3 Juli 2014

Review Taktik Brendan Rodgers (Bagian 2 - Habis)

Utak-Atik yang (Nyaris) Membuahkan Hasil


Sumber: detiksport

Setelah melewati paruh musim pertama, kerja keras Brendan Rodgers di Liverpool mulai menunjukkan hasil. Mendatangkan dua pemain baru, Philippe Coutinho dan Daniel Sturridge, pekerjaan Rodgers menjadi lebih mudah. Grafik performa The Reds pun meningkat dari hari ke hari.


Variasi Formasi Rodgers

Salah satu yang menarik dari perjalanan Liverpool musim ini adalah bervariasinya formasi yang mereka pakai. Tercatat, ada 5 jenis pola yang pernah digunakan Rodgers, mulai dari 4-2-3-1 dan 4-3-3 yang sering diterapkan pada musim lalu, hingga formasi baru seperti 3-5-2, 4-4-2, dan 4-3-1-2.

Dari kelima strategi tersebut, hanya 4-4-2 yang dianggap gagal total dan tidak pernah digunakan kembali hingga akhir musim. Formasi ini hanya digunakan 2 kali, yaitu kala menang melawan Fulham dan saat imbang melawan Aston Villa.

Utak-atik ini sebenarnya dipengaruhi oleh berbagai hal, terutama oleh kondisi skuat dan ketersediaan dua striker utama, Suarez dan Sturridge. Pada awal kompetisi, sang penyerang asal Uruguay masih terkena skorsing dan Rodgers hanya bisa menurunkan Sturridge. Tak ayal pelatih berusia 41 tahun itu menggunakan formasi 4-2-3-1 pada 5 pertandingan pertamanya.

Setelah Suarez kembali, Rodgers pun harus mencari formasi yang tepat untuk bisa memadukan 2 striker haus gol ini. Ia mendaratkan pilihannya pada 3-5-2. Hasilnya tidak buruk, Liverpool meraih 3 kemenangan dari 4 pertandingan dengan memakai pola ini.

Setelah itu formasi Rodgers kembali berganti setelah Sturridge mengalami cedera. Liverpool kembali bermain dengan satu striker. Namun kali ini Rodgers lebih cenderung memainkan formasi 4-3-3 dengan Coutinho dan Sterling sebagai penyerang sayap.

Setelah absen tujuh pertandingan, Sturridge kembali saat Liverpool melawan Aston Villa. Kala itu Rodgers memainkan 4-4-2 yang gagal total. Maka, pada pertandingan melawan Everton, Rodgers kembali pada formasi 4-3-3 dengan salah satu antara Sturridge dan Suarez bermain lebih melebar.

Di pengujung kompetisi, Rodgers kemudian menemukan satu racikan yang hingga akhir musim menjadi formasi paling pas untuk memaksimalkan permainan Suarez dan Sturridge di depan, yaitu 4-3-1-2 atau sering juga disebut 4-4-2 berlian.

Gerrard Sebagai Defensive Midfielder

Namun tentu saja penjelasan soal performa baik Liverpool ini bukan sekadar pemilihan formasi bermain. Seperti yang sudah dijelaskan pada tulisan pertama, dari awal ditunjuk sebagai pelatih Liverpool, Rodgers banyak membicarakan soal 7 zona permainan. Setiap perubahan yang dilakukan Rodgers pun selalu dilandaskan pada pembagian area tersebut.

Kesulitan Rodgers dalam memilih pemain yang tepat untuk mengisi zona 3 juga mulai menemukan titik terang. Sang kapten Steven Gerrard-lah jawaban dari kebuntuan Rodgers di awal masa jabatannya ini.

Gerrard memiliki kemampuan mengalirkan bola dan kemampuan duel yang baik, dua syarat awal untuk mengisi posisi ini. Serangan Liverpool tentu akan mematikan dengan Gerrard berada di posisi ini.

Namun alasan Rodgers tidak sejak awal memberikan posisi ini kepada sang kapten adalah karena kebiasaannya yang sering terlambat turun setelah menyerang. Gerrard juga cenderung lambat ketika harus menutup ruang. Maka dari itu pertahanan Liverpool akan lemah jika Gerrard berada di posisi ini.

Untuk mengatasi kekurangan pemain bernomor punggung 8 itu, Rodgers lalu memasang poros ganda pada zona krusial. Ia mengombinasikan Gerrard yang baik dalam menyerang dengan Lucas Leiva yang ahli dalam bertahan. Hal ini berarti mengorbankan sisi penyerangan, karena zona 3, yang semestinya hanya diisi satu pemain, ditempati dua orang dan pemain di zona 5 berkurang (baca: Permasalahan Tujuh Zona Brendan Rodgers).

Namun, hal ini dirasa masih lebih baik karena penyerangan dan pertahanan Liverpool menjadi lebih seimbang.

Karena itulah rataan gol Liverpool pada awal musim tidak terlalu mencolok. Pada 13 pertandingan pertama, Liverpool hanya mencetak 25 gol atau rata-rata 1,9 gol/laga. Meski bukan merupakan faktor satu-satunya, namun berkurangnya pasukan penyerang karena harus menempatkan lebih banyak personel pada zona 3 ini tentu berpengaruh.

Namun kondisi berubah. Gerrard yang telah bisa memainkan perannya dengan baik tanpa bantuan Lucas atau Allen jadi berkah tersendiri bagi Rodgers. Manajer berusia 41 tahun itu pun lalu mencabut izin bagi Gerrard untuk ikut maju menyerang terlalu jauh dan memberikan tugas untuk menjaga daerah tengah lapangan.

Hal ini ditunjukkan oleh data statistik, yaitu area sentuhan bola Gerrard serta data heat map. Contohnya adalah pada pertandingan terakhir Liga Inggris melawan Newcastle United (lihat grafik di bawah). Terlihat bahwa Gerrard memang jarang sekali beranjak dari tengah lapangan.



[Heat map Steven Gerrard saat melawan Newcastle United. Sumber: squawka.com]

Penuruan data sentuhan dan aktivitas menerima operan Gerrard dari musim 2012/2013 ke 2013/2014 pun menujukan bahwa sang kapten semakin jarang berada di daerah lawan (lihat tabel di bawah). Ya, Gerrard memang lebih berkonsentrasi menjaga lini pertahanan sendiri dan lebih jarang ikut naik menyerang.

Evolusi Raheem Sterling

Perubahan lain yang terlihat mencolok dari Liverpool pada musim ini adalah evolusi Raheem Sterling. Hal inilah yang kemudian membuat strategi 4-4-2 diamond Rodgers semakin sempurna.

Pada musim-musim sebelumnya, kita hanya mengenal Sterling sebagai the next Aron Lennon yang hanya bisa berlari -- dan hanya Tuhan yang tahu kapan akan berhenti. Ia tidak diproyeksikan bisa melakukan umpan terobosan yang visioner, apalagi sampai bisa memainkan peran pemain nomor 10 dengan sangat baik.

Kemampuan Sterling dalam menggiring bola dan menembus pertahanan lawan memang sudah bukan rahasia lagi. Selama ini, ketika masih berada di sektor sayap, Sterling akan lebih sering menusuk dari pinggir ke dalam kotak penalti.

Secara sederhana, akan lebih berbahaya jika kemampuan istimewa Sterling ini diaplikasikan dari sektor tengah. Dengan begitu, Sterling tidak perlu berputar terlebih dahulu, namun langsung menusuk ke jantung pertahanan lawan.

Namun memindahkan seorang pemain dari sisi sayap ke tengah bukan hal yang sederhana. Apalagi kondisi area tengah lapangan akan lebih padat ketimbang di daerah sayap. Menerobos membabi-buta di tengah hanya akan membuat Sterling menjadi bulan-bulanan bek-bek Liga Inggris yang tidak kenal kompromi.

Rodgers harus menghilangkan kebiasaan Sterling yang terlalu monoton menerobos. Sterling harus bermain layaknya seorang pemain nomor 10 yang tahu kapan harus menggiring, kapan harus mengoper, serta kapan harus berhenti atau mengembalikan bola ke belakang.

Beruntung Rodgers memiliki dua striker yang selalu aktif mencari bola. Suarez dan Sturridge sering melakukan pergerakan ke samping sekaligus membuka ruang pada Sterling untuk menembus pertahanan. Dengan begitu, sebagian pemain bertahan lawan akan terpancing oleh pergerakan kedua striker ini. Hal inilah yang membuat kerja Sterling pun menjadi lebih mudah.

Perbandingan hasil aktivitas dribbling Sterling pada musim 2012/2013 dan 2013/2014 menunjukan bahwa pada musim ini ia tidak hanya berhasil menggiring bola di sisi sayap namun juga di daerah tengah pertahanan lawan.




[Area dribbling Raheem Sterling musim 2012-2013 (kiri) dan musim 2013-2014 (kanan). Sumber: fantasyfootballscout.com]

Assist Sterling kepada Suarez saat melawan Norwich adalah salah satu hasil nyata perkembangannya.

Pada posisi ini (lihat gambar di bawah), Sterling pada masa lalu akan lebih melihat ruang lebar di belakang defender dan melakukan dribbling. Dengan melakukan aksi tersebut, pemain muda Inggris itu bisa saja menghasilkan gol mengingat kemampuan dribbling-nya juga tidak sembarangan. Namun, dalam pertandingan itu, Sterling lebih memilih mengirimkan bola melengkung cantik yang langsung dapat dieksekusi Suarez dengan mudah.



[Assist Sterling kepada Suarez saat melawan Norwich]

Perkembangan Rodgers

Di balik semua perkembangan Liverpool dan para pemainnya, ada satu perbaikan yang juga tidak bisa dilewatkan, yaitu peningkatan kemampuan Rodgers sebagai pelatih. Sang arsitek tim itu kini tidak hanya sekedar manajer yang memiliki satu racikan strategi kaku, tapi memiliki berbagai macam alternatif yang dengan fleksibel diterapkan di lapangan.

Rodgers bahkan tidak selalu memaksakan filosofinya yaitu serangan melalui operan pendek dari kaki ke kaki. Bahkan counter-attack cepat yang hanya melibatkan lima sentuhan pun sudah sering diterapkan pada musim ini.

Catatan menunjukkan bahwa Liverpool pada musim lalu, atau Swansea dua tahun lalu, hanya mampu menciptakan satu gol lewat skema serangan balik. Pada musim ini, jumlah ini meningkat drastis hingga 9 kali. Demikian pula dengan melatih Liverpool untuk lebih mematikan lewat skema bola-bola mati, satu hal yang gagal dilakukan oleh manajer-manajer Liverpool sebelumnya.

Meski Rodgers masih gagal membawa Liverpool untuk menjadi juara Liga Inggris, terutama dalam masalah pertahanan yang masih teramat sering bocor, namun apa yang dibangun Rodgers dalam dua musim pertamanya ini tentu tidak bisa dianggap remeh.

Membangun sebuah tim memang tidak akan bisa dilakukan dalam sekejap. Liverpool saat ini juga bukan Liverpool yang sudah sempurna, Rodgers masih memiliki beberapa pekerjaan rumah yang harus diselesaikan untuk menjalani musim depan. Tapi, bukankah pepatah mengatakan bahwa Roma tidak dibangun dalam satu malam?

====

* Akun twitter penulis: @aabimanyuu dari @panditfootball

Tidak ada komentar: