4 Januari 2012

Takziyah

     Takziyah adalah perintah untuk sabar dan menanggung sabar karena ada janji pahala dan perintah untuk mengingatkan manusia dari dosa karena terlalu bersedih dan mendo’akan mayit dengan memohonkan ampun, dan bagi orang yang hidup adalah menolong yang terkena musibah, maka do’a yang dibacakan dalam takziyah adalah:
“Semoga Allah mengagungkan ganjaranmu dan membaguskan kesedihanmu dan mengampuni mayitmu dan menolong musibahmu atau menggantikan bagimu(kebaikan) atau seumpama dengan itu”
Semua dan do’a yang ciucapkan itu adalah takziyah bagi sesama muslim, adapun takziyah seorang muslim kepada orang kafir tidak perlu diucapkan dalam takziyah, “semoga allah mengampuni mayitmu” karena sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni perbuatan kufur.
Takziyah disunatkan sebelum lewat tiga hari dari kematian dan dimakruhkan setelah lewat tiga hari, dan disunatkan untuk memenuhi takziyah semua keluarga mayit dari mulai anak-anak hingga orang dewasa, baik laki-laki maupun perempuan kecuali pemudi dan amrad. Maka tidak disunatkan takziyah pada keduanya (pemudi dan amrad) kecuali mahram keduanya dan suaminya, dan makruh bagi orang lain (yang bukan mahram) memulai takziyah kepada keduanya (pemudi dan amrad) bahkan bisa jadi lebih dekat ke haram.
Dimakruhkan bagi keluarga mayit duduk untuk takziyah dan membuat makanan yang didalamnya berkumpul manusia seperti yang diriwayatkan Ahmad dari Jarir Bin Abdullah Al Bahali, bahwa dia berkata “Terbukti kami membiasakan berkumpul bagi keluarga mayit dan mereka (keluarga mayit) membuat makanan setelah dikubur itu termasuk perbuatan meratap, akan tetapi disunatkan bagi tetangga keluarga mayit walaupun tetangga jauh dan mengenal mereka meskipun terbukti bukan tetangga dan kerabat dekat kecuali yang jauh dan tetangga diluar daerah untuk membuat makanan bagi keluarga mayit yang mencukupi sehari semalam dan memberi kepada mereka makan dan diharamkan membuat makanan untuk meratap karena sesungguhnya hal itu itu membantu dalam maksiat.
Dan sungguh telah aku perhatikan mengeni pertanyaan yang ditanyakan (diangkat) kepada para Mufti Mekkah (مفاتي مكة المشرفة) tentang apa yang dilakukan oleh Ahlu (keluarga) mayyit perihal makanan (membuat makanan) dan (juga aku perhatikan) jawaban mereka atas perkara tersebut.
Gambaran (penjelasan mengenai keduanya; pertanyaan dan jawaban tersebut} yaitu mengenai (bagaimana) pendapat para Mufti yang mulya (المفاتي الكرام) di negeri “al-Haram”, (semoga (Allah) mengabadikan manfaat mareka untuk seluruh manusia sepanjang masa), tentang kebiasaan (‘urf) yang khusus di suatu negeri jika ada yang meninggal, kemudian para pentakziyah hadir dari yang mereka kenal dan tetangganya, lalu terjadi kebiasaan bahwa mereka (pentakziyah) itu menunggu (disajikan) makanan dan karena rasa sangat malu telah meliputi ahlu (keluarga mayyit) maka mereka membebani diri dengan beban yang sempurna (التكلف التام), dan (kemudian keluarga mayyit) menyediakan makanan yang banyak (untuk pentakziyah) dan menghadirkannya kepada mereka dengan rasa kasihan. Maka apakah bila seorang ketua penegak hukum yang dengan kelembutannya terhadap rakyat dan rasa kasihannya kepada ahlu mayyit dengan melarang (mencegah) permasalahan tersebut secara keseluruhan agar (manusia) kembali berpegang kepada As-Sunnah yang lurus, yang berasal dari manusia yang Baik (خير البرية) dan (kembali) kepada jalan Baginda Nabi Saw. saat ia bersabda, “Sediakanlah makanan untuk keluarga Jakfar”, apakah pemimpin itu diberi pahala atas yang disebutkan (pelarangan itu) ? mereka memberi pemahaman dengan jawaban yang telah dinukil dan panjang lebar.
Semoga rahmat dan keselamatan selalu terlimpah curahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad saw, keluarganya, sahabat-sahabatnya dan orang-orang yang selalu menjalankan syari’at mereka (Nabi ,keluarganya, sahabat-sahabtnya). Ya Allah aku memohon kepadamu petunjuk kepada kebenaran, Ya, apa yang dilakukan oleh manusia dari berkumpul ditempat ahlu (keluarga) mayyit dan menghidangkan makanan, itu bagian dari bid’ah munkarah, yang diberi pahala bagi yang mencegahnya dan menyuruhnya. Allah akan mengukuhkan dengannya kaidah-kaidah agama dan mendorong Islam serta umat Islam, Berkata Al-‘Alamah Syaik Ahmad Ibnu Hajar di dalam kitab Tuhfatul Minhaj Syarah Kitab Minhaj dan disunatkan bagi tetangga keluarga mayit menghidangkan makanan yang mencukupi mereka (keluarga mayit) sehari semalam karena ada hadist shahih “Buatlah oleh kalian makanan bagi keluarga Ja’far ketika datang pada meraka kesibukan dan memberi makan kepada mereka adalah sunnah karena sesungguhnya mereka meninggalkan makan karena malu dan terlampau sedih dan haram mempersiapkan makan untuk orang yang meratap karena sesunguhnya hal itu termasuk membantu maksiat.” Dan apa yang dibiasakan manusia tentang hidangan dari keluarga si mayit yang disediakan untuk para undangan, adalah bid’ah yang tidak disukai agama, sebagaimana datangnya para undangan ke acara itu, karena ada hadits shahih yang diriwayatkan dari Jarir Radhiallahu ‘Anhu: “Kami menganggap bahwa berkumpul di rumah keluarga si mayit, mereka menghidangkan makanan setelah penguburannya, adalah termasuk nihayah (meratap) –yakni terlarang. Dan bentuk membiasakan nihayah(meratap) adalah perkara yang didalamnya ada kepentingan untuk bersedih yang berlebihan dan termasuk perkara yang makruh berkumpul pada keluarga mayit dengan tujuan bersedih yang berlebihan bahkan seyogyanya mereka berpaling dari tujuan-tujuan mereka tersebut maka seharusnya mereka memberi pemahaman terhadap hal tersebut.”
Dalam kitab Hasiyatul Jamal ‘alaa Syarh al-Minhaj (karangan Al-‘Allamah asy-Syekh Sulaiman al-Jamal) ; “Dan sebagian dari bid’ah Munkarah dan Makruh mengerjakannya yaitu apa yang dilakukan orang daripada berduka cita , berkumpul dan 40 harian, bahkan semua itu haram jika (dibiayai) dari harta yang terlarang (haram), atau dari (harta) mayyit yang memiliki (tanggungan) hutang atau (dari harta) yang bisa menimbulkan bahaya atasnya, atau yang lain sebagainya”. Dan sungguh Rasulullah bersabda kepada Bilal bin Harits (رضي الله عنه) : “Wahai Bilal, barangsiapa yang menghidupkan sunnah dari sunnahku setelah dimatikan sesudahku, maka baginya pahala seperti (pahala) orang yang mengamalkannya, tidak dikurangi sedikitpun dari pahala mereka (orang yang mengamalkan) dan barangsiapa yang mengada-adakan (membuat) bid’ah dhalalah dimana Allah dan Rasul-Nya tidak akan ridha, maka baginya (dosa) sebagaimana orang yang mengamalkannya dan tidak dikurangi sedikitpun dari dosa mereka”.
Selanjutnya Nabi Saw. bersabda ; “Sesungguhnya kebaikan (الخير) itu memiliki khazanah-khazanah, khazanah-khazanah itu ada kunci-kuncinya (pembukanya), Maka berbahagialah bagi hamba yang telah Allah jadikan pada dirinya pembuka untuk kebaikan dan pengunci keburukan”.
Maka, celakalah bagi hamba yang telah Allah jadikan pada dirinya pembuka keburukan dan pengunci kebaikan. Tidak ada keraguan sama sekali bahwa mencegah manusia dari bid’ah Munkarah ini adalah termasuk menghidupkan as-Sunnah, mematikan bid’ah, membuka pintu-pintu kebaikan, dan mengunci pintu-pintu keburukan. Maka jika manusia membebani (dirinya) dengan beban yang banyak, itu hanya akan mengantarkan mereka kepada perkara yang diharamkan dan Allah Swt. Maha Mengetahui. Telah menulis keterangan tersebut Syaikh Murtaji dari gurunya Syaikh Gufran Ahamad Bin Zaini Dahlan mufti Madzhab Syafi’i di Makkah ghafarallahu lahu, kedua orang tuanya, guru-gurunya dan orang-orang muslim.

Tidak ada komentar: