31 Maret 2014

Yang Membumi dan Yang Sedang Terbang Tinggi

gettyimage

Melihat Tottenham Hotspur, saya akan selalu ingat sebuah kutipan: "Tottenham adalah cerminan tim paling membumi. Kadang ada di atas, kadang ada di bawah."

Ucapan tersebut keluar dari mulut Jonny Buckland. Dia bukan seorang filsuf sepakbola seperti Johan Cruyff, bukan pula seorang jenius dan seniman sepakbola seperti halnya Cruyff. Buckland hanyalah pemain gitar yang biasa mentas bersama sebuah band bernama Coldplay.

Buckland menjabarkan alasan mengapa dia memilih untuk mendukung Tottenham. Biasanya, seorang pendukung akan kesulitan untuk menjelaskan alasan mengapa dia mendukung atau menyukai klub tersebut. "Ya, memang suka saja.." jadi jawaban yang lazim. Rasa cinta kadang memang sulit dijelaskan.

Hal yang lebih konkret jika seseorang memilih mendukung sebuah klub karena kedekatan kultur ataupun berasal dari tempat yang sama dengan klub tersebut.

Buckland, yang lahir dan besar di Islington --sekitar 8 kilometer dari Tottenham--, merasa punya kedekatan secara kultural dengan Tottenham. Namun, dasar seniman, dia memilih untuk menggambarkan rasa cinta itu seperti sebuah lukisan.

"Buat saya seperti itulah gambaran hidup; kadang di atas, kadang di bawah," katanya.

Ah, seperti itulah Tottenham rupanya...

====

Datanglah ke Anfield suatu waktu, Anda akan menemukan stadion itu punya aroma intim yang begitu menyengat. Stadionnya tidak terlalu besar, apalagi area di sekitarnya. Jarak antara pagar Anfield dengan tembok tribun paling hanya beberapa langkah saja.

Di sekitar Anfield banyak terdapat toko-toko dan rumah penduduk. Inilah yang kemudian membuat Liverpool pikir-pikir panjang kalau ingin memperbesar kapasitas stadion. Mau tidak mau, mereka harus membabat kawasan rumah penduduk.

Kedekatan dengan masyarakat sekitarnya inilah yang membuat Liverpool terasa seperti klub milik orang-orang --atau bahasa lainnya "The People's Club--, sama seperti klaim Everton yang dipajang besar-besar di depan tembok Goodison Park, tidak jauh dari Anfield.

Liverpool dan loyalitas adalah sebuah pelajaran yang bisa dipetik oleh pendukung klub mana pun. Bahkan seorang Johan Cruyff pun mengakui bahwa tidak pernah merasakan atmosfer seintens dan sedramatis Anfield, terutama tribun The Kop-nya.

Tidak peduli klub sedang di atas atau di bawah, para pendukung itu akan tetap bernyanyi memberikan dukungan, dan hal inilah yang kita kenal dalam-dalam sebagai identitas dari Liverpool.

Rasanya sungguh unik melihat penjabaran Buckland akan Tottenham dan loyalitas suporter Liverpool terhadap klubnya. Ada kemiripan saling berpotongan di sana. Seolah-olah, mereka punya keterlapangan yang begitu besar akan sebuah rasa sakit. Berada di atas itu biasa, tapi terjatuh sembari tersenyum itu luar biasa.

Lihatlah Liverpool. Bagaimana dalam lebih dari dua dekade terakhir ini mereka harus menyaksikan rival terberat mereka, Manchester United, menguasai panggung Liga Inggris. Lihat juga Tottenham, yang sudah terbiasa dikangkangi Arsenal berkali-kali.

Kenyarisan adalah sesuatu yang biasa untuk keduanya. Liverpool pernah merasakan tidak enaknya nyaris jadi juara, sementara Tottenham hampir selalu merasakan kenyarisan untuk duduk di atas badan Arsenal.

Tentu, keduanya tidak pasrah atau nrimo begitu saja. Liverpool menjalani tahun-tahun menyesakkan di mana mereka harus mengalami pergantian manajer dan keluar-masuknya pemain. Begitu juga Tottenham. Belakangan, The Lilywhites bahkan berani belanja besar hanya untuk sekadar finis di urutan empat besar.

Setelah bermusim-musim hanya jadi penantang, musim ini Tottenham berani pasang target untuk jadi juara. Hasilnya? Mereka mendapatkan pukulan telak. Sederet hasil buruk membuat Tottenham, mau tidak mau, memecat Andre Villas-Boas. Penggantinya adalah Tim Sherwood, pria yang pernah dilatih legenda hidup Liverpool Kenny Dalglish dan eks kapten Tottenham.

Di mata banyak pemain Tottenham, Sherwood bukanlah orang yang suka basa-basi. Dia berbeda dengan Villas-Boas. Sherwood adalah tipikal seorang trainer yang biasa melatih langsung anak-anak buahnya. Jika Villas-Boas membuat Tottenham menjadi lebih rumit, Sherwood justru menyederhanakannya.

Brendan Rodgers juga tidak berbeda. Dia belakangan dipuji skill kepelatihannya lantaran bisa memoles beberapa pemain, seperti misalnya Jordan Henderson, dari kelihatan biasa-biasa saja menjadi luar biasa. Kebalikannya, Rodgers tidak membuat Liverpool menjadi lebih sederhana. Dia mengubah Liverpool yang sempat bermain tanpa pola menjadi lebih kompleks saat ini.

Perbedaan lainnya, kala Tottenham berani bermimpi untuk jadi juara, Rodgers dan Liverpool memilih untuk menjalani musim lebih sederhana. Mereka hanya menargetkan untuk finis di empat besar pada akhir musim. Tapi, lihat keadaannya sekarang. Liverpool punya peluang jadi juara lebih besar ketimbang Tottenham.

Tapi, keberuntungan selalu datang untuk mereka yang bekerja keras. Hasil luar biasa juga kadang menghampiri mereka yang berani bermimpi. Tottenham sudah berani bermimpi, sementara para pendukung Liverpool belakangan baru mulai berani bermimpi. Mengapa tidak? Bukankah terang-terang kesempatan untuk jadi juara itu terbuka lebar. Bukankah terang-terang mereka saat ini sedang terbang tinggi?

====

Mungkin, semesta juga mendukung mereka yang percaya. Ketika Chelsea menelan kekalahan di kandang Crystal Palace dan Manchester City bermain imbang dengan Arsenal, para pendukung Liverpool punya segala hak untuk tersenyum.

Mungkinkah ini saatnya buat mereka? Bisa jadi, ya. Meskipun senyum semesta entah ditujukan buat siapa.

Hasil imbang yang diraih Arsenal juga membuat Tottenham tersenyum. Mereka boleh berharap rival berat mereka itu terpeleset beberapa kali lagi. Sebab, bukankah itu yang diimpi-impikan mereka selama ini, duduk di atas Arsenal?

Ah, tapi.. Biarlah ditunggu saja senyuman semesta itu sebenarnya buat siapa.

====


*penulis adalah wartawan detikSport. Biasa beredar di dunia maya dengan akun @Rossifinza

Tidak ada komentar: