thabarani dalam Al Kabir dan Al Awsath. Di dalam sanadnya ada Imran bin Dawud Al Qaththan yang dilemahkan oleh Yahya bin Main, namun dia dikuatkan oleh Ibnu Hibban. Ahmad berkata; ‘Saya berharap dia orang yang diterima haditsnya.’ Adapun perawi yang lainnya adalah orang orang yang tsiqah.”[2]
Hadits ini dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam Silsilah Al Ahadits Ash Shahihah (1575) dan Shahih Al Jami’ Ash Shaghir (2377).
Hikmah dan Ibrah
- Semua kitab suci diturunkan Allah pada bulan Ramadhan.
- Al Qur`an diturunkan pada tanggal 24 Ramadhan, bukan 17 Ramadhan, sebagaimana yang biasa diperingati di Indonesia.
- Ada hadits yang menyebutkan bahwa Al Qur`an turun pada malam 17 Ramadhan, tetapi ia adalah hadits dha’if.
__________________________
[1] Al Mu’jam Al Awsath, Bab Al ‘Ain, Man Ismuhu ‘Aliy, hadits nomor 3882.
[2] Majma’ Az Zawa`id (959).
Sumber: Fimadani
29 Juli 2012
Seputar Hadits Doa Buka Puasa yang Shahih
Doa puasa yang sering kita dengar bahkan mungkin juga sering kita baca, adalah:
اللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَبِكَ آمَنْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ ، ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتْ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ الْأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ
“Ya Allah, untuk Mu aku puasa, kepada Mu aku beriman, dan dengan rezeki Mu aku berbuka. Hilanglah rasa dahaga, tenggorokan pun basah, dan sudah pasti berpahala jika Allah menghendaki.”
Catatan
Doa buka puasa yang masyhur ini adalah gabungan dari dua hadits, yaitu:
اللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ
dan,
ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتْ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ الْأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ
Adapun kalimat “ وَبِكَ آمَنْتُ ” adalah tambahan yang sama sekali tidak ada dasarnya, meski maknanya bagus.
Hadits Pertama
Apabila Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam buka puasa, beliau berdoa,
اللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ
“Ya Allah, untuk Mu aku puasa, dan dengan rezeki Mu aku berbuka.”
Takhrij
Hadits ini diriwayatkan Imam Ath Thabarani dalam Al Ausath (7762) dan Abu Nu’aim dalam Akhbar Ashbahan (1756) dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘Anhu.
Ibnu Abi Syaibah (109/1) dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu.
Abu Dawud (2011), Al Baihaqi dalam Asy Syu’ab (3747), Al Baghawi (1761), Adh Dhabbi dalam Ad Du’a` (67), dan Ibnul Mubarak dalam Az Zuhd (1390); dari Mu’adz bin Zuhrah At Tabi’i.
Ibnu Sa’ad dalam Ath Thabaqat Al Kubra pada biografi Abul Ahwash dari Ar Rabi’ bin Khutsaim At Tabi’i.
Derajat Hadits: Dha’if
Al Haitsami berkata,”Diriwayatkan Ath Thabarani dalam Al Ausath. Di dalam sanadnya ada Dawud bin Az Zibriqan. Dia adalah dha’if.”[1]
Imam An Nawawi berkata, “Demikian diriwayatkan secara mursal.”[2]
Al Burhanfuri dalam Kanzu Al ‘Ummal (18056), “Hadits mursal.”
Ar Rafi’i berkata tentang hadits Abu Dawud, “Dia adalah hadits mursal.” Dan tentang hadits Ath Thabarani, “Sanadnya lemah. Di dalamnya terdapat Dawud bin Az Zibriqan, dia itu matruk (ditinggalkan).”[3]
Al Albani mendha’ifkan hadits ini dalam Dha’if Sunan Abi Dawud (2358) dan Dha’if Al Jami’ Ash Shaghir(9831).
Catatan
Ibnul Mulaqqin berkata, “Hadits ini diriwayatkan Abu Dawud dengan sanad hasan (bagus) tetapi mursal. Mu’adz bin Zuhrah adalah seorang tabi’in.”[4]
Al Albani menghasankan hadits ini dalam Misykat Al Mashabih (1994).
Syaikh Abdul Qadir Al Arna`uth berkata, “Mursal, namun ia mempunyai syawahid (beberapa penguat) yang menguatkannya.”[5]
* * *
Hadits Kedua
Ibnu Umar Radhiyallahu ‘Anhuma mengatakan, jika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam buka puasa, beliau membaca:
ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتْ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ الْأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ
“Hilanglah rasa dahaga, tenggorokan pun basah, dan sudah pasti berpahala jika Allah menghendaki.”
Takhrij
Hadits ini diriwayatkan Imam Abu Dawud dari Abdullah bin Muhammad dari Ali bin Al Husain dari Al Husain bin Waqid dari Marwan bin Salim Al Muqaffa’ dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘Anhuma, dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.[6]
Hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam An Nasa`i dalam As Sunan Al Kubra (3329), Al Baihaqi dalamSyu’ab Al Iman (3748), Ad Daraquthni (2302), Al Hakim (1484), Ibnu As Sunni dalam ‘Amal Al Yaum wa Al Lailah (477), dan Ibnu Abi Ad Dunia (29); juga dari Ibnu Umar.
Derajat Hadits: Hasan
Al Hakim (1484) berkata, “Ini adalah hadits shahih sesuai syarat Al Bukhari dan Muslim.”
Al Albani menghasankan hadits ini dalam Mukhtashar Irwa` Al Ghalil (920), Misykat Al Mashabih(1993), Shahih Sunan Abi Dawud (2357), dan Shahih Al Jami’ Ash Shaghir (8807).
* * *
Kesimpulan
Doa buka puasa pada hadits pertama, meski ada yang mendha’ifkan, namun juga ada yang menghasankan. Artinya, derajat kedha’ifannya tidaklah “terlalu.”
Sebaiknya doa buka puasa yang dibaca cukup hadits yang kedua saja. Selain lebih ringkas, ialah yang paling shahih di antara hadits hadits doa buka puasa yang lain.
Jika hendak menggabungkan doa buka puasa, sebaiknya tidak menyertakan kalimat “ وَبِكَ آمَنْتُ ”, karena ia hanyalah tambahan dan tidak termasuk dalam hadits doa buka puasa ini. Wallahu a’lam bish shawab.
_______________________________
[1] Ma’jma’ Az Zawa`id (4892).
[2] Al Adzkar (545).
[3] At Talkhish Al Habir (912).
[4] Khulashatu Al Badr Al Munir (1126).
[5] Raudhatu Al Muhadditsin (4729).
[6] Sunan Abi Dawud, Kitab Ash Shaum, Bab Al Qaul ‘Inda Al Ifthar, hadits nomor 2010.
Sumber: Fimadani
19 Mei 2012
Hadits, Agama, Budaya

Republika - Boleh jadi kita akan meng anggap aneh apabila ada orang berkata: bahwa tidak semua yang berasal dari Rasulullah SAW itu wajib kita ikuti. Namun, anggapan aneh itu akan segera hilang mana kala kita telah mengetahui tentang perincian apa yang berasal dari Rasulullah SAW itu. Dalam disiplin ilmu hadis adalah apa yang berasal dari Rasulullah SAW itu, baik berupa ucapan, perbuatan, penetapan, maupun sifat-sifat Nabi SAW, baik sifat fisik maupun sifat nonfisik disebut hadis.
Para ulama ahli hadis berpendapat bahwa hadis itu sama dengan sunah.
Sementara, para ahli hukum Islam berpendapat bahwa hadis mencakup empat aspek tadi sedangkan sunah hanya mencakup tiga aspek, yaitu ucapan, perbuatan, dan penetapan Nabi SAW.
14 April 2012
Makalah: Hadits Shahih
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hadits mutawatir memberikan faedah “yaqin bi’l-qath’i” (sepositif-positifnya), bahwa Nabi Muhammad saw benar-benar bersabda, berbuat atau menyatakan ikrar (persetujuannya) di hadapan para sahabat, berdasarkan sumber-sumber yang banyak sekali, yang mustahil mereka sama-sama mengadakan persepakatan untuk berdusta. Oleh karena sumber-sumbernya sudah meyakinkan akan kebenarannya, maka tidak perlu di periksa dan di selidiki secara mendalam identitas para rawi itu. Berlainan dengan hadits ahad, yang memberikan faedah “dhany” (prasangka yang kuat akan kebenarannya), mengharuskan kepada kita untuk mengadakan penyelidikan dan pemeriksaan yang seksama, mengenai identitas (kelakuan dan keaddaan) para rawinya, disamping keharusan mengadakan penyelidikan mengenai segi-segi lain, agar hadits ahad tersebut dapat diterima sebagai hujjah atau ditolalk, bila ternyata terdapat cacat yang menyebabkan penolakan. Dari segi ini, hadits ahad terbagi menjadi tiga bagian, yaitu : hadits shahih, hadits hasan dan hadits dha’if. Pada makalah ini, kami akan membahas tentang hadits shahih.
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hadits mutawatir memberikan faedah “yaqin bi’l-qath’i” (sepositif-positifnya), bahwa Nabi Muhammad saw benar-benar bersabda, berbuat atau menyatakan ikrar (persetujuannya) di hadapan para sahabat, berdasarkan sumber-sumber yang banyak sekali, yang mustahil mereka sama-sama mengadakan persepakatan untuk berdusta. Oleh karena sumber-sumbernya sudah meyakinkan akan kebenarannya, maka tidak perlu di periksa dan di selidiki secara mendalam identitas para rawi itu. Berlainan dengan hadits ahad, yang memberikan faedah “dhany” (prasangka yang kuat akan kebenarannya), mengharuskan kepada kita untuk mengadakan penyelidikan dan pemeriksaan yang seksama, mengenai identitas (kelakuan dan keaddaan) para rawinya, disamping keharusan mengadakan penyelidikan mengenai segi-segi lain, agar hadits ahad tersebut dapat diterima sebagai hujjah atau ditolalk, bila ternyata terdapat cacat yang menyebabkan penolakan. Dari segi ini, hadits ahad terbagi menjadi tiga bagian, yaitu : hadits shahih, hadits hasan dan hadits dha’if. Pada makalah ini, kami akan membahas tentang hadits shahih.
9 Maret 2012
Makalah: Sejarah Kodifikasi Hadits
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Hadits atau yang lebih dikenal dengan sunnah adalah
segala sesuatu yang bersumber atau disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, baik
berupa perkataan, perbuatan. Dan peran hadits sebagai salah satu sumber ajaranIslam yang
diakui oleh mayoritas madzhab, tidak dapat dinafikan.
Kendati demikian, keberadaan al-Hadits dalam proses tadwin (kodifikasi) nya sangat berbeda
dengan al-Quran. Sejarah hadits dan periodesasi penghimpunan nya lebih lama dan
panjang masanya dibandingkan dengan al-Qur’an. Al-Hadits butuh waktu 3 abad
untuk pentadwinanya secara menyeluruh. Banyak sekali liku-liku dalam sejarah
pengkodifikasian hadits yang
berklangsung pada waktu itu.
4 Januari 2012
Tugas Hadits II
TUGAS HADITS II
PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI) -
FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM DARUSSALAM (IAID)
CIAMIS
TAHUN AKAEDMIK 2011/2012
1.
Membersihkan
(menghilangkan) najis dan perihal wudlu
a.
Hadist
Tentang Membersihkan Kencing ( LM : 169)
حديث
ابن عباس قال :مَرَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِقَبْرَيْنِ
فَقَالَ إِنَّهُمَا لَيُعَذَّبَانِ وَمَا يُعَذَّبَانِ فِي كَبِيرٍ أَمَّا
أَحَدُهُمَا فَكَانَ لَا يَسْتَبْرَؤُ
مِنْ الْبَوْلِ وَأَمَّا الْآخَرُ فَكَانَ يَمْشِي بِالنَّمِيمَةِ ثُمَّ أَخَذَ
جَرِيدَةً رَطْبَةً فَشَقَّهَا نِصْفَيْنِ فَغَرَزَ فِي كُلِّ قَبْرٍ وَاحِدَةً
قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ لِمَ فَعَلْتَ هَذَا قَالَ لَعَلَّهُ يُخَفِّفُ
عَنْهُمَا مَا لَمْ يَيْبَسَا. اخرجه البخارى.
Artinya : “Hadits Ibnu Abbas dimana ia
berkata : “Nabi saw. berjalan melewati dua
kubur, lantas beliau bersabda : “Sungguh kedua orang itu sedang disiksa, dan
keduanya itu disiksa bukan karena dosa besar, salah seorang diantara keduanya
itu tidak menyelesaikannya sampai tuntas sewaktu kencing; sedangkan yang lain
maka ia suka ke sana ke mari mengadu domba”. Kemudian beliau mengambil dahan
pohon yang masih basah dan membelahnya menjadi dua bagian, lalu beliau menancapkannya pada masing-masing kubur itu. Para
sahabat bertanya : “ Wahai Rasulullah,
kenapa Engkau melakukan itu ?“. Beliau bersabda : “ Semoga Allah meringankan
siksa kedua orang itu selama dahan pohon itu belum kering”. (HR. Bukhari Muslim)
7 Golongan yang Mendapat Naungan Allah Swt.
Takziyah
Takziyah adalah perintah untuk sabar dan menanggung sabar karena ada
janji pahala dan perintah untuk mengingatkan manusia dari dosa karena terlalu
bersedih dan mendo’akan mayit dengan memohonkan ampun, dan bagi orang yang
hidup adalah menolong yang terkena musibah, maka do’a yang dibacakan dalam takziyah
adalah:
“Semoga Allah mengagungkan
ganjaranmu dan membaguskan kesedihanmu dan mengampuni mayitmu dan menolong
musibahmu atau menggantikan bagimu(kebaikan) atau seumpama dengan itu”
21 Oktober 2011
Bersyukurlah ...
- Bukhori meriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAWW bersabda : “Sesungguhnya terdapat tiga orang dari Bani Israil yang mana mereka itu terdiri dari; seorang belang, seorang buta dan seorang lagi botak, maka Allah berkehendak merubahnya (Bada’) dengan menguji mereka, maka Allah mengutus seorang malaikat kepadanya dan berkata kepada si belang : “Apakah gerangan yang paling engkau sukai ?”
Langganan:
Postingan (Atom)