29 Desember 2009

Hubungan Antara Filsafat, Pendidikan dan Eksistensi Manusia

I. PENDAHULUAN

A. PENGANTAR
Saat kita mendengar kata filsafat, konotasi kita akan segera pada sesuatu yang bersifat prinsip atau pandangan hidup yang mengandung nilai-nilai dasar. Pada hakikatnya, semua yang ada didunia ini sudah sejak awal menjadi pemikiran dan teka-teki yang tak habis-habisnya diselidiki. Inilah yang menjadi fondasi timbulnya filsafat. Jadi, filsafat adalah hasil usaha manusia dengan kekuatan akal budinya untuk memahami secara radikal, integral dan universal tentang hakikat semua yang ada (Tuhan, alam dan manusia). Serta sikap manusia sebagai konsekuensi dari pemahaman tersebut.
Jika demikian, jelaslah bahwa hal ini memerlukan perenungan yang mendalam dan mengasas pada usaha akal dan pekerjaan fikiran manusia. Karenanya, filsafatlah yang bertugas untuk mencari jawaban dengan cara ilmiah, objektif, memberikan pertanggungjawaban dengan berdasarkan pada akal budi manusia. Dengan demikian filsafat itu timbul dari kodrat manusia.
Manusia memiliki keistimewaan ketimbang makhluk yang lain. Manusia diciptakan oleh Allah Swt. Begitu sempurna, yang dengan kesempurnaan itu manusia dapat meningkatkan kehidupannya. Berpikir atau bernalar, misalanya, merupakan bentuk kegiatan akal manusia melalaui pengetahuan yang kita terima melalui panca indera diolah dan ditunjukan untuk mencapai kebenaran.
Berbicara ilmu, maka kita tidak bisa lepas dengan eksistensi pendidikan, eksistensi pendidikan dari yang sifatnya umum sampai ke yang khusus. Hubungan filsafat dan ilmu pendidikan ini tidak hanya incidental, tetapi juga satu keharusan. John Dewey, filsuf Amerika, mengatakan, bahwa filsafat itu merupakan teori-teori umum dari pendidikan, atau landasan dari semua pemikiran mengenai pendidikan. Lebih dari satu, filsafat memang mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan menyelidiki factor-faktor realita dan pengalaman yang banyak terdapat dilapangan pendidikan.
Filsafat pendidikan dapat dikatakan sebagai suatu pendekatan dalam memahami dan memecahkan persoalan-persoalan yang mendasar dalam pendidikan, seperti dalam menentukan tujuan pendidikan, kurikulum, metode pemebelajaran, manusia, masyarakat, dan kebudayaan yang tidak dapat dipisahkan dari dunia pendidikan itu sendiri. Namun, ada sementara kalangan, filsuf, atau Negara semisal Amerika Serikat, yang meletakan filsafat pendidikan atas dasar pengkajian beberapa aliran filsafat tertentu, seperti pragmatisme, realisme, idealisme, dan eksistensialisme, lalu dikaji bagaimana konsekuensi dan implikasinya dalam dunia pendidikan. Dalam konteks ini, pendidikan tidak dapat dilepaskan dari aliran filsafat yang melandasinya.
Untuk memahami suatu aliran filsafat tidak dapat dilepaskan dari pemikiran tokoh sentralnya. Memahami filsafat fenomenologi, misalnya, tentunya harus memulai dari pemikiran filosofis Edmuned Husserl. Demikian juga untuk mengerti apa arti dan makna instrumentalisme, pragmatisme, atau progrevisme harus menelaah pemikiran John Dewey terlebih dahulu, dan begitu juga dengan aliran-aliran filsafat yang lain. Dalam hubungannya dengan pendidikan, dari ragam pemikiran filosofis tersebut dapat dilanjutkan dengan mencari terapan-terapannya dalam pendidikan. Atau, paling tidak kita dapat melihat dari sisi bagaimana seorang filsuf itu berusah memahami masalah-masalah kependidikan dengan menggunakan analisis filosofis tertentu, misalnya strukturalisme, positivisme atau hermeneutic. Sementara untuk memamhami dasar filsafat pendidikan Islam dapat didekatkan secar normative mauoun histories. Secara normative, dasar-dasar filsafat pendidikan Islam dapat dirujuk langsung dari sumber primernya, yaitu nash (Al-Qur an dan hadits). Kemudian, dalam aspek historisitas, filsafat pendidikan Islam dapat difahami dari berbagai pemikiran para tokoh pendidikan muslim yang secara serius telah mencurhkan pemikirannya dalam dunia pendidikan Islam. Dan selanjutnya dapat diteruskan dengan melihat kerangka filosofis berbagai lambing pendidikan Islam seperti sekolah, madrasah dan pesantren.
Namun demikian, pada sisi tertentu tidak dapat disalahkan jika dalam memahami berbagai permasalahan pendidikan Islam dewasa ini didekati dengan model-model pemikiran filosofis yang berkembang di dunia Barat. Ini bukan berartiu bahwa Islam itu identik dengan aliran-aliran filsafat di Barat sehingga kita umat Islam menolak secara “membabi buta” segala pemikiran filosofis yang berkembang di dunia Barat sebagai hal yang berad diluar Islam. Namun, hal ini harus difahami sebagai suatu upaya metodologis dan analisis kelimuan dalam rangka mengembangkan kerangka keilmuan pendidikan Islam dan juga untuk memecahkan persoalan yang sekarang ini melilit bangunan pendidikan Islam, seperti masalah “kebekuan” dalam keilmuan dan sikap yang kuarang responsip dalam membaca dan mengantisipasi dinamika perkembangan zaman yang pada gilirannya memposisikan pendidikan Islam itu sendiri pada garis belakang kemajuan ilmu dan tekhnologi yang secara cepat terus melahirkan temuan-temuan baru.
Masalah manusia, apakah ia bebas berkehendak atau perbuatannya itu selalu diterministik, adalah suatu persoalan yang cukup mendasar karena hal ini akan berdampak pada model pendidikan, kurikulum, dan strategi belajar mengajar yang diterapkan.

B. FILSAFAT PENDIDIKAN

1. Hubungan Antara Filsafat dan Pendidikan
Hubungan filsafat dengan pendidikan dapat juga dilihat dengan mengidentifikasi pendekatan yang ada dalam filsafat kemudian dikaitkan dengan pendidikan. Pendekatan itu adalah spekulatif, preskriptif dan analitis. Pendekatan spekulatif berarti memikirkan secara sistematis tentang segala sesuatu yang ada. Ini terdorong oleh daya manusia yang ingin melihat segala sesuatu sebagai keseluruhan. Dalam bidang pendidikan, pendekatan ini diterapkanj untuk menjelaskan konsepsi tentang kenyataan. Misalnya, mengenai pengertian dasar manusia menurut filsafat antropologi, mengenai pengertian pendidikan, sekolah, pendidikan, anak didik, dan sebagainya.
Pendekatan preskritif adalah upaya untuk menyusun standar pengukuran tingkahlaku, nilai, dan sebagainya, termasuk didalamnya untuk menemukan mana yang disebut baik, buruk, benar, dan benar. Pendapat ini diperlukan misalnya tentang penyusunan konsepsi tentang pendidikan kesusilaan. Dalam hal ini, etika sebagai filsafat nilai tentang tingkahlaku manusia dapat memberikan criteria tentang tingkahlaku itu. Nilai baik dan buruk selain perlu diketahui peserta didik juga perlu diikuti oleh kesadaran mental tentang kesukaannya pada yang baik dan meninggalkan yang buruk.
Sementara itu, pendekatan analitis berusaha untuk mengenai makna sesuatu dengan mengadakan analisis kata-kata pada kekhususannya, da bahsa pada umumnya. Dalam bidang pendidikan, pendekatan ini perlu dilakukan mengingat sejumlah konsepsi dalam pendidikan membutuhkan kejelasan. Misalnya, telaah tentang makna kebebasan mimbar, kesamaan dalam kesempatan, dan sebagainya.

2. Fungsi Filsafat Pendidikan
Untuk mamahami apa yang dinamakan dengan filsafat pendidkan ada baiknya kita melihat dulu kerangka filsafat pendidikan sebagai system, lalu dari sini ditarik kepada pengertia filsafat pendidikan itu sendiri sebagai suatu system, filsafat pendidikan dapat dipetakan kedua wilayah. Pertama, sistematik berdasarkan pemikiran para tokoh yang bersangkutan, seperti J.J. Roseau dan John Dewey, atau menurut aliran-aliran filsafat yang ada, seperti realisme, pragmatisme, fenomenologi, dan strukturalisme, yang tentunya semua aliran ini mempunyai system-sistem pemikirannya yang khas. Dalam hal ini, filsafat pendidikan menjadi semacam telaah atas pemikiran tokoh pendidikan dan atau aliran-aliran filsafat tertentu untuk dicari implikasinya dalam aspek-aspek pendidikan. Filsafat pendidikan semacam ini merupakan cara pendekatan terhadap masalah pendidikan yang biasa dilakukan di Amerika Serikat.
Sistematis filsafat pendidikan disusun sesuai dengan sistematik dari ilmu pendidikan itu sendiri. Apa saja yang terkadung sebagai bagian atau unsure-unsur dari pendidikan itulah yang manjadi bagian dari sistematika filsafat pendidikan yang bersangkutan dalam konteks ini filsafat pendidikan tidak ubahnya seperti ilmu pendidikan dengan muatan-muatan pemikiran filosofis.
Namun, demikian pada aspek tertentu filsafat pendidikan dapat difahami sebagai ilmu yang pada hakikatnya merupakan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan dalam lapangan pendidikan. Oleh karena bersifat filosofis, dengan sendirinya filsafat pendidikan ini pada hakikatnya adalah penerapan suatu analisa filosofis terhadap lapangan pendidikan. Pengertian filsafat yang dikembangkan dari realitas problematikapendidikan dilapangan ini akan menjadi terbuka untuk kemungkinan-kemungkinan munculnya pemikiran-pemikiran filosofis pendidikan yang baru.
Bangunan pemikiran filosofis yang baru sebagai hasil dari pemecahan problem-problem fundamental pendidikan ini selanjutnya menjadi acuan pelaksanaan pendidikan. Dengan perkataan lain, ide filsafat yang memberi asas kepastian bagi nilai peranan pendidikan bagi pembinaan manusia pada akhirnya melahirkan ilmu pendidikan, lembaga pendidikan, dan aktivitas penyelenggaran pendidikan. Jadi, filsafat pendidikan merupakan sumber pendorong adanya pendidikan. Dalam bentuknya yang lebih terperinci, filsafat pendidikan menjadi jiwa dan pedoman asasi pendidikan.
Penjelasan tentang pengertian filsafat pendidikan ini secara spontan menggerakan kita kepada permasalahan lain, yaitu tentang fungsi filsafat itu sendiri. Dalam hal ini, Burbacher merumuskan fungsi-fungsi filsafat itu sebagai berikut:
a. Fungsi Spekulatif
Filsafat pendidikan berusaha mengerti keseluruhan persoalan pendidikan dan mencoba merumuskannya dalam satu gambaran pokok sebagai pelengkap bagi data-data yang telah ada dari segi ilmiah. Filsafat pendidikan mengerti keseluruhan persoalan pendidikan dan antar hubungannya dengan faktor-faktor lain yang mempengaruhi pendidikan.
b. Fungsi Normatif
Filsafat pendidikan sebagai penentu arah dan pedoman untuk apa pendidikan itu.Asas ini tersimpul dalam tujuan pendidikan, enis masyarakat apa yang ideal yang akan kita bina, khususnya norma moral yang bagaimana sebaiknya yang manusia cita-citakan. Bagaimana filsafat pendidikan memberikan norma dan pertibangan bagi kenyataan-kenyataan illmiah yang pada akhirnya membentuk kebudayaan.
c. Fungsi Kritik
Filsafat pendidikan memberi dasar bagi pengertian kritis nasional dalam mempertimbangkan dan menapsirkan data-data ilmiah, misalnya data pengukuran analisa evaluasi baik kepribadian maupun prestasi. Fungsi kritik berarti pula analisis dan komparasi atas sesuatu untuk mendapatkan kesimpulan, seperti bagaimana menetapkan klasifikasi prestasi atau pencapaian itu secara tepat dengan data-data objektif. Selain itu juga, untuk menetapkan asumsi atau hipotesa yang lebih resionable. Dalam hal ini, filsafat harus kompeten mengatasi kelemahan-kelemahan yang ditemukan oleh bidang ilmiah, melengkapinya dengan data dan argumentasi yang tidak di dapatkan dari data ilmiah.
d. Fungsi Teori bagi Praktik
Semua ide, konsepsi, analisa dan kesimpulan-kesimpulan filsafat pendidikan adalah berfungsi sebagai teori. Teori ini adalah dasar bagi pelaksanaan atau praktik pendidikan. Filsafat memberikan prinsip-prinsip umum bagi suatu praktik.
e. Fungsi Integrative
Mengingat fungsi filsafat pendidikan sebagai azas kerohanian atau rohnya pendidikan maka fungsi integrative dari filsafat pendidikan adalah wajar. Artinya, ia sebagai pemadu fungsional semua nilai dan azas normative dalam ilmu kependidikan.

II. PEMBAHASAN

A. PANDANGAN TENTANG HAKEKAT MANUSIA
Pengetahun tentang hakekat dan kedudukan manusia merupakan bagian amat esensial, karena dengan pengetahuan tersebut dapat diketahui tentang hakekat manusia, kedudukan dan peranannya dialam semesta ini. Pengetahuan ini sangata penting karena dalam poses pendidikan manusia bukan saja objek tetapi juga sebagai subjek, sehingga pendekatan yang harus dilakukan dan apek yang diperlukan dapat direncanakan secara matang.
Para ahli dalam berbagai bidang memberikan penafsiran tentang hakekat manusia. Sastraprateja, mengatakan bahwa manusia adalah makhluk yang historis. Hakekat manusia sendiri adalah sejarah, suatu peristiwa yang bukan semata-mata datum. Hakekat manusia yang dapat dilihat dalam perjalanan sejarah dalam sejarah bangsa manusia. Sastraprateja lebih lanjut mengatakan, bahwa apa yang kita peroleh dari pengamatan kita atas pengalaman manusia adalah suatu rangkaian anthropological constants yaitu dorongan-dorongan dan orientasi yang tetap dimiliki manusia. Lebih lanjut ia menambahkan ada sekurang-kurangnya 6 (enam) anthropological constants yang dapat ditarik dari pengalaman sejarah umat manusia yaitu :
1. Relasi manusia dengan kejasmanian, alam dan lingkungan ekologis;
2. ketertiban dengan sesama;
3. keterikatan dengan struktur social dan institusional;
4. ketergantungan masyarakat dan kbudayaan pada waktu dan tempat;
5. hubungan timbal balik antara teori dan praktik;
6. kesadaran religius dan para pemeluk agama.
Keenam antrophological constants ini merupakan satu sintesis dan masing-masing saling berpengaruh satu dan yang lainnya.
Kalangan pemikir di abad modern, juga membahas yang dapat dijumpai. Alexis Carrel (seorang peletak dasar humaniora di Barat), misalnya, mengatakan bahwa manusia adalah makhluk yang misterius, karena derajat keterpisahan manusia dari dirinya berbanding terbalik dengan perhatiannya yang demikian tinggi terhadap dunia yang ada diluar dirinya.
Dalam pada itu Ibn 'Arabi melukiskan hakekat manusia dengan mengatakan bahwa tak ada makhluk Allah yang lebih bagus dari manusia. Allah Swt. Membuatnya hidup, mengetahui, berkuasa, berkehendak, berbicara, mendengar, melihat dan memutuskan, dan ini adalah merupakan sifat-sifat rahbaniiyah.

1. Manusia Menurut Manusia
a) Socrates (470-399 M), dia mengatakan bahwa pada diri manusia terpendam jawaban mengenai bebagai persoalan dunia. Manusia itu bertanya tetang dunia dan masing-masing mempunyai jawaban tentang dunia. Tetapi, seringkali manusia itu tidak menyadari bahwa dalam dirinya terpendam jawaban-jawaban bagi persoalan yang dipertanyakannya. Karena itu perlu ada orang lain yang membantu orang itu mengemukakan jawaban-jawaban yang masih terpendam tersebut. Jadi, hakikat manusia adalah ia ingin tahu dan untuk itu harus ada orang yang membantunya yang berntindak sebagai bidan yang membantu bayi keluar dari rahimnya.
b) Plato (w. 347 M), menurutnya hakikat manusia itu ada 2 (dua) yaitu rasio dan kesenangan (nafsu). Pada bagia lain, Plato berteori bahwa jiwa manusia memiliki 3 elemen, yaitu roh, nafsu dan rasio. Berdasarkan tiga unsure hakikat manusia, Plato membagi manusia menjadi 3 kelompok. (1) manusia yang didominasi oleh rasio yang hasrat utamanya ialah meraih pengetahuan, (2) manusia yang didominasi roh yang hasrat utamanya adalah meraih reputasi, dan (3) manusia yang didominasi oleh nafsu yang hasrat utamanya adalah materi.
c) Rene Descartes (1596-1650 M), dalam pandangannya yang terpenting adalam diri manusia ia menitik beratkan pada akal (rasio) sebagai esensi atau hakikat manusia, karena memang ia menganut faham rasionalisme.
d) Thomas Hobbes (1588-1629 M), ia mengatakan bahwa setiap manusia selalu mementingkan dirinya sendri, tetapi Karena ia sering memntingkan dirinya sendiri maka ia dituntuk untuk mangakui hak-hak orang lain. Dengan demikian manusia menysusun dan menyetujui untuk dapat saling menghargai antara satu sama lain dalam sebuah kontrak social. Dan kontrak sosila inilah yang menjadi salahsatu hakikat manusia.
e) John Locke (1623-1704 M), ia terkenal dengan teori tabula rasa, artinya bahwa setiap manusia ketika dilahirkan dalam keadaan putih bersih seperti kertas putih (istilahnya meja lilin) kemudian diisi oleh pengalaman-pengalaman yang diperoleh dalam hidupnya. Pengalamanlah yang menentukan keadaan seseorang. menurut faham ini pendidikan sangat berpengaruh pada seseorang.
f) Immanuel Kant (1724-1804 M), menurutnya manusia tidak akan mampu megenali dirinya sendiri. Manusia mengenali dirinya sendiri berdasarkan apa yang tampak (baik secara empiris maupun bathin). Pendapatnya yang paling penting ialah bahwa manusia adalha makhluk yang rasional, bebas bertindak berdasarkan alas an moral, manusia bertindak bukan hanya untuk kepentingannya diri sendiri. Jadi, ketika ia bertindak ia harus memiliki alasan mengapa ia harus bertindak demikian, tidak seperti halnya binatang yang bertindak tanpa alasan.

2. Manusia Menurut Agama Nasrani/Kristen dan Yahudi
Dalam ajaran kedua agam ini manusia mempunyai kemampuan untuk bertindak menurut inisiatifnya; ia mempunyai kebebasan bergerak dan berkehendak dan tidak dibatasi oleh ruang dan waktu, kebebasan untuk mengubah jalannya sejarah, tetapi tidak dapat mengubah kekuaaan Tuhan atau hasil akhir dari proses sejarah, dalam arti bahwa Manusia itu mempunyai kemauan untuk memilih dan menjalin hubungan cinta, menurut istilah Nasrani “ia diciptakan dalam citra Tuhan”, maksudnya adalah bahwa Tuhan telah memberikan anugerah terhadap manusia untuk berkehendak dan menjalin hubungan klasing saying dan cinta mirip penjelmaan (self-expression) Tuhan sendiri. Walapun begitu, karena manusia memiliki kebebasan memilih dan berkehendak seringkali ia menolah ajakan Tuhan dan pembawa kebenaran, memilih Tuhan-Tuhan palsu. Dan hal itu adalah perbuatan dosa.
Bagi dua agama ini, patokan untuk mempergunakan kebebasan manusia adalah sikap cinta dan menyerah kepada kehendak Tuhan. Masing-masing agama mengerti watak dari cinta tersebut serta keretakan hubungan (dosa) dalam bermacam-macam bagian dari kitab suci dan tradisi. Dengan begitu, maka implikasi dari cinta manusia dalam agam Barat adalah bahwa keagamaan seseorang memerlukan sifat setia (loyal) sebagai pribadi atau sebagai ummat, atau sifat cinta kepada Tuhan, tetangga dan diri sendiri.

3. Manusia Menurut Ajaran Budha dan Hindu
Agama Hindu atau Hindhuisme menunjukan keadaan yang kompleks tentang manusia, dan oleh karena itu sukar untuk menunjukan suatu pandangan khusus tentang manusia dalam pemikiran Hindu. Walaupun begitu, tema yang besar dari aliran fikiran Hindu adalah bahwa manusia harus mencari hidup yang langgeng yang tak dapat rusak atau binasa. Manusia harus mulai dengan mengetahui dirinya sendiri secara benar. Ia harus menerobos hutan yang penuh dengan tipuan yang disebabkan oleh indranya, agar dapat mengerti kehidupan yang kekal dan tidak dapat musnah.
Ajaran Budha bermula dengan diagnosa tentang situasi manusia, dan menemukan obat bagi situasi tersebut dalam Empat Kebenaran Yang Agung (The Four Noble Truth). Budhisme melihat kehidupan manusia sekarang dari segi kepindahan dari satu kehidupan kepada kehidupan yang lain. Hidup ini mengandung Dukha (penderitaan) baik secara jasmani ataupun rohani yang sangat bertentang sekali dengan rasa tentram dalam Nirvana. Ajaran ini berkeyakinan bahwa manusia tidak terkecuali dari hukum umum : segala sesuatu itui berubah. Tak mungkin ada watak manusia yang tetap. Oleh Karena itu manusia yang membanggakan diri adalah orang yang tertipu dan tak berarti.
Hindhuisme dan Budhisme memandang kebebasan manusia dari segi apakah ia dapat mengikuti jalannya kepindahan dari satu kehidupan kepada kehidupan yang lain, ia terbebas dari dirinya sendiri, dan pada akhirnya sampai kepada tujuan di Nirvana yang sama. Dalam aliran Filafat Budhisme dan Hidhuisme dosa adalah kecenderungan yang bodoh kepada dunia, yaitu kecenderuangan yang menghalangi proses kepindahan dan kebebasan dari alam ini.

4. Manusia Menurut Pandangan Islam
a) Definisi Manusia diungkap dalam Al-Qur an
Murthada Muttahari melukiskan gambaran Al-Qur'an tentang manusia sebagai berikut:
Al-Qur'an menggambarkan manusia sebagai suatu makhluk pilihan Tuhan, sebagai khalifah Nya di bumi, serta sebagi makhluk yang semi samawi dan semi duniawi yang dalam dirinya ditanamkan sifat mengakui Tuhan, bebas terpercaya, rasa tanggungjawab terhadap dirinya maupun alam semesta, serta karunia keunggulan terhadap alam semesta, langit dan bumi. Manusia dipusakai kearah kecenderungan kepada kebaikan dan kejahatan. Kemajuan mereka dimulai dengan kelemahan dan ketidak mampuan yang kemudian bergerak kearah kekuatan tetapi itu tidak akan menghapuskan kegelisahan mereka, kecuali kalau mereka dekat dengan Tuhan dan mengingatnya. Kapasitas mereka tidak terbatas, baik dalam kemampuan belajar maupun alam menerapkan ilmu. Mereka memiliki keluhuran dan martabat naluriah. Motivasi dan pendorong mereka dalam banyak hal, tidak bersifat keberadaan. Akhirnya mereka dapat secara leluasa memanfaatkan nikmat dan karunia yang dilimpahkan kepada mereka namun pada saat yang sama, mereka menunaikan kewajiban mereka kepada tuhan.
Tetapi dengan kedudukan yang demikian, manusia sering melupakan hakikat dirinya sebagai hamba Allah. Manusia seriang bertindak sewenang-wenang, tidak mematuhi adanya aturan yang mengikat dirinya, dan sering merasa congkak dan takabbur terhadap Allah Swt.
Selanjutnya bagaimana hakikat manusia, untuk itu Al-Qur an memperkenalkan 3 (tiga) kata (istilah) yang bisa digunakan untuk menunjuk perngertian manusia. Ketiga kata tersebut adalah : Al-Basyar, Al-Insan dan Al-Naas. Meskipun kenyataannya menunjukan pada arti manusia, akan tetapi secara khusus memiliki pengertian yang berbeda:
a. Al-Insan terbentuk dari akar kata nasiya yang berarti lupa. Kata Al-Insan dinyatakan alam Al-Qur an sebanyak 73 kali yang disebut dalam 43 Surat. Sedangkan Muhammad Tholchah Hasan menuliskan dalam Dinamika kehidupan Religius kata al-Insan disebut sebanyak 65 kali dalm al-Qur’an. Penggunaan kata al-Insan pada umumnya digunakan menggambarkan pada keistimewaan manusia penyandang predikat khalifah dimuka bumi, sekaligus dihubungkan dengan proses penciptaannya. Keistimewaan tersebut karena manusia merupakan makhluk psikis disamping makhluk fisik yang memiliki potensi dasar, yaitu fitrah akal dan qalbu.
Kata al-Insan juga dipakai untuk menyebut nama manusia dalam konteks kedudukan manusia sebagai makhluk yang mempunyai kelebihan-kelebihan. Pertama, sebagai makhluk berfikir. Kedua, makhluk pembawa amanah. Ketiga, sebagai makhluk yang bertanggung jawab pada semua yang diperbuat. Tiga hal ini merupakan keistimewaan manusia yang hampir selalu disebut oleh al-Qur’an dengan menggunakan kata al-Insan.
Kata al-Insan juga menunjukan pada proses kejadian manusia, baik penciptaan Adam maupun proses manusia pasca adam dialam rahim yang berlangsung secara utuh dan berproses.
b. Kata al-Basyar dinyatakan dalam Al-Qur an sebanyak 36 kali yang tersebar dalam 26 surat, dan M. Thalchah Hasan menyebutkan kata al-Basyar disebut dalam al-Qur’an sebanyak 35 kali yang dikaitkan dengan manusia dan 25 kali dihubungkan dengan nabi-rasul. Secara etimologi, al-Basyar merupakan bentuk jama' dari kata al-basyarat yang berarti kulit kepala, wajah dan tubuh menjadi tempat tumbuhnya rambut. Pemaknaan manusia dengan al-Basyar memberikan pengertian bahwa manusia adalah makhluk biologis serta memiliki sifat-sifat yang ada didalamya, seperti makan, minum, perlu hiburan, sex dan lain sebagainya. Kata al-Basyar ditunjukan kepada seluruh manusia tanpa terkecuali. Ini berarti nabi dan rasul pun memiliki dimensi al-Basyar seperti yang diungkapkan firman Allah Swt. Dalam al-Qur an.
Katakanlah " … sesungguhnya aku (Muhammad) hanyalah seorang manusia seperti kamu …" (Q.S. 18 : 10)
Selanjutnya al-Ghazali menyatakan, bahwa manusia ciptan Allah Swt. Yang terdiri atas dan unsure jasmani dan rohani. Namun jika manusia ingin hidup sesuai dengan fitrahnya, sehingga akan membedakan dirinya dengan makhluk Allah lainnya, maka hendaklah ia mempergunakan unsure psikisnya secara dominant. Jika tidak, manusia akan kehilangan esensinya sebagai manusia.
c. Kata al-Naas. Kata ini dinyatakan dalam al-Qur an sebanyak 240 (dua kali yang tersebar dalam 53 Surat. Kata al-Naas menunjukan pada hakekat manusia sebagai makhluk social dan ditunjukan kepada sluruh manusia secara umum tanpa melihat statusnya apakan beriman atau kafir.
Kata al-Naas juga dipakaikan dalam al-Qur an untuk menunjukan bahwa karakteristik manusia senantiasa berada dalam keadaan labil. Meskipun telah dianugrahkan Allah Swt. Dengan berbagai potensi yang bisa digunakan untuk mengenal Tuhannya.
Kata al-Naas juga dipergunakan al-Qur an yaitu untuk penunjukan kepada makna lawan dari binatang buas, ia diasumsikan sebagai makhluk yang senantiasa tunduk pada alam dimana ia berada. Kata al-ins selalu dipertentangkan dengan kata al-Jinn yang dartikan kepada makhluk yang senantiasa melakukan mafsadat di muka bumi.
Pendefinisian yang dinyatakan Allah Swt. Dalam al-Qur an dengan menyebut manusia dengan istilah al-Basyar, al-Insan, dan al-Naas yang memberikan gambaran akan keunikan serta kesempurnaan manusia sebagai makhluk ciptaan Allah Swt. Referensi ini memperlihatkan bahwa manusia merupakan satu kesatuan yang utuh, antara aspek material (fisik) dan immaterial (psikis) yang dipandu oleh ruh ilahiyyah. Antara aspek fisik dan aspek psikis saling berhubungan.

b) Eksistensi Manusia
Kesatuan wujud manusia antara fisik dan psikis serta didukung oleh potensi-potensi yang ada membuktikan bahwa manusia sebagai ahsan al-taqwim dan menempatkan manusia pada strategis, yaitu :
a. Sebagai hamba Allah ( 'abdullah)
Musa 'Asy'ari mengatakan bahwa esensi 'Abd adalah ketaatan, ketundukan, dan kepatuhan yang kesemuanya itu hanya layak diberikan kepada Tuhan. Ketundukan dan keta'atan pada kodrat alamiah yang senantiasa berlaku baginya. Ia terikat oleh hukum-hukum Tuhan yang menjadi kodrat pada setiap ciptaannya, manusia menjadi bagian dan setiap ciptaannya, ia bergantung pada sesamanya, hidup dan mati menjadi bagiannya yang mati. Sebagai hamba Allah manusia tidak bisa terlepas dari kekuasaannya, karena manusia mempunyai fitrah (potensi) untuk beragama. Mulai dari manusia Purba sampai kepada manusia modern sekarang, mengakaui bahwa diluar dirinya ada kekuasaan transcendental (Allah).
b. Sebagai khalifah Allah (Khalifah Allah fil Ardhi)
Bila ditinjau, kata khalifah berasal dari fi'il madi khalafa yang berarti "mengganti” dan “melanjutkan”. Bila pengertian tersebut ditarik pada pengertian khalifah, maka dalam konteks ini artinya lebih cenderung kepada pengertian mengganti yaitu proses penggantian antara satu individu dengan individu yang lain.
Menurut Quraish Shihab istilah khalifah dalam bentuk mufrad (tunggal) yang berarti penguasa politik yang hanya digunakan untuk nabi-nabi yang dalam hal ini adalah Nabi Adam AS. dan tidak digunakan untuk manusia pada umumnya. Sedangkan untuk manusia biasa digunakan khala'if yang didalamnya mengandung arti luas, yang berarti bukan hanya penguasa politik tapi juga penguasa dalam hal berbagai bidang kehidupan. Dalam hubungan pembicaraan dalam kehidupan manusia dalam alam ini, nampaknya lebih cocok digunakan istilah khala'if dan kata khalifah. namun yang twerjadi dalam penggunaan sehari-hari adalah bahwa manusia sebagai khalifah dimuka bumi. Pendapat demikian memang tidak ada salahnya karena dalam istilah khalaif sudah terkandung istilah khalifah. Sebagai khalifah ia berfungsi sebagai menggantikan orang lain dan menempati tempat kedudukannya. ia menggantikan orang lain menggantikan kedudukan kepemimpinannya atau kekuasaaannya.
Selanjutnya Ahmad Hasan Firhat, membedakan kedudukan kekhalifahan manusia pada dua bentuk yaitu: pertama, khalifah kaumnya. Dimensi ini mencakup wewenang manusia secara umum yang telah di anugrahkan Allah SWT untuk mengatur dan memanfaatkan alam semesta dan isinya bagi kelangsungan kehidupan umat manusia di muka bumi. Pemberian wewenang Allah SWT kepada manusia dalam kontek ini, meliputi pemaknaan yang bersifat umum, tanpa dibatasi oleh agama apa yang mereka yakini. Artinya, label kekhalifahan yang dimaksud diberikan kepada semua manusia sebagai penguasa alam semesta.
Bila dimensi ini di jadikan standard dalam melihat predikamanusia sebagai khalifah al-ardh, maka akan berdampak negative bagi kelangsungan kehidupan manusia dan alam semesta. Manusia denga kekuatannya akan mempergunakan alam semesta konsekuensi kekhalifahannya tanpa kontrol dan melakukan penyimpangan-penyimpangan dari nilai Ilahiyah. Akibatnya, keberadaannya di muka bumi, bukan lagi sebagai pembawa kemakmuran, namun cenderung berbuat kerusaka dan merugikan mahluk Allah lainnya. Ketiadaan nilai control inilah yang dikhawatirkan malaikat tatkala Allah mengutarakan keinginan-Nya menciptakan mahluk yang bernama manusia.
Kedua, khalifah syair'iyat. Dimensi ini wewenang Allah yang diberikan kepada manusia untuk memakmurakan alam semesta. Hanya saja, secara khusus ditujukan kepada orang-orang mukmin. Hal ini dimaksudakan, agar dengan keimanan yang dimilikinya, mampu menjadi pilar dan control dalam mengatur mekanisme alam semesta, sesuai dengan nilai-nilai ilahiyah yang telah digariskan Allah lewat ajaran-Nya. Dengan prinsip ini, manusia akan senantiasa berbuat kebaikan dan memanpaatkan alam semesta demi kemaslahatan umat manusia.

c. Hubungan Kedudukan Manusia dengan Pendidikan Islam
Bila dimensi ini dikembangkan dalam kajian pendidikan, maka dalam proses mempersiapkan generasi penerus estafet kekhalifahan yang sesuai dengan nilai-nilai Ilahinya, pendidikan yang ditawarkan harus mampu mempersiapkandan membentuk pribadi peserta didiknya dengan acuan nilai-nilai Ilahinya. Dengan penanaman ini, akan menjadi panduan bagian dalam melaksanakan amanat Allah di muka bumi. Kekosongan akan nilai-nilai ilahinya, akan mengakibatkan manusia akan bebas kendali dan berbuat sekehendaknya. sikap yang demikian akan berimplikasi timbulnya nilai egoistic yang bemuara kepada tumbuhnya sikap angkuh dan sombong pada dri manusia. Sikap ini akan berbias kepada tumbuhnya sikap memandang rendah orang lain.
Berdasarkan uraian diatas jelaslah bahwa untuk merealisasikan tugas dan kedudukan manusia tersebut dapat ditempuh manusia lewat pendidikan. Dengan media ini, diharapkan manusia mampu mengembangkan potensi yang diberikan Allah SWT secara optimal, untuk merealisasikan kedudukan, tugas, dan fungsinya.
Namun tidak semua pendidikan dapat mengemban tugas dan fumgsi manusia tersebut. Oleh karena itu, diperlukan penataan ulang konsep pendidikan yang ditawarkan sehingga lebih berperanbagi pengembangan manusia yang berkualitas, tanpa menghilangkan nilai-nilai fitri yang dimilikinya.
Dan nampaknya satu-satunya konsep pendidikan yang dapat dikembangkan adalah konsep pendidikan Islam. Dengan pendidikan islam manusia sebagai khalifah tidak akan berbuat sesuatu yang mencerminkan kemungkinan kepada Allah, dan bahkan ia berusaha agar segala aktivitasnya sebagai khalifah harus dilaksanakan dalam rangka ‘ubudiyah kepada Allah Swt.

B. PANDANGAN FILSAFAT TENTANG HAKIKAT MANUSIA
Ilmu yang mempelajari tentang hakikat manusia disebut antropologi filsafat. Dalam hal ini, ada 4 (empat) aliran yang akan dibahas. Pertama, aliran serba zat. Aliran ini mengatakan yang sungguh-sungguh ada itu hanyalah zat atau materi. Alam ini adalah zat atau materi dan manusia adalah unsure dari alam. Maka dari itu, manusia adalah zat atau materi.
Kedua, aliran serba ruh. Aliran ini berpendapat bahwa segala hakikat sesuatu yang ada di dunia ini adalah ruh. Sementara zata adalah manifestasi dari ruh. Menurut Fiche, segala sesuatu yang ada (selain ruh) dan hidup itu hanyalah perumpamaan, perubahan, atau penjelmaan dari ruh. Dasar pikiran aliran ini ialah bahwa ruh itu lebih berharga, lebih tinggi nilainya daripada materi. Dalam kehidupan sehari-hari, misalnya, betepapun kita mencintai seseorang, jika ruhnya pisah dari badannya, maka materi/jasadnya tidak ada artinya lagi. Dengan demikian, aliran ini menganggap ruh ialah hakikat, sedangkan badan ialah penjelmaan atau bayangan.
Ketiga, aliran dualisme. Aliran ini menganggap bahwa manusia itu pada hakikatnya terdiri dari dua substansi, yaitu jasmani dan rohani. Kedua substansi ini masing-masing ini merupakan unsure asal yang adanya tidak tergantung satu sama lain. Jadi, badan tidak berasal dari ruh dan ruh tidak berasal dari badan. Perwujudannya manusia tidak serba dua jasad dan ruh. Anatara badan dan ruh terjadi sebab akibat keduanya saling mempengaruhi.
Keempat, aliran eksistensialisme. Aliran filsafat modern berpandangan bahwa hakikat manusia merupakan eksistensi dari manusia. Hakikat manusia adalah apa yang menguasai manusia secara menyeluruh. Disini, manusia dipandang tidak dari sudut serba zat atau serba ruh atau dualisme, tetapi dari segi eksistensi manusia didunia ini.
Filsafat berpandangan bahwa hakikat manusia itu berkaitan antara badan dan ruh. Islam secara tegas mengatakan bahwa badan dan ruh adalah substansi alam, sedangkan alam adalah makhluk dan keduanya diciptakan oleh Allah Awt. Dalam hal ini, dijelaskan bahwa proses perkembangan dan pertumbuhan manusia menurut hukum alam material. Menurut Islam, manusia terdiri dari substansi materi dari bumi dan ruh yang berasal dari Tuhan. Oleh karena itu, hakikat manusia adalah ruh, sedangkan jasadnya hanyalah alat yang dipergunakan oleh ruh semata. Tanpa kedua substansi tersebut tidak dapat dikatakan manusia.
Terkait dengan hakikat manusia tersebut, Poespoprodjo mengemukakan bahwa:
1. Hakikat manusia haruslah diambil secara integral dari seluruh bagiannya; bagian esensial manusia, baik yang metafisis (animalitas dan rasionalitas) maupun fisik (badan dan jiwa). Manusia wajib menguasai hakikatnya yang kompleks dan mengendalikan bagian-bagian tersebut agar bekerja secara harmonis. Karena manusia pada hakikatnya adalah hewan, maka ia harus hidup seperti hewan; ia wajib manjaga badannya dan memenuhi kebutuhannya. Namun, sebagai hewan yang berakal budi, manusia harus hidup seperti makhluk yang berakal budi.
2. Hakikat manusia harus diambil dari seluruh nisbahnya; tidak hanya keselarasan bathin antar bagian-bagian dan kemampuan-kemampuan yang membuat itu sendiri, tetapi juga keselarasan antara manusia dengan lingkungannya.
Kedudukan manusia yang paling menarik ialah bahwa manusia itu menyelidiki kedudukannya sendiri dalam lingkungan yang diselidikinya pula. Kadang, hasil penyelidikan mengnai lingkungannya itu ternyata lebih memuaskan daripada penyelidikan tentang manusia itu sendiri.
Manusia memiliki banyak sifat yang serupa dengan makhluk lain. Meskipun demikian, ada seperangkat perbedaan antara manusia dengan makhluk lain yang menganugerahi keunggulan pada manusia. Kenyataan inilah yang terkadang membuat manusia mempunyai pandangan yang berbeda. Suatu saat manusia akan berpikir bahwa mereka merupakan salahsatu anggota margasatwa (animal kingdom), disaat lain dia juga akan merasa warga dunia idea dan nilai. Pandangan seperti itulah yang pada akhirnya akan memperlihatkan keberadaaban manusia secara utuh bahwa mereka adalah pencari kebenaran.

1. Pandangan ilmu pengetahuan tentang manusia
Hampir semua disiplin ilmu pengetahuan berusaha menyelidiki dan mengerti tentang mehluk yang bernama manusia begitu juga pendidikan, secara husus tujuannya adalah untuk memahami dan mendalami hakikat manusia. Bagi Aristoteles (384322 SM), manusia adalah hewan berakal sehat, yang mengeluarkan pendapatnya dan berbicara berdasarkan akal pikirannya (Zaini dan Ananto, 1986:4).
Menurut tinjauan Islam, manusia adalah pribadi atau individu, yang berkeluarga, selalu bersilaturahmi, wakil Allah SWT. Di atas muka bumi ini(Muntasir, 1985:5). Manusia dalam pandangan Islam selalu berkaitan dengan kisah tersendiri, tidak hanya sebagai hewan tingkat tinggi yang berkuku pipih, berjalan dengan dua kaki, dan berbicara. Islam memandang manusia sebagai mahluk sempurna dibandingkan dengan hewan dan mahluk ciptaan Tuhan yang lain, karena itu manusia disuruh mengunakan akalnya dan indranya agar tidak salah memahami mana kebenaran yang sesungguhnya dan mana kebenaran yang dibenarkan, atau dianggap benar (Jalaluddin dan Usman Said, 1994:28).
Eksistensi manusia yang padat itulah yang perlu (dan seharusnya) dimengerti dan dipikirkan. Karena pada dasarnya manusia adalah mahluk religious, yang dengan pernyataan itu mewajibkan manusia memperlakukan agama sebagai suatu kebenaran yg harus di patuhi dan di yakini (Muhaimin, 1989: 69). Untuk itu, sangat penting membangun manusia yang sanggup melakukan pembangunan duniawi, yg mempunyai arti bagi hidup pribadi di akhirat kelak. Dengan kata lain, usaha pembinaan manusia ideal tersebut merupakan program utama dalam pendidikan modern pada masa-masa sekarang ini.

