Menjalani hari-hari terakhirnya setelah diracun, Muhammad al-fatih
merasaan kematian mungkin akan segera datang. Ia telah lakukan apa yang ia bisa
rasa bisa. Ia telah jalani apa yang ia yakini mesti. Ia telah berikan apa yang
ia anggap punya. Ia tunaikan apa yang ia tahu itu menjadi tanggungjawabnya.
Maka bila takdir telah membuatnya berkuasa di usia muda dan harus membuatnya
mati dalam usia yang belum terlalu tua, hari itu ia merasa layak bicara. Bila
ia harus mencari alasan, mungkin hanya satu : ia telah bekerja.
Tiga puluh satu tahun setelah dilaluinya dalam pegabdian, kerja,
karya, yang luar biasa. Bila kemudian di hari itu ia hendak bicara, itu sudah
semestinya. Ia hendak bicara atas apa yang telah dilakukannya, sebagai sebuah
wasiat untuk anaknya yang akan meneruskan kepemimpinannya. Maka kepada anaknya
ia sampaikan wasiat:
“Aku sudah diambang kematian. Tapi aku berharap aku tidak kawatir,
karena aku meninggalkan seseorang sepertimu. Jadilah seorang pemimpin yang
adil, shalih dan penyayang. Rentangkan pengayomamu untuk rakyatmu, tanpa
kecuali, bekerjalah untuk menyebarkan islam. Karena sesungguhnya itu merupakan
kewajiban para penguasa di muka bumi. Dahuluklan urusan agama atas apapun
urusan lainnya. Dan janganlah kamu jemu dan bosan untuk terus menjalaninya. Janganlah
engkau angkat jadi pegawaimu mereka yang tidak peduli dengan agama, yang tidak
menjauhi dosa besar, dan yang tenggelam dalam dosa. Jauhilah olehmu bid’ah yang
merusak. Jagalah setap jengkal tanah islam dengan jihad. Lindungi harta di
baitul maal jangan sampai binasa. Janganlah sekali-kali tanganmu mengambil
harta rakyatmu kecuali dengan cara yang benar sesuai ketentuan islam. Pastikan
mereka yang lemah mendapatkan jaminan kekuatan darimu. Berikanlah
penghormatanmu untuk siapa yang memang berhak.”
“Ketahuilah, sesungguhnya para ulama adalah poros kekuatan di
tengah tubuh negara, maka muliakanlah mereka. Semangati mereka. Bila ada dari
mereka yang tinggal di negeri lain, hadirkanlah dan hormatilah mereka.
Cukupilah keperluan mereka.”
“Berhati-hatilah, waspadalah, jangan sampai engkau tertipu oleh
harta maupun tentara. Jangan sampai engkau jauhkan ahli syari’at dari pintumu.
Jangan sampai engkau cenderung kepada pekerjaan yang bertentangan dengan ajaran
islam. Karena sesungguhnya agama itulah tujuan kta, hidayah itulah jalan kita.
Dan oleh sebab itu kita dimenangkan.”
“Ambilah dariku pelajaran ini. Aku hadir ke negeri ini bagaikan
seekor semut kecil. Lalu allah memberi nikmat yang besar ini. Maka tetaplah di
jalan yang telah aku lalui. Bekerjalah untuk memuliakan agama islam ini,
menghormati umatnya. Janganlah engkau hamburkan uang negara, berfoya-foya, dan
menggunakannya melampaui batas yang semestinya. Sungguh itu semua adalah
sebab-sebab terbesar datangnya kehancuran.”
Itulah wasiat al-Fatih. Ia
telah mencatatkan tinta emas dalam sejarah dan mengukir prestasi yang insya
Allah layak dibanggakan dihadapan Allah SWT dengan membuktikan pada dunia
melalui usaha yang nyata. Kini tinggal kita wahai Saudaraku, yang akan
merealisasikan hadits Rasulullah SAW “….tsumma takuunu khilafatan ‘ala minhajin
nubuwwah” dengan fikrah Islam dan thoriqah Rasulullah sebagai senjata kita,
akan segera kita taklukkan atas izin Allah, ideologi Kapitalis yang saat ini
sebagai benteng kuat di benak seluruh penguasa kaum muslim, dan kita dirikan
diatas puing-puingnya Negara KHILAFAH ISLAMIYAH!!! ALLAHU AKBAR!!!Sumber: dakwah kampus
Tidak ada komentar:
Posting Komentar