14 September 2014

METODE HIKMAH, MAU’IZHAH HASANAH DAN JIDALAH SEBAGAI METODE PENDIDIKAN (Analisisis Tafsir Qur’an Surat An-Nahl Ayat 125)

Oleh :
Indra Kurniawan
Imas Kania Rahman


Abstrak
Dalam sebuah sya’ir dikatakan “al-thariqatu ahammu min al-mâddah,” maksudnya adalah metode itu “dianggap” lebih penting dari pada penguasaan materi. Rasionalisasi dari pernyataan tersebut adalah apabila seorang pendidik menguasai banyak materi namun tidak memahami bagaimana materi tersebut bisa disampaikan dengan baik kepada peserta didik (tidak menguasai metode), maka proses transformasi pengetahuan sulit tercapai. Sebaliknya apabila seorang pendidik hanya menguasai sejumlah atau sedikit materi, tetapi menguasai berbagai macam metode pendidikan, maka dimungkinkan peserta didik akan mampu memahami materi yang ingin disampaikan dalam proses pendidikan.

Abstract
In the words of the poem says "al-tariqatu ahammu min al-mâddah," means that the method was "deemed" more important than the mastery of the material. Rationalization of the statement is that if a lot of material master educator but do not understand how these materials can be conveyed by both the students (not master the method), the process of transformation of knowledge difficult to achieve. Conversely, if an educator or just a bit of material master, but master the various methods of education, it is possible that learners will be able to understand the material to be conveyed in the educational process.

Kata Kunci: Metode Pendidikan, Hikmah, Mau’izhah Hasanah, Jidalah, Tafsir
Keyword: Education Method, Hikmah, Mau’izhah Hasanah, Jidalah, Tafsir

A.    Pendahuluan
Dewasa ini banyak sekali metode dan pendekatan yang terus bermunculan dan diterapkan dalam pendidikan di berbagai  bidang  mata  pelajaran.  Tapi  kemudian dalam metode  pendidikan  tersebut, sedikit sekali yang bersumber  dari al-Qur’an. Padahal  al-Qu’an  yang sudah  diketahui  umat  Islam,  merupakan  pedoman  segala aspek termasuk metode pendidikan, misalnya surat an-Nahl ayat 125. Ayat tersebut dipahami oleh para mufasir sebagai ayat yang berkaitan dengan dakwah. Disamping itu, ada  beberapa tokoh  pendidikan  yang mengaitkan  ayat  ini dalam dimensi  metode pendidikan, seperti  dijelaskan  dalam  bukunya  Abdul  Mujib  dan  Jusuf  Muzakkir, hanya saja pembahasannya terlalu singkat dan sederhana. Oleh karena itulah, peneliti ingin menjadikan ayat tersebut sebagai landasan metode pendidikan dengan cara melakukan penelitian.
Keluasan al-Qur’an dalam konsep pendidikan tersebut telah mendorong penulis untuk menggali salah satu dari konsep tersebut. Al-Qur’an yang menyajikan berjuta hikmah dan senantiasa relevan dengan perkembangan zaman, hal itu pula yang berlaku dengan metode pendidikan yang disajikan dalam al-Qur’an. Al-Qur'an merupakan pedoman hidup yang di dalamnya terdapat berbagai petunjuk untuk kehidupan manusia. Petunjuk yang ada di dalam al-Qur'an meliputi berbagai bidang kehidupan termasuk pendidikan. Banyak petunjuk dalam al-Qur'an tentang komponen-komponen tentang pendidikan yang salah satunya adalah metode pendidikan.
Dalam hal ini, penulis berupaya untuk mengungkap bagaimana konsep metode pendidikan yang terdapat dalam al-Qur’an surat An-Nahl ayat 125 yaitu:

äí÷Š$# 4n<Î) È@Î6y y7În/u ÏpyJõ3Ïtø:$$Î/ ÏpsàÏãöqyJø9$#ur ÏpuZ|¡ptø:$# ( Oßgø9Ï»y_ur ÓÉL©9$$Î/ }Ïd ß`|¡ômr& 4 ¨bÎ) y7­/u uqèd ÞOn=ôãr& `yJÎ/ ¨@|Ê `tã ¾Ï&Î#Î6y ( uqèdur ÞOn=ôãr& tûïÏtGôgßJø9$$Î/  ) النّحل :١٢٥ (

Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. (Q.S. an-Nahl, 16: 125)

Pendidikan dalam pengertian yang sederhana dan umum adalah sebagai usaha manusia untuk menumbuhkan dan mengembangkan potensi-potensi bawaan, baik jasmani maupun rohani sesuai  dengan  nilai-nilai  yang ada dalam masyarakat  dan kebudayaan.  Sedangkan  menurut  Freeman Butt  pendidikan  adalah  kegiatan menerima dan memberikan pengetahuan sehingga kebudayaan dapat diteruskan dari generasi ke generasi berikutnya.
Al-Qur’an merupakan kitab suci yang berisi petunjuk untuk kehidupan umat manusia di dunia ini. Dengan petunjuk aI-Qur'an, kehidupan manusia akan berjalan dengan   baik.   Manakala   mereka   memiliki   problem,   maka   problem   itu   dapat terpecahkan  sehingga  ibarat  penyakit  akan  ditemukan  obatnya  dengan aI-Qur'an. Oleh karena itu, menjadi amat penting bagi kita sebagai umat Islam untuk memahami aI-Qur'an dengan sebaik-baiknya sehingga bisa kita gunakan sebagai pedoman hidup di dunia ini dengan sebenar-benarnya, sebagaimana firman Allah dalam al-Qur’an :
¨bÎ) #x»yd tb#uäöà)ø9$# Ïöku ÓÉL¯=Ï9 šÏf ãPuqø%r& çŽÅe³u;ãƒur tûüÏZÏB÷sßJø9$# tûïÏ%©!$# tbqè=yJ÷ètƒ ÏM»ysÎ=»¢Á9$# ¨br& öNçlm; #\ô_r& #ZŽÎ6x. ÇÒÈ   ) الإسرَاء(٩ :
Sesungguhnya al-Qur’an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi khabar gembira kepada orang-orang Mu'min yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar. (Q.S. al-Isra, 17: 9)
Peneliti sendiri tertarik untuk meneliti atau mengkaji surat an-Nahl ayat 125. Sebab peneliti menemukan pada banyak buku yang menjelaskan tentang dakwah, yang dapat dikatakan semuanya mengaitkan dengan ayat ini (surat an-Nahl ayat 125). Padahal  jika dikaji dalam konteks  pendidikan  terkait dengan metodenya,  tentunya ayat  tersebut  sangat  menarik,  lebih-lebih  pada  saat  ini perkembangan  pendidikan khususnya pendidikan Islam sudah ada signifikansi kemajuan yang luar biasa. Dalam beberapa buku pendidikan Islam sebenarnya Surat an-Nahl ayat 125 sudah dijelaskan terkait dengan metode pendidikan, hanya saja pembahasan tersebut masih sangat sederhana dan sangat singkat.

