4 Agustus 2012

Ramadhan di Negeri Hitler… Sebuah Dialog yang Berkesan



Seperti biasa, hari ini (24/07) aku bekerja di laboratorium pada sebuah Universitas ternama di Jerman untuk menyelesaikan riset PhD ku. Hal yang sedikit berbeda adalah cuaca hari ini cukup panas dan terik di musim summer dan aku dalam keadaan berpuasa di bulan suci Ramadhan. Tanpa sengaja aku mencurigai seorang teman asal Jerman yang sehari-hari bekerja bersama di laboratorium itu seperti mengamati gerak-gerikku sejak tadi. Seolah melihat orang asing, dia mengamatiku yang sedang bekerja seperti layaknya anggota inteligen atau anggota telik sandi yang sedang bertugas memata-mataiku. Karena sedang asyik dengan pekerjaanku, hal itu aku biarkan saja. Akhirnya si bule Jerman ini pun datang menghampiriku dan terjadilah dialog yang berkesan itu;
Jerman: Ichsan, saya dengar kamu sedang Ramadhan ya?
Aku: Iya, sahutku sambil terus bekerja
Jerman: Dan kamu berpuasa hari ini?
Aku: Iya tentu saja, jawabku
Jerman: Tidak boleh makan dan tidak boleh minum di musim panas seperti ini?
Aku: Betul, dan kami melakukannya sejak pukul 03.00 malam hingga 21.30 selama sebulan penuh.
Jerman: Oh… tidak, jadi kamu tidak makan dan minum selama 18 jam? Tidak makan oke lah tapi kalau tidak minum selama itu tidaklah mungkin, dalam cuaca panas seperti ini tanpa minum 18 jam?? Ayolah Ichsan, itu tidak masuk akal!
Aku:  Iya aku setuju, bagi kamu tentu tidak masuk akal karena kamu tidak beriman kepada Allah Tuhan kami, kamu tidak meyakininya. Saya yakin kalau kamu yang melakukannya hari ini, dalam cuaca panas seperti ini, mungkin kamu sudah pingsan, hehe. Tapi bagi kami tidak, kami meyakininya. Lebih jauh lagi kami mengimaninya dengan sangat kuat sebagai satu perintah dari Tuhan kami sehingga kami tidak merasa berat untuk melaksanakannya.
Kamu percaya tidak? kami malah merasa senang ketika Ramadhan tiba, bahkan sebagian kami menyambutnya dengan perayaan kecil di rumah masing-masing bersama keluarga mereka.
Jerman: Gembira karena akan lapar dan haus? 18 jam?? Itu tidak masuk akal Ichsan.
Aku: Iya, tidak masuk akal bagi kamu. Tapi bagi kami puasa di bulan Ramadhan itu adalah kebutuhan. Kami merindukan kehadirannya setiap tahun.
Jerman: Kebutuhan?? Kamu jangan bercanda, kebutuhan manusia itu makan dan minum, bukan lapar dan haus, itu tidak terbantahkan.
Aku: Justru di situlah letak kesempurnaan agama kami, Islam tidak hanya mengajarkan pemenuhan kebutuhan fisik seperti makan dan minum saja tapi juga pemenuhan kebutuhan jiwa, kebutuhan spiritual dan semua sepakat bahwa pemenuhan kebutuhan jiwa itu sangatlah penting. Ini yang tidak terbantahkan, bukan begitu??
Jerman: Iya kamu benar, tapi tidak menyiksa diri di musim panas yang siangnya sangat lama seperti ini.
Aku: Allah Tuhan kami tidak hanya memerintahkan puasa tapi juga memerintahkan kami makan dan minum yang cukup. Kamu lihat, dalam setahun ada 12 bulan dan kami hanya diperintahkan berpuasa satu bulan saja sementara yang 11 bulan lagi kami boleh makan dan minum. Kami tidak diperintahkan puasa sepanjang tahun, iya kan? Atau 6 bulan puasa dan 6 bulan tidak puasa. Tidak, hanya satu bulan saja dan itu hanya di siang hari saja. Jadi kamu lihat betapa sayangnya Tuhan kami kepada kami dan lagipula Ramadhan itu adalah sebuah hadiah untuk kami sebagai wujud cinta antara kami dan Tuhan kami.
Jerman: Aku tidak mengerti Ichsan
Aku: Tentu saja, itu karena kamu tidak beriman kepada Tuhan kami, kamu tahu bahwa aku bisa saja diam-diam makan atau minum kapan saja tanpa ada orang yang melihat? Apalagi di Jerman seperti ini di mana orang semua makan dan minum leluasa di depanku saat siang hari. Tapi aku tidak akan pernah melakukannya, kamu tahu kenapa? Karena keimanan dan keyakinanku pada Tuhanku.
Jerman: Bagaimana dengan anak-anak? Apa anak-anakmu juga berpuasa?
Aku: Anak-anak tentu mendapatkan keringanan, anakku yang pertama berumur 7 tahun, dia sudah kami latih untuk berpuasa. Dia tidak kami paksa untuk tidak makan dan minum tapi kami latih dan beri pemahaman bahwa puasa itu adalah perintah dari Tuhan kami dan puasa itu baik dan sehat untuknya. Kami punya waktu untuk melatih dan mengajari mereka untuk berpuasa mulai umur 7 hingga 10 tahun. Dan itu adalah waktu yang cukup bila digunakan dengan baik oleh kedua orang tuannya. Nanti ketika sudah berumur 10 tahun mereka sendiri yang akan meminta untuk berpuasa, shalat ataupun ibadah yang lain. Jadi tidak perlu disuruh lagi.
Jerman: Begitu cara kalian mendidik mereka, apakah itu berhasil?
Aku: Terus terang dalam hal ini tidak semua orang tua berhasil, tapi kami selalu berusaha kearah sana.
Aku: Sebagai contoh, hari ini dalam cuaca yang panas ini aku berpuasa sejak jam 3 malam tadi,  tapi apakah kamu melihat aku seperti orang yang kehausan atau lapar??
Jerman: Itu dia, dari tadi aku mengamati kamu bekerja, tapi aku heran kamu tampak seperti biasa, tidak tampak kehausan, tidak kelihatan lemas atau lesu sedikit pun, makanya tadi aku bertanya apakah kamu berpuasa.
Aku: Iya, itulah arti penjelasanku tadi, saat hari pertama dan kedua Ramadhan memang agak sedikit terasa karena kalau di Indonesia kami hanya berpuasa 13 jam jadi butuh penyesuaian tapi kemudian sudah terbiasa. Inilah yang aku sebut tadi dengan keimanan. Ini sudah jam 4 sore tapi aku tidak merasa haus atau lapar sedikit pun karena setiap malam sebelum berpuasa kami berniat untuk berpuasa karena Allah Tuhan kami, jadi itulah yang membuat kami kuat.
Dan dia pun berlalu melanjutkan kerjanya, entah dia mengerti atau tidak penjelasanku tapi yang jelas aku sudah menyampaikan apa yang aku pahami tentang hal yang ditanyakan itu. Siapa tahu suatu hari nanti Allah SWT memberinya hidayah lalu dia beriman kepada Allah, maka tentu dia akan dengan mudah memahami dan mengerti penjelasanku yang kuberikan tadi.
Wallahu’alam


Sumber: http://www.dakwatuna.com/2012/08/22068/ramadhan-di-negeri-hitler-sebuah-dialog-yang-berkesan/#ixzz22WyphaIe

Tidak ada komentar: