8 Oktober 2011

3 Perempuan Peraih Nobel Perdamaian Tahun 2011



Nobel Perdamaian 2011 menjadi milik tiga perempuan, yakni Presiden Liberia, Ellen Johnson-Sirleaf; aktivis Liberia, Leymah Gbowee; dan pemimpin oposisi Yaman dari Partai Islah, Tawakkul Karman. Ketiganya mendapat penghargaan karena perjuangan tanpa kekerasan untuk keamanan dan hak-hak perempuan demi terciptanya perdamaian.
"Kita tidak dapat mencapai demokrasi dan perdamaian yang langgeng jika perempuan tidak menerima kesempatan yang sama dengan pria untuk mempengaruhi pembangunan dalam setiap level masyarakat," ujar Ketua Komite Nobel Norwegia Thorbjoern Jagland dalam pengumumannya, Jumat, 7 Oktober 2011.
Sirleaf adalah presiden perempuan Liberia pertama sekaligus presiden perempuan pertama di Benua Afrika. Perempuan 72 tahun yang pernah mengenyam pelatihan di Universitas Harvard ini terpilih menjadi presiden sejak 2005. 
Sirleaf kini berjuang membangun negara yang baru saja terbebas dari perang sipil selama 14 tahun dan berjuang untuk pemilihan presiden kedua kalinya. Pencalonannya kembali sebenarnya menuai kritik karena melawan janjinya dalam pemilihan 2005. Perempuan kelahiran 29 Oktober 1938 ini berjanji hanya akan memimpin satu kali.
Gbowee adalah aktivis perdamaian yang menjadi kunci dalam berakhirnya perang sipil Liberia. Pekerja sosial dan konselor trauma ini mengelola Organisasi Aksi Massa Perempuan Liberia untuk perdamaian. Grup ini salah satu alat pencipta perdamaian Liberia pada 2003 lalu.
Karman, 32 tahun, adalah aktivis Yaman yang paling vokal menyuarakan protes terhadap pemerintah. Jurnalis dan aktivis hak asasi manusia ini terpaksa menjalani kerja sosial akibat menjadi tahanan politik. Ia acap menerima ancaman pembunuhan. Aktivitasnya termasuk luar biasa untuk ukuran Yaman yang patriarki dan konservatif. Ibu tiga anak ini masuk dalam kategori penerima Nobel termuda.
Hingga saat ini, sudah 12 perempuan yang mendapat Nobel Perdamaian. Di antaranya Bunda Teresa, Jane Addams, Wangari Maathai, dan Aung San Suu kyi


1) Ellen Johnson-Sirleaf


Presiden Liberia Ellen Johnson-Sirleaf, dan rekan senegaranya, Leymah Gbowee, yang memobilisasi sesama perempuan dalam melawan perang sipil di negara mereka, serta aktivis hak-hak perempuan dan demokrasi Yaman, Tawakkal Karman, meraih Nobel Perdamaian, Jumat (7/10/2011).
"Ketiganya berhak atas hadiah total senilai 1,5 juta dollar AS yang akan dibagi rata untuk perjuangan tanpa kekerasan mereka bagi keselamatan perempuan dan hak-hak perempuan untuk berpartisipasi penuh dalam kerja perdamaian," kata Presiden Komite Nobel Norwegia Thorbjoern Jagland dalam pengumuman tentang penghargaan itu.
"Kita tidak dapat mencapai demokrasi dan perdamaian abadi di dunia kecuali perempuan mendapatkan kesempatan yang sama dengan laki-laki untuk memengaruhi perkembangan di semua tingkat masyarakat," kata Jagland.
Johnson-Sirleaf (72) adalah presiden perempuan pertama yang dipilih secara bebas di Afrika. Ia akan maju lagi untuk masa jabatan kedua dan akan menghadapi pemilihan umum pada Selasa depan.
Gbowee memobilisasi dan mengorganisasi perempuan lintas etnis dan lintas agama untuk mengakhiri perang saudara di Liberia. Ia juga berjuang guna memastikan partisipasi perempuan dalam pemilu.
Tentang Karman, Komite Nobel mengatakan, "Dalam keadaan yang paling sulit, baik sebelum maupun selama revolusi Musim Semi Arab, Tawakkal Karman telah memainkan peran penting dalam memperjuangkan hak-hak perempuan dan demokrasi serta perdamaian di Yaman."
"Ini merupakan harapan Komite Nobel Norwegia bahwa hadiah kepada Ellen Johnson-Sirleaf, Leymah Gbowee, dan Tawakkal Karman akan membantu mengakhiri penindasan terhadap perempuan yang masih terjadi di banyak negara, dan untuk menyadari potensi besar demokrasi dan perdamaian yang bisa diwakili perempuan," ujarnya.

2) Leymah Gbowee 
KOMPAS.com - Leymah Gbowee kenyang pengalaman soal perang saudara di tanah airnya, Liberia. Lahir di Liberia tengah, pada usia 17 tahun, perempuan ini pindah ke ibu kota, Monrovia. Pemenang Nobel Perdamaian 2011 bersama Ellen Johnson Sirleaf dan Tawakel Karman ini menjadi saksi kekejaman perang saudara di Liberia.

Kalau ada yang bisa mengubah kondisi di Liberia, orang itu adalah seorang ibu.
Perang saudara di Liberia yang bahkan terus berlangsung hingga 2003, dalam pandangan Gbowee, memang cuma menyisakan kepiluan. Pengalamannya menjadi konselor trauma perang membuktikan begitu banyak anak kehilangan orangtua, istri kehilangan suami, dan kebinasaan sia-sia. Maka dari itulah, ia berupaya sekuat tenaga untuk membawa pengharapan kepada para korban berikut mengatakan "cukup" untuk perang.
Kepercayaan kuat Gbowee juga berangkat dari pengalamannya menjadi pekerja sosial pada 2002 di Aksi Perempuan Liberia untuk Perdamaian. Waktu itu, di sebuah pasar ikan, dia bersama perempuan-perempuan berdoa dan bernyanyi untuk perdamaian. "Kalau ada yang bisa mengubah kondisi di Liberia, orang itu adalah seorang ibu," katanya.
Gbowee makin mencuat namanya tatkala berhasil menggerakkan kaum perempuan menggunakan sikap antikekerasan untuk menuntaskan pertumpahan darah. Sukses melobi Presiden Liberia kala itu, Charles Taylor agar Liberia menjadi pelopor perdamaian, Gbowee bahkan bisa menjadi salah satu pembicara perdamaian di negara tetangga, Ghana.
Tak hanya itu, pada 2008, Leymah Gbowee menjadi karakter penting dalam film dokumenter "Pray The Devil Back to Hell". Film ini menjadi wahana advokasi penyelesaian damai konflik di Sudan dan Zimbabwe. Sampai kini, Gbowee juga berhasil memobilisasi perempuan Afrika untuk petisi damai dan keamanan.


3) Tawakkul Karman

Tawakkul Karman, wartawati dan pegiat hak asasi manusia (HAM) asal Yaman, Jumat (7/10/2011), ditetapkan Komite Nobel meraih Hadiah Nobel Perdamaian 2011.    
Tawakkul Karman (32) tercatat sebagai perempuan Arab pertama yang meraih hadiah bergengsi itu berbagi dengan dua perempuan pegiat Liberia, yaitu Presiden Liberia Ellen Johnson Sirleaf dan pejuang perdamaian Liberia, Leymah Gbowee.    
Tawakkul dikenal penentang hebat rezim Yaman yang dipimpin oleh Presiden Ali Abdullah Saleh, yang sedang menghadapi prahara politik di negeri paling selatan jazirah Arab itu.    
Sejumlah stasiun televisi Arab menunda sementara siaran regulernya untuk membuat breaking newspada Jumat saat Komite Nobel mengumumkan bahwa Tawakkul meraih Hadiah Nobel.    
Namun, televisi Pemerintah Yaman mengecam putusan Komite Nobel yang menganggap bahwa "pemberontak" itu tidak layak memperoleh Hadiah Nobel.    
Selain dikenal sebagai pegiat HAM, Tawakkul juga merupakan wartawati yang kritis. Ibu dari tiga orang anak itu pada 2005 mendirikan Perhimpunan Wanita Jurnalis Tanpa Belenggu.    
Dalam status terbarunya di jejaring sosial, Tawakkul menulis, "Kalian tak bisa membelenggu kebebasanku."    
Belakangan, perempuan berjilbab itu bergabung dengan Partai At Tajammu Al Yamani Lil Ishlah (Perhimpunan Yaman untuk Reformasi), oposisi utama Yaman.    
Perempuan pegiat HAM Mesir, Marwah Sameer, menyambut hangat penetapan Tawakkul sebagai penerima Hadiah Nobel. "Ini merupakan penghormatan terhadap dedikasi perempuan Arab," kata Marwah kepada jaringan televisi Nile TV.

Sumber: Kompas.com - www.tempointeraktif.com


Tidak ada komentar: