18 Februari 2010

KONSEP KHILAFAH DALAM ISLAM

Ayat-ayat Yang Memuat Kata Al-Khalifah
“Dan ketika Tuhanmu telah berkata kepada para malaikat,’Sesungguhnya Aku akan menjadikan seorang khalifah di bumi”. (QS Al-Baqarah : 30).
“Wahai Dawud ! Sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu sebagai seorang khalifah di bumi. Maka hukumilah manusia dengan haq. Dan janganlah memperturutkan hawa nafsu sehingga ia menyesatkan kamu dari jalan Allah”. (QS Shaad: 26)
Ayat-ayat Yang Memuat Kata Al-Khala-if
“Dan Dia-lah yang telah menjadikan kalian (manusia) khalifah-khalifah di bumi, dan telah mengangkat sebagian kalian diatas sebagian yang lain, untuk menguji kalian atas apa-apa yang Dia berikan kepada kalian”. (QS Al-An’am: 165)
“Dan sungguh telah Kami hancurkan generasi-generasi sebelum kalian ketika mereka berlaku zhalim, dan para rasul telah datang kepada mereka dengan keterangan yang nyata akan tetapi mereka tidak beriman. Demikianlah Kami membalas kaum yang suka berbuat jahat. Kemudian Kami telah menjadikan kalian sebagai khalifah-khalifah di bumi sesudah mereka agar Kami melihat bagaimana kalian beramal”. (QS (QS Yunus: 14)
“Maka mereka mendustakan Nuh, maka Kami selamatkan Nuh dan orang-orang yang bersamanya dalam sebuah perahu, dan Kami jadikan mereka sebagai khalifah-khalifah, dan Kami tenggelamkan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang diberi peringatan”. (QS Yunus: 73)
“Dialah yang telah menjadikan kalian sebagai khalifah-khalifah di bumi. Maka barangsiapa kufur, niscaya kekufurannya itu akan menimpa dirinya sendiri ….. (QS Fathir: 39).

Ayat-ayat Yang Memuat Kata Al-Khulafa’

“…. Dan ingatlah ketika Dia telah menjadikan kalian sebagai khalifah-khalifah sesudah kaum Nuh, dan Dia telah melebihkan perawakan tubuh kalian ….” (QS Al-A’raf: 69) [ucapan Huud as. kepada kaumnya]
“…. Dan ingatlah ketika Dia telah menjadikan kalian sebagai khalifah-khalifah sepeninggal kaum ‘Aad dan memberikan tempat bagimu di bumi …” (QS Al-A’raf: 74) [ucapan Shalih as. kepada kaumnya]
“Atau siapakah yang memperkenankan do’a orang yang terjepit apabila ia berdo’a kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan , dan yang menjadikan kalian sebagai khalifah-khalifah bumi (khulafa’ al-ardh) .. “ (QS Al-Naml: 62)
Ayat-ayat Yang Memuat Kata Al-Istikhlaf
“Dan Allah telah menjanjikan bagi orang-orang yang beriman diantara kalian dan orang-orang yang beramal shalih, bahwa Dia sungguh akan meng-istikhlaf mereka (menjadikan mereka sebagai khalifah) di bumi sebagaimana Dia telah meng-istikhlaf (menjadikan sebagai khalifah) orang-orang sebelum mereka, dan (janji) bahwa Dia sungguh akan meneguhkan bagi mereka din yang telah diridhai-Nya bagi mereka …..”. (QS Al-Nur: 55)
“Berimanlah kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan nafkahkanlah sebagian dari apa-apa yang Dia telah menjadikan kalian mustakhlaf (yang dijadikan sebagai khalifah) terhadapnya”. (QS Al-Hadid: 7)
“Dan Rabb-mu Maha Kaya dan Yang Memiliki Rahmat. Jika Dia berkehendak maka Dia akan memusnahkan kalian dan akan meng-istikhlaf (menjadikan sebagai khalifah) apa yang dikehendakinya setelah kemusnahan kalian, sebagaimana Dia telah menjadikan kalian dari keturunan kaum yang lain (sebelum kalian)”. (QS Al-An’am: 133)
“Jika kalian berpaling maka sungguh aku telah menyampaikan kepada kalian apa-apa (ajaran) yang aku diutus (untuk menyampaikan)nya kepada kalian. Dan Rabb-ku akan meng-istikhlaf (menjadikan sebagai khalifah) kaum selain kalian ….” (QS Huud: 57)
“Mereka (kaum Musa) berkata (kepada Musa),’Kami telah ditindas (oleh Fir’aun) sebelum kamu datang dan sesudah kamu datang’. Musa menjawab,’Mudah-mudahan Allah membinasakan musuh kalian dan meng-istikhlaf kalian (menjadikan kalian sebagai khalifah) di bumi, maka Dia akan melihat bagaimana kalian beramal”. (QS Al-A’raf: 129)
Ayat-ayat Yang Memuat Kata Kerja kh-l-f
”Dan berkata Musa kepada saudaranya yaitu Harun,’Gantikanlah aku (ukhlufniy) dalam (memimpin) kaumku, dan perbaikilah, …” (QS Al-A’raf: 142)
Penjelasan mengenai kata al-khilafah dalam kamus Lisan al-‘Arab
1. Al-khalf : belakang, lawan dari depan (muka)
2. Al-khalaf : yang datang belakangan sebagai ganti dari yang sebelumnya.
3. Al-takhalluf : terlambat
4. Al-khaalif (Jmk: khawaalif) : yang datang terlambat (ketinggalan)
5. Al-khaliifah : yang terbelakang, yang datang kemudian sehingga terlambat, yang mengikuti apa yang lebih dahulu, yang menggantikan apa yang lebih dahulu.
Ibn al-Atsir mengatakan: al-khaliifah (lam panjang) artinya orang yang menggantikan (menduduki posisi) pendahulunya dan menjalankan fungsi pendahulunya itu. Huruf ta’ marbuthah disitu adalah untuk tujuan mubalaghah (dan bukan untuk menunjukkan muannats). Bentuk jamaknya ada dua. Pertama, al-khulafaa’ (seperti pada al-zhariif – al-zhurafaa’). Kedua, al-khalaa-if (seperti pada zhariifah – zharaa-if). Sementara al-khaalifah (kha’ panjang) menunjukkan ketercelaan seseorang (orang yang ketinggalan, orang yang banyak khilaf).
Oleh karena itu Ibn ‘Abbas meriwayatkan hadits: “Bahwasanya seorang Arab Badui bertanya pada Abu Bakr ra.,’Anda khaliifah Rasulullah ?’ Maka Abu Bakr menjawab,’Tidak’. ‘Lalu apakah Anda ini ?’. ‘Saya adalah khaalifah sepeninggal beliau’. Agaknya jawaban Abu Bakr diatas muncul karena ke-tawadhu’-an beliau.
Dari beberapa keterangan diatas, kita bisa menyimpulkan bahwa makna khaliifah ialah:
Pertama, khaliifah berarti seorang pengganti Allah di muka bumi, dalam rangka menunaikan amanat-Nya dan menegakkan hukum-hukum-Nya di muka bumi. Ini tidak berarti bahwa Allah lemah dan tidak berkuasa sehingga membutuhkan bantuan. Bukankah Allah juga menciptakan para malaikat yang dibebani tugas-tugas tertentu ? Sesungguhnya Allah menciptakan manusia sebagai pengganti-Nya adalah sebagai wasilah sunnatullah bagi kemahakuasaan-Nya. Bukankah Allah mengalahkan orang-orang yang ingkar melalui tangan-tangan orang-orang yang beriman (mujahidin) ? Apakah ini berarti Allah tidak mampu membasmi mereka sendirian ? Sebenarnya secara hakiki Allah-lah yang melakukan itu semua, karena kekuasaan-Nya meliputi segala sesuatu. “Bukanlah kamu yang memanah ketika kamu memanah, akan tetapi Allah-lah yang memanah”(QS Al-Anfal: 17). Manusia juga disebut sebagai khalifah-khalifah bumi (khulafa’ al-ardh) karena telah menjadi kepanjangan tangan bagi kekuasaan Allah –dalam batas-batas tertentu- di bumi. Berangkat dari sini kita akan memahami bahwa pada dasarnya tugas manusia untuk menggantikan-Nya merupakan ujian bagi manusia, bagaimanakah perbuatan mereka di muka bumi ini, apakah mencerminkan posisinya sebagai pengganti-Nya ataukah tidak. Untuk itulah kita wajib me-ma’rifat-i nama-nama dan sifat-sifat Allah, agar kita bisa merefleksikan nama-nama dan sifat-sifat-Nya itu dalam kehidupan kita di bumi, sehingga kita seolah-olah merupakan pengganti-Nya. “Takhallaquu bi akhlaaqil-Laah (Berakhlaqlah dengan akhlaq Allah)”.
Khaliifah dalam pengertian ini secara spesifik dinisbatkan kepada Adam as (QS. Al-Baqarah: 30) dan Dawud as (QS. Shaad: 26).
Namun, sebagian ulama (antara lain Ibn Taimiyyah) melarang keras penggunaan istilah khalifat al-Lah, sebab istilah khalifah hanya layak diberikan kepada sesuatu yang menggantikan sesuatu yang telah mati atau telah tidak ada di tempat, padahal Allah selalu hidup dan selalu ada menyertai dan mengawasi para hamba-Nya. Ibn Taimiyyah kemudian menguatkan pendapatnya tersebut dengan riwayat yang menyatakan bahwa seseorang berkata pada Abu Bakr,’Wahai khaliifah al-Lah’. Maka beliau menjawab,’Aku bukan khaliifah al-Lah melainkan khaliifah al-Rasul’. Beliau juga mengatakan bahwa barangsiapa menjadikan bagi Allah seorang khalifah, maka dia telah telah menyekutukan-Nya.
Sebetulnya, kontradiksi diatas timbul karena perbedaan definisi dan persepsi. Apabila kita kembali kepada esensi dan mengabaikan ungkapan-ungkapan (simbol-simbol) bahasa, maka pada dasarnya kontradiksi itu tidak ada. Apalagi kalau kita bisa memahami bahwa pendapat Ibn Taimiyyah diatas merupakan sanggahan terhadap pendapat para sufi dan filosof, yang memang sudah melampaui batas, misalnya dengan mengatakan bahwa raja (sultan), atau manusia pada umumnya, merupakan bayang-bayang Allah (zhill al-Lah).
Kedua, khaliifah berarti pengganti dari yang sebelumnya karena telah tiada, seperti pada kaum yang menggantikan kaum Nuh dan kaum ‘Aad setelah musnah dihancurkan oleh Allah. Demikian pula Banu Israil yang menggantikan kaum Fir’aun yang telah ditenggelamkan. Abu Bakr disebut sebagai khaliifah al-Rasul karena telah menggantikan Rasulullah sepeninggal beliau. (Sesuai dengan riwayat yang menyatakan bahwa seseorang berkata pada Abu Bakr,’Wahai khaliifah al-Lah’. Maka beliau menjawab,’Aku bukan khaliifah al-Lah melainkan khaliifah al-Rasul’.)
Oleh karena itu, secara umum bisa dikatakan bahwa khaliifah berarti pengganti dari sesuatu yang sedang ghaib (tidak hadir). Manusia disebut sebagai khaliifah Allah karena –seolah-olah- telah menggantikan Allah di bumi selama kehidupan dunia fana, dimana selama itu Allah menyembunyikan diri dari penglihatan makhluk-Nya (ghaib ‘inda al-nazhr al-zhahiriy). Di akhirat nanti, Allah akan menampakkan diri-Nya, sehingga pada saat itu berakhirlah kekhalifahan manusia dan berakhirlah masa ujian bagi manusia.
Harun as disebut sebagai khalifah Musa as karena Harun harus menggantikan Musa selama kepergiannya (keghaibannya). Kaum-kaum yang menggantikan kaum ‘Aad dan kaum Nuh, Banu Israil yang menggantikan kaum Fir’aun, serta Abu Bakr yang menggantikan Rasulullah, disebut sebagai khaliifah karena telah menggantikan generasi sebelumnya yang telah lenyap (ghaib).

Manusia Wajib Berhukum dengan Hukum Allah
Berangkat dari misi manusia sebagai khalifah Allah (pengganti Allah) di muka bumi, maka manusia harus beramal sesuai dengan apa yang dikehendaki (diridhai) oleh-Nya. Segala amal manusia yang selaras dengan kehendak Allah sehingga mendatangkan keridhaan-Nya itulah yang dinamakan sebagai ibadah.
Salah satu sifat Allah yang terpenting adalah keadilan. Karena manusia merupakan pengganti Allah di bumi maka manusia wajib menegakkan keadilan di bumi. Keadilan akan tercapai apabila manusia menegakkan hukum-hukum Allah. Keadilan yang dilandaskan pada hukum-hukum Allah merupakan keadilan yang hakiki karena Allah merupakan dzat yang mengetahui hakikat segala sesuatu. Allah menurunkan hukum-hukum-Nya melalui utusan-utusan-Nya, yang membawa ajaran-ajaran dan kitab-kitab-Nya. Oleh karena itu, berhukum dengan kitab Allah merupakan satu-satunya jalan mencapai keadilan hakiki.
Interpretasi terhadap Hukum-hukum dalam Kitab Allah.
Sebagai pemikul amanat Allah, manusia telah dibekali dengan akal. Dengan akal itulah manusia memahami isi kitab Allah. Tanpa akal, manusia tidak mungkin dapat memahami isi kitab Allah. Akal yang bisa memahami adalah akal yang difungsikan. Jadi, akal itu bersifat potensial. Ia akan menjadi aktif setelah disinari oleh hidayah Allah.
Allah Maha Adil. Setiap manusia yang bermujahadah untuk memfungsikan (mengaktifkan) akalnya pasti akan diberi hidayah oleh Allah. “ Dan orang-orang yang bermujahadah dalam (mencari jalan) Kami, pasti akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami” (QS. Al-‘Ankabut: 69). Jadi setiap orang yang belum menemukan jalan Tuhannya pastilah orang yang belum bermujahadah (berusaha sekuat tenaga) dalam mencari jalan-Nya. Ingatlah bagaimana Ibrahim telah bermujahadah dalam mencari Tuhannya, sehingga setelah pencarian yang panjang akhirnya Allah memberikan petunjuk kepadanya.
Akal yang berada dibawah sinar hidayah Allah itulah yang akan mampu memahami isi kitab Allah. Namun perlu disadari bahwa kualitas sinar hidayah itu bisa berbeda-beda pada tiap manusia, sehingga kualitas pemahaman yang dihasilkan pun berbeda-beda. Sinar hidayah yang paling kuat adalah sinar nubuwwah (kenabian), sehingga seorang nabi akan mampu memahami hal-hal yang sama sekali tidak bisa dipahami oleh orang biasa. Dengan sinar kenabian itu, Allah telah mengkaruniakan ilmu yang hakiki dan hikmah tertinggi kepada para nabi-Nya. Oleh karena itu, nabi memiliki otoritas penuh dari Allah untuk meng-interpretasikan isi kitab Allah yang dibawanya. Kebenaran interpretasi nabi bersifat pasti, sehingga segala keterangan yang datang dari nabi harus diterima sebagai kebenaran absolut yang datang dari Allah.
Sinar hidayah yang derajatnya berada setingkat dibawah nabi adalah sinar hidayah yang diterima oleh para ulama. Dengan sinar hidayah ini, seorang ulama akan mampu memahami hal-hal yang belum bisa dipahami oleh kebanyakan orang. Oleh karena itu, para ulama merupakan referensi sekunder dalam mencari interpretasi isi kitab Allah. Dari sini kita bisa memahami sabda Rasulullah,”Ulama merupakan pewaris para nabi”.
Perbedaan pendapat dalam interpretasi pada dasarnya disebabkan oleh sudut pandang yang berbeda, keluasan pandangan yang berbeda, atau kedalaman pandangan yang berbeda. Barangsiapa mampu memandang suatu persoalan dari segala sudut pandang, meliputi segenap dimensinya, dan menyentuh bagian-bagian terdalamnya, maka dia telah mampu memahami persoalan tersebut dengan pemahaman yang terbaik. Marilah kita mengambil gambaran dari sebuah obyek tiga dimensi. Seseorang yang mengamati salah satu atau sebagian proyeksi dari obyek tersebut sebenarnya telah memahami obyek tersebut, hanya saja tidak secara utuh. Namun jika dia mampu mengamati obyek tersebut secara menyeluruh (dari segenap proyeksinya) maka dia telah mampu memahami obyek tersebut secara utuh. Demikian pula apabila seseorang hanya mampu memahami bagian luar obtek tersebut maka dia juga telah memahami obyek tersebut, hanya saja tidak sempurna. Namun apabila dia mampu memahami obyek tersebut sampai ke relung-relungnya yang paling dalam, maka dia telah mampu memahami obyek tersebut secara sempurna.
Aspek-aspek teknis dalam masalah interpretasi kitab Allah dibahas secara panjang lebar dalam kajian ushul fiqh. Untuk menghemat ruang dan waktu, penulis tidak ingin membahasnya disini.
Sunnatullah: Segala Sesuatu Membutuhkan Sang Pengatur (Pemimpin)
Allah merupakan Sang Pengatur Tertinggi atas segala sesuatu. Seandainya tidak ada Sang Pengatur Tertinggi, niscaya alam akan rusak binasa. Bahkan kalaupun ada pengatur, namun jumlahnya ada dua dan sederajat, maka alam akan rusak binasa pula. “Andaikan di langit dan bumi ada banyak ilah selain Allah, tentu keduanya akan rusak binasa” (QS. Al-Anbiya’: 22).
Keberadaan manusia sebagai pengganti Allah di bumi berarti bahwa manusia merupakan pengatur bagi segenap yang ada di bumi agar tidak rusak binasa. Apabila bumi mengalami kerusakan maka yang bertanggung jawab adalah manusia. Oleh karena itu, segenap kerusakan yang ada di bumi akan dinisbatkan kepada sikap dan tingkah laku manusia. “Telah tampak kerusakan di daratan dan di lautan akibat tingkah laku manusia” (QS. Al-Ruum: 41).
Setiap manusia merupakan pengatur (al-raa’y), hanya saja ruang lingkupnya bisa beragam. “Setiap kalian adalah pengatur (al-raa’y, penggembala) dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas kepengaturannya (kepemimpinannya). Setiap manusia bertanggung jawab atas kelestarian alam, karena alam merupakan obyek bumi yang mengelilingi manusia. Komunitas sesama manusia pun memerlukan pengaturan, karena setiap individu memiliki kepentingan yang berbeda-beda, yang mungkin akan kontraproduktif terhadap kepentingan individu yang lain. Jika berbagai kepentingan individu ini tidak diatur oleh seorang pengatur maka kepentingan-kepentingan tersebut akan saling bertabrakan sehingga akan terjadi kerusakan. Tabrakan-tabrakan kepentingan inilah yang dalam Al-Qur’an dinyatakan sebagai sesuatu yang harus ditengahi dengan hukum (al-hukm), yang tidak lain adalah hukum Allah. Hukum Allah inilah yang akan bisa menengahi pertikaian kepentingan secara adil (bi al-‘adl, bi al-qisth), sehingga segala sesuatu akan berada pada tempat yang semestinya, sehingga keseimbangan alam pun akan tetap terjaga.

Hukum Menegakkan Khilafah (Negara)

Secara umum terdapat dua arus pemikiran utama mengenai hukum menegakkan negara. Golongan pertama mengatakan bahwa negara wajib ditegakkan. Diantara mereka ada yang mengatakan bahwa wajibnya penegakan negara didasarkan pada nash. Sebagian yang lain mengatakan bahwa pewajiban itu didasarkan pada akal. Sebagian yang lainnya lagi mengatakan bahwa pewajiban itu didasarkan oleh nash sekaligus akal.
Golongan kedua mengatakan bahwa negara boleh ditegakkan, namun tidak harus. Yang harus adalah tegaknya hukum-hukum Allah dan tercapainya ketertiban dalam kehidupan manusia. Golongan ini memiliki pola berpikir yang sangat idealis. Mereka berpikir bahwa apabila semua manusia memiliki kebijaksanaan maka secara otomatis tatanan masyarakat akan tertib dan hukum-hukum Allah akan tegak. Pertanyaan yang perlu diajukan adalah mungkinkah itu terjadi ? Mungkinkah setiap manusia akan memiliki kebijaksanaan tanpa ada satupun yang berperangai dan berbuat jahat ?
Titik temu diantara kedua golongan diatas ialah bahwa tegaknya hukum-hukum Allah merupakan suatu keharusan. Setelah kita memahami bahwa hukum-hukum Allah tidak akan mungkin bisa tegak dengan sendirinya tanpa adanya kepemimpinan (negara), maka kita pun sampai pada kesimpulan bahwa negara wajib ditegakkan. Alasannya, negara merupakan wasilah menuju tegaknya hukum-hukum Allah. Apabila suatu kewajiban tidak bisa dicapai kecuali melalui suatu wasilah yang pada asalnya tidak wajib sekalipun, maka wasilah itu menjadi wajib.

Kriteria Seorang Pemimpin

Karena seorang pemimpin merupakan khalifah (pengganti) Allah di muka bumi, maka dia harus bisa berfungsi sebagai kepanjangan tangan-Nya. Allah merupakan Rabb semesta alam, yang berarti dzat yang men-tarbiyah seluruh alam. Tarbiyah berarti menumbuhkembangkan menuju kepada kondisi yang lebih baik sekaligus memelihara yang sudah baik. Karena Allah men-tarbiyah seluruh alam, maka seorang pemimpin harus bisa menjadi wasilah bagi tarbiyah Allah tersebut terhadap segenap yang ada di bumi. Jadi, seorang pemimpin harus bisa menjadi murabbiy bagi kehidupan di bumi.
Karena tarbiyah adalah pemeliharaan dan peningkatan, maka murabbiy (yang men-tarbiyah) harus benar-benar memahami hakikat dari segala sesuatu yang menjadi obyek tarbiyah (mutarabbiy, yakni alam). Pemahaman terhadap hakikat alam ini tidak lain adalah ilmu dan hikmah yang berasal dari Allah. Pemahaman terhadap hakikat alam sebetulnya merupakan pemahaman (ma’rifat) terhadap Allah, karena Allah tidak bisa dipahami melalui dzat-Nya dan hanya bisa dipahami melalui ayat-ayat-Nya. Kesimpulannya, seorang pemimpin haruslah seseorang yang benar-benar mengenal Allah, yang pengenalan itu akan tercapai apabila dia memahami dengan baik ayat-ayat Allah yang terucap (Al-Qur’an) dan ayat-ayat-Nya yang tercipta (alam).
Bekal pemahaman (ilmu dan hikmah) bagi seorang pemimpin merupakan bekal paling esensial yang mesti ada. Bekal ini bersifat soft, yang karenanya membutuhkan hardware agar bisa berdaya. Ibn Taimiyyah menyebut hardware ini sebagai al-quwwat, yang bentuknya bisa beragam sesuai dengan kebutuhan. Dari sini bisa disimpulkan bahwa seorang pemimpin harus memiliki dua kriteria: al-‘ilm dan al-quwwat.
Yang dimaksud dengan al-‘ilm (ilmu) tidaklah hanya terbatas pada al-tsaqafah (wawasan). Wawasan hanyalah sarana menuju ilmu. Ilmu pada dasarnya adalah rasa takut kepada Allah. Karena itulah Allah berfirman,”Yang takut kepada Allah diantara para hamba-Nya hanyalah para ulama” (QS. Faathir: 28). Ibnu Mas’ud pun mengatakan,”Bukanlah ilmu itu dengan banyaknya riwayat, akan tetapi ilmu adalah rasa takut kepada Allah”. Namun bagaimana rasa takut itu bisa muncul ? Tentu saja rasa itu muncul sesudah mengenal-Nya, mengenal keperkasaan-Nya, mengenal kepedihan siksa-Nya. Jadi ilmu itu tidak lain adalah ma’rifat kepada Allah. Dengan mengenal Allah, akan muncul integritas pribadi (al-‘adalat wa al-amanat) pada diri seseorang, yang biasa pula diistilahkan sebagai taqwa. Dari sini, dua kriteria pemimpin diatas bisa pula dibahasakan sebagai al-‘adalat wa al-amanat (integritas pribadi) dan al-quwwat.
Selanjutnya, marilah kita tengok bagaimanakah kriteria para penguasa yang digambarkan oleh Allah dalam Al-Qur’an. Dalam hal ini kita akan mengamati sosok Raja Thalut (QS. Al-Baqarah: 247), Nabi Yusuf (QS. Yusuf: 22), Nabi Dawud dan Sulaiman (Al-Anbiya’: 79, QS Al-Naml: 15).
Raja Thalut:
“Sesungguhnya Allah telah memilihnya (Thalut) atas kalian dan telah mengkaruniakan kepadanya kelebihan ilmu dan fisik (basthat fi al-‘ilm wa al-jism)” (QS. Al-Baqarah: 247).
Nabi Yusuf:
“Dan ketika dia (Yusuf) telah dewasa, Kami memberikan kepadanya hukm dan ‘ilm” (QS. Yusuf: 22).
Nabi Dawud dan Sulaiman:
“Maka Kami telah memberikan pemahaman tentang hukum (yang lebih tepat) kepada Sulaiman. Dan kepada keduanya (Dawud dan Sulaiman) telah Kami berikan hukm dan ‘ilm” (QS. Al-Anbiya’: 79).
“Dan sungguh Kami telah memberikan ‘ilm kepada Dawud dan Sulaiman” (QS. Al-Naml: 15).
Thalut merupakan seorang raja yang shalih. Allah telah memberikan kepadanya kelebihan ilmu dan fisik. Kelebihan ilmu disini merupakan kriteria pertama (al-‘ilm), sementara kelebihan fisik merupakan kriteria kedua (al-quwwat). Al-quwwat disini berwujud kekuatan fisik karena wujud itulah yang paling dibutuhkan saat itu, karena latar yang ada adalah latar perang.
Yusuf, Dawud, dan Sulaiman merupakan para penguasa yang juga nabi. Masing-masing dari mereka telah dianugerahi hukm dan ‘ilm. Dari sini kita memahami bahwa bekal mereka ialah kedua hal tersebut. Apakah hukm dan ‘ilm itu ?
Hukm berarti jelas dalam melihat yang samar-samar dan bisa melihat segala sesuatu sampai kepada hakikatnya, sehingga bisa memutuskan untuk meletakkan segala sesuatu pada tempatnya (porsinya). Atas dasar ini, secara sederhana hukm biasa diartikan sebagai pemutusan perkara (pengadilan, al-qadha’). Adanya hukm pada diri Dawud, Sulaiman, dan Yusuf merupakan kriteria al-quwwat, yang berarti bahwa mereka memiliki kepiawaian dalam memutuskan perkara (perselisihan) secara cemerlang. Al-quwwat pada diri mereka berwujud dalam bentuk ini karena pada saat itu aspek inilah yang sangat dibutuhkan.
Disamping al-hukm sebagai kriteria kedua (al-quwwat), ketiga orang tersebut juga memiliki bekal al-‘ilm sebagai kriteria pertama (al-‘ilm). Jadi, lengkaplah sudah kriteria kepemimpinan pada diri mereka.
Pada dasarnya, kriteria-kriteria penguasa yang dikemukakan oleh para ulama bermuara pada dua kriteria asasi diatas. Meskipun demikian, sebagian ulama terkadang menambahkan beberapa kriteria (yang sepintas lalu berbeda atau jauh dari dua kriteria asasi diatas), dengan argumentasi mereka masing-masing. Namun, jika kita berusaha memahami hakikat dari kriteria-kriteria tambahan tersebut, niscaya kita dapati bahwa semua itu pun tetap bermuara pada dua kriteria asasi diatas.
Imam Mawardi menyebut golongan penguasa sebagai ahlul imamah, yang harus memenuhi tujuh kriteria, yaitu:
1. Al-‘adalat.
2. Ilmu ijtihad.
3. Memiliki kesehatan indera pendengaran, penglihatan, dan lisan.
4. Memiliki kesehatan anggota badan yang memungkinkan baginya bergerak dengan baik.
5. Memiliki kapasitas intelektual yang melimpah, yang memungkinkan baginya untuk mengatur negara dalam mencapai maslahat.
6. Memiliki heroisme yang memungkinkan baginya menjaga kedaulatan negara.
7. Nasab: harus dari kabilah Quraisy.
Kalau kita mengamati kriteria Mawardi, maka kita dapati bahwa kriteria ke-1 dan ke-2 merupakan kriteria al-‘ilm, sementara kriteria ke-3 sampai dengan kriteria ke-6 masuk kedalam kriteria al-quwwat. Kriteria ke-3 dan ke-4 merupakan kekuatan fisik (al-quwwat al-jasadiyyat), sedangkan kriteria ke-5 dan ke-6 merupakan kekuatan non fisik (al-quwwat al-ma’nawiyyat).
Satu kriteria yang sepintas lalu tidak termasuk kedalam dua kriteria asasi adalah kriteria ke-7 (nasab). Namun kalau dicermati, kriteria nasab pada dasarnya masuk kedalam kriteria al-quwwat. Sebagaimana dikatakan oleh beberapa pakar sosiologi Islam, keharusan nasab Quraisy bagi seorang khalifah (pemimpin tertinggi dunia Islam) pada hakikatnya bertujuan untuk menggalang legitimasi dan dukungan dari segenap lapisan rakyat, karena pada masa-masa awal Islam kabilah Quraisy merupakan kabilah yang paling dihormati dan disegani oleh semua pihak. Dengan demikian apabila sang khalifah berasal dari Quraisy, maka legitimasi dan dukungan akan mudah didapat, sehingga stabilitas pemerintahan bisa dicapai. Jadi, nasab ke-Quraisy-an disini merupakan kekuatan legitimasi bagi seorang penguasa. Kekuatan legitimasi sendiri merupakan salah satu bentuk kekuatan (al-quwwat).
Kita bisa mengatakan bahwa kriteria Mawardi diatas tidak lagi dikemukakan dalam tataran esensial, namun sudah berada dalam tataran derivatif. Sesuatu yang derivatif tidak bersifat mutlak. Ia bisa berubah sedemikian rupa dalam rangka memenuhi tujuan-tujuan esensialnya.
Ada baiknya jika kita mencoba untuk merumuskan kembali kriteria Mawardi dalam tataran pertengahan, tidak terlampau esensial (sebagaimana tampak pada dua kriteria asasi) sehingga terkesan mengawang-awang, namun juga tidak terlampau derivatif (sebagaimana tampak pada formulasi Mawardi) sehingga bersifat kondisional (tidak selalu relevan dengan segala kondisi).
Kriteria pertama (al-‘adalat, integritas pribadi) tidak membawa persoalan. Kriteria kedua juga merupakan suatu kepastian. Ilmu ijtihad merupakan kecerdasan teoritis-transendental (al-kais al-nazhariy al-syar’iy) yang merupakan instrumen yang wajib dimiliki oleh seorang khalifah, agar ia bisa menetapkan kebijakan yang sesuai dengan hukum-hukum Ilahi. Tanpa kriteria kedua ini, kepemimpinan seseorang akan terlepas dari kerangka Ilahi, yang berarti menyalahi fungsi manusia sebagai khalifat al-Lah.
Kriteria ketiga pada dasarnya lebih mengarah pada fungsi dari indera-indera fisiknya ketimbang jasad fisik dari indera-indera fisik itu. Indera penglihatan dan penglihatan merupakan alat eksternal untuk memperoleh pengetahuan secara sempurna. Indera lisan merupakan alat yang paling cepat dan efektif untuk menyampaikan informasi (pengetahuan). Jadi ketiga indera tersebut merupakan hardware untuk input dan output dari suatu “CPU” yang bernama akal. Andaikan ada alat artificial yang bisa menggantikan fungsi input dan output pengetahuan dengan kualitas yang sama dengan yang dilakukan oleh ketiga alat indera tersebut, niscaya keberadaan alat artificial tersebut bisa memenuhi kriteria ketiga. Namun, adakah ciptaan manusia yang bisa menyamai ciptaan Allah ?
Kriteria keempat (kelengkapan anggota badan yang memungkinkan gerak yang baik) pada dasarnya ditetapkan untuk menjamin kemampuan dalam melakukan berbagai aktivitas yang harus dilakukan oleh seorang khalifah. Betapa banyak aktivitas yang membutuhkan gerak, baik gerak anggota badan relatif terhadap badan maupun gerak badan relatif terhadap bumi. Di masa silam, semua tuntutan tersebut hanya mungkin dilaksanakan dengan anggota badan yang lengkap. Namun di era informasi-globalisasi sekarang ini, berbagai aktivitas yang layaknya dilakukan oleh seorang khalifah tidaklah secara mutlak mensyaratkan kelengkapan anggota badan. Jadi, kriteria keempat Mawardi, dengan formulasi beliau, tidak lagi relevan untuk saat ini. Yang masih relevan adalah jiwa dari formulasi beliau, yaitu jaminan kemampuan untuk menunaikan segenap aktivitas seorang khalifah.
Kriteria kelima (kapasitas intelektual) tidak membawa persoalan baru. Yang dimaksud dengan kapsitas intelektual disini ialah kecerdasan praktis (al-dzaka’ al-‘amaliy) atau kebijaksanaan praktis (al-hikmat al-‘amaliyat) mengenai segenap masalah yang berkaitan dengan usaha untuk mengatur negara dalam mencapai maslahat. Masalah-masalah tersebut beragam sesuai dengan tuntutan realitas (mathlub al-waqi’).
Kriteria keenam (heroisme) berarti ketegasan mengambil sikap dalam segala usaha untuk menjaga kedaulatan negara. Jika kriteria ini tidak terpenuhi maka musuh akan memandang rendah negara dan mudah merongrong kedaulatan negara. Seorang khalifah haruslah seorang mujahid, yang tidak segan-segan mengangkat pedang menghadapi orang-orang yang berbuat zhalim dan orang-orang yang menghalangi dakwah agama Allah.
Kriteria ketujuh (nasab) sudah penulis singgung didepan. Jiwa dari kriteria ini adalah kekuatan legitimasi dalam rangka menjaga kesatuan umat dan stabilitas negara.
Apabila kita rangkum, jiwa dari kriteria Mawardi adalah sebagai berikut:
1.Integritas pribadi.
2.Kecerdasan teoritis-transendental.
3.Sanggup menerima dan menyampaikan informasi / pengetahuan secara sempurna.
4.Jaminan kemampuan untuk melakukan segenap aktivitas seorang khalifah.
5.Kapasitas intelektual.
6.Heroisme (ruhul jihad).
7.Kekuatan legitimasi.
Begitulah Mawardi telah mengemukakan kriteria yang harus dimiliki oleh seorang khalifah. Ibn Taimiyyah, sebagaimana kita lihat sejak awal, agaknya memiliki pandangan yang lebih sederhana namun lebih esensial dibandingkan Mawardi. Yang perlu ditambahkan disini ialah bahwa dalam masalah kriteria al-quwwat, Ibn Taimiyyah berpandangan bahwa wujudnya bisa berbeda-beda sesuai dengan tuntutan realitas. Dalam negara yang menghadapi krisis pertahanan/keamanan, al-quwwat yang paling dibutuhkan ialah keberanian, ketegasan, dan pengetahuan pertahanan/keamanan yang mumpuni. Dalam negara yang sedang menghadapi masalah-masalah ekonomi yang pelik, al-quwwat yang paling dibutuhkan ialah wawasan ekonomi yang cemerlang. Dalam negara yang menghadapi krisis moral, al-quwwat yang paling dibutuhkan ialah ketaqwaan dan kebijaksanaan. Demikian seterusnya.

Macam-macam Kepemimpinan: Khilafah dan Kerajaan (Mulk)
Menurut Ibn Taimiyyah, para nabi Allah dibedakan atas tiga kategori dalam kaitannya dengan kekuasaan (al-mulk). Pertama, nabi yang didustakan dan tidak diikuti oleh kebanyakan kaumnya, dimana dia merupakan seorang nabi yang tidak dianugerahi kekuasaan oleh Allah (nabi tanpa singgasana), seperti Nuh, Ibrahim, Musa, ‘Isa. Kedua, nabi yang sekaligus penguasa (nabiyy malik), seperti Dawud, Sulaiman, dan Yusuf. Indikasi keberkuasaannya ialah bahwa mereka memerintahkan hal-hal yang sifatnya mubah. Ketiga, nabi yang tidak dianugerahi kekuasaan namun ditaati dan diikuti oleh kebanyakan kaumnya, yakni Muhammad saw. Indikasi ketidakberkuasaannya ialah bahwa beliau tidak akan memerintahkan sesuatupun kecuali dengan perintah Allah (wahyu). Ketika Rasulullah saw. ditanya oleh Allah,”Pilihlah, apakah engkau ingin menjadi hamba dan rasul (‘abd rasul), ataukah engkau ingin menjadi nabi sekaligus raja (nabiyy malik)”. Maka beliau memilih menjadi hamba dan rasul, dengan meninggalkan kerajaan. Jadi, Nabi Muhammad bukanlah seorang raja, namun beliau adalah pemimpin umat. Kepemimpinan Rasulullah yang demikian ini disebut sebagai khilafat al-nubuwwat (kepemimpinan Nabi). Dengan posisi inilah beliau telah memimpin Negara Madinah.
Karena kita adalah umat Muhammad yang harus ber-uswah kepada beliau, maka kita dituntut untuk bisa mewujudkan kembali kepemimpinan model Rasulullah sepeninggal beliau. Kepemimpinan ini sering disebut sebagai khilafat al-nubuwwat atau khilafat ‘ala minhaj al-nubuwwat, atau biasa disingkat dengan sebutan khilafah saja.
Durasi khilafah segera sepeninggal Nabi dinyatakan dalam banyak hadits.
“Khilafah Nabi berlangsung selama tiga puluh tahun, kemudian (setelah itu) Allah memberikan kerajaan (al-mulk) kepada siapa yang dikehendakinya” (HR. Abu Dawud, dari Abdul Warits dan Al-‘Awwam).
“Khilafah berlangsung selama tiga puluh tahun, kemudian akan berubah menjadi kerajaan (al-mulk)" ” (hadits masyhur riwayat ahlu Sunan dan dijadikan pegangan oleh Imam Ahmad).
Nabi saw. wafat pada Rabi’ul Awwal tahun 11 H. Genap tiga puluh tahun sesudahnya bertepatan dengan peristiwa Tahun Persatuan (‘Aam al-Jama’at) yaitu pada Jumadil Awwal tahun 41 H dimana Hasan ibn Ali menyerahkan kekuasaan kepada Muawiyah. Jadi pemerintahan Muawiyah merupakan awal dari masa kerajaan (al-mulk).
Nabi juga telah memberikan prediksi mengenai periodisasi kekuasaan sepeninggal beliau sampai datangnya hari kiamat.
“Akan datang khilafah Nabi bersama dengan rahmat, kemudian disusul dengan kerajaan (mulk) bersama dengan rahmat, kemudian disusul dengan kerajaan bersama dengan otoritarianisme (jabbariyyat), kemudian disusul dengan kerajaan yang ‘menggigit’ (lalim)” (HR. Muslim).
Riwayat lain yang sangat masyhur mengurutkan periodisasi kepemimpinan tersebut dimulai dengan kepemimpinan Nabi (zaman Nabi), kemudian khilafat ‘ala minhaj al-nubuwwat, kemudian kerajaan yang “menggigit” (mulk ‘adhudh), kemudian kerajaan yang otoriter (mulk jabbariy), dan akhirnya muncullah lagi khilafat ‘ala minhaj al-nubuwwat. Yang menarik pada riwayat yang belakangan ini adalah prediksi Nabi bahwa khilafat ‘ala minhaj al-nubuwwat akan muncul lagi di akhir zaman. Atas dasar hadits prediktif inilah, kebangkitan Islam dan pergerakan Islam semakin menggelora untuk meraih cita-cita yang pasti tersebut. Adapun yang menarik dari riwayat pertama ialah bahwa sebelum tegaknya khilafat ‘ala minhaj al-nubuwwat, akan tegak tiga model kerajaan (bukan dua sebagaimana pada riwayat yang kedua).
Kalau kita amati matan hadits-hadits prediktif tersebut, kita dapati bahwa Nabi selalu menggunakan kata mulk untuk menyatakan model kekuasaan selain khilafat ‘ala minhaj al-nubuwwat. Ini menunjukkan bahwa makna kata mulk dalam hadits-hadits tersebut jauh lebih luas daripada makna kerajaan yang kita pahami dewasa ini (kerajaan monarki atas dasar pewarisan kekuasaan), karena dalam kenyataan sejarah terdapat banyak negara besar yang tidak menerapkan model kerajaan monarkis. Oleh karena itu, makna yang tepat untuk kata mulk tersebut ialah segala jenis model kekuasaan selain khilafat ‘ala minhaj al-nubuwwat.
Terlepas dari kepastian terlaksananya prediksi Nabi diatas, kita akan membahas bagaimanakah hukum menunaikan kepemimpinan dalam bentuk mulk dan khilafah. Ibn Taimiyyah menyatakan bahwa dalam syariat sebelum Muhammad saw, menegakkan mulk itu boleh, sebagaimana yang dilakukan oleh Dawud, Sulaiman, Yusuf, dan Dzul Qarnain. Adapun dalam syariat Muhammad saw, maka pada asalnya, menegakkan mulk itu tidak boleh, sementara menegakkan khilafah itu wajib. Hal ini didasarkan pada sabda Nabi, “ Wajib bagi kalian melaksanakan sunnahku dan sunnah al-khulafa’ al-rasyidun sesudahku. Berpegang teguhlah dengannya meskipun (untuk itu) kalian harus menggigitnya dengan gigi geraham. Dan jauhilah perkara-perkara yang baru karena setiap bid’ah itu sesat”. Kita baru boleh meninggalkan model khilafah (berarti menegakkan mulk) apabila ada kebutuhan untuk itu, sebatas kebutuhan itu pula. Demikianlah pendapat yang paling moderat menurut Ibn Taimiyyah mengenai penegakan mulk dan khilafah.
Lebih rinci lagi, Ibn Taimiyyah mengatakan bahwa penegakan mulk karena kebutuhan itu bisa terjadi dalam beberapa kemungkinan. Kemungkinan pertama, mulk tegak karena ketidakmampuan menegakkan khilafah. Dalam hal ini, hukumnya adalah ma’fuw (dimaafkan). Kemungkinan kedua, mulk tegak sebagai hasil ijtihad. Maksudnya, kemampuan untuk menegakkan khilafah itu ada, namun ijtihad yang dilakukan mengatakan bahwa khilafah itu mustahab saja (tidak wajib) dan mulk itu boleh sebagaimana bolehnya mulk pada syariat sebelum Muhammad. Dalam hal ini, tidak ada dosa apabila sang penguasa (malik) memerintah dengan adil. Perlu diketahui, bahwa pendapat yang demikian ini dikemukakan oleh Ibn Taimiyyah dalam latar diskusi panjang menyikapi kepemimpinan Muawiyah, yang termasuk salah seorang sahabat Nabi.
Diskusi Ekstensif Mengenai Bentuk Negara
Dari pendapat yang dikemukakan oleh Ibn Taimiyyah, kita mencatat bahwa apabila beliau konsisten, maka disana masih tertinggal perbedaan pendapat mengenai bentuk negara. Disatu sisi ada pendapat yang mengatakan bahwa khilafah itu wajib dan hanya boleh ditinggalkan dengan sebab-sebab tertentu. Namun disisi lain ada pendapat yang mengatakan bahwa adanya ijtihad yang memperbolehkan penegakan mulk itu juga tidak mengakibatkan dosa, apabila negara diselenggarakan dengan adil. Dari sini kita dapati bahwa titik temu yang pasti hanyalah keadilan. Dan memang poin inilah yang disebutkan dalam Al-Qur’an.
Kalau memang kata kuncinya adalah keadilan, maka dengan menghubungkan antara kata ini dengan periodisasi kekuasaan yang disebutkan Nabi, kita akan mendapatkan bahwa mulk ‘adhudh dan mulk jabbariy tidak termasuk kedalam bentuk negara yang diperbolehkan oleh syariat. Sebabnya tidak lain adalah karena sifat ‘adhudh (lalim) dan jabbariy (otoriter) itu sendiri bertentangan dengan sifat keadilan. Dengan demikian, hanya mulk wa rahmat sajalah yang merupakan mulk yang diperbolehkan oleh syariat, karena makna rahmat selaras dengan makna keadilan. Pemerintahan Muawiyah termasuk kedalam mulk wa rahmat, sehingga karenanya absah menurut syariat.
Dengan demikian kita memahami bahwa segala bentuk pemerintahan saat ini pada asalnya tidak dibenarkan oleh syariat (karena sudah lewat dari mulk wa rahmat), sehingga kita harus berusaha untuk menegakkan suatu pemerintahan yang adil, yang berdasarkan periodisasi Nabi tidak lain adalah khilafat ‘ala minhaj al-nubuwwat.
Namun tentu saja, basis dari semua pemikiran ini adalah keyakinan terhadap hadits sebagai sumber syariat. Tanpa keyakinan tersebut, niscaya segala pandangan diatas tidak ada artinya sama sekali.
Diskusi mengenai bentuk negara juga tidak bisa dipisahkan dari pembahasan tentang mekanisme pemilihan seorang khalifah. Beberapa terminologi modern mengenai bentuk-bentuk negara dibuat berdasarkan pada mekanisme pemilihan kepala negaranya, misalnya negara demokrasi, negara monarki, negara teokrasi, atau negara teo-demokrasi (istilah yang diperkenalkan oleh Maududi). Untuk itu, berikut ini kita akan membahas tentang mekanisme pemilihan khalifah.
Mekanisme Pemilihan Khalifah
Terdapat banyak pendapat mengenai bagaimanakah seorang khalifah ditetapkan.
Pertama, khalifah ditetapkan dengan nash. Ini merupakan pendapat kaum Syi’ah.
Kedua, khalifah ditetapkan dengan pemilihan (al-ikhtiyar).
Pendapat kedua inipun masih terbagi-bagi menjadi berbagai pandangan. Sebagian membolehkan penetapan khalifah dengan ikhtiyar (penetapan) khalifah sebelumnya. Sebagian yang lain mengatakan bahwa khalifah harus dipilih oleh rakyat banyak.
Penetapan khalifah dengan nash akan memunculkan suatu negara teokrasi, apabila disertai dengan keyakinan bahwa khalifah merupakan wakil Tuhan di bumi, yang memegang kebenaran absolut.
Penetapan khalifah atas dasar ketetapan khalifah sebelumnya semata akan memunculkan negara monarki. Sementara penetapan khalifah atas dasar pilihan rakyat banyak akan memunculkan negara demokrasi. Istilah negara teo-demokrasi muncul belakangan dengan makna negara demokrasi yang dibingkai oleh norma-norma Ilahi, sehingga tidak sepenuhnya tergantung pada kehendak rakyat. Dalam konteks ini, istilah negara demokrasi (lebih tepatnya demokrasi liberal) kemudian diartikan sebagai negara yang sepenuhnya tergantung pada rakyatnya, tanpa dibatasi oleh otoritas transendental.
Keharusan penetapan khalifah dengan nash hanya diyakini oleh kaum Syi’ah. Ahlus Sunnah wal Jama’ah (Sunni) beranggapan bahwa penetapan khalifah dilakukan dengan pemilihan. Pemilihan khalifah oleh rakyat merupakan suatu bentuk akad antara dua pihak, yakni antara pihak khalifah dan pihak rakyat. Dr. Sanhoury (dalam bukunya Le Califat) menegaskan bahwa akad khilafah merupakan akad yang hakiki, sehingga memiliki rukun-rukun dan syarat-syarat yang harus dipenuhi, sebagaimana lazimnya akad dalam kajian fiqih. Salah satu rukun yang beliau sebutkan ialah keridhaan dari kedua belah pihak. Keridhaan rakyat berarti legitimasi mereka atas khalifah, sementara keridhaan khalifah berarti kesediaan dan keikhlasan khalifah. Jadi, khilafah pada dasarnya merupakan suatu kontrak sosial.
Secara lebih spesifik, sebagian ulama mengatakan bahwa akad khilafah merupakan akad wikalah (perwakilan, pemindahan kuasa), suatu jenis akad yang sangat populer dalam kajian fiqih. Mereka mengatakan demikian karena khilafah tidak bisa ditetapkan oleh seseorang pada dirinya sendiri, sebagaimana seseorang tidak mungkin mengambil kuasa tanpa pemberian kuasa dari pemilik kuasa. Karena khilafah merupakan akad wikalah, maka segenap konsekuensi wikalah juga berlaku pada khilafah. Diantara konsekuensi tersebut ialah bahwa khilafah tidak serta-merta diwariskan berdasarkan keturunan. Konsekuensi yang lain ialah bahwa turunnya sang khalifah tidak serta-merta menyebabkan turunnya segenap pejabat khalifah yang diangkat oleh rakyat, karena jabatan mereka merupakan akad antara mereka dan rakyat dan bukan antara mereka dan sang khalifah.
Sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa akad khilafah tidak bisa dikatakan sebagai akad wikalah. Alasannya, rakyat tidak bisa seenaknya mencabut kuasanya atas sang khalifah sebagaimana seorang pemberi kuasa bisa sesuka hati mencabut kuasanya. Disamping itu, khalifah dituntut untuk menunaikan prinsip-prinsip Ilahi yang mana rakyat tidak bisa mengkuasakan kepada khalifah untuk menunaikan prinsip-prinsip yang bertentangan dengan prinsip-prinsip Ilahi tersebut.
Dari perdebatan diatas, pendapat yang paling kuat adalah pendapat yang mengatakan bahwa khilafah merupakan suatu akad namun tidak sepenuhnya bisa dikatakan sebagai akad wikalah. Meskipun demikian, tidak bisa diingkari bahwa khilafah merupakan perwakilan (niyabah) kaum muslimin, sehingga kekuasaan seorang khalifah pada dasarnya berasal dari kaum muslimin itu sendiri.
Dari berbagai pendapat para ulama, penetapan khalifah bisa dilakukan melalui berbagai mekanisme sebagai berikut.
Pertama, dengan pemilihan langsung oleh setiap orang (demokrasi langsung).
Kedua, khalifah ditetapkan oleh ahlul hall wal ‘aqd yang mewakili rakyat.
Ketiga, khalifah ditetapkan oleh khalifah sebelumnya.
Mekanisme kedua dan ketiga harus diikuti dengan baiat ‘ammat, yaitu baiat yang dilakukan oleh segenap rakyat terhadap khalifah. Baiat ini merupakan bukti atas keridhaan rakyat terhadap sang khalifah. Jadi, mekanisme apapun yang dipakai harus bisa menjamin bahwa kekuasaan sang khalifah berasal dari rakyat. Lain lagi halnya jika khalifah ditetapkan dengan nash. Karena penetapan ini dianggap sebagai otoritas Tuhan maka rakyat pun tidak berhak untuk campur tangan didalamnya.
Hal penting yang harus dicamkan ialah bahwa orang-orang yang menetapkan sang khalifah harus memenuhi beberapa persyaratan. Inilah yang membedakan antara sistem politik Islam dengan sistem demokrasi liberal. Orang-orang yang dimaksud disini ialah setiap pemilih pada sistem demokrasi langsung, anggota ahlul hall wal ‘aqd, atau khalifah sebelumnya. Imam Mawardi menetapkan tiga persyaratan untuk orang-orang tersebut: 1)Al-‘adalat. 2) Ilmu tentang siapakah yang secara mu’tabar / syar’i berhak menjadi khalifah. 3) Kapasitas intelektual yang memungkinkan seseorang untuk menetapkan siapakah yang paling tepat secara politis (berdasarkan pertimbangan maslahat ) untuk menjadi khalifah.
Istilah yang juga penting untuk dibahas disini adalah ahlul hall wal ‘aqd. Para ulama mempunyai pandangan yang beragam tentang lembaga ini. Dari berbagai pandangan yang ada, bisa disimpulkan bahwa ahlul hall wal ‘aqd ialah suatu lembaga yang berisi sekelompok orang yang adil yang mewakili segenap wilayah geografis dan keahlian yang relevan. Representasi wilayah geografis dibutuhkan untuk menggalang aspirasi rakyat, sementara representasi keahlian dibutuhkan dalam kaitannya dengan ijtihad kolektif yang berlangsung pada lembaga ini.
Secara etimologis, ahlul hall wal ‘aqd berarti lembaga yang mengurai dan mengikat. Artinya, lembaga inilah yang mengikat (mengangkat) seorang khalifah sekaligus yang mengurai (menurunkan) khalifah apabila perlu. Lembaga ini merupakan kombinasi antara representasi rakyat dan otoritas syariat. Kombinasi inilah yang menjadikan negara Islam berbeda dengan negara demokrasi liberal ataupun negara teokrasi.

Tidak ada komentar: