14 April 2012

Makalah: Hadits Shahih

BAB I
PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang
    Hadits mutawatir memberikan faedah “yaqin bi’l-qath’i” (sepositif-positifnya), bahwa Nabi Muhammad saw benar-benar bersabda, berbuat atau menyatakan ikrar (persetujuannya) di hadapan para sahabat, berdasarkan sumber-sumber yang banyak sekali, yang mustahil mereka sama-sama mengadakan persepakatan untuk berdusta. Oleh karena sumber-sumbernya sudah meyakinkan akan kebenarannya, maka tidak perlu di periksa dan di selidiki secara mendalam identitas para rawi itu. Berlainan dengan hadits ahad, yang memberikan faedah “dhany” (prasangka yang kuat akan kebenarannya), mengharuskan kepada kita untuk mengadakan penyelidikan dan pemeriksaan yang seksama, mengenai identitas (kelakuan dan keaddaan) para rawinya, disamping keharusan mengadakan penyelidikan mengenai segi-segi lain, agar hadits ahad tersebut dapat diterima sebagai hujjah atau ditolalk, bila ternyata terdapat cacat yang menyebabkan penolakan. Dari segi ini, hadits ahad terbagi menjadi tiga bagian, yaitu : hadits shahih, hadits hasan dan hadits dha’if. Pada makalah ini, kami akan membahas tentang hadits shahih.
1.2    Rumusan masalah
    Apa pengertian dari hadits shahih ?
    Apa saja syarat-syarat hadits shahih ?
    klasifikasi hadits shahih ?
    Bagaimana martabat hadits shahih ?
1.3    Tujuan penulisan
    Mengetahui pengertian hadits shahih
    Mengetahui syarat-syarat hadits shahih
    Mengetahui klasifikasi hadits shahih
    Mengetahui martabat hadits shahih

BAB II
PEMBAHASAN

2.1     Ta’rif
Yang dimaksud dengan hadits shahih menurut Muhadditsin, adalah :
ما نقله ععد ل تام الضبط متصل السند غير معلل ولا شا ذ
“ hadits yang di nukil (diriwayatkan) oleh rawi yang adil, sempurna ingatan, sanadnya bersambung-sambung, tidak berilat dan tidak janggal”
Abu Umar Ibnu Shalah berkata:
أما الحديث الصحيح فهو الحديث المسند الذي يتصل إسناده بنقل العدل الضابط عن العدل الضابط إلى منتهاه،
 ولا يكون شاذاً ولا معللاً
“Hadits shahih adalah hadits yang musnad, yaitu bersambung sanadnya; disampaikan oleh orang yang dhabit dan adil kepada orang yang dhabit dan adil pula; tidak terdapat syadz dan ‘ilal”
ثم أخذ يبين فوائده، وما احترز بها عن المرسل والمنقطع والمعضل والشاذ، وما فيه علة قادحة،
 وما في رواية نوع جرح
“Kemudian dapat diambil faidahnya dengan jelas, terjaga dari mursal, munqathi’, mu’dhal, syadz, illah qadihah dan perawi yang terdapat kecacatan ”
وهذا هو الحديث الذي يُحكم له بالصحة، بلا خلاف بين أهل الحديث.
 وقد يختلفون في بعض الأحاديث، لاختلافهم في وجود هذه الأوصاف، أو في اشتراط بعضها، كما في المرسل
“Inilah hadits yang dihukumi sebagai hadits shahih, tanpa ada perbedaan pendapat diantara ahli hadits. Mereka memang sering berbeda pendapat mengenai keshahihan sebuah hadits, namun tidak berbeda pendapat dalam sifat dan syarat hadits shahih. Sebagaimana juga dalam hadits mursal”

2.2    Syarat hadits shahih
Menurut ta’rif muhadditsin, bahwa suatu hadits dapat dinilai shahih apabila telah memenuhi lima syarat :
     Rawinya bersifat adil
     Sempurna ingatannya
     Sanadnya tiada putus
     Hadits itu tidak ber’ilat, dan
     Tiada janggal

Ibnu Ash-shalih berpendapat, bahwa syarat hadits shahih seperti tersebut diatas, telah disepakati oleh para muhadditsin. Hanya saja, kalaupun mereka berselisih tentang keshahihan suatu hadits, bukanlah karena syarat-syarat itu sendiri, melainkan karena adanya perselisihan dalam menetapkan terwujud atau tidaknya sifat-sifat tersebut., atau karena adnya perselisihan dalam mensyaratkan sebagian ayat-ayat tersebut.
Karena dengan diketahuinya bahwa suatu hadits itu tidak ber’ilat, membuktikan bahwa rawinya orang yang sudah faham sekali dan ingat benar tentang apa yang diriwayatkannya. Sebagian ahli hadits ,seperti ; Abi ‘Ali Al-Jubbaiy dan Abu Bakar Ibnu ‘I-Araby, mensyaratkan untuk hadits shahih itu sekurang-kurangnya diriwayatkan oleh dua orang dalam tiap-tiap thabaqah.
1.    Arti adil dalam periwayatannya
Kedilan seorang rawi, menurut Ibnu’s-Syam’any, harus memenuhi 4 syarat :
     Selalu memelihara perbuatan taat dan menjauhi maksiat
     Menjauhi dosa-dosa kecil yang dapat menodai agama dan sopan santun
     Tidak melakukan perkara-perkara mubah, yang dapat menggugurkan iman kepada qadar dan mengakibatkan penyesalan
     Tidak mengikuti pendapat salah satu mazhab yang bertentangan dengan dasar syara
yaitu setiap rawi harus muslim, baligh, berakal, tidak fasik dan tidak buruk tingkah lakunya. Pengarang al-isyard menta’rifkan perkataan adil itu adalah : “berpegang teguh kepada pedoman adab-adab syara”. Orang-orang yang selalu berpedoman kepada adab-adab syara’, baik terdapat perintah-perintah yang harus dilakukan maupun larangan yang harus ditinggalkan, disebut kebenarannya diridhai oleh tuhan. Adapun beadab-adab menurut kebiasaan yang berlaku diantara manusia yang berbeda kondisi dan situasinya, tidak dapat dipakai dalam bidang periwayatan dan persaksian. Kendatipun jika seseorang meninggalkan adat kebiasaan tersebut tercela oleh masyarakat, namun tidak tentu tercela oleh agama.
Ta’rif adalah yang dapat mencakup kedua definidi tersebut dikemukakan oleh Ar-Razi, katanya :
“ Adalah ialah tenaga jiwa, yang selalu mendorong untuk berbuat taqwa, menjauhi dosa-dosa besar, menjauhi kebiasaan-kebiasaan melakukan dosa-dosa kecil dan meninggalkan perbuatan-perbuatan mubah yang dapat menmenodai keperawian (muru’ah), seperti makan dijalan umum, buang air kecil ditempat yang bukan untuknya dan bergurauan yang berlebihan”.
‘Adalah itu merupakan ibarat terkumpulnya beberapa hal, yakni:
     Islam. Karenanya periwayatan dari orang kafir, tidak dapat diterima. Sebab ia tidakk dapat dipercaya. Lebih-lebih kedudukan meriwayat hadits itu sangat tinggi dan mulia.
     Mukallaf. Karenanya periwayatan dari anak yang belum dewasa, menurut pendapat yang lebih shahih, tidak diterima sebab dia belum dia belum terjamin dari kedustaan. Demikian pula hanya periwayatan orang gila.
     Selamat dari sebab-sebab yang dapat mencecatkan kepribadian seseorang.
2.    Sempurna ingatannya (dlabith)
Yang dimaksud dengan kuat ingatannya adalah bahwa ingatannya lebih banyak daripada lupanya, dan kebenarannya lebih banyak daripada kesalahannya. Kalau seseorang mempunyai ingatan yang kuat, sejak dari menerima sampai kepada menyampaikan kepada orang lain dan ingatannya itu sanggup dikeluarkan kapan dan dimana saja dikehendaki, disebut orang yang dlabathu’sh-shadri.
Kemudian, kalau yang disampaikannya itu berdasarkan buku catatannya (teksbook), maka disebut orang yang dlabathu’l-kitab. Para muhadditsin mensyaratkan dalam mengambil suatu hadits, hendaklah diambil dari hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang bersifat adil dan dlabith. Rawi yang memiliki kedua sifat tersbut disebut tsiqah. Orang fasik ahli bid’ah dan orang yang tidak kenal kelakuannya, walaupun ia seorang yang kuat ingatannya, tidak dapat diterima periwayatannya. Demikian sebaliknya. Sebab sifat-sifat seperti fasik, bid’ah, banyak salah, banyak waham, pelupa, sifat-sifat tercela yang dapat mencacatkan ke-tsiqah-an seorang rawi, sehingga karenanya hadits yang mereka riwayatkanadalah dhaif.
Dlabith adalah ibarat terkumpulnya beberapa hal, yakni :
     Tidak pelupa
     Hafal terhadap apa yang didiktekan kepada muridnya, bila ia memberikan hadits dengan hafalan. Dan terjaga kitabnya terjaga dari kelemahan.
     Menguasai apa yang diriwayatkan, memahami maksudnya dan mengetahui makna.
3.    Sanadnya bersambung-sambung
Sanad-nya bersambung (اتصال السند): artinya bahwa setiap rawi (periwayat hadits) mengambil haditsnya secara langsung dari orang di atasnya, dari awal sanad hingga akhir sanad. Yang dimaksud awal sanad adalah rawi sebelum pencatat hadits, sedangkan akhir sanad adalah shahabat yang langsung menerima hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
4.    Tidak ada ‘ilat
Tidak ada ‘illat (عدم العلة): yaitu haditsnya tidak ma’lul (cacat). ‘Illat adalah penyebab samar lagi tersembunyi yang bisa mencemari shahih-nya suatu hadits, meski secara zhahir kelihatan terbebas dari cacat.
5.    Kejanggalan hadits (syad)
Kejanggalan suatu hadits itu, terletak kepada adanya perlawanan suatu hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang maqbul (yang dapat diterima periwayatannya) dan hadits yang diriwayatkan oleh oleh rawi yang lebih tajrih (kuat) daripadanya, disebabkan dengan adanya jumlah kelebihan jumlah sanad atau kelebihan dalam ke-dlabith-an rawinya atau adanya segi-segi tajrih yang lain.
Sebagaimana diterangkan dimuka, bahwa para muhaddits telah sepakat menetapkan kelima syarat tersebut diatas, bagi hadits shahih. Dalam pada itu, para ushuliyun dan fuqaha tidak mensyaratkan hadits shahih dengan “sunyi dari ‘ilat dan sunyi dari kejanggalan”.

2.3    Klasifikasi hadits shahih
Hadits shahih terbagi menjadi dua bagian :
     Shahih li-dzatih
Maksudnya adalah shahih karena memenuhi syarat-syaratnya. Ke-dlabith-an seorang rawi yang kurang sempurna, menjadikan hadits shahih li-dzatih turun nilainya menjadi hadits hasan li-dzatih. Akan tetapi jika kekurang sempurnaan rawi tentang ke-dlabith-annya itu dapat ditutup, missalnya hadits yang hasan tersebut memiliki sanad yang lebih dlabith, naiklah hadits hasan li-dzatih ini menjadi hadits shahih li-ghairih.
Contoh hadits shahih li-dzatih :
Rasulullah SAW bersabda, “Islam itu dibangun di atas lima perkara. Syahadat bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad utusan Allah, menegakkan shalat, menunaikan zakat, puasa bulan Ramadhan dan berhaji.”

     Shahih li-ghairih
Hadits Shahih li-ghairih yaitu hadits yang keadaan perawinya kurang hafidz dan dlabith tetapi mereka masih terkenal orang yang jujur hingga karenya berderajat hasan, lalu didapati padanya jalan lain yang serupa atau lebih kuat, hal-hal yang dapat menutupi kekurangan yang menimpanya itu.
 Contoh hadits shahih li-ghairih :
“Seandainya aku tidak menyusahkan ummatku, pastilah aku perintahkan mereka untuk menggosok gigi tiap akan shalat”. (HR Bukhari Muslim)
Hadits ini bila kita riwayatkan dari Bukhari dan Muslim, menjadi hadits yang shahih dengan sendirinya. Karena keduanya meriwayatkan dari jalan Al-A’raj bin Hurmuz (117 H) dari Abi Hurairah ra. Isnad ini dengan jelas menetapkan keshahihan hadits.
Namun bila kita lihat lewat jalur periwayatan At-Tirmizy, maka hadits ini statusnya menjadi shahih li ghairihi (menjadi shahih karena ada hadits lainnya yang shahih). Berbeda dengan Bukhari dan Muslim, At-Tirmizy meriwayatkan hadits ini lewat jalur Muhammad bin Amir yang kurang kuat ingatannya. Lalu lewat jalur Abu Salamah dari Abu Hurairah ra. Maka segala riwayatnya dianggap hasan saja. Namun karena ada riwayat yang shahih dari jalur lain, maka jadilah hadits ini shahih li ghairihi.
2.4    Martabat hadits shahih
Kekuatan hadits shahih itu, berlebih kurang mengingat berlebih kurangnya sifat dlabith dan keadilan rawinya. Hadits shahih yang paling tinggi derajatnya, ialah hadits yang bersanad ashahhu ‘il-asanid. Kemudian berturut-turut sebagai berikut :
     Hadits yang muttafaq-‘alaihi atau muttafaq-‘ala shihatihi. Yaitu hadits shahih yang telah disepakati oleh kedua imam, bukhari dan muslim, tentang sanadnya. Istilah mutaffaqun-‘alaih bukan berarti telah mendapat permufakatan dari seluruh umat, hingga harus diterima bulat-bulat. Namun demikian, menurut Ibnu’sh-Shalah bahwa hadits yang telah disepakati oleh kedua imam tersebut, harus diterima oleh seluruh umat islam, dissebabkan sebagian besar umat islam bisa menerimanya. Pendapat ini bisa dibenarkan, mengingat kemasyhuran dan kemampuan beliau amat mencakup ilmu hadits, dan beliau termasuk sponsornya. Demikian juga ketelitian dan ketekunan beliau dalam mentapis hadits-hadits shahih melebihi melebihi ulama lain yang terdahulu. Secara aklamasi menerima pentarjihan Ibnu’sh-shalah bahwa semua hadits yang diriwayatkan oleh kedua imam tersebut menurut globalnya adalah ashahhu’sh-shihah.
 predikat ini seringkali juga dikatakan dengan istilah silsilatuz-zahab. Diantara yang mencapai level tertinggi adalah:
o    Az-Zuhri (Ibnu Syihab Al-Quraisi Al-Madani, seorang tabi’i yang jalil) dari Salim bin Abdullah dari ayahnya (Abdullah bin Umar ra).
o    Muhammad bin Sirin dari Abidah bin Amr dari Ali bin Abi T
BAB I
PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang
    Hadits mutawatir memberikan faedah “yaqin bi’l-qath’i” ( sepositif-positifnya ), bahwa Nabi Muhammad saw benar-benar bersabda, berbuat atau menyatakan ikrar (persetujuannya) di hadapan para sahabat, berdasarkan sumber-sumber yang banyak sekali, yang mustahil mereka sama-sama mengadakan persepakatan untuk berdusta. Oleh karena sumber-sumbernya sudah meyakinkan akan kebenarannya, maka tidak perlu di periksa dan di selidiki secara mendalam identitas para rawi itu. Berlainan dengan hadits ahad, yang memberikan faedah “dhany” (prasangka yang kuat akan kebenarannya), mengharuskan kepada kita untuk mengadakan penyelidikan dan pemeriksaan yang seksama, mengenai identitas (kelakuan dan keaddaan) para rawinya, disamping keharusan mengadakan penyelidikan mengenai segi-segi lain, agar hadits ahad tersebut dapat diterima sebagai hujjah atau ditolalk, bila ternyata terdapat cacat yang menyebabkan penolakan. Dari segi ini, hadits ahad terbagi menjadi tiga bagian, yaitu : hadits shahih, hadits hasan dan hadits dha’if. Pada makalah ini, kami akan membahas tentang hadits shahih.

1.2    Rumusan masalah
    Apa pengertian dari hadits shahih ?
    Apa saja syarat-syarat hadits shahih ?
    klasifikasi hadits shahih ?
    Bagaimana martabat hadits shahih ?
1.3    Tujuan penulisan
    Mengetahui pengertian hadits shahih
    Mengetahui syarat-syarat hadits shahih
    Mengetahui klasifikasi hadits shahih
    Mengetahui martabat hadits shahih

BAB II
PEMBAHASAN

2.1     Ta’rif
Yang dimaksud dengan hadits shahih menurut Muhadditsin, adalah :
ما نقله ععد ل تام الضبط متصل السند غير معلل ولا شا ذ
“ hadits yang di nukil (diriwayatkan) oleh rawi yang adil, sempurna ingatan, sanadnya bersambung-sambung, tidak berilat dan tidak janggal”
Abu Umar Ibnu Shalah berkata:
أما الحديث الصحيح فهو الحديث المسند الذي يتصل إسناده بنقل العدل الضابط عن العدل الضابط إلى منتهاه،
 ولا يكون شاذاً ولا معللاً
“Hadits shahih adalah hadits yang musnad, yaitu bersambung sanadnya; disampaikan oleh orang yang dhabit dan adil kepada orang yang dhabit dan adil pula; tidak terdapat syadz dan ‘ilal”
ثم أخذ يبين فوائده، وما احترز بها عن المرسل والمنقطع والمعضل والشاذ، وما فيه علة قادحة،
 وما في رواية نوع جرح
“Kemudian dapat diambil faidahnya dengan jelas, terjaga dari mursal, munqathi’, mu’dhal, syadz, illah qadihah dan perawi yang terdapat kecacatan ”
وهذا هو الحديث الذي يُحكم له بالصحة، بلا خلاف بين أهل الحديث.
 وقد يختلفون في بعض الأحاديث، لاختلافهم في وجود هذه الأوصاف، أو في اشتراط بعضها، كما في المرسل
“Inilah hadits yang dihukumi sebagai hadits shahih, tanpa ada perbedaan pendapat diantara ahli hadits. Mereka memang sering berbeda pendapat mengenai keshahihan sebuah hadits, namun tidak berbeda pendapat dalam sifat dan syarat hadits shahih. Sebagaimana juga dalam hadits mursal”

2.2    Syarat hadits shahih
Menurut ta’rif muhadditsin, bahwa suatu hadits dapat dinilai shahih apabila telah memenuhi lima syarat :
     Rawinya bersifat adil
     Sempurna ingatannya
     Sanadnya tiada putus
     Hadits itu tidak ber’ilat, dan
     Tiada janggal

Ibnu Ash-shalih berpendapat, bahwa syarat hadits shahih seperti tersebut diatas, telah disepakati oleh para muhadditsin. Hanya saja, kalaupun mereka berselisih tentang keshahihan suatu hadits, bukanlah karena syarat-syarat itu sendiri, melainkan karena adanya perselisihan dalam menetapkan terwujud atau tidaknya sifat-sifat tersebut., atau karena adnya perselisihan dalam mensyaratkan sebagian ayat-ayat tersebut.
Karena dengan diketahuinya bahwa suatu hadits itu tidak ber’ilat, membuktikan bahwa rawinya orang yang sudah faham sekali dan ingat benar tentang apa yang diriwayatkannya. Sebagian ahli hadits ,seperti ; Abi ‘Ali Al-Jubbaiy dan Abu Bakar Ibnu ‘I-Araby, mensyaratkan untuk hadits shahih itu sekurang-kurangnya diriwayatkan oleh dua orang dalam tiap-tiap thabaqah.
1.    Arti adil dalam periwayatannya
Kedilan seorang rawi, menurut Ibnu’s-Syam’any, harus memenuhi 4 syarat :
     Selalu memelihara perbuatan taat dan menjauhi maksiat
     Menjauhi dosa-dosa kecil yang dapat menodai agama dan sopan santun
     Tidak melakukan perkara-perkara mubah, yang dapat menggugurkan iman kepada qadar dan mengakibatkan penyesalan
     Tidak mengikuti pendapat salah satu mazhab yang bertentangan dengan dasar syara
yaitu setiap rawi harus muslim, baligh, berakal, tidak fasik dan tidak buruk tingkah lakunya. Pengarang al-isyard menta’rifkan perkataan adil itu adalah : “berpegang teguh kepada pedoman adab-adab syara”. Orang-orang yang selalu berpedoman kepada adab-adab syara’, baik terdapat perintah-perintah yang harus dilakukan maupun larangan yang harus ditinggalkan, disebut kebenarannya diridhai oleh tuhan. Adapun beadab-adab menurut kebiasaan yang berlaku diantara manusia yang berbeda kondisi dan situasinya, tidak dapat dipakai dalam bidang periwayatan dan persaksian. Kendatipun jika seseorang meninggalkan adat kebiasaan tersebut tercela oleh masyarakat, namun tidak tentu tercela oleh agama.
Ta’rif adalah yang dapat mencakup kedua definidi tersebut dikemukakan oleh Ar-Razi, katanya :
“ Adalah ialah tenaga jiwa, yang selalu mendorong untuk berbuat taqwa, menjauhi dosa-dosa besar, menjauhi kebiasaan-kebiasaan melakukan dosa-dosa kecil dan meninggalkan perbuatan-perbuatan mubah yang dapat menmenodai keperawian (muru’ah), seperti makan dijalan umum, buang air kecil ditempat yang bukan untuknya dan bergurauan yang berlebihan”.
‘Adalah itu merupakan ibarat terkumpulnya beberapa hal, yakni:
     Islam. Karenanya periwayatan dari orang kafir, tidak dapat diterima. Sebab ia tidakk dapat dipercaya. Lebih-lebih kedudukan meriwayat hadits itu sangat tinggi dan mulia.
     Mukallaf. Karenanya periwayatan dari anak yang belum dewasa, menurut pendapat yang lebih shahih, tidak diterima sebab dia belum dia belum terjamin dari kedustaan. Demikian pula hanya periwayatan orang gila.
     Selamat dari sebab-sebab yang dapat mencecatkan kepribadian seseorang.
2.    Sempurna ingatannya (dlabith)
Yang dimaksud dengan kuat ingatannya adalah bahwa ingatannya lebih banyak daripada lupanya, dan kebenarannya lebih banyak daripada kesalahannya. Kalau seseorang mempunyai ingatan yang kuat, sejak dari menerima sampai kepada menyampaikan kepada orang lain dan ingatannya itu sanggup dikeluarkan kapan dan dimana saja dikehendaki, disebut orang yang dlabathu’sh-shadri.
Kemudian, kalau yang disampaikannya itu berdasarkan buku catatannya (teksbook), maka disebut orang yang dlabathu’l-kitab. Para muhadditsin mensyaratkan dalam mengambil suatu hadits, hendaklah diambil dari hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang bersifat adil dan dlabith. Rawi yang memiliki kedua sifat tersbut disebut tsiqah. Orang fasik ahli bid’ah dan orang yang tidak kenal kelakuannya, walaupun ia seorang yang kuat ingatannya, tidak dapat diterima periwayatannya. Demikian sebaliknya. Sebab sifat-sifat seperti fasik, bid’ah, banyak salah, banyak waham, pelupa, sifat-sifat tercela yang dapat mencacatkan ke-tsiqah-an seorang rawi, sehingga karenanya hadits yang mereka riwayatkanadalah dhaif.
Dlabith adalah ibarat terkumpulnya beberapa hal, yakni :
     Tidak pelupa
     Hafal terhadap apa yang didiktekan kepada muridnya, bila ia memberikan hadits dengan hafalan. Dan terjaga kitabnya terjaga dari kelemahan.
     Menguasai apa yang diriwayatkan, memahami maksudnya dan mengetahui makna.
3.    Sanadnya bersambung-sambung
Sanad-nya bersambung (اتصال السند): artinya bahwa setiap rawi (periwayat hadits) mengambil haditsnya secara langsung dari orang di atasnya, dari awal sanad hingga akhir sanad. Yang dimaksud awal sanad adalah rawi sebelum pencatat hadits, sedangkan akhir sanad adalah shahabat yang langsung menerima hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
4.    Tidak ada ‘ilat
Tidak ada ‘illat (عدم العلة): yaitu haditsnya tidak ma’lul (cacat). ‘Illat adalah penyebab samar lagi tersembunyi yang bisa mencemari shahih-nya suatu hadits, meski secara zhahir kelihatan terbebas dari cacat.
5.    Kejanggalan hadits (syad)
Kejanggalan suatu hadits itu, terletak kepada adanya perlawanan suatu hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang maqbul (yang dapat diterima periwayatannya) dan hadits yang diriwayatkan oleh oleh rawi yang lebih tajrih (kuat) daripadanya, disebabkan dengan adanya jumlah kelebihan jumlah sanad atau kelebihan dalam ke-dlabith-an rawinya atau adanya segi-segi tajrih yang lain.
Sebagaimana diterangkan dimuka, bahwa para muhaddits telah sepakat menetapkan kelima syarat tersebut diatas, bagi hadits shahih. Dalam pada itu, para ushuliyun dan fuqaha tidak mensyaratkan hadits shahih dengan “sunyi dari ‘ilat dan sunyi dari kejanggalan”.

2.3    Klasifikasi hadits shahih
Hadits shahih terbagi menjadi dua bagian :
     Shahih li-dzatih
Maksudnya adalah shahih karena memenuhi syarat-syaratnya. Ke-dlabith-an seorang rawi yang kurang sempurna, menjadikan hadits shahih li-dzatih turun nilainya menjadi hadits hasan li-dzatih. Akan tetapi jika kekurang sempurnaan rawi tentang ke-dlabith-annya itu dapat ditutup, missalnya hadits yang hasan tersebut memiliki sanad yang lebih dlabith, naiklah hadits hasan li-dzatih ini menjadi hadits shahih li-ghairih.
Contoh hadits shahih li-dzatih :
Rasulullah SAW bersabda, “Islam itu dibangun di atas lima perkara. Syahadat bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad utusan Allah, menegakkan shalat, menunaikan zakat, puasa bulan Ramadhan dan berhaji.”

     Shahih li-ghairih
Hadits Shahih li-ghairih yaitu hadits yang keadaan perawinya kurang hafidz dan dlabith tetapi mereka masih terkenal orang yang jujur hingga karenya berderajat hasan, lalu didapati padanya jalan lain yang serupa atau lebih kuat, hal-hal yang dapat menutupi kekurangan yang menimpanya itu.
 Contoh hadits shahih li-ghairih :
“Seandainya aku tidak menyusahkan ummatku, pastilah aku perintahkan mereka untuk menggosok gigi tiap akan shalat”. (HR Bukhari Muslim)
Hadits ini bila kita riwayatkan dari Bukhari dan Muslim, menjadi hadits yang shahih dengan sendirinya. Karena keduanya meriwayatkan dari jalan Al-A’raj bin Hurmuz (117 H) dari Abi Hurairah ra. Isnad ini dengan jelas menetapkan keshahihan hadits.
Namun bila kita lihat lewat jalur periwayatan At-Tirmizy, maka hadits ini statusnya menjadi shahih li ghairihi (menjadi shahih karena ada hadits lainnya yang shahih). Berbeda dengan Bukhari dan Muslim, At-Tirmizy meriwayatkan hadits ini lewat jalur Muhammad bin Amir yang kurang kuat ingatannya. Lalu lewat jalur Abu Salamah dari Abu Hurairah ra. Maka segala riwayatnya dianggap hasan saja. Namun karena ada riwayat yang shahih dari jalur lain, maka jadilah hadits ini shahih li ghairihi.
2.4    Martabat hadits shahih
Kekuatan hadits shahih itu, berlebih kurang mengingat berlebih kurangnya sifat dlabith dan keadilan rawinya. Hadits shahih yang paling tinggi derajatnya, ialah hadits yang bersanad ashahhu ‘il-asanid. Kemudian berturut-turut sebagai berikut :
     Hadits yang muttafaq-‘alaihi atau muttafaq-‘ala shihatihi. Yaitu hadits shahih yang telah disepakati oleh kedua imam, bukhari dan muslim, tentang sanadnya. Istilah mutaffaqun-‘alaih bukan berarti telah mendapat permufakatan dari seluruh umat, hingga harus diterima bulat-bulat. Namun demikian, menurut Ibnu’sh-Shalah bahwa hadits yang telah disepakati oleh kedua imam tersebut, harus diterima oleh seluruh umat islam, dissebabkan sebagian besar umat islam bisa menerimanya. Pendapat ini bisa dibenarkan, mengingat kemasyhuran dan kemampuan beliau amat mencakup ilmu hadits, dan beliau termasuk sponsornya. Demikian juga ketelitian dan ketekunan beliau dalam mentapis hadits-hadits shahih melebihi melebihi ulama lain yang terdahulu. Secara aklamasi menerima pentarjihan Ibnu’sh-shalah bahwa semua hadits yang diriwayatkan oleh kedua imam tersebut menurut globalnya adalah ashahhu’sh-shihah.
 predikat ini seringkali juga dikatakan dengan istilah silsilatuz-zahab. Diantara yang mencapai level tertinggi adalah:
o    Az-Zuhri (Ibnu Syihab Al-Quraisi Al-Madani, seorang tabi’i yang jalil) dari Salim bin Abdullah dari ayahnya (Abdullah bin Umar ra).
o    Muhammad bin Sirin dari Abidah bin Amr dari Ali bin Abi Thalib ra.
o    Ibrahim an-Nakha’i dari ‘Alqamah dari Ibnu Mas’ud ra.
     Hadits yang hanya diriwayatkan oleh bukhari saja. Para muhadditsin menamainya dengan infarada bihi’l-Bukhary.
     Hadits yang hanya diriwayatkan oleh imam muslim saja. . Para muhadditsin menamainya dengan infarada bihi muslim.
     Hadits shahih yang diriwayatkan menurut syarat-syarat bukhari dan muslim yang disebut shahihun ‘ala syartha’I’l-bukhari wa muslim, sedang kedua imam tersebut tidak mentakhrijkannya.
Yang dimaksud dengan syarat-syarat bukhari dan muslim ialah ahwa rawi-rawi hadits yang dikemukakan itu, terdapat didalam kedua kitab shahih bukhary dan muslim.
     Hadits shhih yang menurut syarat bukhari sedang beliau tidak mentakhrijkannya, disebut shahihun ‘ala syartha’I’l-bukhari.
     Hadits shahih yang menurut syarat muslim sedang beliau tidak mentakhrijkannya, disebut shahihun ‘ala syarth muslim.
     Hadits  yang tidak menurut salah satu syarat dari Imam Bukhari dan Muslim. Yaitu hadits yang masih diperselisihkan tetapi ditakhrij dan dishahihkan oleh imam-imam yang kenamaan. Misalnya hadits-hadits shahih yang terdapat dalam shahih Ibnu Khuzaimah, shahih Ibnu Hibban dan shahih Al-Hakam.
Faedah pembagian derajat-derajat hadits tersebut diatas, ialah untuk mentakhrijkan bila ternyata terdapat ta’arudl (perlawanan) satu sama lain.

BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan
Yang dimaksud dengan hadits shahih menurut Muhadditsin, adalah :
ما نقله ععد ل تام الضبط متصل السند غير معلل ولا شا ذ
“ hadits yang di nukil (diriwayatkan) oleh rawi yang adil, sempurna ingatan, sanadnya bersambung-sambung, tidak berilat dan tidak janggal”
Syarat-syarat hadits shahih :
     Rawinya bersifat adil
     Sempurna ingatannya
     Sanadnya tiada putus
     Hadits itu tidak ber’ilat, dan
     Tiada janggal
Klasifikasi hadits shahih :
     Shahih li-dzatihi
     Shahih li-ghairihi
Martabat hadits shahih :
     Hadits yang muttafaq-‘alaihi atau muttafaq-‘ala shihatihi. Yaitu hadits shahih yang telah disepakati oleh kedua imam, bukhari dan muslim, tentang sanadnya
     Hadits yang hanya diriwayatkan oleh bukhari saja. Para muhadditsin menamainya dengan infarada bihi’l-Bukhary.
     Hadits yang hanya diriwayatkan oleh imam muslim saja. . Para muhadditsin menamainya dengan infarada bihi muslim.
     Hadits shahih yang diriwayatkan menurut syarat-syarat bukhari dan muslim yang disebut shahihun ‘ala syartha’I’l-bukhari wa muslim, sedang kedua imam tersebut tidak mentakhrijkannya.
     Hadits shhih yang menurut syarat bukhari sedang beliau tidak mentakhrijkannya, disebut shahihun ‘ala syartha’I’l-bukhari.
     Hadits shahih yang menurut syarat muslim sedang beliau tidak mentakhrijkannya, disebut shahihun ‘ala syarth muslim.
     Hadits  yang tidak menurut salah satu syarat dari Imam Bukhari dan Muslim.
3.2 Saran
Semoga penulisan makalah ini bermanfaat khususnya bagi penulis, umumnya bagi kita semua. Dan semoga menjadi motivasi untuk mempelajari dan mengkaji lebih lanjut.
Akhir kata, penulis ucapkan terimakasih dan permohonan maaf yang sebesar-besarnya apabila terdapat kesalahan dalam penyusunan makalah ini.


DAFTAR PUSTAKA
     http://yuari.wordpress.com/2008/09/01/macam-hadits-shahih-syarat-dan-klasifikasinya/
     Fatchur Rahman, 1991. Ikhtshar mushthalahu’l hadits. Bandung :PT.Alma’arif- percetakan offset

halib ra.
o    Ibrahim an-Nakha’i dari ‘Alqamah dari Ibnu Mas’ud ra.
     Hadits yang hanya diriwayatkan oleh bukhari saja. Para muhadditsin menamainya dengan infarada bihi’l-Bukhary.
     Hadits yang hanya diriwayatkan oleh imam muslim saja. . Para muhadditsin menamainya dengan infarada bihi muslim.
     Hadits shahih yang diriwayatkan menurut syarat-syarat bukhari dan muslim yang disebut shahihun ‘ala syartha’I’l-bukhari wa muslim, sedang kedua imam tersebut tidak mentakhrijkannya.
Yang dimaksud dengan syarat-syarat bukhari dan muslim ialah ahwa rawi-rawi hadits yang dikemukakan itu, terdapat didalam kedua kitab shahih bukhary dan muslim.
     Hadits shhih yang menurut syarat bukhari sedang beliau tidak mentakhrijkannya, disebut shahihun ‘ala syartha’I’l-bukhari.
     Hadits shahih yang menurut syarat muslim sedang beliau tidak mentakhrijkannya, disebut shahihun ‘ala syarth muslim.
     Hadits  yang tidak menurut salah satu syarat dari Imam Bukhari dan Muslim. Yaitu hadits yang masih diperselisihkan tetapi ditakhrij dan dishahihkan oleh imam-imam yang kenamaan. Misalnya hadits-hadits shahih yang terdapat dalam shahih Ibnu Khuzaimah, shahih Ibnu Hibban dan shahih Al-Hakam.
Faedah pembagian derajat-derajat hadits tersebut diatas, ialah untuk mentakhrijkan bila ternyata terdapat ta’arudl (perlawanan) satu sama lain.

BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan
Yang dimaksud dengan hadits shahih menurut Muhadditsin, adalah :
ما نقله ععد ل تام الضبط متصل السند غير معلل ولا شا ذ
“ hadits yang di nukil (diriwayatkan) oleh rawi yang adil, sempurna ingatan, sanadnya bersambung-sambung, tidak berilat dan tidak janggal”
Syarat-syarat hadits shahih :
     Rawinya bersifat adil
     Sempurna ingatannya
     Sanadnya tiada putus
     Hadits itu tidak ber’ilat, dan
     Tiada janggal
Klasifikasi hadits shahih :
     Shahih li-dzatihi
     Shahih li-ghairihi
Martabat hadits shahih :
     Hadits yang muttafaq-‘alaihi atau muttafaq-‘ala shihatihi. Yaitu hadits shahih yang telah disepakati oleh kedua imam, bukhari dan muslim, tentang sanadnya
     Hadits yang hanya diriwayatkan oleh bukhari saja. Para muhadditsin menamainya dengan infarada bihi’l-Bukhary.
     Hadits yang hanya diriwayatkan oleh imam muslim saja. . Para muhadditsin menamainya dengan infarada bihi muslim.
     Hadits shahih yang diriwayatkan menurut syarat-syarat bukhari dan muslim yang disebut shahihun ‘ala syartha’I’l-bukhari wa muslim, sedang kedua imam tersebut tidak mentakhrijkannya.
     Hadits shhih yang menurut syarat bukhari sedang beliau tidak mentakhrijkannya, disebut shahihun ‘ala syartha’I’l-bukhari.
     Hadits shahih yang menurut syarat muslim sedang beliau tidak mentakhrijkannya, disebut shahihun ‘ala syarth muslim.
     Hadits  yang tidak menurut salah satu syarat dari Imam Bukhari dan Muslim.
3.2 Saran
Semoga penulisan makalah ini bermanfaat khususnya bagi penulis, umumnya bagi kita semua. Dan semoga menjadi motivasi untuk mempelajari dan mengkaji lebih lanjut.
Akhir kata, penulis ucapkan terimakasih dan permohonan maaf yang sebesar-besarnya apabila terdapat kesalahan dalam penyusunan makalah ini.


DAFTAR PUSTAKA
     http://yuari.wordpress.com/2008/09/01/macam-hadits-shahih-syarat-dan-klasifikasinya/
     Fatchur Rahman, 1991. Ikhtshar mushthalahu’l hadits. Bandung :PT.Alma’arif- percetakan offset

Tidak ada komentar: