Barangkali setiap orang yang mempelajari mazhab Imam Asy Syafi’i tidak ada yang tidak kenal dengan murid beliau yang bernama Rabi’ bin Sulaiman Al Muradi. Beliau adalah salah seorang murid terbesar Imam Asy Syafi’i yang sudah berjasa menjadi generasi pelanjut, yang menyebarkan ilmu-ilmu beliau.
Tampilkan postingan dengan label Kisah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kisah. Tampilkan semua postingan
14 April 2015
26 Maret 2013
KISAH SEGUCI EMAS
Sebuah kisah yang terjadi di masa lampau, sebelum Nabi kita
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dilahirkan. Kisah yang menggambarkan
kepada kita pengertian amanah, kezuhudan, dan kejujuran serta wara’ yang sudah
sangat langka ditemukan dalam kehidupan manusia di abad ini.
25 Maret 2013
PENGEMIS BUTA DAN NABI MUHAMMAD SAW
“Wahai saudaraku! Jangan engkau dekati Muhammad itu. Dia
orang gila. Dia pembohong. Dia tukang sihir. Jika engkau mendekatinya, engkau
akan dipengaruhinya dan engkau akan menjadi seperti dia,” kata seorang pengemis
buta Yahudi berulang-ulang kali di satu sudut pasar di Madinah pada setiap pagi
sambil tangannya menadah meminta belas orang yang lalu-lalang.
12 Maret 2013
Pelajaran Hidup Dari Bocah Bernama Zhang Da
Seorang anak di China pada 27 Januari 2006 mendapat
penghargaan tinggi dari pemerintahnya karena dinyatakan telah melakukan
“Perbuatan Luar Biasa”. Diantara 9 orang peraih penghargaan itu, ia merupakan
satu-satunya anak kecil yang terpilih dari 1,4 milyar penduduk China.
Yang membuatnya dianggap luar biasa ternyata adalah perhatian dan pengabdian pada ayahnya, senantiasa kerja keras dan pantang menyerah, serta perilaku dan ucapannya yang menimbulkan rasa simpati.
Yang membuatnya dianggap luar biasa ternyata adalah perhatian dan pengabdian pada ayahnya, senantiasa kerja keras dan pantang menyerah, serta perilaku dan ucapannya yang menimbulkan rasa simpati.
24 September 2012
Misteri Keislaman Patih Gajah Mada dan Kerajaan Majapahit
Fimadani - Sebelum kelahiran negara-bangsa bernama Indonesia, sudah ada
sebuah kerajaan di nusantara yang hebat bernama Majapahit. Maka ingatan kita
langsung tertuju pada seorang Patih Gajah Mada yang terkenal dengan “Sumpah
Palapa”-nya. Ia berjanji tidak akan berhenti ber-lara-lapa atau
berpuasa, sebelum bisa mempersatukan seluruh kerajaan-kerajan di Nusantara.
23 Agustus 2012
Washiat Muhammad Al Fatih
Menjalani hari-hari terakhirnya setelah diracun, Muhammad al-fatih
merasaan kematian mungkin akan segera datang. Ia telah lakukan apa yang ia bisa
rasa bisa. Ia telah jalani apa yang ia yakini mesti. Ia telah berikan apa yang
ia anggap punya. Ia tunaikan apa yang ia tahu itu menjadi tanggungjawabnya.
Maka bila takdir telah membuatnya berkuasa di usia muda dan harus membuatnya
mati dalam usia yang belum terlalu tua, hari itu ia merasa layak bicara. Bila
ia harus mencari alasan, mungkin hanya satu : ia telah bekerja.
Tiga puluh satu tahun setelah dilaluinya dalam pegabdian, kerja,
karya, yang luar biasa. Bila kemudian di hari itu ia hendak bicara, itu sudah
semestinya. Ia hendak bicara atas apa yang telah dilakukannya, sebagai sebuah
wasiat untuk anaknya yang akan meneruskan kepemimpinannya. Maka kepada anaknya
ia sampaikan wasiat:
“Aku sudah diambang kematian. Tapi aku berharap aku tidak kawatir,
karena aku meninggalkan seseorang sepertimu. Jadilah seorang pemimpin yang
adil, shalih dan penyayang. Rentangkan pengayomamu untuk rakyatmu, tanpa
kecuali, bekerjalah untuk menyebarkan islam. Karena sesungguhnya itu merupakan
kewajiban para penguasa di muka bumi. Dahuluklan urusan agama atas apapun
urusan lainnya. Dan janganlah kamu jemu dan bosan untuk terus menjalaninya. Janganlah
engkau angkat jadi pegawaimu mereka yang tidak peduli dengan agama, yang tidak
menjauhi dosa besar, dan yang tenggelam dalam dosa. Jauhilah olehmu bid’ah yang
merusak. Jagalah setap jengkal tanah islam dengan jihad. Lindungi harta di
baitul maal jangan sampai binasa. Janganlah sekali-kali tanganmu mengambil
harta rakyatmu kecuali dengan cara yang benar sesuai ketentuan islam. Pastikan
mereka yang lemah mendapatkan jaminan kekuatan darimu. Berikanlah
penghormatanmu untuk siapa yang memang berhak.”
“Ketahuilah, sesungguhnya para ulama adalah poros kekuatan di
tengah tubuh negara, maka muliakanlah mereka. Semangati mereka. Bila ada dari
mereka yang tinggal di negeri lain, hadirkanlah dan hormatilah mereka.
Cukupilah keperluan mereka.”
“Berhati-hatilah, waspadalah, jangan sampai engkau tertipu oleh
harta maupun tentara. Jangan sampai engkau jauhkan ahli syari’at dari pintumu.
Jangan sampai engkau cenderung kepada pekerjaan yang bertentangan dengan ajaran
islam. Karena sesungguhnya agama itulah tujuan kta, hidayah itulah jalan kita.
Dan oleh sebab itu kita dimenangkan.”
“Ambilah dariku pelajaran ini. Aku hadir ke negeri ini bagaikan
seekor semut kecil. Lalu allah memberi nikmat yang besar ini. Maka tetaplah di
jalan yang telah aku lalui. Bekerjalah untuk memuliakan agama islam ini,
menghormati umatnya. Janganlah engkau hamburkan uang negara, berfoya-foya, dan
menggunakannya melampaui batas yang semestinya. Sungguh itu semua adalah
sebab-sebab terbesar datangnya kehancuran.”
Itulah wasiat al-Fatih. Ia
telah mencatatkan tinta emas dalam sejarah dan mengukir prestasi yang insya
Allah layak dibanggakan dihadapan Allah SWT dengan membuktikan pada dunia
melalui usaha yang nyata. Kini tinggal kita wahai Saudaraku, yang akan
merealisasikan hadits Rasulullah SAW “….tsumma takuunu khilafatan ‘ala minhajin
nubuwwah” dengan fikrah Islam dan thoriqah Rasulullah sebagai senjata kita,
akan segera kita taklukkan atas izin Allah, ideologi Kapitalis yang saat ini
sebagai benteng kuat di benak seluruh penguasa kaum muslim, dan kita dirikan
diatas puing-puingnya Negara KHILAFAH ISLAMIYAH!!! ALLAHU AKBAR!!!Sumber: dakwah kampus
13 Agustus 2012
Berbuka Puasa Bersama Bidadari

Hisyam bin Yahya al-Kinaniy berkata, “Kami berperang melawan bangsa Romawi pada tahun 38 H yang dipimpin oleh Maslamah bin Abdul Malik. Dalam pertempuran itu ada di antara kami seorang lelaki yang bernama Sa’id bin Harits yang terkenal banyak beribadah, berpuasa di siang hari, dan shalat di malam hari.
Saya melihat orang itu adalah orang yang sangat bersungguh-sungguh dalam beribadah, baik siang maupun malam hari. Jika dia tidak sedang melakukan shalat atau ketika kami berjalan-jalan bersama, saya lihat dia tidak pernah lepas dari berdzikir kepada Allah dan membaca Al-Qur’an.
Pada suatu malam ketika kami melakukan pergantian jaga (saat mengepung benteng Romawi), sungguh saat itu kami dibuat bingung olehnya. Saat itu saya katakan kepadanya, ‘Tidurlah sebentar karena kamu tidak tahu apa yang akan terjadi pada musuh. Jika terjadi sesuatu agar nantinya kamu dalam keadaan siaga.’
Lalu dia tidur di sebelah tenda sedangkan saya berdiri di tempatku berjaga. Di saat itu saya mendengar Said berbicara dan tertawa, lalu mengulurkan tangan kanannya seolah-olah mengambil sesuatu kemudian mengembalikan tangannya sambil tertawa. Kemudian ia berkata, ‘Semalam.’ Setelah berkata seperti itu tiba-tiba ia melompat dari tidurnya dan terbangun dan bergegaslah dia bertahlil, bertakbir, dan bertahmid.
Lalu saya bertanya kepadanya, ‘Bagus sekali, wahai Abul Walid (panggilan Sa’id), sungguh saya telah melihat keanehan pada malam ini. Ceritakanlah apa yang kau lihat dalam tidurmu.’
Dia berkata, ‘Aku melihat ada dua orang yang belum pernah aku lihat kesempurnaan sebelumnya pada selain diri mereka berdua. Mereka berkata kepadaku, ‘Wahai Sa’id, berbahagialah, sesungguhnya Allah swt. telah mengampuni dosa-dosamu, memberkati usahamu, menerima amalmu, dan mengabulkan doamu. Pergilah bersama kami agar kami menunjukkan kepadamu kenikmatan-kenikmatan apa yang telah dijanjikan oleh Allah kepadamu.’
Tak henti-hentinya Sa’id menceritakan apa-apa yang dilihatnya, mulai dari istana-istana, para bidadari, hingga tempat tidur yang di atasnya ada seorang bidadari yang tubuhnya bagaikan mutiara yang tersimpan di dalamnya. Bidadari itu berkata kepadanya, “Sudah lama kami menunggu kehadiranmu.” Lalu aku berkata kepadanya, “Di mana aku?” Dia menjawab, “Di surga Ma’wa.” Aku bertanya lagi, “Siapa kamu?” Dia menjawab, “Aku adalah istrimu untuk selamanya.”
Sa’id melanjutkan ceritanya. “Kemudian aku ulurkan tanganku untuk menyentuhnya. Akan tetapi dia menolak dengan lembut sambil berkata, ‘Untuk saat ini jangan dulu, karena engkau akan kembali ke dunia.’ Aku berkata kepadanya, “Aku tidak mau kembali.” Lalu dia berkata, “Hal itu adalah keharusan, kamu akan tinggal di sana selama tiga hari, lalu kamu akan berbuka puasa bersama kami pada malam ketiga, insya Allah.”
Lalu aku berkata, “Semalam, semalam.” Dia menjawab, “Hal itu adalah sebuah kepastian.” Kemudian aku bangkit dari hadapannya, dan aku melompat karena dia berdiri, dan saya terbangun.
Hisyam berkata, “Bersyukurlah kepada Allah, wahai saudaraku, karena Dia telah memperlihatkan pahala dari amalmu.” Lalu dia berkata, “Apakah ada orang lain yang bermimpi seperti mimpiku itu?” Saya menjawab, “Tidak ada.” Dia berakta, “Dengan nama Allah, aku meminta kepadamu untuk merahasiakan hal ini selama aku masih hidup.” Saya katakan kepadanya, “Baiklah.”
Lalu Sa’id keluar di siang hari untuk berperang sambil berpuasa, dan di malam hari ia melakukan shalat malam sambil menangis. Sampai tiba saatnya, dan sampailah malam ketiga. Dia masih saja berperang melawan musuh, dia membabat musuh-musuhnya tanpa sekalipun terluka. Sedangkan saya mengawasinya dari kejauhan karena saya tidak mampu mendekatinya. Sampai pada saat matahari menjelang terbenam, seorang lelaki melemparkan panahnya dari atas benteng dan tepat mengenai tenggorokannya. Kemudian dia jatuh tersungkur, lalu dengan segera aku mendekati dia dan berkata kepadanya, “Selamat atas buka malammu, seandainya aku bisa bersamamu, seandainya….”
Lalu ia menggigit bibir bawahnya sambil memberi isyarat kepadaku dengan tersenyum. Seolah-olah dia berharap ‘Rahasiakanlah ceritaku itu hingga aku meninggal’. Kemudian dari bibirnya keluar kata-kata, “Segala puji bagi Allah yang telah menepati janji-Nya kepada kami.” Maka demi Allah, dia tidak berucap kata-kata selain itu sampai dia meninggal.
Kemudian saya berteriak dengan suaraku yang paling keras, “Wahai hamba-hamba Allah, hendaklah kalian semua melakukan amalan untuk hal seperti ini,” dan aku ceritakan tentang kejadian tersebut. Dan orang-orang membicarakan tentang kisah itu dan mereka satu sama lain saling memberikan teguran dan nasihat. Lalu pada pagi harinya mereka bergegas menuju benteng dengan niat yang tulus dan dengan hati yang penuh kerinduan kepada Allah swt. Dan sebelum berlalunya waktu Dhuha benteng sudah bisa dikuasai berkat seorang lelaki shaleh itu, yaitu Sa’id bin Harits. Allahu a’lam
Sumber: Dakwatuna
9 Agustus 2012
Sa’id bin Harits Berbuka Puasa Bersama Bidadari
Hisyam bin Yahya al-Kinaniy berkata, “Kami berperang melawan bangsa Romawi pada tahun 38 H yang dipimpin oleh Maslamah bin Abdul Malik. Dalam pertempuran itu ada di antara kami seorang lelaki yang bernama Sa’id bin Harits yang terkenal banyak beribadah, berpuasa di siang hari, dan shalat di malam hari.
Saya melihat orang itu adalah orang yang sangat bersungguh-sungguh dalam beribadah, baik siang maupun malam hari. Jika dia tidak sedang melakukan shalat atau ketika kami berjalan-jalan bersama, saya lihat dia tidak pernah lepas dari berdzikir kepada Allah dan membaca Al-Qur’an.
Pada suatu malam ketika kami melakukan pergantian jaga (saat mengepung benteng Romawi), sungguh saat itu kami dibuat bingung olehnya. Saat itu saya katakan kepadanya, ‘Tidurlah sebentar karena kamu tidak tahu apa yang akan terjadi pada musuh. Jika terjadi sesuatu agar nantinya kamu dalam keadaan siaga.’
Lalu dia tidur di sebelah tenda sedangkan saya berdiri di tempatku berjaga. Di saat itu saya mendengar Said berbicara dan tertawa, lalu mengulurkan tangan kanannya seolah-olah mengambil sesuatu kemudian mengembalikan tangannya sambil tertawa. Kemudian ia berkata, ‘Semalam.’ Setelah berkata seperti itu tiba-tiba ia melompat dari tidurnya dan terbangun dan bergegaslah dia bertahlil, bertakbir, dan bertahmid.
Lalu saya bertanya kepadanya, ‘Bagus sekali, wahai Abul Walid (panggilan Sa’id), sungguh saya telah melihat keanehan pada malam ini. Ceritakanlah apa yang kau lihat dalam tidurmu.’
Dia berkata, ‘Aku melihat ada dua orang yang belum pernah aku lihat kesempurnaan sebelumnya pada selain diri mereka berdua. Mereka berkata kepadaku, ‘Wahai Sa’id, berbahagialah, sesungguhnya Allah swt. telah mengampuni dosa-dosamu, memberkati usahamu, menerima amalmu, dan mengabulkan doamu. Pergilah bersama kami agar kami menunjukkan kepadamu kenikmatan-kenikmatan apa yang telah dijanjikan oleh Allah kepadamu.’
Tak henti-hentinya Sa’id menceritakan apa-apa yang dilihatnya, mulai dari istana-istana, para bidadari, hingga tempat tidur yang di atasnya ada seorang bidadari yang tubuhnya bagaikan mutiara yang tersimpan di dalamnya. Bidadari itu berkata kepadanya, “Sudah lama kami menunggu kehadiranmu.” Lalu aku berkata kepadanya, “Di mana aku?” Dia menjawab, “Di surga Ma’wa.” Aku bertanya lagi, “Siapa kamu?” Dia menjawab, “Aku adalah istrimu untuk selamanya.”
Sa’id melanjutkan ceritanya. “Kemudian aku ulurkan tanganku untuk menyentuhnya. Akan tetapi dia menolak dengan lembut sambil berkata, ‘Untuk saat ini jangan dulu, karena engkau akan kembali ke dunia.’ Aku berkata kepadanya, “Aku tidak mau kembali.” Lalu dia berkata, “Hal itu adalah keharusan, kamu akan tinggal di sana selama tiga hari, lalu kamu akan berbuka puasa bersama kami pada malam ketiga, insya Allah.”
Lalu aku berkata, “Semalam, semalam.” Dia menjawab, “Hal itu adalah sebuah kepastian.” Kemudian aku bangkit dari hadapannya, dan aku melompat karena dia berdiri, dan saya terbangun.
Hisyam berkata, “Bersyukurlah kepada Allah, wahai saudaraku, karena Dia telah memperlihatkan pahala dari amalmu.” Lalu dia berkata, “Apakah ada orang lain yang bermimpi seperti mimpiku itu?” Saya menjawab, “Tidak ada.” Dia berakta, “Dengan nama Allah, aku meminta kepadamu untuk merahasiakan hal ini selama aku masih hidup.” Saya katakan kepadanya, “Baiklah.”
Lalu Sa’id keluar di siang hari untuk berperang sambil berpuasa, dan di malam hari ia melakukan shalat malam sambil menangis. Sampai tiba saatnya, dan sampailah malam ketiga. Dia masih saja berperang melawan musuh, dia membabat musuh-musuhnya tanpa sekalipun terluka. Sedangkan saya mengawasinya dari kejauhan karena saya tidak mampu mendekatinya. Sampai pada saat matahari menjelang terbenam, seorang lelaki melemparkan panahnya dari atas benteng dan tepat mengenai tenggorokannya. Kemudian dia jatuh tersungkur, lalu dengan segera aku mendekati dia dan berkata kepadanya, “Selamat atas buka malammu, seandainya aku bisa bersamamu, seandainya….”
Lalu ia menggigit bibir bawahnya sambil memberi isyarat kepadaku dengan tersenyum. Seolah-olah dia berharap ‘Rahasiakanlah ceritaku itu hingga aku meninggal’. Kemudian dari bibirnya keluar kata-kata, “Segala puji bagi Allah yang telah menepati janji-Nya kepada kami.” Maka demi Allah, dia tidak berucap kata-kata selain itu sampai dia meninggal.
Kemudian saya berteriak dengan suaraku yang paling keras, “Wahai hamba-hamba Allah, hendaklah kalian semua melakukan amalan untuk hal seperti ini,” dan aku ceritakan tentang kejadian tersebut. Dan orang-orang membicarakan tentang kisah itu dan mereka satu sama lain saling memberikan teguran dan nasihat. Lalu pada pagi harinya mereka bergegas menuju benteng dengan niat yang tulus dan dengan hati yang penuh kerinduan kepada Allah swt. Dan sebelum berlalunya waktu Dhuha benteng sudah bisa dikuasai berkat seorang lelaki shaleh itu, yaitu Sa’id bin Harits. Allahu a’lam
Sumber: Dakwatuna
8 Agustus 2012
Merindukan Rasulullah
“Asyhadu anna Muhammadarrasulullah…”
Seketika sayup suara terhenti, ia tak mampu mengangkat lagi suaranya.. Rindu.. Rindu
“Sungguh aku tak ingin adzan umtuk seorang pun sepeninggal Rasulullah!” Itulah pintanya kepada Abu Bakar ra agar hatinya tak terkoyak moyak saat melantunkan nama sang kekasih. Ia pun meninggalkan kota penuh kenangan tersebut dan berjihad ke wilayah syam.
Suatu ketika, ia, Bilal Ibn Rabah, bermimpi bertemu dengan kekasihnya, Rasulullah saw. Rasulullah meyatakan kerinduan padanya. “Wahai Bilal, apakah gerangan yang menghalangimu untuk mengunjungiku?”
Selepas itu ia terbangun dari tidurnya , berangkat ke Madinah dengan hati yang gulana dirundung rindu. Kemudian ia menceritakan perihal mimpi tersebut kepada sahabat lainnya. Bak pesan berantai, cerita itupun tersebar dari mulut kemulut hingga menjelang sore. Nyaris seluruh penduduk mengetahui berita itu.
Penduduk bersepakat memintanya untuk melantunkan adzan maghrib dihari itu. Di tengah kerinduan yang dalam, ia pun tak kuasa menolak kehendak para sahabat dan penduduk Madinah.
Ditengah senja merah, sepoi angin dan langit yang bersih dari mega, dari suara itu terlantun adzan, memecah tangis warga madinah yang tercekat kerinduan. Rasa dalam dada membuncah, saat-saat bersama Rasulullah saw tercinta masih terekam, membayang kembali dipelupuk mata. Tentu saja bilal dan penduduk madinah lainnya diharu biru kerinduan.
Itulah sepenggal kisah Bilal ibn Rabah ra dan para sahabat. Betapa rindu mereka pada kekasihnya , nabi akhir zaman itu. Kisah ini meninggalkan kita sebuah tanda tanya besar. Adakah rasa rindu itu dihati kita? Rindu Untuk berjumpa dengannya? Bercengkrama dengannya di telaga Kautsar?
Jikalah mungkin, kenankah Rasulullah mengakui kita sebagai umatnya di hari perhitungan kelak? Patutkah beliau memberi kita syafaat di hari kiamat kelak?
Bahkan ketahuilah bahwa Rasulullah saw sangat merindukan perjumpaan dengan kita. Betapa mulia beliau yang merindui umatnya sekalipun belum pernah beliau lihat. Rasulullah ungkapkan rasa rindunya itu didepan para sahabat.
Rindu ini terungkap ketika sepulang Rasulullah saw dari mengunjungi syuhada Uhud, Rasulullah saw pulang dengan menangis sehingga para sahabat bertanya, “Apa yang membuat engkau menangis ya Rasulullah?”
Beliau menjawab, “Aku merindukan saudara-saudaraku seiman.”
“Bukankah kami saudaramu seiman wahai Rasulullah?” Tanya sahabat.
Kemudian beliau bersabda, “Kalian adalah sahabat-sahabatku, adapun saudara-saudara seimanku adalah suatu kaum yang datang setelahku, mereka beriman kepadaku sedang mereka belum pernah melihatku, aku sungguh rindu hendak bertemu dengan mereka.”
Subhanallah, semoga kita termasuk dalam kaum yang diceritakan rasulullah tersebut. Kita Yang tulus merindukannya, mejadikannya kekasih, yang mulai kembali menyusuri jembatan sirohnya, yang memesrai perjalanan hidupnya, yang senantiasa bershalawat padanya dan yang menghidupkan sunnah sunnahnya.
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa’ala alihi wa shahbihi ajma’in
Oleh: Sarah Kurniati, IMUSKA, Korea Selatan
Sumber: Fimadani
4 Agustus 2012
Ramadhan di Negeri Hitler… Sebuah Dialog yang Berkesan
Seperti biasa, hari ini (24/07) aku bekerja di laboratorium pada sebuah Universitas ternama di Jerman untuk menyelesaikan riset PhD ku. Hal yang sedikit berbeda adalah cuaca hari ini cukup panas dan terik di musim summer dan aku dalam keadaan berpuasa di bulan suci Ramadhan. Tanpa sengaja aku mencurigai seorang teman asal Jerman yang sehari-hari bekerja bersama di laboratorium itu seperti mengamati gerak-gerikku sejak tadi. Seolah melihat orang asing, dia mengamatiku yang sedang bekerja seperti layaknya anggota inteligen atau anggota telik sandi yang sedang bertugas memata-mataiku. Karena sedang asyik dengan pekerjaanku, hal itu aku biarkan saja. Akhirnya si bule Jerman ini pun datang menghampiriku dan terjadilah dialog yang berkesan itu;
Jerman: Ichsan, saya dengar kamu sedang Ramadhan ya?
Aku: Iya, sahutku sambil terus bekerja
Jerman: Dan kamu berpuasa hari ini?
Aku: Iya tentu saja, jawabku
Jerman: Tidak boleh makan dan tidak boleh minum di musim panas seperti ini?
Aku: Betul, dan kami melakukannya sejak pukul 03.00 malam hingga 21.30 selama sebulan penuh.
Jerman: Oh… tidak, jadi kamu tidak makan dan minum selama 18 jam? Tidak makan oke lah tapi kalau tidak minum selama itu tidaklah mungkin, dalam cuaca panas seperti ini tanpa minum 18 jam?? Ayolah Ichsan, itu tidak masuk akal!
Aku: Iya aku setuju, bagi kamu tentu tidak masuk akal karena kamu tidak beriman kepada Allah Tuhan kami, kamu tidak meyakininya. Saya yakin kalau kamu yang melakukannya hari ini, dalam cuaca panas seperti ini, mungkin kamu sudah pingsan, hehe. Tapi bagi kami tidak, kami meyakininya. Lebih jauh lagi kami mengimaninya dengan sangat kuat sebagai satu perintah dari Tuhan kami sehingga kami tidak merasa berat untuk melaksanakannya.
Kamu percaya tidak? kami malah merasa senang ketika Ramadhan tiba, bahkan sebagian kami menyambutnya dengan perayaan kecil di rumah masing-masing bersama keluarga mereka.
Kamu percaya tidak? kami malah merasa senang ketika Ramadhan tiba, bahkan sebagian kami menyambutnya dengan perayaan kecil di rumah masing-masing bersama keluarga mereka.
Jerman: Gembira karena akan lapar dan haus? 18 jam?? Itu tidak masuk akal Ichsan.
Aku: Iya, tidak masuk akal bagi kamu. Tapi bagi kami puasa di bulan Ramadhan itu adalah kebutuhan. Kami merindukan kehadirannya setiap tahun.
Jerman: Kebutuhan?? Kamu jangan bercanda, kebutuhan manusia itu makan dan minum, bukan lapar dan haus, itu tidak terbantahkan.
Aku: Justru di situlah letak kesempurnaan agama kami, Islam tidak hanya mengajarkan pemenuhan kebutuhan fisik seperti makan dan minum saja tapi juga pemenuhan kebutuhan jiwa, kebutuhan spiritual dan semua sepakat bahwa pemenuhan kebutuhan jiwa itu sangatlah penting. Ini yang tidak terbantahkan, bukan begitu??
Jerman: Iya kamu benar, tapi tidak menyiksa diri di musim panas yang siangnya sangat lama seperti ini.
Aku: Allah Tuhan kami tidak hanya memerintahkan puasa tapi juga memerintahkan kami makan dan minum yang cukup. Kamu lihat, dalam setahun ada 12 bulan dan kami hanya diperintahkan berpuasa satu bulan saja sementara yang 11 bulan lagi kami boleh makan dan minum. Kami tidak diperintahkan puasa sepanjang tahun, iya kan? Atau 6 bulan puasa dan 6 bulan tidak puasa. Tidak, hanya satu bulan saja dan itu hanya di siang hari saja. Jadi kamu lihat betapa sayangnya Tuhan kami kepada kami dan lagipula Ramadhan itu adalah sebuah hadiah untuk kami sebagai wujud cinta antara kami dan Tuhan kami.
Jerman: Aku tidak mengerti Ichsan
Aku: Tentu saja, itu karena kamu tidak beriman kepada Tuhan kami, kamu tahu bahwa aku bisa saja diam-diam makan atau minum kapan saja tanpa ada orang yang melihat? Apalagi di Jerman seperti ini di mana orang semua makan dan minum leluasa di depanku saat siang hari. Tapi aku tidak akan pernah melakukannya, kamu tahu kenapa? Karena keimanan dan keyakinanku pada Tuhanku.
Jerman: Bagaimana dengan anak-anak? Apa anak-anakmu juga berpuasa?
Aku: Anak-anak tentu mendapatkan keringanan, anakku yang pertama berumur 7 tahun, dia sudah kami latih untuk berpuasa. Dia tidak kami paksa untuk tidak makan dan minum tapi kami latih dan beri pemahaman bahwa puasa itu adalah perintah dari Tuhan kami dan puasa itu baik dan sehat untuknya. Kami punya waktu untuk melatih dan mengajari mereka untuk berpuasa mulai umur 7 hingga 10 tahun. Dan itu adalah waktu yang cukup bila digunakan dengan baik oleh kedua orang tuannya. Nanti ketika sudah berumur 10 tahun mereka sendiri yang akan meminta untuk berpuasa, shalat ataupun ibadah yang lain. Jadi tidak perlu disuruh lagi.
Jerman: Begitu cara kalian mendidik mereka, apakah itu berhasil?
Aku: Terus terang dalam hal ini tidak semua orang tua berhasil, tapi kami selalu berusaha kearah sana.
Aku: Sebagai contoh, hari ini dalam cuaca yang panas ini aku berpuasa sejak jam 3 malam tadi, tapi apakah kamu melihat aku seperti orang yang kehausan atau lapar??
Jerman: Itu dia, dari tadi aku mengamati kamu bekerja, tapi aku heran kamu tampak seperti biasa, tidak tampak kehausan, tidak kelihatan lemas atau lesu sedikit pun, makanya tadi aku bertanya apakah kamu berpuasa.
Aku: Iya, itulah arti penjelasanku tadi, saat hari pertama dan kedua Ramadhan memang agak sedikit terasa karena kalau di Indonesia kami hanya berpuasa 13 jam jadi butuh penyesuaian tapi kemudian sudah terbiasa. Inilah yang aku sebut tadi dengan keimanan. Ini sudah jam 4 sore tapi aku tidak merasa haus atau lapar sedikit pun karena setiap malam sebelum berpuasa kami berniat untuk berpuasa karena Allah Tuhan kami, jadi itulah yang membuat kami kuat.
Dan dia pun berlalu melanjutkan kerjanya, entah dia mengerti atau tidak penjelasanku tapi yang jelas aku sudah menyampaikan apa yang aku pahami tentang hal yang ditanyakan itu. Siapa tahu suatu hari nanti Allah SWT memberinya hidayah lalu dia beriman kepada Allah, maka tentu dia akan dengan mudah memahami dan mengerti penjelasanku yang kuberikan tadi.
Wallahu’alam
Sumber: http://www.dakwatuna.com/2012/08/22068/ramadhan-di-negeri-hitler-sebuah-dialog-yang-berkesan/#ixzz22WyphaIe
30 Juli 2012
Kehidupan Adalah Guru
Oleh: Syamsudin Kadir
SAYA sangat percaya jika Anda pernah mendengar ungkapan ini: Kehidupan adalah guru.Ya, kehidupan ini sesungguhnya guru yang selalu mengajarkan banyak ilmu, hikmah juga pengalaman. Perjalanan hidup seseorang, siapa pun dia, sangat ditentukan oleh pemahaman dan lakonnya dalam kehidupan ini. Itulah gurunya.
Setiap orang tentu memiliki alur hidupnya masing-masing. Apakah terencana atau tidak, semuanya memiliki jalan hidupnya. Itulah kenyataan hidup yang terpampang nyata dalam kehidupan ini. Bagi mereka yang memiliki rencana hidup yang jelas tentu menjalani kehidupannya secara teratur, sedangkan mereka yang hidup asal hidup menjalani kehidupannya begitu adanya saja. Keduanya memperoleh hasil yang tentu saja berbeda.
“Mereka yang memiliki rencana hidup akan memperoleh hasil yang maksimal juga memuaskan, apa pun bentuknya. Mereka siap menerima apa pun hasil dari rencana hidup yang mereka susun. Sebaliknya, mereka yang asal hidup akan frustasi dengan kehidupannya. Apa yang mereka peroleh dirasa seperti hukuman yang kadang membuat mereka bertambah gersang dan bingung menjalani kehidupan.”
Sebagai awalan, saya ingin berbagi cerita. Sejak SMP hingga kuliah saya tidak hidup bersama orangtua juga keluarga saya. Karenanya tak sedikit tantangan dan kendala hidup yang saya hadapi. Dalam mengarungi kehidupan yang kaya tantangan tersebut, tak sedikit pengalaman yang saya dapatkan. Saya semakin tertantang untuk banyak belajar mandiri. Bahkan saya juga terinspirasi untuk belajar di luar sarana pendidikan formal. Belajar bagaimana melakoni kehidupan, bagaimana menjadi seorang yang tahan banting dan berbagai hal yang bermakna belajar.
Dari pengalaman belasan tahun tersebut, saya terpahamkan bahwa sekolah atau universitas memang tempat menuntut ilmu atau orang mengenalnya sebagai gudang ilmu. Sekolah, universitas atau sarana sejenisnya bisa membentuk kepribadian siapa pun menjadi kuat dan meningkatkan kemampuan sumber daya manusia. Selain itu, sarana-sarana tersebut juga mampu menaikan derajat seseorang, mengingkatkan keahlian, prestasi dan status sosial.
Namun, itu tak cukup. Saya termasuk yang menyaksikan betapa perkembangan dan perubahan zaman telah mendistorsi beberapa manfaat sarana formal tersebut. Bahkan pada kasus tertentu pendidikan formal tidak memberi apa-apa dan tak bermanfaat apa-apa jika seseorang menjalani kehidupan ini hanya berpegang pada sarana-sarana formal yang sering hanya formalitas.
Ada banyak orang yang sibuk mencari gelar atau titel demi mendapatkan penghargaan dan penghormatan dengan segala cara yang kadang tidak halal. Namun apa yang mereka peroleh adalah kenestapaan. Betul mereka mendapatkan apa yang mereka kejar, tapi tak sedikit di antara mereka yang hanya mendapatkan simbol-simbol yang tak bermanfaat bagi kehidupan mereka. Bahkan kadang mereka menjadi orang yang “bodoh” dan “ngawur” menghadapi kehidupan nyata.
Dari situ, saya tersadarkan bahwa ujian sesungguhnya ada dalam kehidupan sehari-hari, dalam kehidupan nyata dimana dinamika kehidupan terjadi, bukan sekadar ujian dalam jalur pendidikan formal. Pada situasi zaman yang terus berubah ini, manusia tidak lagi hanya dituntut belajar secara teori melainkan dengan parktik nyata. Terlepas dari apakah sarana-sarana pendidikan itu penting atau tidak, relevansinya dalam kehidupan tidak terlalu mampu mengubah manusia ke arah yang lebih baik, apalagi manusia sudah tak memiliki rencana dan prinsip hidup.
“Sadarlah bahwa yang mengubah kehidupan ini sesungguhnya adalah kemampuan manusia berkompetesi dalam perjuangan hidup dalam kehidupan nyata. Hidup tidak lagi sekadar mengikuti anjuran, tidak lagi berdasarkan rumusan kaku, tapi mesti diujicoba dalam kehidupan nyata.”
Sahabat dahsyat! Masa kini lebih fleksibel, lebih berdinamika dan lebih menantang. Ingat bahwa dunia ini telah maju lebih cepat ketimbang 50 tahun sebelumnya. Sekarang seorang anak kecil saja sudah amat akrab dengan internet, HP, laptop dan semacamnya. Perubahan telah mengajak kita ke sebuah dimensi ruang-waktu yang nyaris tanpa batas. Waktu sudah dihitung 24 jam sehari—tujuh hari sepekan.
Waktu berlalu begitu cepat dengan dimensi dunia tanpa batas yang ditunjukkan oleh perkembangan teknologi, terutama internet. Surat dari Indonesia bisa diterima dalam hitungan detik di Eropa, Mesir dan lain-lain. Apa yang terjadi di luar angkasa sana dapat diketahui secara cepat di dunia. Itulah kecepatan, perubahan dan kemajuan. Dunia lama telah ditinggalkan dan diganti dengan perkembangan baru.
Kehidupan nyata adalah ujian sesungguhnya dari proses perubahan menuju kehidupan, sayangnya sarana-sarana pendidikan seperti yang disebutkan di awal tidak selalu mengantisipasinya secara dini. Dengan begitu, tak sedikit orang yang memiliki banyak gelar tapi minus peran alias kosong karya. Alih-alih mendulang kinerja, mereka justru bingung dengan dirinya sendiri.
“Orang yang tak memahami apa yang tidak dia ketahui takkan pernah paham apa yang mesti dia pahami. Dengan begitu, dia pun hanya menjadi onggokan kosong yang tak memberi manfaat apa-apa untuk diri juga lingkungannya.”
Ada satu pengalaman yang sepertinya perlu saya ceritakan kepada Anda. Setelah—bahkan ketika—menuntaskan studi di berbagai jalur atau strata pendidikan, saya mencoba untuk mencari sekaligus membuat pekerjaan untuk kebutuhan hidup saya. Selain mengajar di beberapa tempat, saya juga bekerja sebagai tim redaksi di beberapa penerbitan buku, di samping menyalurkan kesukaan saya menulis berbagai makalah, artikel dan semacamnya untuk berbagai seminar, pelatihan dan workshop di beberapa kota serta media sosial. Dari berbagai aktivitas tersebut saya mendapatkan banyak hikmah dan pelajaran yang tidak pernah saya temukan di bangku pendidikan formal.
Beberapa waktu kemudian, tepatnya pada 4 Oktober 2010, saya memilih untuk menyempurnakan kehidupan saya dengan menikah. Saya menikah dengan Mba Uum Heroyati, seorang aktivis pendidikan sekaligus pengajar di salah satu sekolah di Cirebon-Jawa Barat. Pada momentum ini saya mendapatkan begitu banyak hal yang nyaris tak terlupakan.
Sebelum menikah saya mengabarkan kepada keluarga akan niat saya, mengenai akad dan walimahan nikah saya kelak. Sebagai bagian dari keluarga besar saya tentu sangat membutuhkan dukungan juga bantuan keluarga, termasuk dana untuk membiayai akad dan walimahan nikah kelak.
Namun, apa yang saya dapatkan? Apa yang saya harapkan tak kunjung tiba. Kesabaran saya diuji di sini, ya sebagian nafas kehidupan saya diuji. Walau begitu, setelah mendapatkan konfirmasi, saya sadar bahwa keluarga saya pada waktu itu dalam keadaan sulit. Apalagi Ayah dan Ibu saya masih dalam proses penyembuhan.
Tak putus asa, saya pun tetap melanjutkan rencana saya. Singkat cerita, saya pun menikah tanpa kehadiran kedua orangtua dan keluarga besar saya. Untuk pembiayaan, saya ambil dari sisa uang yang saya gunakan untuk biaya kehidupan sehari-hari sebelumnya. Ya, saya membiayai acara akad dan walimahan nikah saya dari kantong saya sendiri.
Jujur, waktu itu saya sempat bertanya pada diri saya, apakah saya masih punya keluarga? Namun, pertanyaan itu hanya lewat seketika. Mengapa? Karena saya sadar bahwa kondisi ekonomi keluarga belum memungkinkan. Lagi-lagi, saya mesti maklum, paham dan sabar menghadapi semua ini.
Lebih jauh, saya menjadi paham bahwa kehidupan ini adalah tempat belajar sekaligus guru. Dari kehidupan nyata saya belajar mandiri, menata dan melakoni kehidupan berdasarkan rencana yang telah saya susun sejak lama. Tak ada yang perlu dipungkiri bahwa pada episode kehidupan ini selalu dan mesti ada kendala dan tantangan hidup. Ya, saya sadar bahwa hanya mereka yang berani mengarungi tantangan hidup saja yang bisa bertahan dalam hidup, selebihnya hanya akan menjadi pemangsa kehidupannya.
“Manusia hidup bukanlah mereka yang hanya bisa bernafas, tapi mereka yang berani melakukan sesuatu dan mampu mengambil hikmah dari seluruh kejadian, peristiwa dan tantangan hidup yang mereka lalui.”
Selama menjalani kehidupan di Bandung, saya menyaksikan tak sedikit sahabat-sahabat saya yang mandiri dalam hidup. Mereka begitu sukses melakoni kehidupan dengan rencana yang matang. Uniknya, tak sedikit di antara mereka yang sukses dalam karir pendidikannya karena usaha sendiri. Ada yang mendirikan penerbitan, menjadi pedagang buku dan baju kaos, menjual bakso, dan beberapa jenis aktivitas yang sedikit-banyak telah membantu mereka dalam menjalani kehidupan—termasuk membiayai kuliah mereka.
Yang tak kalah dahsyatnya, di antara mereka ada yang menjual pulsa, mengajar, mendirikan lembaga pelatihan, menjaga warnet dan menjadi karyawan rentalan komputer. Uang hasil usaha dan aktivitas ini mereka gunakan untuk kehidupan sehari-hari mereka, untuk biaya kuliah juga untuk berbagai aktivitas sosial seperti membantu yayasan yatim piatu, anak-anak berekonomi lemah dan lain-lain.
Untuk siapa pun Anda, saya ingin berbagi kepada Anda. Baca dan renungi pernyataan berikut ini:
“Mari melakukan penyadaran ulang untuk mengetahui bahwa dunia ini telah berubah dan berkembang. Zaman sekarang semuanya tidak bisa dilihat hanya sebelah mata, tidak bisa dilakoni tanpa tujuan yang jelas. Perubahan zaman dan pola hidup telah membawa manusia berada pada tingkatan hidup yang lebih makmur, tentu dengan berbagai tuntutannya. Perkembangan zaman telah memaksa manusia sehingga mau tidak mau mesti terlibat di dalamnya bahkan harus menjadi pelaku utamanya.”
Sahabat dahsyat! Berubah adalah bertumbuh. Bertumbuh adalah berkembang. Bertumbuh adalah berjalan menuju kehidupan yang lebih baik, lebih bermakna bagi diri sendiri dan orang lain, lebih memberi makna untuk keberhasilan atau kesuksesan kehidupan. Ruang-ruang itulah yang biasanya kosong dalam kehidupan manusia, sehingga tak sedikit oarng yang tidak melihat dan enggan memahami esensi perubahan dalam kehidupan yang sesungguhnya.
Persoalan lain adalah, tak sedikit orang yang tidak mengetahui di bagian mana kehidupannya yang harus dirubah, pada sisi mana dia harus tumbuh. Minimnya kesadaran akan perubahan telah menjadi sebuah dilema kehidupan yang mengakar dan membudaya sehingga jangankan mengubah sebuah negara, dirinya sendiri belum bisa.
Siapa pun Anda, saat ini adalah kesempatan terbaik untuk mengetahui di bagian mana dari kehidupan Anda yang mesti Anda ketahui, dengan demikian kekurangan dan kelemahan diri Anda bisa diketahui. Selanjutnya, akan dengan mudah bagi Anda untuk memperbaikinya, melakukan perubahan yang mendasar bagi kehidupan Anda. Berikutnya akan mudah bagi Anda untuk mendeklarasikan bahwa diri bahwa Anda telah berubah dan bersiap sedia melakoni kehidupan ini secara maksmial.
“Kehidupan ini selalu memberi banyak kenangan yang sulit dilupakan. Ada banyak cerita dan pengalaman yang membuatnya menjadi lebih indah. Mereka yang sukses memahami kehidupan sebagai perjalanan yang mesti dilakoni dengan kesungguhan adalah di antara pemenang. Sebab merekalah yang bersedia menjadi murid atau siswa terbaik bagi kehidupannya. Karena mereka sadar bahwa kehidupan ini adalah guru.”
Akhir kata, tanpa bermaksud menggurui Anda, saya ingin mengingatkan bahwa apa pun profesi Anda, di mana pun Anda bekerja serta apa pun jabatan Anda, percayalah bahwa kehidupan ini adalah guru paling bijak. Tempat belajar yang selalu terbuka dan gratis bagi siapa pun yang ingin belajar sepanjang masa. Mari menjadi murid atau siswa terbaik baginya, semoga dengan begitu kehidupan ini semakin bermakna dan indah untuk dikenang!
9 Juli 2012
Sang Penyelamat
Alkisah, Maslamah bin Abdul Malik mengepung satu benteng dalam waktu yang cukup lama hingga orang-orang yang berada di dalamnya sangat kesusahan dan mereka berharap ada orang yang mau menyelamatkan mereka dari pengepungan itu tetapi tidak ada satu orang pun yang mau masuk ke dalam benteng mereka.
3 Mei 2012
Saat Iblis Bertamu Kepada Rasulullah SAW
Rasulullah bersabda: “Tahukah kalian siapa yang memanggil?”
Kami menjawab: “Allah dan rasulNya yang lebih tahu.”
Beliau melanjutkan, “Itu Iblis, laknat Allah bersamanya.”
Umar bin Khattab berkata: “Izinkan aku membunuhnya wahai Rasulullah”.
Nabi menahannya: “Sabar wahai Umar, bukankah kamu tahu bahwa Allah memberinya kesempatan hingga hari kiamat? Lebih baik bukakan pintu untuknya, sebab dia telah diperintahkan oleh Allah untuk ini, pahamilah apa yang hendak ia katakan dan dengarkan dengan baik.”
Langganan:
Postingan (Atom)