B.     Kajian Teoretik
  1. Pengertian Metode Pendidikan
Secara bahasa metode berasal dari dua perkataan “meta” dan “hodos.” “meta” berarti ”melalui.” Dan ”hodos” berarti ”jalan atau cara”, bila ditambah “logi” sehingga menjadi “metodologi” berarti “ilmu pengetahuan tentang jalan atau cara yang harus dilalui” untuk mencapai tujuan, oleh karena kata “logi” yang berasal dari kata Yunani (Greek) “logos” berarti “akal” atau “ilmu”. 
Dalam pernyataan beberapa tokoh, Edgar Bruce Wesley mendefinisikan metode dalam bidang pendidikan sebagai: “rentetan kegiatan terarah bagi guru yang menyebabkan timbulnya proses belajar pada murid-murid, atau ia adalah proses yang melaksanakannya yang sempurna menghasilkan proses belajar, atau ia adalah jalan yang dengannya pengajaran itu menhadi berkesan.” (Djumransah, 2006 : 116)
Saleh Abd. Aziz sebagaimana dikutip Ramayulius meminjam dua makna metode pengajaran dari pendidik Amerika Kilpatrick, yaitu makna yang sempit yang bertujuan menyampaikan maklumat, dan makna yang luas dan menyeluruh, yaitu memperoleh maklumat-maklumat ditambah dengan pandangan, kebiasaan berpikir dan lain-lainnya. “Dan pandangan-pandangan atau sikap ini seperti cinta pada ilmu, guru dan sekolah, menghormati dan mencintai orang lain, dan bergantung pada diri sendiri”. (Ramayulius, 2008:2)
Metode menurut Imam Barnadib adalah suatu sarana untuk menemukan, menguji dan menyusun data yang diperlukan bagi pengembangan disiplin tersebut, maka usaha pengembangan metode itu sendiri merupakan syarat mutlak.
Adapun al-Qur’an secara eksplisit tidak menjelaskan arti dari metode pendidikan karena al-Qur’an bukan ilmu pengetahuan tentang pendidikan. Namun kata metode dalam bahasa arab yang lebih mengena dibahasakan dengan kata al-tariqah banyak dijumpai dalam al-Qur’an. Menurut Muhammad Abd al-Baqi didalam al-Qur’an kata Al-Tariqah di ulang sebanyak sembilan kali.
Kata ini terkadang dihubungkan dengan objek yang dituju oleh Al-Thariqah. Seperti neraka, sehingga menjadi jalan menuju neraka. Sebagaimana firman Allah Swt. (Q.S. 4:9). Terkadang dihubungkan dengan sifat dari jalan tersebut, seperti al-tariqah al-mustaqimah, yang diartikan jalan yang lurus sebagaimana firman Allah Swt. :
(#qä9$s% !$oYtBöqs)»tƒ $¯RÎ) $oY÷èÏJy $·7»tFÅ2 tAÌRé& .`ÏB Ï÷èt/ 4ÓyqãB $]%Ïd|ÁãB $yJÏj9 tû÷üt/ Ïm÷ƒytƒ üÏöku n<Î) Èd,ysø9$# 4n<Î)ur 9,ƒÌsÛ 8 LìÉ)tGó¡B (٣٠: الَأحقاف)   

Mereka berkata: "Hai kaum Kami, Sesungguhnya Kami telah mendengarkan kitab (al-Quran) yang telah diturunkan sesudah Musa yang membenarkan Kitab-Kitab yang sebelumnya lagi memimpin kepada kebenaran dan kepada jalan yang lurus.” (Q.S. Al-Ahqaf, 46:30)
Dan terkadang al-Qur’an tentang sifat dari jalan yang harus ditempuh itu, dan terkadang pula berarti suatu tempat. Dengan demikian, metode atau jalan oleh al-Qur’an dilihat dari sudut objeknya, fungsinya, akibatnya, dan sebagainya. Ini dapat diartikan bahwa perhatian al-Qur’an terhadap metode demikian tinggi, dengan demikian al-Qur’an lebih menunjukkan isyarat-isyarat yang memungkinkan metode ini berkembang lebih lanjut.
Sedangkan pengertian pendidikan menurut Azra dengan seluruh totalitasnya dalam konteks Islam adalah konotasi dari Tarbiyah (ﺔﻴﺑﺮﺗ), Ta'lim (ﻢﻴﻠﻌﺗ) dan  Ta'dib (ﺐﻳدﺄﺗ). Berdasarkan ketiga konotasi tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa antara ketiga konotasi tersebut memiliki   pengertian   yang   berhubungan   satu   sam lain.   Yaitu, memelihara  dan  mendidik  serta  memberikan  pengajaran  kepada peserta didik (Azra, 2000:4).
Adapun pendidikan  menurut  Ahmad  D.  Marimba,  sebagaimana  dikutip oleh  Suwarno,  adalah  bimbingan  atau  pimpinan  secara  sadar  oleh  si  pendidik terhadap   perkembangan   jasmani   dan   rohani   si   terdidik   menuju   terbentuknya kepribadian yang utama (Nur Uhbiyati, 2005:9).
Jadi dapat dipahami dari berbagai pendapat, teori dan pemikiran dalam paparan diatas dapat dismpulkan bahwa   metode pendidikan adalah jalan atau cara atau strategi yang harus dilalui untuk mencapai tujuan pendidikan atau menguasai kompentensi tertentu yang dirumuskan dalam silabus mata pelajaran. Agar kemudian tujuan pendidikan tercapai, seperti apa yang sudah direncanakan. Atau dapat dikatakan pula bahwa metode pendidikan merupakan sebuah mediator yang mengolah dan mengembangkan suatu gagasan sehingga menghasilkan suatu teori atau temuan untuk menyampaikan sebuah visi pendidikan kepada tujuannya.

  1. Dasar-Dasar Metode Pendidikan
Metode pendidikan dalam penerapannya banyak menyangkut  permasalahan individu atau sosial peserta didik dan pendidikan itu sendiri, sehingga dalam menggunakan metode seorang pendidik harus memperhatikan dasar-dasar umum metode pendidikan.
Sebab metode pendidikan itu hanyalah merupakan sarana atau jalan menuju tujuan  pendidikan,  sehingga  segala  jalan  yang  ditempuh  oleh  seorang  pendidik haruslah mengacu pada dasar-dasar metode pendidikan tersebut.
Dalam  konteks  ini,  metode  pendidikan  tidak  terlepas  dari  dasar  agamis, biologis, psikologis, dan sosiologis.
a)      Dasar Agama
Pelaksanaan   metode   pendidikan   yang   dalam   prakteknya   banyak terjadi di antara pendidik dan peserta didik dalam kehidupan masyarakat yang luas,  memberikan  dampak  yang  besar  terhadap  kepribaidan  peserta  didik. Oleh karena itu, agama merupakan salah satu dasar metode pendidikan dan pengajaran. Karena pendidikan merupakan sesuatu yang penting untuk generasi yang lebih baik pada masa yang akan dating, seperti yang digambarkan dalam al-Qur’an:
|·÷uø9ur šúïÏ%©!$# öqs9 (#qä.ts? ô`ÏB óOÎgÏÿù=yz Zp­ƒÍhèŒ $¸ÿ»yèÅÊ (#qèù%s{ öNÎgøŠn=tæ (#qà)­Guù=sù ©!$# (#qä9qà)uø9ur Zwöqs% #´ƒÏy   (٩: النّساء)

Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan Perkataan yang benar. (Q.S. An-Nisa, 4:9)
Al-Qur’an   dan   hadits   tidak   bisa   dilepaskan   dari   pelaksanaan pendidikan. Dalam kedudukannya sebagai dasar ajaran Islam, maka dengan sendirinya metode pendidikan Islam harus merujuk pada kedua sumber ajaran tersebut.  Sehingga  segala  penggunaan  dan  pelaksanaan  metode  pendidikan tidak menyimpang dari tujuan pendidikan itu sendiri.
b)      Dasar Biologis
Perkembangan biologis manusia berpengaruh dalam perkembangan intelektualnya.   Sehingga   semakin   berkembang   biologi   seseorang,   maka dengan  sendirinya   makin  meningkat   pula  daya  intelektualnya.    Dalam memberikan pendidikan dan  pengajaran, seorang pendidik harus memperlakukan biologis peserta didik.
Perkembangan jasmani (biologis) seseorang juga mempunyai pengaruh yang sangat kuat terhadap dirinya.  Seorang peserta didik yang cacat akan berpengaruh terhadap prestasi peserta didik,  baik pengaruh positif maupun negatif.
Maka dapat disimpulkan  bahwa perkembangan  dan kondisi jasmani itu memegang peranan penting dalam proses pendidikan. Sehingga dalam penggunaan  metode pendidikan  seorang pendidik   harus  memperhatikan kondisi biologis peserta didik.
c)      Dasar Psikologis
Perihal dasar  psikologis, maka  yang  dimaksud  adalah  sejumlah kekuatan psikologis termasuk motivasi, kebutuhan, emosi, sikap, keinginan, kesediaan, bakat-bakat, dan kecakapan akal (intelektual).
Di antara kebutuhan-kebutuhan jiwa yang patut dipelihara guru dalam metode   dan   cara  mengajarnya   adalah   kebutuhan  kepada  ketentraman, kebutuhan  terhadap  kecintaan, kebutuhan  kepada  penghargaan, kebutuhan untuk   menyatakan   diri,   kebutuhan kepada  kejayaan,  kebutuhan untuk tergolong dalam kumpulan,   dan  kebutuhan terhadap perwujudan (self-actualization).
d)     Dasar Sosiologis
Interaksi  pendidikan yang  terjadi dalam masyarakat justru memberikan pengaruh yang  sangat besar terhadap perkembangan peserta didik dikala ia berada di lingkungan masyarakatnya. Kada-kadang interaksi/ pengaruh dari  masyarakat  tersebut  berpengaruh  pula  terhadap  lingkungan kelas dan sekolah.
Berdasarkan penjelasan di atas, seorang pendidik dalam menginternaslisasi nilai yang sudah ada dalam masyarakat (sosial value) diharapkan dapat menggunakan metode pendidikan Islam agar proses pembelajaran tidak menyimpang jauh dari tujuan pendidikan Islam itu sendiri.

  1. Prinsip-prinsip Metode Pendidikan
Prinsip merupakan pendirian utama yang dimiliki oleh masing-masing individu, kelompok-kelompok dan lain sebagainya. Dari pengertian tersebut subuah prinsip sangat dibutuhkan, terlebih lagi dalam metode pendidikan (Nasution, 1987: 50). Menurut A. Fatah Yasin, prinsip-prinsip dalam pendidikan Islam adalah sebagai berikut:
a)      Motivasi. Penerapan metode diarahkan untuk memberikan dorongan  agar peserta didik aktif belajar dan mengikuti pelajaran.
b)      Perhatian.  Penerapan metode diarahkan untuk dapat membangkitkan perhatian peserta didik agar tertarik terhadap persoalan-persoalan yang disampaikan atau yang sedang dipelajari, melalui penerapan metode tersebut.
c)      Peragaan. Penerapan metode diarahkan untuk dapat memberi kesempatan kepada peserta didik supaya memeragakan atau mendemonstrasikan perolehan.
d)     Apresiasi. Penerapan metode diarahkan untuk dapat dijadikan sebagai sarana penghubung dengan apa yang pernah dikenal oleh peserta didik sebelumnya, berkaitan dengan persoalan yang sedang dipelajari.
e)      Individualitas.  Penerapan metode diarahkan  untuk  dapat  dijadikan  sebagai sarana penghubung dengan bakat dan krakter masing-masing individu peserta didik.
f)       Konsentrasi.  Penerapan metode diarahkan untuk  dapat  dijadikan  sebagai sarana yang bisa memusatkan daya konsentrasi peserta didik pada persoalan yang sedang dipelajari.
g)      Korelasi. Penerapan metode diarahkan untuk dapat dijadikan sebagai sarana yang bisa mengajak peserta didik agar dapat menghubungkan mata pelajaran satu dengan yang lainnya.
h)      Sosialisasi. Penerapan metode diarahkan untuk dapat dijadikan sebagai sarana yang bisa mengajak peseta didik menyesuaikan dengan keadaan lingkungan sosial.
i)        Penilaian. Penerapan metode diarahkan untuk dapat dijadikan sebagai sarana yang bisa dipakai oleh pendidik dalam memantau, menilai dan merekam partisipasi aktif peserta didik dalam memahami, menghayati, dan berperilaku dalam belajar (Dahlan, 2003: 632).
Di samping beberapa prinsip di atas, masih ada lagi yang peneliti kutip dari bukunya Abdul Mujib dan Jusuf Muzakkir, yang tidak disebutkan dalam bukunnya A. Fatah Yasin.  Beliau  berdua  menggunakan  istilah asas, dalam kamus  dan tesaurus bahasa Indonesia antara kata prinsip dan asas mempunya  kesamaan arti. Peneliti sendiri memahami dalam kedua buku tersebut mempunya maksud dan tujuan yang sama.  Asas-asas tersebut adalah sebagai berikut:
a)      Asas Kebebasan, yaitu  asas  yang  memberikan  keleluasaan  keinginan  dan tindakan bagi peserta didik dengan dibatasi atas kebebasan yang mengacu pada hal-hal yang bersifat negatif. asas ini mengandung tiga aspek, yaitu self- directendnees,  self-discipline,    dan   self-control.   asas   ini   menyarankan membuat  keputusan-keputusan  tentang tindakan  seseorang  didasarkan  pada ukuran   kebijakan,   dan  mampu   membuat   pilihan  berdasarkan   nilai-nilai pribadi, dan adanya pengarahan diri sehingga sistem control diri berkembang.
b)      Asas Lingkungan, asas yang menentukan  metode  dengan  berpijak  pada pengaruh lingkungan akibat interaksi dengan lingkungan. Walaupun peserta didik lahir dengan berbekal  pembawaan,  pembawaan  itu  masih  bersifat umum yang harus dikembangkan melalui interaksi lingkungan, sehingga pembawaan dan lingkungan bukanlah  hal  yang  tidak  akan  bersatu, tetapi saling membutuhkan mengingat pembawaan merupakan batas-batas kemungkinan yang dapat dicapai dari lingkungannya.
c)      Asas Globalisai, asas sebagai akibat pengaruh psikologis totalitas, yaitu peserta didik bereaksi terhadap lingkungan secara keseluruhan, tidak hanya secara intelektual, tertapi juga secara fisik, sosial dan sebagainya.
d)     Asas Pusat-pusat Minat, asas yang memperhatikan kecenderungan jiwa yang tetap  kejurusan  suatu  hal yang berharga  bagi  seseorang.  Sesuatu berharga apabila sesuai dengan kebutuhan. Pelaksanaan asas pusat-pusat minat dalam Islam dengan ruang lingkupnya terdiri atas bahan hubungan manusia dengan Tuhan,   manusia   dengan   sesama   manusia,   dan manusia   terhadap   alam semesta.
e)      Asas Keteladanan,  pada   fase-fase  tertentu,  peserta didik memiliki kecendrungan belajar  lewat  peniruan  terhadap  kebiasaan  dan  tingkah  laku orang di sekitarnya, khususnya pada pendidik yang utama (orang tua). Asas keteladanan efektif digunakan pada fase-fase ini, misalnya kisah Qabil dalam mengebumikan Habil -adik yang telah dibunuhnya- meniru contoh yang diberikan burung gagak dalam mengubur gagak yang lain, di mana penguburan gagak tersebut merupakan ilham dari Allah Swt. (Q.S. al-Maidah, 5:31).
f)       Asas Pembiasaan, asas yang memperhatikan kebiasaan-kebiasaan   yang dilakukan oleh peserta didik. Pembiasaan merupakan upaya praktis dalam pembinaan dan pembentukan peserta didik. Upaya pembiasaan sendiri dilakukan mengingat manusia mempunyai sifat lupa dan lemah.
Dari paparan diatas, maka dapat peneliti simpulkan terhadap prinsip-prinsip yang harus diperhatikan oleh seorang pendidik dalam menerapkan metode pendidikan yang senantiasa disesuaikan dengan perkembangan dan kebutuhan peserta didik yaitu :
a)      Mempermudah; Metode yang digunakan oleh pendidik pada dasarnya adalah menggunakan suatu cara yang memberikan kemudahan bagi peserta didik untuk menghayati dan mengamalkan ilmu pengetahuan, keterampilan, dan sekaligus mengidentifikasi dirinya dengan nilai-nilai yang terdapat dalam ilmu pengetahuan dan keterampilan tersebut.
b)      Berkesinambungan; Berkesinambungan dijadikan sebagai prinsip metode pendidikan Islam, karena dengan asumsi bahwa pendidikan Islam adalah sebuah proses yang berlangsung terus menerus.
c)      Fleksibel dan Dinamis; Metode pendidikan harus digunakan dengan prinsip fleksibel dan dinamis. Sebab dengan kelenturan dan kedinamisan metode tersebut, pemakaian metode tidak hanya monoton dan saklek dengan satu macam metode saja.

4.      Kriteria Pemilihan Metode Pendidikan
Metode pendidikan merupakan salah satu sarana yang amat penting dalam mencapai tujuan pendidikan. E. Mulyasa (2007:105) menuliskan bahwasannya dalam proses interaksi edukasi seorang pendidik atau guru harus mampu memberikan pengalaman yang bervariasi, serta memperhatikan minat dan kemampuan siswa. Masih menurut E. Mulyasa bahwasannya pembelajaran perlu dilakukan dengan sedikit ceramah dan metode-metode yang berpusat pada guru.
Senada dengan E. Mulyasa, Nana Sudjana (2006:76) menyatakan bahwa proses interaksi edukasi akan berjalan baik jika siswa banyak aktif dibanding dengan guru. Oleh karena itu metode belajar yang baik adalah yang dapat menumbuh kembangkan kegiatan belajar siswa.
Dalam hal ini, ada beberapa hal yang perlu kita pertimbangkan sebelum memilih metode yang akan kita pakai. Winarno Surahmat menyatakan bahwa setidaknya ada lima faktor yang perlu kita perhatikan yakni:
a)         Siswa (dengan berbagai tingkat kematangan dan minatnya)
b)        Tujuan (dengan berbagai jenis dan fungsinya)
c)         Situasi (dengan berbagai keadaannya)
d)        Fasilitas (dengan berbagai kuailitas dan kuantitasnya)
e)         Pengajar (dengan bernagai kemampuannya)
Sedangkan Wenstenlein (2009 : 92-93) juga mempertimbangkan lima hal dalam menetukan metode pendidikan yang akan dipakai, yakni:
a)         Tujuan
b)        Lingkungan pendidikan dan peralatan
c)         Sistem pendidikan
d)        Kebutuhan anak didik
e)         Kemampuan pendidik
a)         Faktor lain, yang secara langsung atau tidak langsung dapat mempengaruhi jenis metode tersebut.
Secara umum faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan metode pendidikan tidak jauh berbeda. Satu sama lain saling melengkapi dan terkadang hanya penyusunannya saja yang berbeda.

  1. Penggunaan Metode Pendidikan
Kaitannya dengan penggunaan metode, Hasan Langgulung berpendapat bahwa penggunaan metode didasarkan atas tiga aspek pokok yaitu:
a)           Sifat-sifat dan kepentingan yang berkenaan dengan tujuan utama pendidikan Islam, yaitu pembinaan manusia mukmin yang mengaku sebagai hamba Allah.
b)          Berkenaan dengan metode-metode yang betul-betul berlaku yang disebutkan dalam al-Qur’an atau disimpulkan daripadanya.
c)           Membicarakan tentang pergerakan (motivation) dan disiplin dalam istilah al- Qur’an disebut ganjaran (shawab) dan hukuman ('iqab).
Dalam pendidikan yang diterapkan di Barat, metode pendidikan hampir sepenuhnya tergantung kepada kepentingan peserta didik, para guru hanya bertindak sebagai motivator, stimulator, fasilitator, ataupun hanya sebagai instruktur. Sistem yang cenderung dan mengarah pada peserta didik sebagai pusat ini sangat menghargai adanya perbedaan individu para peserta didik.
Hal ini menyebabkan para guru hanya bersikap merangsang dan mengarahkan para peserta didik mereka untuk belajar dan memberi mereka kebebasan, sedangkan pembentukan karakter dan pembinaan moral hampir kurang menjadi perhatian guru (Ramayulius, 2008:5).
Akibat penerapan metode yang demikian itu menyebabkan pendidikan kurang membangun  watak. Dihubungkan  dengan fenomena  yang timbul di masyarakat  di mana guru semakin tidak dihormati oleh peserta didiknya.
Selain   itu, harus pula  diperhatikan   terhadap   penggunaan   metode   ialah disesuai dengan turunnya ayat-ayat al-Qur’an, yang mana ayat-ayat dalam al-Qur’an diturunkan secara bertahap dan disesuaikan dengan kondisi masyarakat setempat pada saat itu.
Sehingga dengan begitu penggunaan metode dalam pendidikan harus melihat dan   disesuaikan   dengan   kondisi   peserta   didik,   agar   kemudian   materi   yang disampaikan dalam pendidikan akan mengena sesuai dengan yang direncanakan.
Hal tersebut memperkuat dalam penggunaan metode pendidikan tidak boleh asal-asalan, sebisa mungkin disesuaikan dengan perkembangan peserta didik dan membuktikan bahwa adanya al-Qur’an membantu dalam memformulasikan penggunaan metode dalam pendidikan. Sebab di dalam sumber tersebut banyak hal yang kemudian dapat dijadikan bahan terkait dengan metode pendidikan.
Di samping itu, kegunaan metode pendidikan menurut Omar Mohammad al-Toumy al-Syaibany berguna untuk:
a)        Menolong siswa dalam mengembangkan ilmu pengetahuan, pengalaman, dan keterampilan berfikir yang logis dan sistematis.
b)        Membiasakan pelajar berfikir sehat, rajin, sabar, dan teliti dalam menuntut ilmu.
c)        Memudahkan pencapaian tujuan proses belajar mengajar (PBM) sebagaimana yang telah ditentukan sebelumnya.
Menciptakan   suasana   proses   belajar   mengajar   (PBM)   yang   kondusif, komunikatif,  dan terciptanya  hubungan  yang harmonis  antara  guru dengan anak  didik,  sehingga  pada  akhirnya  bermuara  kepada  pencapaian  tujuan pendidikan (Armai, 2002: 96-97).

C.    Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis isi (Countent analysis), yang pada awalnya digunakan dalam disiplin ilmu komunikasi dapat diamanfaatkan untuk penelitian yang bersifat normatif, seperti pendapat seseorang atau sekelompok orang tentang hukum suatu perkara. (LPP, 2001 : 16).
Secara spesifik penelitian ini berkenaan dengan metode dan gaya mengajar guru dalam menyampaikan ilmu dan pengetahuan terhadap murid di dalam sebuah lembaga pendidikan (education institution). Adapun pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Pemilihan pendekatan ini karena dalam menjawab permasalahan-permasalahan yang telah dikemukakan, memerlukan pemahaman dan analisis yang mendalam serta komprehensif mengenai subjek penelitian untuk menghasilkan kesimpulan-kesimpulan yang dapat dipertanggungjawabkan. Dengan demikian dalam penelitian ini tidak mengandalkan perhitungan-perhitungan sebagaimana lazimnya yang dilakukan dalam penelitian kuantitatif. Karakteristik metode penelitian ini dijadikan acuan dalam sebuah penelitian, sesuai dengan landasan pemikiran yang dikemukakan oleh Leksi Moleong (2001: 4-5) bahwa penelitian kualitatif berakar pada latar belakang alamiah atau konteks dari suatu keutuhan dan mengandalkan manusia sebagai alat penelitian, memanfaatkan metode kualitatif dan mengandalkan analisis data secara induktif.
Penelitian ini menggunakan kajian kepustakaan  (library  research)  dan  metode  pengumpulan datanya menggunakan dokumentasi, maka teknik analisis data yang peneliti gunakan adalah  analisis  isi  (content  analisis).  Analisis ini bertujuan untuk mempelajari dokumen dan literatur.
Analisis data yang digunakan adalah dengan menggunakan tahapan-tahapan sebagai berikut :
a.       Pemprosesan data (unityzing) yaitu mencari dengan cara mengumpulkan data yang berkaitan dengan masalah yang sedang dibahas dari berbagai sumber dan dipelajari secara teliti seluruh data yang sudah terkumpul kemudian satuan-satuannya diidentifikasikan. (Moleong, 2002 : 190).
b.      Kategorisasi yaitu data-data yang sudah terkumpul dapat dikelompokkan atas pikiran, pendapat, dan kriteria tertentu yang selanjutnya dikategorisasikan ke dalam isi pembahasan penelitian yang berkaitan. (Moleong, 2002 : 192)
c.       Penafsiran data yaitu setelah tersedia data-data dengan lengkap dan kategorisasi telah dilakukan, maka dilakukan analisis atau penafsiran terhadap data yang tersedia dengan menggunakan analisis, yang akhirnya dilakukan penafsiran kesimpulan dari apa yang telah dibahas. (Moleong, 2002 : 193).
            Sesuai dengan tahapan-tahapan diatas, maka langkah-langkah menganalisis data adalah sebagai berikut: menganalisis kitab-kitab Tafsir yang dijadikan sumber utama atau data sekunder dalam penelitian ini dengan tinjauan penafsiran pendidikan yang ada pada kitab tersebut. Analisis tersebut dengan cara membaca dan memahami data yang sudah diperoleh. Kemudian, mengelompokan teks-teks yang ada dalam kitab-kitab tafsir dan menyimpulkan kajian tafsir Qur’an Surat an-Nahl ayat 125 yang terdapat dalam kitab-kitab tersebut.

D.    Hasil Penelitian dan Pembahasan
  1. Pengertian Hikmah, Mau’izhah Hasanah dan Mujadalah Menurut Para Tokoh
a)      Pengertian Hikmah
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia   hikmah diartikan sebagai kebijaksanaan, kesaktian dan makna yang dalam (Alawi, 2013:401).  Sejalan dengan itu, dalam Kamus Al-Munawwir, hikmah berasal dari kata hakama, yang berarti hikmah, kebijaksanaan (Munawwir, 1997:287). Secara bahasa al-hikmah berarti ketepatan dalam ucapan dan amal. Menurut ar-Raghib, al-hikmah berarti mengetahui perkara-perkara yang ada dan mengerjakan hal-hal yang baik (Ash-Shabuni, t.t., jil.2:451).
Menurut Mujahid, al-hikmah adalah pemahaman, akal, dan kebenaran dalam ucapan selain kenabian. Sedangkan at-Thabary menyebutkan dalam tafsirnya bahwa hikmah dari Allah swt. bisa berarti benar dalam keyakinan dan pandai dalam din dan akal. (At-Thabari, t.t., jil. 5: 269)
Ibnu Katsir mengutip perkataan Ibnu Jarir at-Thabari bahwa hikmah adalah apa yang diturunkan oleh Allah yakni al-Qur’an dan as-Sunnah. Sedangkan menurut Qurthubi hikmah diartikan sebagai sebuah sikap kelembutan (talathuf), layyin, tidak bersikap kasar (muhasanah), dan tidak menggunakan kekerasan (ta’nif).
            Adapun Abdul Aziz bin Baz bin Abdullah bin Baz  berdasarkan penelitiannya menyimpulkan bahwa hikmah mengandung arti sebagai petunjuk yang memuaskan, jelas, serta menemukan (mengungkapkan) kebenaran, dan membantah kebatilan. Oleh karena itu, telah berkata sebagian mufasir bahwa makna hikmah adalah al-Qur’an, karena sesungguhnya al-Qur’an adalah hikmah yang agung. Karena sesungguhnya di dalam al-Qur’an ada keterangan dan penjelasan tentang kebenaran dengan wajah yang sempurna (proporsional). Dan telah berkata sebagian yang lain bahwa makna hikmah adalah dengan petunjuk dari al-Qur’an dan as-Sunnah (Abdul Aziz bin Baz, t.t., jil. 125).
Pernyataan Abdul Aziz Bin Baz tersebut sejalan dengan pendapat sebagian mufasir terdahulu seperti As-Suyuthi, dan Al-Baghawi, As-Samarkandy yang  mengartikan hikmah sebagai al-Quran. Dan Ibnu Katsir yang menafsirkan hikmah sebagai apa saja yang diturunkan Allah berupa al-Kitab dan As-Sunnah.
Lebih lanjut Sayyid Quthb menjelaskan hikmah ini haruslah menguasai keadaan dan kondisi (zhurūf) mad’ūn-nya, serta batasan-batasan yang disampaikan setiap kali ia menjelaskan kepada mereka. Sehingga, tidak memberatkan dan menyulitkan mereka sebelum mereka siap sepenuhnya. Juga metode yang digunakan dalam menghadapi mereka. Semua keberagaman cara ini harus disesuaikan dengan konsekuensi-konsekuensinya.
Adapun HAMKA dalam al-Azhar menjelaskan bahwa hikmah bukanlah sekedar filsafat, tetapi lebih halus dari filsafat. Hikmah yang diartikan sebagai kebijaksanaan ini mampu mencerdaskan orang lain, memberikan pemahaman mendalam. Bukan hanya dengan ucapannya, tapi juga dengan perilakunya.
Menurut  Quraish  Shihab, hikmah  yakni berdialog  dengan  kata-katabijak sesuai dengan tingkat kepandaian orang yang diajak pada kebaikan. Kata  hikmah (ﺔﻤﻜﺣ) antara lain berarti yang paling utama dari segalah sesuatu, baik pengetahuan  maupun  perbuatan.  Dia  adalah  pengetahuan  atau  tindakan  yang bebas dari kesalahan dan atau kekeliruan.
Lebih  lanjut beliau  menjelaskan,  bahwa  hikmah  juga  diartikan  sebagai sesuatu  yang  bila  digunakan/  diperhatikan  akan  mendatangkan  kemaslahatan dan  kemudahan  yang  besar  atau  lebih  besar,  serta  menghalangi  terjadinya mudharat   atau  kesulitan   yang  besar   atau  lebih  besar,   serta   menghalangi terjadinya   mudharat   atau  kesulitan   yang  besar  atau  lebih  besar.    Untuk melengkapi penjelasan hikmah, kemudian beliau menjelaskan, bahwa makna ini ditarik  dari  kata  hakamah,  yang  berarti  kendali  karena  kendali  menghalangihewan/ kendaraan mengarah ke arah yang yang tidak diinginkan, atau menjadi liar.
Masih dalam pandangan Quraish Shihab, bahwa memilih perbuatan yang terbaik dan sesuai adalah perwujudan dari hikmah. Memilih yang terbaik dan sesuai dari dua hal buruk pun dinamai hikmah, dan pelakunya dinamakan hakim (hakim).
Kemudian beliau   mengutip pendapat Thahir Ibnu ‘Asyur  yang menggarisbawahi bahwa hikmah adalah nama himpunan segala ucapan atau pengetahuan  yang   mengarah   kepada   perbaikan  keadaan dan kepercayaan manusia secara seimbang.
Lebih lanjut beliau menjelaskan yang diambil dari pendapat Thabathaba’I mengutip  pendapat  ar-Raghib  al-Ashfahani  yang  menyatakan  sacara  singkat bahwa hikmah adalah sesuatu yang mengena kebenaran berdasarkan ilmu dan akal. Dengan  demikian,  menurut  Thabathaba’i,  hikmah  adalah argumen  yang menghasilkan  kebenaran  yang tidak diragukan,  tidak mengandung  kelemahan tidak juga kekaburan.
Terakhir Quraish Shihab mengutip  pendapat  pakar  tafsir  al-Biqa’i yang   menggarisbawahi  bahwa,  al-hakim yakni yang memiliki  hikmah, harus yakin sepenuhnya tentang pengetahuan dan tindakan yang diambilnya, sehingga dia tampil dengan penuh percaya diri, tidak berbicara dengan ragu, atau kira-kira tidak pula melakukan sesuatu dengan coba-coba.
Hikmah, memang kadangkala berarti menempatkan persoalan pada tempatnya; kadangkala juga berarti hujjah atau argumentasi. Dalam ayat ini, tidak mungkin ditafsirkan dengan makna menempatkan persoalan pada tempatnya. Makna hikmah dalam ayat ini adalah hujah dan argumentasi
Dakwah atau pengajaran dengan cara hikmah, umumnya diberikan oleh seseorang untuk menjelaskan sesuatu kepada pendengarnya yang ikhlas untuk mencari kebenaran. Hanya saja, ia tidak dapat mengikuti kebenaran kecuali bila akalnya puas dan hatinya tenteram.
Dari paparan para mufasir diatas, kemudian peneliti bentuk table sebagai berikut:
Metode Hikmah dalam Surat An-Nahl ayat 125
No
KitabTafsir
Metode Hikmah
1)       
Tafsir Ibnu Katsir
Apa yang telah diturunkan kepada Nabi Muhammad berupa al-Qur’an dan as-Sunnah.
2)       
Tafsir At-Thabari
Al-Qur’an
3)       
Tafsir al-Qurthuby
Menggunakan perkataan yang lembut, (talathuf) serta layyin.
4)       
Tafsir Fi Zhilālil Qur’ān
Menguasai keadaan dan kondisi peserta didik serta batasan-batasan dalam menyampaikan materi sehingga tidak memberatkan atau menyulitkannya.
5)       
Tafsir Al-Azhar
Metode yang dapat menarik orang yang belum maju kecerdasannya dan tidak dapat dibantah oleh orang yang lebih pintar. Hikmah juga bukan sekedar ucapan dari mulut, tetapi juga termasuk tindakan dan sikap hidup.
6)       
Tafsir Al-Misbah
Berdialog dengan kata-kata bijak sesuai dengan tingkat kepandaian peserta didik yang diajak pada kebaikan. Sehingga mendatangkan kemaslahatan dan kemudahan yang besar atau lebih besar, serta menghalangi terjadinya mudharatan atau kesulitan yang besar atau lebih besar kepadanya.

b)      Pengertian Mau’izhah
Menurut Ibnu Katsir mau’izhah ialah memberikan nasihat yang baik yakni nasihat nasihat dengan berupa peringatan-peringatan yang telah Allah gambarkan dalam al-Qur’an serta  dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada manusia dalam kehidupan sehari-hari.
Adapun at-Thabari memberikan penjelasan bahwa mau’izhah hasanah ialah perkataan atau pelajaran yang indah, yaitu tentang hujjah-hujjah yang terdapat dalam al-Qur’an serta nikmat-nikmat yang diberikan oleh Allah kepada manusia seperti yang tergambar dalam al-Qur’an. Sedangkan Al-Qurthubi menjelaskan lebih sederhana bahwa mau’izhah hasanah adalah bentuk atau sikap yang menghindari kekerasan dalam pendidikan.
Sayyid Quthb menjelaskan bahwa mau’izhah ialah nasihat yang baik yang bisa menembus hati manusia dengan lembut dan diserap oleh hati nurani yang halus. Bukan dengan bentakan dan kekerasan tanpa ada maksud yang jelas. Begitu pula dengan cara tidak membeberkan kesalahan-kesalahan yang kadang terjadi tanpa disadari atau lantaran ingin bermaksud baik. Karena kelembutan dalam memberikan nasihat akan lebih banyak menundukkan hati yang bingung, menjinakkan hati yang membenci, dan memberikan banyak kebaikan ketimbang bentakan, gertakan, dan celaan.
Lebih lanjut  Quraish  Shihab menjelaskan,  mau’izhah yakni memberikan  nasihat  dan perumpamaann yang menyentuh jiwa sesuai  dengan taraf pengetahuan objeknya yang sederhana. Kemudian beliau menjelaskan kata (ﺔﻈﻋﻮﻤﻟا) al-mau’izhah terambil dari kata (ﻆﻋو) wa’azha  yang berarti nasihat. Mau’izhah adalah uraian yang menyentuh hati yang mengantar kepada kebaikan. Masih dalam pendapatnya, mau’izhah hendaknya disampaikan dengan (ﺔﻨﺴﺣ) hasanah/ baik.
Adapun mau’izhah,  menurut  Quraish Shihab  maka  akan  mengena hati sasaran bila ucapan yang disampaikan itu disertai dengan pengalaman dan keteladanan  dari yang menyampaikannya. Nah, inilah yang bersifat  hasanah. Kalau tidak, ia adalah yang buruk, yang seharusnya dihindari.  Masih menurut beliau, di sisi lain karena mau’izhah biasanya bertujuan mencegah sasaran dari sesuatu  yang  kurang  baik,  dan  ini  dapat  mengundang  emosi - baik  dari  yang menyapaikan,  lebih-lebih  yang  menerimanya - maka  mau’izhah  adalah  sangat perlu untuk mengingatkan kebaikannya itu.
Merinci tafsiran global tersebut, para mufasir menjelaskan sifat mau’izhah hasanah sebagai suatu nasihat yang tertuju pada hati (perasaan), tanpa meninggalkan karakter nasihat itu yang tertuju pada akal. Sayyid Quthub menafsirkan mau’izhah hasanah sebagai nasihat yang masuk ke dalam hati dengan lembut (tadkhulu  il­â al-qulûb bi al-rifq).
Kemudian dari penjelasan diatas, peneliti bentuk tabel sebagai berikut:
Metode mau’izhah dalam Surat an-Nahl ayat 125
No
KitabTafsir
Metode Hikmah
1.       
Tafsir Ibnu Katsir
Memberikan nasihat yang baik yaitu yang terkandung dalam al-Qur’an yang berupa peringatan dan realitas-realitas manusia.
2.       
Tafsir At-Thabari
Peringatan/pelajaran yang indah, yang Allah jadikan hujjah atas mereka di dalam al-Qur’an.
3.       
TafsirAl-Qurthuby
Tidak bersikap kasar (muhasanah) dan tidak menggunakan kekerasan (ta’nif)
4.       
Tafsir Fi Zhilālil Qur’ān
Nasihat atau perkataan yang baik yang dapat menembus hati manusia dengan lembut dan diserap oleh hati nurani yang halus.
5.       
Tafsir Al-Azhar
Pendidikan yang baik, atau pesan-pesan yang baik, yang disampaikan dengan nasihat.
6.       
Tafsir Al-Misbah
Memberikan nasihat dan perumpamaan yang menyentuh jiwa sesuai dengan taraf pengetahuan peserta didik yang sederhana.

c)      Pengertian Mujadalah
Ibnu Katsir memberikan penejelasan bahwa metode mujadalah yang berarti perdebatan yang dilakukan dengan cara terbaik ialah jika perdebatan dalam sebuah diskusi tidak dapat dihindarkan maka hendaklah mendebat dengan cara yang baik, bersahabat, santun, lembut serta menggunakan perkataan yang lembut. Beliau menuturkan sebuah firman Allah, yaitu :
Ÿwur (#þqä9Ï»pgéB Ÿ@÷dr& É=»tGÅ6ø9$# žwÎ) ÓÉL©9$$Î/ }Ïd ß`|¡ômr& žwÎ) tûïÏ%©!$# (#qßJn=sß óOßg÷YÏB ( (#þqä9qè%ur $¨ZtB#uä üÏ%©!$$Î/ tAÌRé& $uZøŠs9Î) tAÌRé&ur öNà6ös9Î) $oYßg»s9Î)ur öNä3ßg»s9Î)ur ÓÏnºur ß`øtwUur ¼çms9 tbqßJÎ=ó¡ãB ÇÍÏÈ )العنكبوت: ٤٦ (  

Dan janganlah kamu berdebat denganAhli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zalim di antara mereka, dan Katakanlah: "Kami telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada Kami dan yang diturunkan kepadamu; Tuhan Kami dan Tuhanmu adalah satu; dan Kami hanya kepada-Nya berserah diri”. (Q.S. Al-‘Ankabut, 29 : 46)

Al-Thabari menerangkan bahwa mujadalah pada ayat ini berdebat dengan cara yang baik atau dengan bantahan yang baik. Adapun bantahan ini dilakukan untuk menjaga kehormatan diri dan sebagai upaya agar terhindar dari peremehan serta intimidasi terhadap diri kita. Lebih lanjut beliau menjelaskan bahwa kita tetap diperintahkan untuk menyampaikan isi ataupun materi pendidikan untuk menghindari murka Allah Swt. Sedang al-Qurthubi lebih sederhana menafsirkan mujadalah ini adalah melakukan diskusi dengan tidak menggunakan kekerasan.
Sayyid Quthb dalam Fi Zhilālil Qur’ān menjelaskan bahwa berdakwah juga harus mendebat dengan cara yang lebih baik. Tanpa bertindak dhalim terhadap orang yang menentang ataupun sikap peremehan dan pencelaan terhadapnya. Sehingga seorang dai merasa tenang dan merasakan bahwa tujuannya berdakwah bukanlah untuk mengalahkan orang lain dalam berdebat. Akan tetapi, untuk menyadarkan dan menyampaikan kebenaran kepadanya. Jiwa manusia pasti memiliki sifat sombong dan membangkang. Dan itu tidak bisa dihadapi kecuali dengan cara kelembutan, sehingga jiwanya tidak merasa dikalahkan. Paling cepat bergejolak dengan hati adalah bobot sebuah ide/pendapat. Dan, bobot/nilainya itu ada pada jiwa-jiwa manusia. Maka, meremehkan penggunaan pendapat, sama saja dengan merendahkan kewibawaan, kehormatan, dan eksistensinya.
Selanjutnya yang terakhir menurut M. Quraish Shihab, kata (ﻢﮭﻟد) jâdilhum terambil dari kata (لا) jidâl yang bermakna diskusi atau bukti-bukti yang mematahkan alasan atau dalih mitra diskusi dan menjadikannya tidak dapat bertahan, baik yang dipaparkan itu diterima oleh semua orang maupun hanya mitar bicara. Masih menurut beliau, Jadil adalah perdebatan dengan cara yang terbaik yaitu dengan logika dan retorika yang halus, lepas dari kekerasan dan umpatan.
Sedangkan  perintah  berjadil  disifati  dengan  kata  (ﻦﺴﺣأahsan/ yang terbaik, bukan sekedar yang baik. Kemudian beliau mengklasifikasi jadil terdiri dari tiga macam: (a) yang buruk adalah yang disampaikan dengan kasar, yang mengundang  kemarahan lawan serta yang menggunakan  dalil-dalil yang tidak benar, (b) yang baik adalah yang disampaikan dengan sopan, serta menggunakan dalil-dalil atau dalih wahyu hanya yang diakui oleh lawan, tetapi yang terbaik adalah yang disampaikan dengan baik, dan dengan argumen yang benar, lagi membungkam lawan.
Maka, setelah peneliti memahami penjelasan di atas, peneliti bentuk tabel sebagai berikut:
MetodeMujadalah dalam Surat an-Nahl ayat 125
No
KitabTafsir
Metode Mujadalah
1.       
Tafsir Ibnu Katsir
Perdebatan dengan cara yang terbaik, yaitu dengan bantahan yang tetap bersahabat, lembut dan perkataan yang baik.
2.       
Tafsir At-Thabari
Perdebatan atau bantahan yang terbaik sebagai upaya untuk menghindari prilaku yang tidak baik dari lawan debat.
3.       
Tafsir al-Qurthuby
Berdebat tanpa menggunakan kekerasan (ta’nif).
4.       
Tafsir Fî Zhilālil Qur’ān
Berdebat dengan cara terbaik, tanpa bertindak dzalim, meremehkan atau melecehkan lawan bicara yang dapat menjatuhkan wibawa, kehormatan dan eksistensi lawan bicara.
5.       
Tafsir Al-Azhar
Bantahan yang baik yakni bantahan yang tetap objektif, yaitu tidak memandang siapa yang diajak berdebat tetapi tetap fokus pada pokok permasalahan.
6.       
Tafsir Al-Misbah
Perdebatan dengan cara yang terbaik yaitu dengan  logika  dan retorika  yang halus,  lepas dari kekerasan dan umpatan.
Diskusi atau bukti-bukti yang mematahkan alasan atau dalih mitra diskusi (peserta didik) dan menjadikannya tidak dapat bertahan, baik yang dipaparkan itu diterima oleh semua orang maupun hanya mitar bicara (peserta didik)

E.     Kesimpulan
Dari  interpretasi  ahli  tafsir  di  atas,  dapat  dipahami  bahwa  metode  hikmah adalah dialog dengan menggunakan kata-kata yang benar, bijak, lembut, sopan, memudahkan, disertai dengan dalil-dalil yang kuat (ilmiah dan logis) dan perumpamaann  yang  dapat  meresap  dalam  diri  atau  dapat  mempengaruhi  jiwa peserta didik. Sehingga mereka dapat mengaplikasikan sikap-sikap positif yang bisa membawa maslahat bagi hidupnya.
Di samping itu, metode hikmah diartikan dengan seuatu yang diturunkan dan berasal dari Nabi Muhammad Saw. yaitu al-Quran dan as-sunnah.  Hal ini mempertegas dan memperjelas, bahwa metode hikmah harus bersih dari sesutau yang bersifat  negatif.  Sebab  al-Qur’an  dan  as-sunnah  merupakan  simbol  dari  segala sesuatu yang bersifat positif dan kemaslahatan.
Adapun metode mau’izhah, yaitu metode dengan nasihat-nasihat yang lemah lembut lagi benar, ajakan pada suatu hal yang positif atau memberi pelajaran dan peringatan dengan  dalil-dalil  (argumentasi)  yang  dapat  diterima  oleh  akal  atau kemampuan peserta didik,  disertai keteladanan dari yang menyampaikan.
Ada  suatu  hal  yang  harus  diperhatikan  oleh  seorang  pendidik  lebih-lebih ketika menggunakan metode ini, yaitu adanya ketauladanan, artinya ada kesesuaian antara yang ia sampaikan dengan prilakunya sehari-hari. Sebab ketika ada seorang guru yang menggunakan metode mau’izhah, tetapi kenyataannya tidak sesuai dengan perilakunya, maka jangan berharap banyak terhadap perubahan perilaku peserta didiknya.
Sebagai  mana  yang  dikatakan  Quraish Shihab, metode ini baru  dapat mengena hati sasaran bila ucapan yang disampaikan itu disertai dengan pengamalan dan keteladanan dari pendidik.
Allah berfirman dalam Al-Qur’an surat As-Shaf ayat 2-3 :
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä zNÏ9 šcqä9qà)s? $tB Ÿw tbqè=yèøÿs? ÇËÈ uŽã9Ÿ2 $ºFø)tB yYÏã «!$# br& (#qä9qà)s? $tB Ÿw šcqè=yèøÿs? ÇÌÈ  (الصّفّ : ٣-٢)
Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan?. Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan. (Q.S. As-Shaf, 61: 2-3)
Dari pengertian ayat tersebut dapat dipahami bahwa seorang pendidik ketika menyampaikan sesuatu kepada peserta didiknya, harus terlebih dahulu mampu mengerjakaan atau mengamalkannya. Terutama sesuatu yang disampaikan terkait dengan masalah agama dan nilai-nilai kebaikan. Sebab ketika apa yang ia sampaikan belum diamalakan, sungguh Allah Swt.  amat benci terhadap  pendidik  yang demikian. Di samping itu peserta didik akan menjadi ragu dengan kebenaran ilmu yang disampaikan oleh pendidik.
Kemudian yang terakhir metode mujadalah, ialah berdebat atau membantah dengan peserta  didik yang tidak  menerima  pendapat  atau  ajakan  dengan  cara-cara  yang terbaik, dengan argumentasi dan ide atau dengan bukti-bukti dan alasan-alasan yang tepat serta tanggapan yang tidak emosional, tidak ada unsur celaan, ejekan, sindiran dan kesombongan.  Sehingga memuaskan  bagi peserta  didik yang tidak menerima pendapat atau ajakan pendidik.
Para mufasir telah sepakat bahwa dalam ayat ini mengandung tiga metode seruan atau pendidikan yang ideal dan sangat berpengaruh dalam upaya mencapai tujuan pendidikan yang tidak hanya sebatas pendidikan untuk tujuan dan kebutuhan keduniawian semata, akan tapi pula untuk tujuan akhirat. Karena sesuai dengan fungsinya dalam pendidikan Islam seperti yang diutarakan oleh Malik Fadjar (Abudin Nata, 2003:226) :
Fungsi pendidikan yang islami harus berfungsi sebagai penyiapan kader-kader khalifah, dalam rangka membangun kerajaan dunia yang makmur, dinamis, harmonis dan lestari sebagaimana diisyaratkan oleh Allah. Dengan demikian semestinya pendidikan Islam adalah pendidikan yang paling ideal. Karena tidak saja berwawasan yang mendunia –apalagi pragmatis- tetapi juga kehidupan berwawasan secara utuh dan multidimensional. Tidak hanya berorientasi membuat dunia menjadi sejahtera dan gegap pempita, tetapi juga mengajarkan bahwa dunia sebagai ladang sekaligus sebagai ujian untuk dapat lebih baik di akhirat.

Dengan demikian, pendidikan yang islami mengemban misi melahirkan manusia yang tidak hanya memanfaatkan persediaan alam yang mau bersyukur kepada menciptakan manusia dan alam. Memperlakukan manusia sebagai khalifah, dan memperlakukan alam tidak hanya sebagai objek penderita semata, tetapi juga sebagai komponen integral dalam sistem kehidupan.
Berdasarkan penjelasan diatas ketiga metode yang terkandung dalam ayat ini mengandung pengertian berupa cara atau jalan atau mediator untuk menunjukan manusia kepada Allah dan untuk mengingatkan bahwa manusia sebagai makhluk Tuhan sebagaimana pendapat Abudin Nata (2003:227) :
Metode pendidikan yang islami bertolak dari pandangan yang melihat manusia sebagai makhluk yang dimuliakan Tuhan, memiliki perbedaan dari segi kapasitas intelektual, bakat dan kecenderungan, memiliki sifat-sifat yang positif dan negatif, keterbatasan, dan seterusnya. Berdasarkan pandangan terhadap manusia yang seperti itu, maka pendidikan Islam akan memperlakukan sasaran didiknya secara adil, bijaksana, demokratis, sabar, pemaaf, manusiawi, dan seterusnya. Dengan pandangan yang demikian maka pendidikan yang Islami akan menerapkan pendidikan yang manusiawi, menyenangkan dan menggairahkan anak didik. Namun sayangnya kenyataan di lapangan belum dapat menumbuhkan bakat/minat, potensi, dan gairah anak didik secara optimal. Hal ini menunjukan bahwa nilai-nilai Islami yang seharusnya diterapkan dalam belajar mengajar belum terwujud sebagaimana yang diharapkan.

Menggarisbawahi pernyataan di atas bahwa realita saat ini metode pendidikan yang dilakukan oleh pendidik belum terlalu optimal menyentuh peserta didik dalam menerapkan nilai-nilai islami, dan melalui ayat ini diharapkan mampu menjadi alternatif dalam penanaman nilai-nilai islami dalam dunia pendidikan yakni dengan merealisasikan metode hikmah, mau’izhah dan mujadalah.
Metode hikmah, mau’izhah dan mujadalah dalam hal ini sebagai sarana untuk mencapai tujuan pendidikan yang dikehendaki dan telah dirumuskan sebelumnya. Dengan kata lain, ketiga metode pendidikan ini dapat tentunya harus sesuai dengan kebutuhan dan tujuan yang menjadi sasaran dalam pencapaian pendidikan yang ditempuh.



DAFTAR PUSTAKA

Al-Qurtubi. (2008). Tafsir Al Qurtubi. Jakarta: Pustaka Azzam
Al-Syaibany, Omor Mohammad al-Tauomy. (1979). Filsafat Pendidikan Islam, Terj. Hasan Langgulung. Jakarta: Bulan Bintang.
An-Nabiry, Fathul Bahri, (2008). Meniti Jalan Dakwah Bekal Perjuangan Para Da’i. Jakarta: AMZA.  Cetakan Pertama.
Arief, Armai.  (2002).  Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam.  Jakarta: Ciputat Pres.
Arifin, Muhammad.  (1994).  Ilmu  Pendidikan  Islam:  Suatu Tinjauan Teoritis  dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Indesipliner. Jakarta: Bumi Aksara.
Arikunto, Suharsimi. (2002). Prosedur Penelitian. Jakarta: PT Reneka Ciota. 2002.
Arrifa’i, M. Hasib. (1999). Tafsir Ibnu Katsir. Jakarta: Gema Insani Press.
Baidan, Nasruddin, (2011). Wawasan Baru Ilmu Tafsir. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Daradjat, Zakiah. (1992). Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
DEPAG RI (2001). Al-Quran dan Terjemah Al-Aliy. Diponegoro, Bandung.
Gani, Dadang. (2009). Metodologi Pembelajaran PAI. Ciamis: Untuk Kalangan Sendiri, Kampus IAID Ciamis.
Hamka. (1983). Tafsir Al Azhar. Jakarta: Pustaka Panjimas
Hasbullah. (1994). Kapita Selekta Pendidikan Islam. PT. Remaja Rosdakarya, Bandung.
Langgulung, Hasan. (1985).  Pendidikan  dan Peradaban  Islam. Jakarta: Pustaka Al- Husna.
LPP IAID, (2001). Panduan Penyusunan Skripsi Untuk Lingkungan Insitut Agama Islam Darussalam. LPP IAID, Ciamis.
Mujib, Abdul dan Jusuf Muzakkir. (2006). Ilmu Pendidikan  Islam. Jakarta: Kencana Prenada Media.
Nasih,   Ahmad   Munjin   dan   Lilik   Nur   Khalidah. (2009).  Metode dan Teknik pembelajaran  Pendidikan  Agama  Islam. Bandung: PT. Rafika  Aditama.
Ramayulis.  (2008). Metodologi  Pendidikan Agama Islam.   Jakarta: Kalam Mulia.
Shihab, M. Quraish. (2002). Tafsir Al-Mishbah, Volume VII. Jakarta: Lentera Hati.
Suhartono, Suparlan. (2001). Filsafat Pendidikan. Ar-ruzz Media, Yogyakarta.
Sumiati dan Asra. (2007). Metode Pembelajaran. CV. Wacana Prima, Bandung.
Tafsir, Ahmad. (2001). Metode Pendidikan Agama Islam, PT. Remaja Rosdakarya. Bandung.
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. (2002). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka.
Uhbiyati, Nur, (1998). Ilmu Pendidikan Islam, CV. Pustaka Setia, Bandung
Yasin, A. Fatah. (2008). Dimensi-dimensi Pendidikan Islam. Malang: UIN-MALANG PRESS. Cetakan Pertama.
Zuhairini  dan  Abdul  Ghafir.  (2004).  Metodologi  Pembelajaran  Pendidikan  Agama Islam. Malang, UM PRESS. Cetakan Pertama.
Quthb, Sayyid. (2004). Tafsir Fi Zhilalil Qur’an. Jakarta : Gema Insani Press.


Tidak ada komentar: