14 Maret 2014

Manchester dan Liverpool: Semestinya Perkawinan Yang Serasi

Albert dock - gettyimages
Albert Dock hanyalah satu dari belasan dermaga di mulut sungai Mersey, Liverpool. Bagian dari apa yang disebut sebagai Pelabuhan Liverpool. Tetapi ia menjadi lebih terkenal dari dermaga-dermaga lain di kota itu karena ia menjadi simbol kejayaan yang beringsut. Monumen. Penanda jaman.

Datanglah ke kawasan waterfront (tepi sungai Mersey) Liverpool, tempat Albert Dock ini berada, yang sekarang berubah fungsi menjadi tempat wisata yang menyenangkan. Suara burung pantai yang sesekali terdengar menggema membentur dinding-dinding tua Albert Dock seperti menyambung cerita dari masa lalu agar tak putus ditelan lupa.

Lantai batunya yang aus menjadi saksi akan gerusan kesibukan lalu lalang barang yang membebaninya di suatu ketika. Bahkan lorong-lorong gudangnya seperti hendak merangkul, mengajak duduk untuk berceloteh tentang suka duka kehidupan dimasa lalu yang mengasyikkan.

Memang suatu saat di abad 19 Albert Dock sempat menjadi yang termodern dan paling bergengsi. Membuat orang ternganga dengan kecanggihan teknologinya. Dan lebih penting lagi menjadi bagian dari jaringan keluar masuk barang ke Barat Laut Inggris, dus ikut menentukan murah mahalnya harga barang lewat perhitungan biaya uang sewa dermaga dan pajak yang mereka tetapkan. Sebuah keistimewaan, privilege, yang menimbulkan kekesalan buat sebuah kota tetangga yang terletak sekitar 50 kilometer masuk ke daratan, Manchester.

Kekesalan itu bukan tanpa alasan. Sementara Liverpool adalah kota pelabuhan, Manchester adalah kota industri. Semestinya perkawinan yang serasi. Tetapi Manchester mengeluhkan pajak dan sewa dermaga yang ditetapkan Liverpool yang saat itu dirasa semakin mahal, berlebihan dan semaunya sendiri.

Juga yang dirasa semakin mahal adalah mahalnya ongkos untuk membawa barang dari pelabuhan Liverpool ke Manchester atau sebaliknya lewat jaringan kereta api kedua kota.

Maka diambillah langkah drastis oleh para industriawan Manchester saat itu. Menjelang akhir abad 19 diputuskanlah pembuatan jaringan kanal yang memungkinkan kapal-kapal besar masuk langsung ke Manchester sehingga tidak perlu harus berhenti di Liverpool. Mempercepat keluar masuk barang ke Manchester, melepas ketergantungan dari Liverpool, dan tentu saja meringkas biaya.

Untuk alasan yang bisa dimengerti, rencana pembangunan kanal itu tentu saja mendapat tentangan keras dari Liverpool. Manchester membutuhkan waktu tiga tahun untuk mendapatkan persetujuan pemerintah pusat gara-gara penentangan itu. Dan ketika undang undang persetujuan akhirnya keluar, babak baru hubungan kedua kota itupun lahir.

Liverpool tidak pernah bisa memaafkan Manchester karena pembangunan kanal yang dianggap telah membuat kehidupan perekonomian mereka yang bersandar kehidupan pelabuhan menjadi turun drastis. Sementara Manchester selalu menyalahkan keserakahan Liverpool yang membuat mereka terpaksa harus membangun kanal dengan biaya yang sangat mahal yang semestinya tidak perlu.

Liverpool dan Manchester bukanlah dua kota tetangga pertama di dunia yang tak akur karena persoalan ekonomi. Juga bukan pula akan menjadi yang terakhir. Hanya saja luka yang tergores karena persoalan kanal itu membutakan mata mereka dari fakta sejarah.

Pertama bahwa perselisihan bukanlah antar dua kota apalagi masyarakatnya, tetapi antara ketamakan operator pelabuhan (elit) melawan ketamakan industriawan (elit). Kalau membaca sejarah, kesejahteraan kaum buruh --pekerja pelabuhan maupun pabrik-- jaman itu sangatlah merana. Karenanya kenaikan pajak dan sewa dermaga maupun harga produk industri, tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan buruh.

Kedua, bahwa benar kanal itu mengurangi volume keramaian pelabuhan Liverpool, tetapi sesungguhnya tidak signifikan. Karena Manchester bukanlah satu-satunya kota yang tergantung dengan pelabuhan Liverpool tetapi hampir semua wilayah di Barat Daya Inggris.

Menurunnya kegiatan pelabuhan Liverpool setidaknya telah terjadi sejak 20 tahun sebelum kanal itu dibangun, karena munculnya kapal uap menggantikan kapal layar. Pelabuhan Liverpool yang berada di kawasan pasang surut sangat tidak akomodatif untuk kapal uap (yang lebih besar) dan pelan-pelan mulai ditinggalkan.

Namun sejarah bukan bukan semata persoalan fakta. Sejarah juga persoalan emosi dan persepsi. Sejarah juga membutuhkan penanda dan simbol untuk sebuah kurun waktu. Jangan heran kalau versi populer sejarah kadang mengabaikan bahkan menolak fakta.

Dalam kasus perselisihan elit Liverpool dan elit Manchester, lebih terasa mudah diterima untuk melihat perselisihan kepentingan kedua kedua kota ketimbang semata perselisihan elit. Lebih terasa meyakinkan untuk berbicara di tingkat makro ketimbang mikro yang terkadang membosankan.

Sementara dalam kasus kemunculan kapal uap dan kanal, walau dimengerti bahwa kapal uaplah dan bukan pembangunan kanal yang membuat pelabuhan Liverpool menurun kejayaannya tetapi secara emosi lebih sreg bagi warga Liverpool untuk menyalahkan pembangunan kanal. Mungkin ini sifat kita manusia saja yang suka menyalahkan kalangan lain bila terjadi hal-hal yang merugikan kita.

Celakanya Manchester malah seperti ikut membenarkan persepsi Liverpool yang seperti itu. Bahkan ketika mereka mengerti kanal yang mereka bangun juga terbukti dalam perjalanan sejarahnya tidaklah sukses-sukses amat. Mungkin ini sifat manusia juga yang sering merasa puas melihat kesengsaraan mereka yang dianggap sebagai pesaing.

Dari sejak itu, muncullah persaingan dua kota di segala bidang kehidupan. Masing-masing hendak menunjukkan yang satu lebih dari yang lain, yang satu lebih hebat dari yang lain. Liverpool dan Manchester yang dalam penilaian saya sebenarnya lebih banyak persamanya ketimbang perbedaanya, lebih senang melihat perbedaan diantara mereka ketimbang persamaan mereka. Dari musik, ekonomi, pendidikan, budaya hingga olahraga.

Persaingan di sepakbola jatuh dalam konteks ini. Terutama sekali bisa sudah menyangkut Manchester United dan Liverpool. Sebenarnya tidak tepat juga kalau menganggap keduanya lalau mewakili Manchester dan Liverpool karena tentu saja masih ada Everton dan Manchester City dan keduanya sama tidak sukanya dengan Liverpool dan Manchester United.

Tetapi terasa lebih enak untuk melakukan generalisasi itu. Ditambah lagi Liverpool dan Manchester United berebut gengsi sebagai dua klub paling sukses di Inggris. Kobaran api seperti disiram bensin. Seperti menggugah sekian kenangan manis keserasian dua kota di masa lalu yang berakhir pahit.

Berbicara tentang Manchester dan Liverpool seperti suami istri yang tak akur tapi saling membutuhkan. Hidup dan bertenaga karena percik energi dari "cinta" dan "benci" yang berkecamuk: cerai enggan, kumpul tak mau. Berbicara tentang Manchester United dan Liverpool, cintanya hilang tinggal bencinya. Jangan sekadar lihat mereka yang berada di lapangan, lihat pula bagaimana reaksi penontonnya. Anda akan mengerti maksud saya.

London, 14 Maret 2014


Sumber: detiksport 

Tidak ada komentar: