15 Mei 2010

MENGAPA AKU MENCINTAI KAMMI

Oleh : Imron Rosyadi

NAMAKU KAMMI – an autobiographical sketch –*

Namaku KAMMI. Orang-orang juga memanggilku demikian, lebih praktis dibanding melafalkan Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia. Kalau engkau teringat sesuatu begitu memanggilku, tentulah sebuah akronim KAMI yang mencatat prestasi besar (dan akhirnya kelam?) sebuah jaringan gerakan mahasiswa Indonesia dalam rentang sejarah Indonesia `66-an. Konon, atas alasan citra historis itulah founding fathers-ku mengambil nama itu, dan atas alasan ideologis menambah tasydid pada mim hingga KAMMI-lah namaku.

Aku lahir tanggal 29 Maret 1998 di Malang dalam rentang situasi yang teramat sangat "enak dan perlu" bagi lahirnya gerakan mahasiswa di negara dunia ketiga; tirani-otoriter, despotik, tidak adil, dan tidak demokratis. Gerakan mahasiswa--begitula h aku disebut--adalah bagian dari aktor muda yang selalu mencoba masuk dalam peta sejarah peradaban bangsa yang selalu saja terhegemoni oleh orang-orang tua yang bermentalitas "stabilisme" , "klaim legitimasi dan otoritas", "mapan" dan "status quo". Kami adalah anak muda secara biologis bahwa keniscayaan takdir membuat manusia harus mati dan berganti, maupun secara historis bahwa kami adalah generasi baru Indonesia yang setidaknya "tersucikan" dari kekotoran dan najis politik generasi lama yang memporakporandakan bangsa ini. Sebagai anak muda tentu saja kami bernilai istimewa; "energik", "kreatif", "bening-moralis" , dan tentu saja `anti status quo'.

Wajar sajalah sehingga orang semacam Arnold Toyenbee dalam buku monumentalnya "The Study of History", menyebut kami (yang spiritnya diilhami oleh Ibnu Khaldun) "the creative minority", maupun Jack Newfield yang menggelari kami sebagai "pengusung pesan-pesan kenabian".

Tetapi aku tidak lahir begitu saja, benihku adalah benih yang tertanam dalam rahim Indonesia sejak 25-an tahun silam. Saat itu Soeharto dan para arsitek Orde Baru begitu ketakutan di usia politiknya yang baru belasan tahun terhadap mahasiswa yang mulai jenuh dan menentangnya. Daud Yusuf menerjemahkannya melalui proyek depolitisasi kampus melalui NKK-BKK.

Tiarapnya gerakan mahasiswa secara politik dimanfaatkan secara kreatif dengan memanfaatkan peluang yang setidaknya dilihat Orde Baru sebagai sikap apolitis: kajian keislaman. Generasi baru Islam Indonesia tahun `80-an seolah menemukan cara yang berbeda dalam memahami Islam dan konteks politik Indonesia saat itu. Setidaknya itulah yang tergambarkan lewat seruan Nurcholis Madjid--yang lumayan kontroversial secara ide--"Islam yes, Partai Islam no"

Semangat baru generasi muda Islam terhimpun dalam usaha untuk meyakini Islam sebagai alternatif bacaan yang membawa "pencerahan" atas "gelapnya" dominasi wacana Barat (dan dalam konteks Indonesia adalah dominasi Orde Baru) dan kemudian usaha membaca Islam secara intelektual untuk merumuskannya dalam praksis agenda obyektif bangsa. Anak-anak muda Islam tersebut membaca Al-Quran (dan Sunnah Rasulullah) dengan sepenuh gairah kemudaan dan melakukan eksplorasi dan elaborasi secara intelektual dan gerakan.

Lahan persemaianku, Lembaga Dakwah Kampus (LDK) adalah manifestasi dari gairah-gairah tersebut, hingga dari kampus-kampus besar ia menyebar ke seluruh Indonesia dengan polanya yang khas: "kajian keislaman", "dalam sel-sel kecil pembentukan kepribadian" , dan "wacana dengan dasar Al-Quran dan Sunnah". Fahri Hamzah--mas' ul pertamaku--menyebut nya sebagai "anak-anak sekolah" yang punya "gagasan untuk berjama'ah', berkumpul dalam suatu kesadaran akan pentingnya membina diri secara fisik, mental, dan spiritual" di mana "kesadaran ini berlanjut menjadi semacam gerakan purifikasi" yang menjadikan "sejarah nabi dan sahabat sebagai ingatan dasar". Orang menyebutnya sebagai gerakan purifikatif atau neo-revivalis atau menurut Hasan Hanafi adalah Islam reformis moderat, yang biasanya disandarkan sebagai sifat dan ideologi sebuah gerakan internasional yang tumbuh dari Mesir: Ikhwanul Muslimin.

Tetapi, aktivitas purifikasi yang bergerak seolah secara "bawah tanah" pada awal 90-an muncul ke ranah publik (kampus) dengan melakukan--menurut Qodari—"afirmasi" terhadap "politik kampus" dengan masuk dalam lembaga politik kampus. Periode itulah yang menentukan arah dakwah kampus yang lebih "terbuka" dan menjelaskan masifnya mobilisasi yang luar biasa cepat pada tahun 1998 yang melahirkanku- -KAMMI--sebagai sebuah jaringan kerja gerakan dakwah, sekaligus sebagai "tapal batas" antara dakwah kampus melalui LDK yang semula apolitis menjadi sebuah gerakan politik baru.
"Maka tatkala mereka (kaum itu) melupakan peringatan (dan ajaran) yang telah diberikan pada mereka, Kamipun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka. Sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang diberikan kepada mereka, Kami siksa (dan timpakan bencana kepada) mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam (terpana) dan putus asa (tak tahu harus berbuat apa)." (Qs. Al-An'am: 44).

Namaku KAMMI. Aku lahir dan besar dengan sangat cepat, dengan prestasi politik yang dianggap terlalu hebat untuk gerakan seusiaku. Saat seluruh aksi demonstrasi 1998 masih berpusar di dalam kampus sebagai wilayah yang aman dan terlindungi oleh kebebasan akademis, aku hadir keluar kampus dengan massa besar (20.000 orang) tanggal 10 April 1998 di "wilayah aman" yang lain yaitu di mesjid (Al Azhar Jakarta). Aksi yang kemudian kugeliatkan secara masif bersama elemen bangsa yang lain berturut-turut di berbagai kota, dengan darah yang terkorbankan di Trisakti, dengan sisipan manuver-manuver politik yang undercover, yang berpuncak pada kegentingan Jakarta 20 Mei 1998 saat aku, Amin Rais dan jaring reformasi yang lain merencanakan Aksi Sejuta Ummat di Monas pada hari Kebangkitan Indonesia. Aksi yang gagal, tapi berbuah esoknya: Soeharto mundur. Shadaqallaah; Maha Benar Allah dengan firman-Nya.

Lima tahun pasca Soeharto tumbang ini, kurenungi jejak-jejak langkah politikku. Kulihat setidaknya ada empat fase langkah politikku yang (ternyata) semua berjejak sama: isu kepemimpinan nasional. Sampai Soeharto lengser itulah fase pertamaku, dimana aku berhasil masuk dalam pusaran politik yang menentukan serta dimana interaksi antar elemen gerakan perubahan teramat sangat kuat. Semua berada pada lafadz yang sama: Turunkan Soeharto. Setelah itu? Kegagalan membangun platform Indonesia secara bersama dan mendefinisikan agenda reformasi yang konkrit dan sloganistis meruntuhkan bulan madu gerakan-gerakan `98. Sekat ideologis dan kepentingan menyeruak begitu pekat. Inilah fase keduaku: fase Habibie hingga Pemilu `99.

Usahaku meyakinkan bahwa reformasi harus menyeluruh, dan ia butuh waktu dan butuh penumbuhan institusi demokratis harus berkelindan dengan situasi sosial politik Indonesia yang rumit. Isu Sidang Istimewa `99 merubuhkan bangunan konsolidasi gerakan yang memecah gerakan--jadilah darah kembali menetes di Semanggi dan elemen masyarakat mengacungkan pedang dan tombaknya. Aku mencoba meredakannya dengan mengatakan bahwa menolak maupun menerima SI secara mutlak adalah salah, pilihan terbaiknya (menurutku) adalah memastikan bahwa SI menjamin reformasi total dan justru tidak meneguhkannya sebagai ruang baru bagi Orde Baru.
Saat itulah kukenalkan enam visi reformasi yang kemudian menjadi jargon utama sekaligus parameter evaluatif rezim bagi gerakan pro-reformasi pasca Orba yang meliputi: (1) penegakkan supremasi hukum dengan jalan pengadilan Soeharto (2) menghapus dwifungsi ABRI (3) mengamandemen UUD 45 (4) otonomi daerah yang luas (5) penegakkan tradisi demokrasi (6) pertanggung jawaban Orde Baru. Martin van Bruinessen mencatatkan fase Habibie sebagai situasi dikotomis antara pilihan politik kaum muslimin (termasuk Amin Rais) yang menganggap Habibie adalah "orang yang cukup" untuk menjamin transisi demokratis sekaligus menjamin "kepentingan" umat Islam, dengan pilihan politik kaum sekular yang menempatkan Habibie adalah "orang yang cacat" karena ia adalah murid Soeharto sehingga mereka memunculkan tokoh semacam Gus Dur, Megawati, dan Sri Sultan HB X yang--kata Bruinessen-- ironisnya karena alasan tertentu justru bukanlah orang yang secara tajam menyuarakan agenda reformasi saat Orde Baru masih tegar.

Hiruk pikuk fase Habibie selesai dengan Pemilu `99 yang melejitkan PDIP, "mengembalikan" Golkar dan memastikan kubu pro reformasi kembali terkubur oleh realitas politik. Gus Dur yang secara mengejutkan terpilih melalui gesekan-gesekan politik yang secara gamblang semakin menegaskan kekalahan agenda reformasi pada pragmatisme politik. Gus Dur pulalah yang selama ini disebut-sebut sebagai demokrat (setidaknya karena pada masa Soeharto ia pernah dirikan Forum Demokrasi) secara mengejutkan pula menjadi ademokratis, gagal membentuk negara yang kuat, terlebih berpikir tentang agenda reformasi. Inilah fase ketiga yang kembali mesti kulakoni: menurunkan Gus Dur! Agenda ini akhirnya mau tidak mau harus beririsan dengan pekatnya agenda politik di parlemen.

Sungguh, aku selalu berpikir bahwa Gus Dur semestinya adalah aktor politik yang dengan seluruh kebesarannya mampu menunaikan tugasnya. Tetapi ia gagal, rakyat juga berkata begitu, aku pun turun kembali dan berteriak agar ia turun. Sebuah pilihan baru yang kuambil secara lebih radikal--karena kesabaran yang semakin habis--bahwa akhirnya siapa saja yang gagal ia harus berhenti. Resiko yang kuhadapi pun tidak main-main, yang paling mahal tentu saja adalah konflik horisontal yang kembali menjadi bagian pertempuran elit politik. Berhadapan dengan pilihan sebagian gerakan kiri yang menandaskan pembubaran Golkar dan pengadilan Orde Baru sebagai satu-satunya pilihan dengan menafikan kemungkinan Orde Baru menyusup di tubuh Gus Dur. Gus Dur pun dimundurkan parlemen, dan memunculkan Megawati--dengan ironisme Indonesia yang selalu saja lupa pada sejarah--dengan problem yang sama.
Secara lebih reflektif, aku mencoba memahami kecenderunganku untuk selalu memilih isu khas kepemimpinan nasional. Pada satu sisi, ini meneguhkan posisiku yang selalu menjadi "oposan abadi" dan kelompok penekan (pressure group) bagi siapa saja yang berkuasa. Pada sisi lain, konsekuensi dari pilihan semacam ini adalah sifatnya yang pragmatis, dan pekat dengan kepentingan politik elit, karenanya menyebabkan konflik horisontal (akibat elit yang tidak pernah pede bertempur secara fair), sekaligus ia menutup pada agenda yang lebih substantif: agenda kultural dan agenda intelektual.
Masalahnya adalah karena Indonesia belum cukup dewasa untuk bertanggung jawab menyelesaikan proses demokratisasi. Pada situasi semacam itu, pilihan yang paling moderat (dan konservatif) adalah memang mewujudkan demokrasi model Schumpeterian yaitu dengan memastikan prosedur-prosedur dan koridor demokrasi dibangun dan dijalankan secara konsisten, sembari diimbangi dengan pilihan demokrasi partisipatif yang memastikan rakyat memungkinkan terlibat secara aktif dalam agenda politik yang biasanya diklaim sebagai wilayah elit politik. Inilah pilihan yang disodorkan oleh Eep Saefullah Fatah dengan istilah "kesabaran revolusioner" dengan mengkritik pilihan kedua yang ia sebut "ketergesaan politik" yaitu dengan secara radikal-revolusione r kembali meruntuhkan rezim yang--selalu saja--Orbaism.
"Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah baik laki-laki, perempuan, maupun anak-anak yang semuanya berdoa: "Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini (Mekah) yang dzalim penduduknya, dan berilah kami pelindung dari sisi Engkau, dan berilah kami penolong dari sisi Engkau". (Qs. An-Nisa: 75).

Namaku KAMMI. Tasydid pada mim dalam namaku adalah representasi ideologisku. Islam bagiku adalah energi yang amat dahsyat sekaligus samudera yang amat luas. Bagiku, Islam lahir untuk menentang dominasi dan hegemoni ide serta kekuasaan, ia menegaskan akan ketiadaan yang mutlak kecuali Allah Swt. Islam juga agama yang sangat kenyal (pervasive) mengikuti zaman, hingga Islam akan sulit dilihat sebagai agama yang out of date sehingga menjadi monumen ritual budaya semata, atau bahkan dipinggirkan dari peran-peran duniawi menjadi sekedar jalan spiritualitas. Bacaan terhadap Al-Quran dan Sunnah dilengkapi dengan metodologi (seperti Ushul Fiqh, dan Musthalah al-Hadits) yang memungkinkan untuk menjawab setiap pertanyaan zaman. Karena itulah, Islam selalu merupakan agama yang syamil wamutakammil (lengkap dan sempurna).

Keyakinanku yang utuh semacam inilah sebenarnya yang telah melahirkan kader-kader dakwah yang kata Tempo "sederhana, sopan, rendah hati (tawadlu), rajin ibadah, dan menegakkan sunnah" atau dalam bahasa Eko Prasetyo "berwajah teduh bermata sejuk--lugu dan murni, tetapi tampil dengan gagah, berani dan mungkin sedikit angkuh". Terlebih digambari dengan sejumput keistimewaan kalau tidak--menurut Bachtiar Effendy--"kemewahan " (luxury) bahwa mereka adalah generasi muda Islam terdidik yang terjalin dalam jaringan gerakan secara solid dan militan, barang berharga yang susah ditemukan oleh teman-temanku gerakan mahasiswa lain.
Karena itulah, dengan seluruh kelengkapannya Islam sebenarnya selain ia telah menyediakan energi bagi ranah politik yang selama ini kupakai, ia juga memberikan energi gerakan dan menjadi samudera eleborasi bagi ranah lain yang sayangnya jarang kumasuki: ranah kultural dan ranah intelektual. Ranah politik memang memastikan tekanan yang besar terutama bagi agenda pragmatis, tetapi ia meninggalkan sebuah ruang kosong yang justru berkontribusi dalam penunaian agenda perubahan bangsa. Kuamati bahwa realitas politik beberapa tahun pasca Soeharto adalah hiruk pikuk "seolah-olah" reformasi (alias reformasi palsu), kalau tidak justru adalah penggagahan reformasi oleh kepentingan nafsu kekuasaan dan kekayaan. Orde Baru telah berkembang jauh dari sekedar struktur politik menjadi mentalitas dan budaya, sehingga menumbangkan Orde Baru sesungguhnya bukanlah sekedar menggulung aktor-aktornya tapi justru merevolusi konstruksi mental yang ia bangun.

Ironisnya, seringkali aku harus terkejut melihat fenomena-fenomena Islam di Indonesia yang telah menyelusup secara "diam-diam" dalam relung-relung batin dan ruang-ruang masyarakat padahal akulah (setidaknya benih yang menumbuhkanku) adalah salah satu yang dulu mengenalkannya. Telah banyak cendekiawan yang menawarkan proposal agenda kultural itu: Kuntowijoyo dengan ilmu sosial profetiknya, Amin Rais dengan tauhid sosialnya, Muslim Abdurrahman dengan Islam transformatifnya. Bahkan Yusuf Qaradhawi amat membantu dengan merumuskan seperangkat fiqih yang membuatnya terasa mudah: fiqh perbedaan (ikhtilaf), fiqh pertimbangan (muwazanat), fiqh prioritas (aulawiyat), fiqh nash dalam kerangka maqashidu syari'at, fiqh realitas (waqi'), dan fiqh perubahan (taghyir). Yang mereka butuhkan adalah kemauanku mengelaborasinya secara intelektual, dan mengoperasikannya dalam lapangan gerakan. Itu saja.

Diversifikasi agenda mungkin itulah yang mesti kulakukan saat mentas dari usia balita karena "perang Badar di garis depan dimenangkan karena Ibnu Ummi Maktum telah menjaga Madinah". Agar "potong generasi" atau "revolusi" tidak sekedar menjadi slogan. Aku mahasiswa, Aku muslim, Aku orang Indonesia. Namaku KAMMI.

***
* Disadurkan kembali Dari Buku "Mengapa Aku Mencintai KAMMI: Serpihan Hati Para Pejuang" Penerbit Muda Cendekia, Bandung Maret 2010

2 komentar:

Afi mengatakan...

Mengapa Aku Mencintai KAMMI?

Ibarat butira pasir di lautan, begitu pula lah alasan 'Mengapa Aku Mencintai KAMMI.'

Tfs. Jkk.

Unknown mengatakan...

Izin Share Pak.. ^^
Jzkallah