Tampilkan postingan dengan label Ramadhan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Ramadhan. Tampilkan semua postingan

3 Mei 2020

Jaga Diri & Hati di Bulan Suci

Berhentilah dengan kata2 nakal, ia akan menawanmu dan akan meminta pertanggungjawaban darimu.
Jaga lisanmu, selamat dirimu.

Kata-kata menjelma jadi prasangka, prasangka didominasi oleh keburukan ...

Puasa adalah perisai, rugilah jika kata-kata tak menjelma jadi ibadah ...

Kata-kata bisa jadi senjata mkan tuan, ia merusak diri sendiri dan menjerumuskannya ke lembah nadir kenistaan. Karena kata2 lah muara dari kebaikan pun keburukan.

Puasa berkata buruk juga kasar adalah serangkaian pelajaran dari bulan Ramadhan ...


Lebih banyak ngobrol bareng Alloh daripada makhluk di bulan mulia ini. Bibir bersih, lidah terjaga, kata tertata dan hati tenteram.

Makanya, kenapa puasa disebut perisai, karena ia menjaga virus2 yang membahayakan hati yang mewujud jadi laku.

Rugi pisan kalo cuma ngosongin perut, tapi bersilat lidah jalan terus. Ghibah lancar jaya, kata2 nakal tetep diumbar, obrolan unfaedah terus diperdagangkan. Puasamu hanya haus & lapar, selebihnya .... Nol besar bradah & sistah.

Satu bulan hanya medan latihan, sebelas sisanya medan perjuangan. Kalo saat latihan kita ga serius, jangan harap pas perang sesungguhnya kita menang. Kalo lagi training kita banyak maen2, pas aksi sebenarnya jangan kecewa kalo kita gagal berterusan. Waspadalah !

Bulan ini pun bulan cinta. Bulan buat ekspresikan rasa cinta tepatnya. Sejauhmana kita menyerahkan segala usaha selama sebulan penuh untuk perbaiki diri, lebih banyak memberi, lebih banyak berdedikasi, makin banyak ngaji dan tambah dekat dengan sesama ...

Hanya mencintai Alloh kita gak bakalan kecewa.

Saat mencintai makhluk, maka sebenarnya kita harus mempersiapkan diri untuk dikecewakan, berkalung penyesalan, galau tak berkesudahan, berseiap untuk disakiti, atau bahkan untuk dikhianati ...

Setia kepada Alloh membuka segala pintu kemudahan. Setia kepada makhluk adalah setapak jalan menuju setia kepada-Nya.

Hati yang mendua, rasa yang berkhianat, cinta yang bertahta dusta hanya akan menampakan dirinya dengan wajah coreng moreng dan menjijikan...

Ingat lah ... Alloh Maha Pencemburu.

Sekali saja kau tak setia kepada-Nya, menduakan-Nya, mengkhianati-Nya. Maka langgeng sudah nestapa yang akan didapat, siksanya teramat sangat pedih Jenderal !!!

Maka Alloh pun menempatkan rasa cemburu pada makhlukNya. Ya, seluruh makhluk.

Ingat lah ... Alloh Maha Pencemburu.

Sekali saja kau tak setia kepada-Nya, menduakan-Nya, mengkhianati-Nya. Maka langgeng sudah nestapa yang akan didapat, siksanya teramat sangat pedih Jenderal !!!

Maka Alloh pun menempatkan rasa cemburu pada makhlukNya. Ya, seluruh makhluk.

Dan rasa cemburu terbesar dimiliki oleh kaum Hawa. Adapun kaum Adam, mereka punya, lalu mengekspresikan rasa cemburunya dengan 2 hal ekstrem. Diam atau Labrak.

Kaum hawa mengekspresikannya dengan tangisan, lalu meledak menjadi amarah.
Maka, Ramadhan adalah pengendali emosi.

Jaga diri dan hati di bulan yang suci
Semoga tak sia-sia Ramadhan yang kita bersamai ...

4 Juli 2014

#RamadhanKarim



1.     Pada bulan ini, Ramadhan yg suci. Allah lebihkan pahala bagi tiap diri. Agar menjadi mukmin sejati. Bergelar Muttaqin saat mati.
2.     Kitapun dilebihkan energi. Untuk mengingat ilahi. Karena keutamaan yg amat tinggi. Atas Ramadhan yg diberkati.

28 Agustus 2013

Bulan Syawal; Momentum Penguatan Aqidah, Peningkatan Ibadah dan Peneguhan Istiqamah

Ketika Ramadhan berlalu sejatinya bumi dan langit menangis, karena ia ditinggalkan oleh tamu agung yang membawa beribu keberkahan, berlipat rahmat, berlapis ampunan da nada malam istimewa yang disebut dengan lailatul qadar. Namun, dari banyaknya keutamaan yang datang bersama Ramadhan sesungguhnya pula Allah menyuguhkan satu bulan istimewa, dimana pada bulan itu pun Allah memberikan keutamaan, yaitu Syawal. Ya, bulan ke-10 dalam urutan kalender Hijriyah ini Allah menjadikannya sebagai bulan yang disambut dengan lantunan takbir, tahmid dan tahlil, atau kita biasa menyebutnya dengan “lebaran”.

28 Juli 2013

Gema Ramadhan Pramuka Penegak III Kabupaten Ciamis 1434 H.

 
Kak H. Iing Syam Arifin selaku Ketua Kwarcab Pramuka Ciamis membuka secara resmi kegiatan Gema Ramadhan Pramuka Penegak ke-3 tingkat Kabupaten Ciamis pada hari Sabtu, 27 Juli 2013 bertempat di lapang parkir barat Gedung DPRD Kabupaten Ciamis.

13 Agustus 2012

Berbuka Puasa Bersama Bidadari



Hisyam bin Yahya al-Kinaniy berkata, “Kami berperang melawan bangsa Romawi pada tahun 38 H yang dipimpin oleh Maslamah bin Abdul Malik. Dalam pertempuran itu ada di antara kami seorang lelaki yang bernama Sa’id bin Harits yang terkenal banyak beribadah, berpuasa di siang hari, dan shalat di malam hari.
Saya melihat orang itu adalah orang yang sangat bersungguh-sungguh dalam beribadah, baik siang maupun malam hari. Jika dia tidak sedang melakukan shalat atau ketika kami berjalan-jalan bersama, saya lihat dia tidak pernah lepas dari berdzikir kepada Allah dan membaca Al-Qur’an.
Pada suatu malam ketika kami melakukan pergantian jaga (saat mengepung benteng Romawi), sungguh saat itu kami dibuat bingung olehnya. Saat itu saya katakan kepadanya, ‘Tidurlah sebentar karena kamu tidak tahu apa yang akan terjadi pada musuh. Jika terjadi sesuatu agar nantinya kamu dalam keadaan siaga.’
Lalu dia tidur di sebelah tenda sedangkan saya berdiri di tempatku berjaga. Di saat itu saya mendengar Said berbicara dan tertawa, lalu mengulurkan tangan kanannya seolah-olah mengambil sesuatu kemudian mengembalikan tangannya sambil tertawa. Kemudian ia berkata, ‘Semalam.’ Setelah berkata seperti itu tiba-tiba ia melompat dari tidurnya dan terbangun  dan bergegaslah dia bertahlil, bertakbir, dan bertahmid.
Lalu saya bertanya kepadanya, ‘Bagus sekali, wahai Abul Walid (panggilan Sa’id), sungguh saya telah melihat keanehan pada malam ini. Ceritakanlah apa yang kau lihat dalam tidurmu.’
Dia berkata, ‘Aku melihat ada dua orang yang belum pernah aku lihat kesempurnaan sebelumnya pada selain diri mereka berdua. Mereka berkata kepadaku, ‘Wahai Sa’id, berbahagialah, sesungguhnya Allah swt. telah mengampuni dosa-dosamu, memberkati usahamu, menerima amalmu, dan mengabulkan doamu. Pergilah bersama kami agar kami menunjukkan kepadamu kenikmatan-kenikmatan apa yang telah dijanjikan oleh Allah kepadamu.’
Tak henti-hentinya Sa’id menceritakan apa-apa yang dilihatnya, mulai dari istana-istana, para bidadari, hingga tempat tidur yang di atasnya ada seorang bidadari yang tubuhnya bagaikan mutiara yang tersimpan di dalamnya. Bidadari itu berkata kepadanya, “Sudah lama kami menunggu kehadiranmu.” Lalu aku berkata kepadanya, “Di mana aku?” Dia menjawab, “Di surga Ma’wa.” Aku bertanya lagi, “Siapa kamu?” Dia menjawab, “Aku adalah istrimu untuk selamanya.”
Sa’id melanjutkan ceritanya. “Kemudian aku ulurkan tanganku untuk menyentuhnya. Akan tetapi dia menolak dengan lembut sambil berkata, ‘Untuk saat ini jangan dulu, karena engkau akan kembali ke dunia.’ Aku berkata kepadanya, “Aku tidak mau kembali.” Lalu dia berkata, “Hal itu adalah keharusan, kamu akan tinggal di sana selama tiga hari, lalu kamu akan berbuka puasa bersama kami pada malam ketiga, insya Allah.”
Lalu aku berkata, “Semalam, semalam.” Dia menjawab, “Hal itu adalah sebuah kepastian.” Kemudian aku bangkit dari hadapannya, dan aku melompat karena dia berdiri, dan saya terbangun.
Hisyam berkata, “Bersyukurlah kepada Allah, wahai saudaraku, karena Dia telah memperlihatkan pahala dari amalmu.” Lalu dia berkata, “Apakah ada orang lain yang bermimpi seperti mimpiku itu?” Saya menjawab, “Tidak ada.” Dia berakta, “Dengan nama Allah, aku meminta kepadamu untuk merahasiakan hal ini selama aku masih hidup.” Saya katakan kepadanya, “Baiklah.”
Lalu Sa’id keluar di siang hari untuk berperang sambil berpuasa, dan di malam hari ia melakukan shalat malam sambil menangis. Sampai tiba saatnya, dan sampailah malam ketiga. Dia masih saja berperang melawan musuh, dia membabat musuh-musuhnya tanpa sekalipun terluka. Sedangkan saya mengawasinya dari kejauhan karena saya tidak mampu mendekatinya. Sampai pada saat matahari menjelang terbenam, seorang lelaki melemparkan panahnya dari atas benteng dan tepat mengenai tenggorokannya. Kemudian dia jatuh tersungkur, lalu dengan segera aku mendekati dia dan berkata kepadanya, “Selamat atas buka malammu, seandainya aku bisa bersamamu, seandainya….”
Lalu ia menggigit bibir bawahnya sambil memberi isyarat kepadaku dengan tersenyum. Seolah-olah dia berharap ‘Rahasiakanlah ceritaku itu hingga aku meninggal’. Kemudian dari bibirnya keluar kata-kata, “Segala puji bagi Allah yang telah menepati janji-Nya kepada kami.” Maka demi Allah, dia tidak berucap kata-kata selain itu sampai dia meninggal.
Kemudian saya berteriak dengan suaraku yang paling keras, “Wahai hamba-hamba Allah, hendaklah kalian semua melakukan amalan untuk hal seperti ini,” dan aku ceritakan tentang kejadian tersebut. Dan orang-orang membicarakan tentang kisah itu dan mereka satu sama lain saling memberikan teguran dan nasihat. Lalu pada pagi harinya mereka bergegas menuju benteng dengan niat yang tulus dan dengan hati yang penuh kerinduan kepada Allah swt. Dan sebelum berlalunya waktu Dhuha benteng sudah bisa dikuasai berkat seorang lelaki shaleh itu, yaitu Sa’id bin Harits. Allahu a’lam


Sumber: Dakwatuna

7 Agustus 2012

Panduan Ringkas I’tikaf Ramadhan


Ada suatu amalan di bulan Ramadhan yang mesti kita ketahui bersama demi meraih banyak pahala di bulan tersebut. Amalan tersebut adalah i’tikaf. Bagaimanakah tuntunan Islam dalam menjalankan i’tikaf  di bulan Ramadhan? Berikut panduan ringkas yang semoga bermanfaat bagi para pengunjung www.fimadani.com yang kami kutip dengan perubahan dari  nukilan Buku Panduan Ramadhan karya Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal. Semoga Allah senantiasa memberkahi beliau dan kita semua.


I’tikaf secara bahasa berarti menetap pada sesuatu. Sedangkan secara syar’i, i’tikaf berarti menetap di masjid dengan tata cara yang khusus disertai dengan niat.
Dalil Disyari’atkannya I’tikaf
Ibnul Mundzir mengatakan, “Para ulama sepakat bahwa i’tikaf itu sunnah, bukan wajib kecuali jika seseorang mewajibkan bagi dirinya bernadzar untuk melaksanakan i’tikaf.”
Dari Abu Hurairah, ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa beri’tikaf pada bulan Ramadhan selama sepuluh hari. Namun pada tahun wafatnya, beliau beri’tikaf selama dua puluh hari.” (HR Bukhari)
Waktu i’tikaf yang lebih afdhol adalah di akhir-akhir ramadhan (10 hari terakhir bulan Ramadhan) sebagaimana hadits ‘Aisyah, ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf pada sepuluh hari yang akhir dari Ramadhan hingga wafatnya kemudian isteri-isteri beliau pun beri’tikaf setelah kepergian beliau.” (HR Bukhari)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir dengan tujuan untuk mendapatkan malam lailatul qadar, untuk menghilangkan dari segala kesibukan dunia, sehingga mudah bermunajat dengan Rabbnya, banyak berdo’a dan banyak berdzikir ketika itu.
I’tikaf Harus Dilakukan di Masjid
Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala, “(Tetapi) janganlah kamu campuri mereka sedang kamu beri’tikaf dalam masjid”(QS. Al Baqarah: 187).
Demikian juga dikarenakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam begitu juga istri-istri beliau melakukannya di masjid, dan tidak pernah di rumah sama sekali. Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Para ulama sepakat bahwa disyaratkan melakukan i’tikaf di masjid.” Termasuk wanita, ia boleh melakukan i’tikaf sebagaimana laki-laki, tidak sah jika dilakukan selain di masjid.
I’tikaf Boleh Dilakukan di Masjid Mana Saja
Menurut mayoritas ulama, i’tikaf disyari’atkan di semua masjid karena keumuman firman Allah di atas (yang artinya) “Sedang kamu beri’tikaf dalam masjid”.
Imam Bukhari membawakan bab dalam kitab Shahih-nya, “I’tikaf pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan dan i’tikaf di seluruh masjid.” Ibnu Hajar menyatakan, “Ayat tersebut (surat Al Baqarah ayat 187) menyebutkan disyaratkannya masjid, tanpa dikhususkan masjid tertentu.”
Adapun hadits marfu’ dari Hudzaifah yang mengatakan, ”Tidak ada i’tikaf kecuali pada tiga masjid yaitu masjidil harom, masjid nabawi dan masjidil aqsho”; perlu diketahui, hadits ini masih diperselisihkan statusnya, apakah marfu’ (sabda Nabi) atau mauquf (perkataan sahabat). (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/151). Jika melihat perkataan Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah, beliau lebih memilih bahwa hadits tersebut hanyalah perkataan Hudzaifah ibnul Yaman. Lihat Fathul Bari, 4/272.
Para ulama selanjutnya berselisih pendapat masjid apakah yang dimaksud. Apakah masjid biasa di mana dijalankan shalat jama’ah lima waktu  ataukah masjid jaami’ yang diadakan juga shalat jum’at di sana?
Walaupun namanya beraneka ragam di tempat kita, baik dengan sebutan masjid, mushalla, langgar, maka itu dinamakan masjid menurut istilah para ulama selama diadakan shalat jama’ah lima waktu di sana untuk kaum muslimin. Ini berarti jika itu mushalla rumahan yang bukan tempat ditegakkan shalat lima waktu bagi kaum muslimin lainnya, maka ini tidak masuk dalam istilah masjid. Sedangkan dinamakan Masjid Jaami’ jika ditegakkan shalat Jum’at di sana.
Imam Malik mengatakan bahwa i’tikaf boleh dilakukan di masjid mana saja (asal ditegakkan shalat lima waktu di sana, pen) karena keumuman firman Allah Ta’ala, “Sedang kamu beri’tikaf dalam masjid”(QS. Al Baqarah: 187).
Ini juga menjadi pendapat Imam Asy Syafi’i. Namun Imam Asy Syafi’i rahimahullah menambahkan syarat, yaitu masjid tersebut diadakan juga shalat Jum’at.  Tujuannya di sini adalah agar ketika pelaksanaan shalat Jum’at, orang yang beri’tikaf tidak perlu keluar dari masjid.
Kenapa disyaratkan di masjid yang ditegakkan shalat jama’ah? Ibnu Qudamah mengatakan, “Shalat jama’ah itu wajib (bagi laki-laki). Jika seorang laki-laki yang hendak melaksanakan i’tikaf tidak berdiam di masjid yang tidak ditegakkan shalat jama’ah, maka bisa terjadi dua dampak negatif: (1) meninggalkan shalat jama’ah yang hukumnya wajib, dan (2) terus menerus keluar dari tempat i’tikaf padahal seperti ini bisa saja dihindari. Jika semacam ini yang terjadi, maka ini sama saja tidak i’tikaf. Padahal maksud i’tikaf adalah untuk menetap dalam rangka melaksanakan ibadah pada Allah.”
Wanita Boleh Beri’tikaf
Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan istri beliau untuk beri’tikaf.  ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam biasa beri’tikaf pada bulan Ramadhan. Apabila selesai dari shalat shubuh, beliau masuk ke tempat khusus i’tikaf beliau. Dia (Yahya bin Sa’id) berkata: Kemudian ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha meminta izin untuk bisa beri’tikaf bersama beliau, maka beliau mengizinkannya.” (HR Bukhari)
Dari ‘Aisyah, ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf pada sepuluh hari yang akhir dari Ramadhan hingga wafatnya kemudian isteri-isteri beliau pun beri’tikaf setelah kepergian beliau.”(HR Bukhari dan Muslim)
Namun wanita boleh beri’tikaf di masjid asalkan memenuhi 2 syarat: (1) Meminta izin suami dan (2) Tidak menimbulkan fitnah (godaan bagi laki-laki) sehingga wanita yang i’tikaf harus benar-benar menutup aurat dengan sempurna dan juga tidak memakai wewangian.
Lama Waktu Berdiam di Masjid
Para ulama sepakat bahwa i’tikaf tidak ada batasan waktu maksimalnya. Namun mereka berselisih pendapat berapa waktu minimal untuk dikatakan sudah beri’tikaf.
Bagi ulama yang mensyaratkan i’tikaf harus disertai dengan puasa, maka waktu minimalnya adalah sehari. Ulama lainnya mengatakan dibolehkan kurang dari sehari, namun tetap disyaratkan puasa. Imam Malik mensyaratkan minimal sepuluh hari. Imam Malik  juga memiliki pendapat lainnya, minimal satu atau dua hari. Sedangkan bagi ulama yang tidak mensyaratkan puasa, maka waktu minimal dikatakan telah beri’tikaf adalah selama ia sudah berdiam di masjid dan di sini tanpa dipersyaratkan harus duduk.
Yang tepat dalam masalah ini, i’tikaf tidak dipersyaratkan untuk puasa, hanya disunnahkan. Menurut mayoritas ulama, i’tikaf tidak ada batasan waktu minimalnya, artinya boleh cuma sesaat di malam atau di siang hari. Al Mardawi rahimahullah mengatakan, “Waktu minimal dikatakan i’tikaf pada i’tikaf yang sunnah atau i’tikaf yang mutlak adalah selama disebut berdiam di masjid (walaupun hanya sesaat).”
Yang Membatalkan I’tikaf
  • Keluar masjid tanpa alasan syar’i dan tanpa ada kebutuhan yang mubah yang mendesak.
  • Jima’ (bersetubuh) dengan istri berdasarkan Surat Al Baqarah ayat 187. Ibnul Mundzir telah menukil adanya ijma’ (kesepakatan ulama) bahwa yang dimaksud mubasyarah dalam surat Al Baqarah ayat 187 adalah jima’ (hubungan intim).
Yang Dibolehkan Ketika I’tikaf
  • Keluar masjid disebabkan ada hajat yang mesti ditunaikan seperti keluar untuk makan, minum, dan hajat lain yang tidak bisa dilakukan di dalam masjid.
  • Melakukan hal-hal mubah seperti mengantarkan orang yang mengunjunginya sampai pintu masjid atau bercakap-cakap dengan orang lain.
  • Istri mengunjungi suami yang beri’tikaf dan berdua-duaan dengannya.
  • Mandi dan berwudhu di masjid.
  • Membawa kasur untuk tidur di masjid.
Mulai Masuk dan Keluar Masjid
Jika ingin beri’tikaf selama 10 hari terakhir bulan Ramadhan, maka seorang yang beri’tikaf mulai memasuki masjid setelah shalat Shubuh pada hari ke-21 dan keluar setelah shalat shubuh pada hari ‘Idul Fithri menuju lapangan. Hal ini sebagaimana terdapat dalam hadits ‘Aisyah, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam biasa beri’tikaf pada bulan Ramadhan. Apabila selesai dari shalat shubuh, beliau masuk ke tempat khusus i’tikaf beliau. Dia (Yahya bin Sa’id) berkata: Kemudian ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha meminta izin untuk bisa beri’tikaf bersama beliau, maka beliau mengizinkannya.” (HR Bukhari)
Namun para ulama madzhab menganjurkan untuk memasuki masjid menjelang matahari tenggelam pada hari ke-20 Ramadhan. Mereka mengatakan bahwa yang namanya 10 hari yang dimaksudkan adalah jumlah bilangan malam sehingga seharusnya dimulai dari awal malam.
Adab I’tikaf
Hendaknya ketika beri’tikaf, seseorang menyibukkan diri dengan melakukan ketaatan seperti berdo’a, dzikir, bershalawat pada Nabi, mengkaji Al Qur’an dan mengkaji hadits. Dan dimakruhkan menyibukkan diri dengan perkataan dan perbuatan yang tidak bermanfaat.
Semoga panduan singkat ini bermanfaat bagi pembaca sekalian. Semoga menjadi ilmu yang bermanfaat dan membuahkan amalan tentunya.
Sumber: Fimadani

Nuzulul Quran Bukan Pada Malam 17 Ramadhan



Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,

أُنْزِلَتْ صُحُفُ إِبْرَاهِيمَ أَوَّلَ لَيْلَةٍ مِنْ شَهْرِ رَمَضَانَ، وَأُنْزِلَتِ التَّوْرَاةُ لِسِتٍّ مَضَيْنَ مِنْ رَمَضَانَ وَأُنْزِلَ الإِنْجِيلُ لِثَلاثَ عَشْرَةَ مَضَتْ مِنْ رَمَضَانَ ، وَأُنْزِلَ الزَّبُورُ لِثَمَانَ عَشْرَةَ خَلَتْ مِنْ رَمَضَانَ ، وَأُنْزِلَ الْقُرْآنُ لأَرْبَعٍ وَعِشْرِينَ خَلَتْ مِنْ رَمَضَانَ

“Shuhuf Ibrahim diturunkan pada malam pertama Ramadhan. Taurat diturunkan pada hari keenam Ramadhan. Injil diturunkan pada tanggal tiga belas Ramadhan. Zabur diturunkan pada tanggal delapan belas Ramadhan. Dan Al Qur`an diturunkan pada tanggal dua puluh empat Ramadhan.”
Takhrij
Hadits ini diriwayatkan Imam Abul Qasim Sulaiman bin Ahmad Ath Thabarani Al Lakhami rahimahullah (w. 360 H) dari Ali bin Abdil Aziz dari Abdullah bin Raja` dari Imran Al Qaththan dari Qatadah bin Di’amah dari Abul Malih bin Usamah dari Watsilah bin Al Asqa’ Radhiyallahu ‘Anhu, dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.[1]
Hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad (16370), Al Baihaqi dalam Al Kubra (18429), Abu Ya’la (2136), Hisyam bin Ammar (13), Ibnu Asakir dalam Tarikhnya (59), Al Wahidi dalam Asbab Nuzul Al Qur`an (Bab Al Qaul fi Ayati At Tasmiyah wa Bayan Nuzuliha); dari Watsilah bin Al Asqa’ dan Jabir bin Abdillah Radhiyallahu ‘Anhuma.
Derajat Hadits: Hasan
Imam Al Haitsami berkata, “Diriwayatkan Ahmad dan Ath Thabarani dalam Al Kabir dan Al Awsath. Di dalam sanadnya ada Imran bin Dawud Al Qaththan yang dilemahkan oleh Yahya bin Main, namun dia dikuatkan oleh Ibnu Hibban. Ahmad berkata; ‘Saya berharap dia orang yang diterima haditsnya.’ Adapun perawi yang lainnya adalah orang orang yang tsiqah.”[2]
Hadits ini dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam Silsilah Al Ahadits Ash Shahihah (1575) dan Shahih Al Jami’ Ash Shaghir (2377).
Hikmah dan Ibrah
  1. Semua kitab suci diturunkan Allah pada bulan Ramadhan.
  2. Al Qur`an diturunkan pada tanggal 24 Ramadhan, bukan 17 Ramadhan, sebagaimana yang biasa diperingati di Indonesia.
  3. Ada hadits yang menyebutkan bahwa Al Qur`an turun pada malam 17 Ramadhan, tetapi ia adalah hadits dha’if.
__________________________
[1] Al Mu’jam Al Awsath, Bab Al ‘Ain, Man Ismuhu ‘Aliy, hadits nomor 3882.
[2] Majma’ Az Zawa`id (959).
Sumber: Fimadani

Tata Cara Membayar Zakat


Untuk menghilangkan keragu-raguan dalam pembayaran zakat, Yusuf Al Qardhawi membahas secara khusus Cara Membayar Zakat yang mencakup beberapa hal:
Hubungan Pemerintah Dengan Zakat
Hubungan pemerintah dengan zakat sangatlah erat, karena berdasarkan yang telah dicontohkan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam bahwa pemerintah mempunyai otoritas untuk memungut dan mendistribusikan zakat dikalangan ummat Islam.
Banyak para shahabat yang mendapat tugas khusus dari Rasulullah sebagai petugas zakat untuk tiap-tiap kaum dan suku bangsa yang telah masuk Islam, yaitu petugas yang memungut zakat dari orang kaya dan mendistribusikannya kepada mustahiknya. Demikian pula halnya dilakukan oleh para Khulafaur Rasyidin. Atas dasar ini para ulama berpendapat: Wajib bagi pemerintah untuk menugaskan petugas zakat ini, karena di antara manusia itu ada yang memiliki harta akan tetapi tidak mengetahui apa yang wajib baginya; ada pula yang kikir sehingga wajib diutus orang untuk mengambil zakat daripadanya. Adapun petugas tersebut hendaklah petugas yang Muslim dan yang dijamin tidak akan berbuat zalim terhadap harta zakat yang dikumpulkan. Masyarakat berkewajiban membantu para penguasa dalam melancarkan urusan ini, dalam rangka memperkokoh bangunan Islam dan memperkuat baitul-maal kaum Muslimin.
Adapun rahasia di balik itu semua adalah sebagai berikut:
  1. Agar dapat terciptanya jaminan bagi si fakir akan haknya untuk tidak diabaikan begitu saja oleh orang kaya.
  2. Si fakir meminta kepada pemerintah, bukan dari pribadi-orang kaya, untuk memelihara kehormatan mereka, serta memelihara perasaan dan tidak melukai hatinya dari gunjingan dan kata-kata yang menyakitkan.
  3. Dengan tidak memberikan urusan ini pada pribadi-pribadi lebih memungkinkan distribusi zakat yang lebih tepat, tidak terkonsentrasi pada sebagian fakir miskin sedangkan sebagian lain terlantarkan.
  4. Ada beberapa sasaran zakat yang berhubungan dengan kemaslahatan kaum Muslimin bersama, sehingga baik pengumpulannya maupun pendistribusiannya tidak bisa dilakukan secara perorangan. Misalnya dalam mengorganisasikan jihad fi sabilillah, mempersiapkan para da’i untuk menyampaikan risalah Islam, dan lain-lain.
  5. Sesungguhnya Islam adalah agama dan pemerintahan. Untuk tegaknya pemerintahan ini dibutuhkan harta yang dengan itu dilaksanakan syariat.
Baitul Mal Zakat
Dikarenakan zakat mempunyai aturan khusus, penghasilan dan pengeluaran serta sasaran yang tertentu, maka walaupun dikelola oleh pemerintah, mekanisme zakat ini tidak boleh disatukan dengan program pemerintah lainnya yang bersifat umum. Oleh karenanya kaum Muslimin sejak dulu membutuhkan baitul mal khusus untuk zakat, disamping adanya baitul-mal lainnya yaitu: baitul-mal pajak dan upeti; baitul-mal untuk ghanimah dan rikaz; dan baitul-mal untuk barang yang tidak bertuan.
Para fuqaha telah membagi harta yang wajib zakat atas: harta zahir dan harta batin. Harta zahir adalah harta yang dimungkinkan orang lain mengetahui secara persis seperti; peternakan, pertanian. Sedangkan harta batin adalah sebaliknya yang hanya dapat diketahui oleh pemiliknya, seperti simpanan uang, dan lain-lain.
Terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama, mengenai apakah zakat dari kedua jenis harta ini harus diserahkan kepada pemerintah. Ada yang mengatakan harus keduanya, tapi ada yang mengatakan cukup zakat harta zahir saja, sedangkan zakat harta batin diserahkan kepada individu untuk mendistribusikannya secara langsung.
Pendapat pertama merujuk apa yang dilakukan Rasulullah, Abu Bakar dan Umar, sedangkan pendapat kedua meruju apa yang dilakukan oleh Usman bin Affan, dimana saat itu harta kaum Muslimin telah bertambah banyak dan ia melihat kemaslahatan untuk menyerahkan pengeluaran zakat harta batin itu kepada pemiliknya, berdasarkan ijma’ sahabat, sehingga masing-masing pemilik harta tersebut seolah-olah menjadi wakil dari penguasa.
Diantara perbedaan pendapat yang ada dikalangan ulama maupun mazhab yang ada, Yusuf Qardhawi menarik benang merah dalam dua point yaitu:
  1. Bahwa di antara hak penguasa adalah menuntut rakyatnya untuk mengeluarkan zakat, dalam harta apapun juga, baik harta zahir maupun harta batin, dan terutama bila si penguasa mengetahui keadaan rakyat negaranya bermalas-malasan dalam mengeluarkan zakat, sebagaimana yang telah diperintahkan Allah. Perbedaan pendapat di atas muncul pada kondisi si penguasa tidak memintanya. Adapun jika si penguasa meminta, maka zakat harus diserahkan, berdasarkan ijma’ ulama.
  2. Apabila Imam atau penguasa membiarkan urusan zakat dan tidak memintanya, maka tidaklah gugur tanggungjawab zakat dari pemilik harta. Ini adalah masalah yang qath’i/pasti, yang tidak ada perbedaan pendapat di dalamnya. Wajib bagi si pemilik harta untuk mengeluarkan sendiri kepada mustahiknya, karena zakat merupakan ibadah dan kewajiban agama yang bersifat pasti. Dari sini jelaslah bahwa yang menjadi pokok, adalah: penguasa itulah yang mengumpulkan zakat harta, baik harta zahir maupun batin. Adapun bila terasa sulit mengumpulkan harta batin, maka itu dapat diberikan kebebasan kepada si pemilik untuk mengeluarkan zakatnya sendiri. Namun apabila rakyat tidak melaksanakan kewajibannya, maka hendaklah penguasa sendirilah yang mengumpulkan, sebagaimana pada asalnya.
Beberapa ulama modern dalam masalah perzakatan cenderung untuk mengandalkan peranan pemerintah dalam pengumpulan zakat dikarenakan dewasa ini:
  1. Telah banyak orang yang meninggalkan kewajiban zakat atas semua jenis hartanya, baik yang zahir maupun yang batin. Hendaklah para penguasa mengambilnya secara paksa.
  2. Secara umum jenis-jenis harta yang ada sekarang ini adalah harta zahir, yang bisa diketahui oleh orang lain selain pemiliknya sendiri (misalnya simpanan di Bank sudah dapat diketahui pihak lain dengan mudah).
Dengan metode Qias terhadap suatu hal yang pernah dilakukan Rasulullah, Yusuf Al Qardhawi berpendapat ada baiknya bila ketentuan zakat sebesar 1/4 atau 1/3 bagiannya diserahkan atas kesadaran pemilik harta untuk membagikannya sendiri berdasarkan sepengetahuan dan pilihan mereka baik untuk kalangan kerabat maupun tetangga yang tersembunyi.
Adapun penguasa yang diperbolehkan memungut zakat adalah penguasa yang beragama Islam, yang beriman dan berpegang teguh kepada ajaran Islam yang mereka rela Islam sebagai suatu hukum, dan bahkan mereka berjihad di dalamnya.
Selanjutnya terdapat pula perbedaan untuk pemerintahan Islam yang adil dan yang zhalim. Jika pemerintahan Islam itu berlaku zalim, maka ada yang tetap membolehkan secara mutlaq, ada yang melarang secara mutlaq, dan ada yang melihat sejauh mana tingkat kezalimannya.
Setelah membandingkan berbagai pendapat tersebut, Yusuf Al Qardhawi mengambil pendapat terkuat, bahwa adalah sah menyerahkan kepada penguasa zalim, apabila mereka mengambilnya sesuai dengan persyaratan zakat. Si Muslim tidak diperintahkan untuk mengeluarkannya kembali dalam bentuk apapun, kecuali si penguasa mengambilnya bukan dengan nama zakat.
Yusuf Al Qardhawi memilih untuk menyerahkan zakat pada penguasa jika si penguasa masih menyampaikan pada mustahiknya dan mengeluarkannya tepat pada sasaran yang sesuai dengan perintah syara’, walaupun ia berlaku zalim dalam urusan-urusan lain. Apabila ia tidak menempatkan zakat tepat pada sasarannya, maka janganlah diserahkan padanya, kecuali kalau ia meminta, maka tidak diperkenankan menolaknya, berdasarkan hadits-hadits dan fatwa-fatwa sahabat yang mengungkapkan penyerahan zakat pada penguasa, walaupun mereka zalim.
Sekian dulu Ikhwan sekalian. Perlukah kita mengutarakan niat kita setiap membayar zakat? Bolehkah zakat  kita dihargakan? dan bolehkah zakat kita dikirimkan ke tempat lain sementara sekeliling kita masih ada yang membutuhkan?
Kedudukan Niat Dalam Zakat
Niat adalah yang membedakan antara ibadah dan pengabdian dengan yang lain. Dengan demikian niat disyaratkan dalam membayar zakat. Yang dimaksudkan disini adalah si muzakki (pembayar zakat) meyakini bahwa apa yang dikeluarkan tersebut adalah zakat hartanya, atau zakat harta orang yang dikeluarkan melalui dia (seperti harta anak yatim dan harta orang gila). Tempat niat adalah hati; karena tempat semua yang diitikadkan itu adalah hati.
Seandainya ada penguasa yang mengambil harta seseorang secara paksa dengan niat untuk mengambil zakatnya (yang memang dibenarkan secara hukum) tapi seseorang (yang memang enggan membayar) tidak meniatkan bahwa harta yang telah diambil itu adalah zakat, maka secara perundangan zakat, kewajiban zakat orang tersebut telah gugur dalam artian dia tidak diwajibkan lagi berzakat, tapi dari segi pahala disisi Allah, orang tersebut tidak mendapatkan apa-apa.
Kapankah kita meniatkan zakat harta kita, apakah pada saat kita memisahkan harta untuk zakat, atau pada saat memberikannya kepada mustahik. Para ulama berbeda pendapat disini dimana ada pula yang mengharuskan kedua-duanya. Namun Yusuf Al Qardhawi menyokong pendapat yang tidak mempersulit yaitu cukuplah bagi si Muslim berniat secara umum saja pada waktu memisahkan zakat dari hartanya, sehingga tidak perlu lagi bagi dia meniatkan setiap kali dia memberikan kepada setiap mustahik yang menerima zakatnya.
Menyerahkan Harga Zakat
Apakah boleh kita menghargakan zakat kita? Karena Rasulullah memerintahkan untuk mengambil bijibijian dari biji-bijian, unta dari unta, selain itu dikhawatirkan harga yang digunakan tidak memihak kepada hak fakir miskin. Sebagian ulama mengatakan bahwa zakat harus diserahkan sesuai dengan bentuk hartanya namun ulama lain memperbolehkan zakat tersebut dihargakan, seperti yang pernah dilakukan sahabat.
Setelah mengkaji kemaslahatannya, Yusuf Al Qardhawi akhirnya menyokong pendapat yang memperbolehkan, yaitu dengan syarat bahwa adalah terlarang mengeluarkan harga zakat tanpa ada kebutuhan dan tanpa ada kemaslahatan yang jelas (untuk semua pihak baik sipemberi, amil, maupun mustahik).
Memindahkan Zakat Ke Tempat Bukan Penghasil Zakat
Sebagaimana Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin contohkan, yaitu dengan mengutus petugas-petugas zakat ke setiap daerah/negeri, untuk memungut zakat dari orang-orang kaya dan memberikannya kepada yang miskin di antara mereka, maka hendaklah zakat itu didistribusikan pada tempat dimana zakat tersebut dikumpulkan.
Pemindahan zakat dari suatu daerah ke daerah lain, dalam keadaan penduduk di daerah asal masih membutuhkannya, adalah menodai hikmat zakat yang diwajibkan karenanya. Setiap kaum lebih berhak terhadap zakatnya, sehingga mereka berkecukupan dengannya.
Dalam hal ini ulama bersepakat, bahwa zakat itu harus dibagikan di daerah dimana zakat itu dikumpulkan. Jika penduduk setempat tidak lagi membutuhkan zakat, maka zakat itu boleh dipindahkan ke penduduk lain. Namun demikian dalam kondisi tertentu, untuk memperoleh kemaslahatan yang lebih baik, penguasa yang adil atau berdasarkan hasil musyawarah, diperbolehkan memindahkan zakat ke tempat lain yang lebih membutuhkan, walaupun di daerah asal masih membutuhkannya.
Demikian pula seorang Muslim, apabila ia mengeluarkan sendiri zakatnya, ia diperbolehkan pula untuk mengirimkan zakatnya ke tempat lain karena adanya kemaslahatan yang dianggap kuat (misalnya dikirimkan kepada kerabatnya di kampung).
Mempercepat Mengeluarkan Zakat dan Mengakhirkannya
Bersegera dalam mengeluarkan zakat adalah suatu kebaikan yang sesuai pula dengan perintah Allah: “Bersegeralah kamu sekalian pada amal perbuatan yang akan menyebabkan kamu mendapat ampunan dari Tuhanmu dan syurga” (3:133).
Apalagi dikuatirkan kewajiban zakat ini akan dikalahkan oleh sifat kikir dan hawa nafsu. Sebagaimana yang kita ketahui sebelumnya bahwa harta zakat itu terbagi dua; yang disyaratkan setahun, dan yang dikeluarkan pada saat diterima. Untuk yang terakhir, jelas kiranya, zakat dikeluarkan sesegera mungkin. Tapi apakah demikian pula untuk jenis harta yang pertama, seperti peternakan, emas, perak, dan lain-lain?
Sebagian besar fuqaha berpendapat untuk jenis harta yang pertama sbb: apabila telah terdapat sebab wajib zakat, yaitu nisab yang sempurna, maka boleh mendahulukan mengeluarkan zakat sebelum datang waktu setahun, bahkan diperbolehkan mendahulukan untuk masa dua tahun atau lebih.
Adapun mengakhirkan zakat adalah tidak boleh, kecuali ada kemaslahatan yang ingin dicapai, misalnya karena menunggu orang yang lebih membutuhkan, atau menunggu kerabat yang membutuhkan, atau jumlah yang dikeluarkan masih sedikit sehingga tidak akan bermanfaat banyak bagi mustahik, dan lain-lain. Akan tetapi dia bertanggung jawab apabila hartanya rusak atau hilang dalam masa menunggu tersebut.
Selanjutnya kewajiban tidak gugur bila terlewat satu tahun atau beberapa tahun (tidak ada pemutihan zakat). Demikian pula zakat tidak gugur dengan sebab matinya si pemilik harta. Karena zakat bukanlah ibadah badan, tapi ibadah harta yang terkait dengan hak orang lain.
Berbagai Pembahasan Di Sekitar Pembayaran Zakat
Apakah boleh mewakilkan dalam mengeluarkan zakat? Boleh. Namun demikian hendaklah tidak mewakilkannya pada orang yang bukan Muslim, kecuali karena sesuatu kebutuhan, dengan syarat orang itu terpercaya dan dapat menyampaikan sesuai dengan kehendak orang yang mewakilkan.
Menampakkan zakat ketika mengeluarkan? Yang utama dalam berzakat adalah menampakkannya pada waktu mengeluarkan, agar dilihat dan diikuti orang dan agar tidak ada penilaian buruk atas orang itu. Ini termasuk syiar islam. Seperti halnya shalat fardhu yang disunatkan menampakkannya, dan sesungguhnya yang disunatkan menyembunyikannya itu adalah shalat sunnat dan puasa sunat, juga sedekah sunat tentunya.
Apakah si Fakir perlu diberitahu bahwa pemberian itu adalah zakat? Tidak harus memberitahukan kepada si fakir ketika menyerahkan zakat atau sesudahnya, karena mungkin akan menyakiti hatinya.
Sumber : Fimadani

4 Agustus 2012

Ramadhan di Negeri Hitler… Sebuah Dialog yang Berkesan



Seperti biasa, hari ini (24/07) aku bekerja di laboratorium pada sebuah Universitas ternama di Jerman untuk menyelesaikan riset PhD ku. Hal yang sedikit berbeda adalah cuaca hari ini cukup panas dan terik di musim summer dan aku dalam keadaan berpuasa di bulan suci Ramadhan. Tanpa sengaja aku mencurigai seorang teman asal Jerman yang sehari-hari bekerja bersama di laboratorium itu seperti mengamati gerak-gerikku sejak tadi. Seolah melihat orang asing, dia mengamatiku yang sedang bekerja seperti layaknya anggota inteligen atau anggota telik sandi yang sedang bertugas memata-mataiku. Karena sedang asyik dengan pekerjaanku, hal itu aku biarkan saja. Akhirnya si bule Jerman ini pun datang menghampiriku dan terjadilah dialog yang berkesan itu;
Jerman: Ichsan, saya dengar kamu sedang Ramadhan ya?
Aku: Iya, sahutku sambil terus bekerja
Jerman: Dan kamu berpuasa hari ini?
Aku: Iya tentu saja, jawabku
Jerman: Tidak boleh makan dan tidak boleh minum di musim panas seperti ini?
Aku: Betul, dan kami melakukannya sejak pukul 03.00 malam hingga 21.30 selama sebulan penuh.
Jerman: Oh… tidak, jadi kamu tidak makan dan minum selama 18 jam? Tidak makan oke lah tapi kalau tidak minum selama itu tidaklah mungkin, dalam cuaca panas seperti ini tanpa minum 18 jam?? Ayolah Ichsan, itu tidak masuk akal!
Aku:  Iya aku setuju, bagi kamu tentu tidak masuk akal karena kamu tidak beriman kepada Allah Tuhan kami, kamu tidak meyakininya. Saya yakin kalau kamu yang melakukannya hari ini, dalam cuaca panas seperti ini, mungkin kamu sudah pingsan, hehe. Tapi bagi kami tidak, kami meyakininya. Lebih jauh lagi kami mengimaninya dengan sangat kuat sebagai satu perintah dari Tuhan kami sehingga kami tidak merasa berat untuk melaksanakannya.
Kamu percaya tidak? kami malah merasa senang ketika Ramadhan tiba, bahkan sebagian kami menyambutnya dengan perayaan kecil di rumah masing-masing bersama keluarga mereka.
Jerman: Gembira karena akan lapar dan haus? 18 jam?? Itu tidak masuk akal Ichsan.
Aku: Iya, tidak masuk akal bagi kamu. Tapi bagi kami puasa di bulan Ramadhan itu adalah kebutuhan. Kami merindukan kehadirannya setiap tahun.
Jerman: Kebutuhan?? Kamu jangan bercanda, kebutuhan manusia itu makan dan minum, bukan lapar dan haus, itu tidak terbantahkan.
Aku: Justru di situlah letak kesempurnaan agama kami, Islam tidak hanya mengajarkan pemenuhan kebutuhan fisik seperti makan dan minum saja tapi juga pemenuhan kebutuhan jiwa, kebutuhan spiritual dan semua sepakat bahwa pemenuhan kebutuhan jiwa itu sangatlah penting. Ini yang tidak terbantahkan, bukan begitu??
Jerman: Iya kamu benar, tapi tidak menyiksa diri di musim panas yang siangnya sangat lama seperti ini.
Aku: Allah Tuhan kami tidak hanya memerintahkan puasa tapi juga memerintahkan kami makan dan minum yang cukup. Kamu lihat, dalam setahun ada 12 bulan dan kami hanya diperintahkan berpuasa satu bulan saja sementara yang 11 bulan lagi kami boleh makan dan minum. Kami tidak diperintahkan puasa sepanjang tahun, iya kan? Atau 6 bulan puasa dan 6 bulan tidak puasa. Tidak, hanya satu bulan saja dan itu hanya di siang hari saja. Jadi kamu lihat betapa sayangnya Tuhan kami kepada kami dan lagipula Ramadhan itu adalah sebuah hadiah untuk kami sebagai wujud cinta antara kami dan Tuhan kami.
Jerman: Aku tidak mengerti Ichsan
Aku: Tentu saja, itu karena kamu tidak beriman kepada Tuhan kami, kamu tahu bahwa aku bisa saja diam-diam makan atau minum kapan saja tanpa ada orang yang melihat? Apalagi di Jerman seperti ini di mana orang semua makan dan minum leluasa di depanku saat siang hari. Tapi aku tidak akan pernah melakukannya, kamu tahu kenapa? Karena keimanan dan keyakinanku pada Tuhanku.
Jerman: Bagaimana dengan anak-anak? Apa anak-anakmu juga berpuasa?
Aku: Anak-anak tentu mendapatkan keringanan, anakku yang pertama berumur 7 tahun, dia sudah kami latih untuk berpuasa. Dia tidak kami paksa untuk tidak makan dan minum tapi kami latih dan beri pemahaman bahwa puasa itu adalah perintah dari Tuhan kami dan puasa itu baik dan sehat untuknya. Kami punya waktu untuk melatih dan mengajari mereka untuk berpuasa mulai umur 7 hingga 10 tahun. Dan itu adalah waktu yang cukup bila digunakan dengan baik oleh kedua orang tuannya. Nanti ketika sudah berumur 10 tahun mereka sendiri yang akan meminta untuk berpuasa, shalat ataupun ibadah yang lain. Jadi tidak perlu disuruh lagi.
Jerman: Begitu cara kalian mendidik mereka, apakah itu berhasil?
Aku: Terus terang dalam hal ini tidak semua orang tua berhasil, tapi kami selalu berusaha kearah sana.
Aku: Sebagai contoh, hari ini dalam cuaca yang panas ini aku berpuasa sejak jam 3 malam tadi,  tapi apakah kamu melihat aku seperti orang yang kehausan atau lapar??
Jerman: Itu dia, dari tadi aku mengamati kamu bekerja, tapi aku heran kamu tampak seperti biasa, tidak tampak kehausan, tidak kelihatan lemas atau lesu sedikit pun, makanya tadi aku bertanya apakah kamu berpuasa.
Aku: Iya, itulah arti penjelasanku tadi, saat hari pertama dan kedua Ramadhan memang agak sedikit terasa karena kalau di Indonesia kami hanya berpuasa 13 jam jadi butuh penyesuaian tapi kemudian sudah terbiasa. Inilah yang aku sebut tadi dengan keimanan. Ini sudah jam 4 sore tapi aku tidak merasa haus atau lapar sedikit pun karena setiap malam sebelum berpuasa kami berniat untuk berpuasa karena Allah Tuhan kami, jadi itulah yang membuat kami kuat.
Dan dia pun berlalu melanjutkan kerjanya, entah dia mengerti atau tidak penjelasanku tapi yang jelas aku sudah menyampaikan apa yang aku pahami tentang hal yang ditanyakan itu. Siapa tahu suatu hari nanti Allah SWT memberinya hidayah lalu dia beriman kepada Allah, maka tentu dia akan dengan mudah memahami dan mengerti penjelasanku yang kuberikan tadi.
Wallahu’alam


Sumber: http://www.dakwatuna.com/2012/08/22068/ramadhan-di-negeri-hitler-sebuah-dialog-yang-berkesan/#ixzz22WyphaIe

29 Juli 2012

Kepompong Ramadhan



"Semua amal anak Adam dapat dicampuri kepentingan hawa nafsu kecuali shaum. Maka sesungguh shaum itu semata-mata untuk-Ku dan Aku sendiri yg akan membalas"
{Hr. Bukhari Muslim}

Pernahkan Anda melihat seekor ulat bulu? Bagi kebanyakan orang ulat burlu memang menjijikkan bahkan menakutkan. Tapi tahukah Anda kalau masa hidup seekor ulat ini ternyata tak lama. Pada saat nanti ia akan mengalami fase dimana ia harus masulk ke dalam kepompong selama beberapa hari. Setelah itu ia pun akan keluar dalam wujud lain : ia menjelma menjadi seekor kupu-kupu yg sangat indah. Jika sudah berbentuk demikian siapa yg tak menyukai kupu-kupu dgn sayap yg beraneka hiasan indah alami? Sebagian orang bahkan mungkin mencari dan kemudian mengoleksi bagi sebagai hobi ataupun utk keperluan ilmu pengetahuan.

Semua proses itu memperlihatkan tanda-tanda Kemahabesaran Allah. Menandakan betapa teramat mudah bagi Allah Azza wa Jalla mengubah segala sesuatu dari hal yg menjijikkan buruk dan tak disukai menjadi sesuatu yg indah dan membuat orang senang memandangnya. Semua itu berjalan melalui suatu proses perubahan yang sudah diatur dan aturan pun ditentukan oleh Allah baik dalam bentuk aturan atau hukum alam maupun berdasarkan hukum yg disyariatkan kepada manusia yakin Al Qur’an dan Al Hadits.

Jika proses metamorfosa pada ulat ini diterjemahkan ke dalam kehidupan manusia maka saat dimana manusia dapat menjelma menjadi insan yg jauh lbh indah momen yg paling tepat utk terlahir kemabli adl ketika memasuki Ramadhan. Bila kita masuk ke dalam ‘kepompong’ Ramadhan lalu segala aktivitas kita cocok dgn ketentuan-ketentuan “metamorfosa” dari Allah niscaya akan mendapatkan hasil yang mencengangkan yakni manusia yg berderajat muttaqin yg memiliki akhlak yang indah dan mempesona.
Inti dari badah Ramadhan ternyata adl melatih diri agar kita dapat menguasai hawa nafsu. Allah SWT berfirman “Dan adapun orang-orang yg takut kepada kebesaran Tuhan dan menahan diri dari keinginan hawa nafsu maka sesungguh syurgalah tempat tinggalnya.”

Selama ini mungkin kita merasa kesulitan dalam mengendalikan hawa nafsu. Kenapa? Karena selama ini pada diri kita terdapat pelatihan lain yg ikut membina hawa nafsu kita ke arah yang tak disukai Allah. Siapakah pelatih itu? Dialah syetan laknatullah yg sangat aktif mengarahkan hawa nafsu kita. Akan tetapi memang itulah tugas syetan. apalagi seperti hal hawa nafsu syetan pun memiliki dimensi yg sama dengan hawa nafsu yakni kedua-dua sama-sama tak terlihat. 

“Sesungguh syetan itu adl musuh yg nyata bagimu maka anggaplah ia sebagai musuhmu karena syetan itu hanya mengajak golongan supaya menjadi penghuni neraka yg menyala-nyala”
{QS. Al Fathir (25) : 6}

Akan tetapi kita bersyukur krn pada bulan Ramadhan ini Allah mengikat erat syetan terkutuk sehingga kita diberi kesempatan sepenuh utk bisa melatih diri mengendalikan hawa nafsu kita. Karena kesempatan seperti ini tak boleh kita sia-siakan. Ibadah shaum kita harus ditingkatkan. Tidak hanya shaum atau menahan diri dari hawa nafsu perut dan seksual saja akan tetapi juga semua anggota badan kita lain agar mau melaksanakan amalan yg disukai Allah. Jika hawa nafsu sudah bisa kita kendalikan maka ketika syetan dipelas kembali mereka sudah tunduk pada keinginan kita. Dengan demikian hidup kita pun sepenuh dapat dijalani dengan hawa nafsu yg berada dalam keridhaan-Nya. Inilah pangkal kebahagiaan dunia akhirat. Hal lain yg paling utama harus kita jaga juga dalam bulan yg sarat dgn berkah ini adl akhlak. Barang siapa membaguskan akhlak pada bulan Ramadhan Allah akan menyelamatkan dia tatkala melewati shirah di mana banyak kaki tergelincir demikianlah sabda Rasulullah SAW.

Pada bulan Ramadhan ini kita dianggap sebagai tamu Allah. Dan sebagai tuan rumah Allah sangat mengetahui bagaimana cara memperlakukan tamu-tamu dgn baik. Akan tetapi sesungguh Allah hanya akan memperlakukan kita dgn baik jika kita tahu adab dan bagaimana berakhlak sebagai tamu-Nya. Salah satu yakni dgn menjaga shaum kita sesempurna mungkin. Tidak hanya sekedar menahan lapar dan dahaga belaka tetapi juga menjaga seluruh anggota tubuh kita ikut shaum.

Mari kita perbaiki segala kekurangan dan kelalaian akhlak kita sebagai tamu Allah krn tak mustahil Ramadhan tahun ini merupakan Ramadhan terakhir yg dijalani hidup kita jangan sampai disia-siakan.
Semoga Allah Yang Maha Menyaksikan senantiasa melimpahkan inayah-Nya sehingga setelah ‘kepompong’ Ramadhan ini kita masuki kita kembali pada ke-fitri-an bagaikan bayi yg baru lahir. Sebagaimana seekor ulat bulu yg keluar menjadi seekor kupu-kupu yg teramat indah dan mempesona amiin.

Sumber: Rahmat

Ingin Segera Berlabaran denganmu ...



Sungguh akan terasa nikmat dan sangat nikmat jika dapat membersamaimu dalam setiap malam-malam panjang, dalam do'a yang larut, dalam sujud yang dalam dan dalam kepanikan jiwa yang menikam. Karena bersamamu aku menemukan ketenangan dalam meniti setiap tangga kehidupan.

Dalam setiap sajian perjalanan waktu, aku hanya ingin kau mendampingiku. Dan itu lebih adri cukup bagiku.

Begitupun, ketika Ramadhan yang ku rasa kali ini. Alangkah indah jika melewati hari-harinya yang berlimpah pahala dan berlipat ganda keutamaan ini denganmu. 

Kau akan mebangunkanku dengan suara lembutmu saat akan sahur,
Kau akan menuangkan nasi diatas piringku dengan sepenuh ikhlas,
Dan kita bersantap dengan iringan do'a untuk mengharap berkah Nya.

Siang-siangku tak mungkin lelah, karena disisimu adalah perjuangan yang amat menyenangkan. Seterjal apapun hari-hari yang akan kujalani.

Senjaku dalam perenungan bersamamu, akan menorehkan panorama anggun saat mentari terbenam dan gelap menjelma.
Aku berbuka denganmu dalam luapan kegembiraan,
dan Aku menyimpan kurma dimulutmu dengan tiupan basmallah.

Yah ...
Aku ingin segera merayakan kemenangan hari-hari Ramadhan bersamamu.
Menggenapkan keindahan Ramadhan denganmu
Menghimpun sejuta anugerah berkah Ramadhan bersamamu
Melimpahkan segudang rindu, kasih dan ketulusan denganmu

dan mengakhiri Ramadhan, Berlebaran bersamamu ...



Seputar Hadits Doa Buka Puasa yang Shahih



Doa puasa yang sering kita dengar bahkan mungkin juga sering kita baca, adalah:

اللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَبِكَ آمَنْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ ، ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتْ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ الْأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ

“Ya Allah, untuk Mu aku puasa, kepada Mu aku beriman, dan dengan rezeki Mu aku berbuka. Hilanglah rasa dahaga, tenggorokan pun basah, dan sudah pasti berpahala jika Allah menghendaki.”
Catatan
Doa buka puasa yang masyhur ini adalah gabungan dari dua hadits, yaitu:

اللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ

dan,

 ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتْ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ الْأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ

Adapun kalimat “ وَبِكَ آمَنْتُ ” adalah tambahan yang sama sekali tidak ada dasarnya, meski maknanya bagus.
Hadits Pertama
Apabila Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam buka puasa, beliau berdoa,

اللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ

“Ya Allah, untuk Mu aku puasa, dan dengan rezeki Mu aku berbuka.”
Takhrij
Hadits ini diriwayatkan Imam Ath Thabarani dalam Al Ausath (7762) dan Abu Nu’aim dalam Akhbar Ashbahan (1756)  dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘Anhu.
Ibnu Abi Syaibah (109/1) dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu.
Abu Dawud (2011), Al Baihaqi dalam Asy Syu’ab (3747), Al Baghawi (1761), Adh Dhabbi dalam Ad Du’a` (67), dan Ibnul Mubarak dalam Az Zuhd (1390); dari Mu’adz bin Zuhrah At Tabi’i.
Ibnu Sa’ad dalam Ath Thabaqat Al Kubra pada biografi Abul Ahwash dari Ar Rabi’ bin Khutsaim At Tabi’i.
Derajat Hadits: Dha’if
Al Haitsami berkata,”Diriwayatkan Ath Thabarani dalam Al Ausath. Di dalam sanadnya ada Dawud bin Az Zibriqan. Dia adalah dha’if.”[1]
Imam An Nawawi berkata, “Demikian diriwayatkan secara mursal.”[2]
Al Burhanfuri dalam Kanzu Al ‘Ummal (18056), “Hadits mursal.”
Ar Rafi’i berkata tentang hadits Abu Dawud, “Dia adalah hadits mursal.” Dan tentang hadits Ath Thabarani, “Sanadnya lemah. Di dalamnya terdapat Dawud bin Az Zibriqan, dia itu matruk (ditinggalkan).”[3]
Al Albani mendha’ifkan hadits ini dalam Dha’if Sunan Abi Dawud (2358) dan Dha’if Al Jami’ Ash Shaghir(9831).
Catatan
Ibnul Mulaqqin berkata, “Hadits ini diriwayatkan Abu Dawud dengan sanad hasan (bagus) tetapi mursal. Mu’adz bin Zuhrah adalah seorang tabi’in.”[4]
Al Albani menghasankan hadits ini dalam Misykat Al Mashabih (1994).
Syaikh Abdul Qadir Al Arna`uth berkata, “Mursal, namun ia mempunyai syawahid (beberapa penguat) yang menguatkannya.”[5]
*   *   *
Hadits Kedua
Ibnu Umar Radhiyallahu ‘Anhuma mengatakan, jika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam buka puasa, beliau membaca:

ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتْ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ الْأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ

“Hilanglah rasa dahaga, tenggorokan pun basah, dan sudah pasti berpahala jika Allah menghendaki.”
Takhrij
Hadits ini diriwayatkan Imam Abu Dawud dari Abdullah bin Muhammad dari Ali bin Al Husain dari Al Husain bin Waqid dari Marwan bin Salim Al Muqaffa’ dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘Anhuma, dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.[6]
Hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam An Nasa`i dalam As Sunan Al Kubra (3329), Al Baihaqi dalamSyu’ab Al Iman (3748), Ad Daraquthni (2302), Al Hakim (1484), Ibnu As Sunni dalam ‘Amal Al Yaum wa Al Lailah (477), dan Ibnu Abi Ad Dunia (29); juga dari Ibnu Umar.
Derajat Hadits: Hasan
Al Hakim (1484) berkata, “Ini adalah hadits shahih sesuai syarat Al Bukhari dan Muslim.”
Al Albani menghasankan hadits ini dalam Mukhtashar Irwa` Al Ghalil (920), Misykat Al Mashabih(1993), Shahih Sunan Abi Dawud (2357), dan Shahih Al Jami’ Ash Shaghir (8807).
*   *   *
Kesimpulan
Doa buka puasa pada hadits pertama, meski ada yang mendha’ifkan, namun juga ada yang menghasankan. Artinya, derajat kedha’ifannya tidaklah “terlalu.”
Sebaiknya doa buka puasa yang dibaca cukup hadits yang kedua saja. Selain lebih ringkas, ialah yang paling shahih di antara hadits hadits doa buka puasa yang lain.
Jika hendak menggabungkan doa buka puasa, sebaiknya tidak menyertakan kalimat “ وَبِكَ آمَنْتُ ”, karena ia hanyalah tambahan dan tidak termasuk dalam hadits doa buka puasa ini. Wallahu a’lam bish shawab.
_______________________________
[1] Ma’jma’ Az Zawa`id (4892).
[2] Al Adzkar (545).
[3] At Talkhish Al Habir (912).
[4] Khulashatu Al Badr Al Munir (1126).
[5] Raudhatu Al Muhadditsin (4729).
[6] Sunan Abi Dawud, Kitab Ash Shaum, Bab Al Qaul ‘Inda Al Ifthar, hadits nomor 2010.
Sumber: Fimadani

22 Juli 2012

Setitik Haru di Sahur Pertama Ramadhanku …



Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang menganugerahkanku usia hingga dapat menikmati Ramadhan kali ini. Syukur terlantun tak henti, karebna tak semua orang bias bersantap sahur dengan tenang dan melaksanakn ibadah shaum dengan tenang pula.

Namun, dibalik semua kekhidmatan Ramadhan kali ini ada setitik haru menyeruak dalam hati. Ya, kesedihan yang tak dapat terpupuskan dari hati. Tahun ini, meski seperti tahun-tahun sebelumnya aku tak bias bersama keluarga tercinta.

Tahun ini, semua keluarga tercinta melaksanakan sahur di tempat yang berbeda dan berjauhan;

ü  Mamah dan Bapak sahur berdua di Garut,
ü  Aku sahur pertama di Kwarcab Pramuka Ciamis,
ü  Adik pertamaku, ‘Dede’ Yuda Nugraha adalah yang paling jauh dari seluruh keluarga. Dia harus melaksanakan sahurnya di negeri perantauan, Brunei Darussalam. Rencananya selama sebulan Ramadhan akan menjalani ibadahnya di negeri perantauan,
ü  Adik keduaku, Sony “Andri” Lestiana sahur di Sukajadi Bandung. Karena ia telah bekerja dan tinggal disana,
ü  Terakhir, si Bungsu ‘Ade’ Muhammad Amtsal Karim yang biasa dipanggil ‘Oki’ harus sahur di Pesantren Multazam, Padasuka Bandung.

Ya, kami sekeluarga berjauhan tempat dan waktu. Kami harus menjalani semuanya dengan kerinduan yang terpendam, dengan kesabaran yang terus bertahan dan dengan keharuan yang semakin mendalam.

Allah … Aku hanya minta pada Mu untuk menjaga seluruh keluargaku dimanapun mereka berada. Jadikan kami keluarga yang senantiasa dinaungi hidayah Mu, keluarga yang diliputi bahagi dari Mu, keluarga yang diselimuti harapan bersama Mu dan jauhkan kami dari yang Engkau murkai.

Dengan penuh harap, semoga Ramadhan kali ini –meski tak bersama keluarga tercinta- menyiratkan beribu hikmah dan berjuta berkah yang Engkau janjikan kepada hamba-hamba yang totalitas dalam beribadaha. Dan aku beserta keluargaku kelak, saling bergandeng tangan dapat berjalan di gerbang Mu, Ar-Rayan.

Allahumma Aammiin …