2. Kepribadian manusia dan pendidikan
Manusia merupakan salah satu makhluk hidup yg sudah ribuan abad lamanya menghuni bumi. Sebelum terjadi proses pendidikan di luar dirinya, pada awalnya manusia cenderung berusaha melakukan pendidikan pada dirinya sendiri,di mana manusia berusaha mengerti dan mencari hakikat kepribadian tentang siapa diri mereka sebenarnya. Dalam ilmu mantiq,manusia di sebut sebagai hayawan al-nathiq (hewan yang berpikir). Berpikir disini maksudnya adalah berkata-kata dan mengeluarkan pendapat serta pikiran (Anshari,1982:4).
Dalam prosesnya, peran efektif pendidikan terhadap pembinaan kepribadian manusia dipengaruhi oleh lingkungan dan di dukung oleh factor pembawaan manusia sejak lahir. Dalam kaitan ini, perlu di tinjau kembali tentang teori nativisme, empirisme, dan konvergensi. Pada dasarnya, tujuan pendidikan secara umum adalah untuk membina kepribadian manusia secara sempurna. Kriteria ini ditentukan oleh masing-masing pribadi, masyarakat, bangsa, tempat, dan waktu. Pendidikan yang terutama di anggap sebagai transper kebudayaan, pengembangan ilmu pngetahuan akan membawa manusia mengerti dan memahami lebih luas tentang masalah seperti itu. Dengan demikian, ilmu pengetahuan memiliki nilai-nilai praktis didalam kehidupan, baik sebagai pribadi maupun sebagai warga masyarakat.

3. Masalah ruhani dan jasmani
Terlalu banyak sebutan yang di berikan untuk mahluk-mahluk berakal pikiran ciptaan Tuhan, seperti homosapien, homorasionli ,animal social, al-insan, dan sebagainya. Bentuk sebutan tersebut mencerminkan keragaman sifat dan sikap manusia. Hal itu dapat terjadi karena dalam diri manusia itu sendiri terdpat enam rasa yang menjadi satu, yaitu intelek, agama, susila, social, seni, dan harga diri/sifat keakuan.
Maka, tidak heran kalau sejak dulu manusia tiada henti-hentinya berusaha membedakan antara unsure manusia yang bersifat lahiriah dan maknawiyah. Kebanyakan ahli filsafat Yunani berpendapat bahwa ruh itu merupakan satu unsure yang halus yang dapat meninggalkan badan. Jika pergi dari badan, dia kembali kealamnya yang tinggi, meluncur ke angkasa luar dan tidak mati, sebagaimana ungkapan Phytagoras kepada Diasgenes.
Islam berpandangan bahwa hakikat manusia merupakan perakitan antara badan dan ruh. Islam mengatakan dengan tegas bahwa kledua substansi ini adalah substansi alam. Islam memandang permasalahan ruh merupakan suatu hal yang terbatas untuk dipelajari secara mendalam (Q.S. Al-Isra’ :85). Karena itu, kendati banyak ilmu yang telah dimiliki, manusia sampai kapan pun tidak akan bisa melebihi kekuasaan Tuhannya.

C. SISTEM NILAI DALAM KEHIDUPAN MANUSIA
System merupakan suatu himpunan gagasan atau prinsip-prinsip yang saling bertautan. Terkait dengan itu, nilai yanmg merupakan suatu norma tertentu mengatur ketertiban kehidupan social. Karena manusia sebagai mahluk budaya dan mahluk social, selalu membutuhkan bantuan orang lain dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. Maka, manusia dalam proses interaksinya harus berpedoman pada nilai-nilai kehidupan social yang terbina baik dan selaras.
Manusia merupakan objek pendidikan dan sebagai subjek pendidikan, karena itu manusia memiliki sikap dididik dan siap untuk mendidik. Namun demikian berhasil tidakannya usaha tersebut banyak tergantung dari jelas tidaknya tujuannya. Karena itu, pendidikan di Indonesia mempunyai tujuan pendidikan yang berlandaskan pada filsafat bangsa Indonesia, yaitu Pancasila yang menjadi pokok dalam pendidikan, melalui usaha-usaha pendidikan dalam keluarga, masyarakat, sekolah, dan perguruan tinggi.
Manusia merupakan mahluk social dan juga mahluk budaya. Sebagai makhluk social dan juga mahluk budaya. Sebagai makhluk social, tentunya manusia selalu hidup bersama: dalam interaksi dan interpendensi dengan sesamanya. Oleh karena itu, manusia tidaklah mungkin dapat memenuhi kebutuhannya tanpa adanya kebutuhan dari orang lain. karena pada dasarnya manusia pasti membutuhkan sesuatu dari orang lain, baik berupa jasmaniyah (segi-segi ekonomis) maupun rohani (segi spiritual). Dan dalam rangka mengembangkan sifat social-nya tersebut manusia selalu menghadapi masalah-masalah yang berkaitan dengan nilai-nilai (Ahmadi, 1990 : 12). Nilai-nilai internal itu berhubungan erat dengan hubungan antar social tersebut, sebagaimana dikatakan calcius, ubisosietas, ibius, dimana ada suatu masyarakat, disana pasti ada hukum. Dengan kata lain, sebagaimana pandangan aliran progresifisme nilai itu timbul dengan sendirinya, tetapi ada factor-faktor lain dari masyarakat saat nilai itu timbul ( Muhammad Noor Syam, 1986 : 127 ).
Dari beberapa pendapat diatas, dapat ditarik suatu pengertian bahwa nilai akan selalu muncul apabila manusia mengadakan hubungan social dan bermasyarakat dengan manusia lain. Hal ini sesuai apa yang dikatakan oleh aliran progresivisme bahwa “masyarakat menjadi wadah nilai-nilai”.

1. Pengertian nilai
Secara umum cakupan pengertian nilai itu tak terbatas, maksudnya, segala sesuatu yang ada dialam raya ini bernilai, yang dalam filsafat pendidikan dikenal dengan nilai aksiologi. Dalam Ensiclopedy Britanica disebutkan, bahwa nilai itu suatu penetapan atau suatu kualitas suatu objek yang menyangkut suatu jenis apresiasi.
Perkembangan penyelidikan ilmu pengetahuan tentang nilai menyebabkan beragam pandangan manusia tentang nilai-nilai. Begitu juga sejarah peradaban manusia mengenal masalah nilai, masih merupakan problem, meskipun selama itu pula manusia tetap tidak dapat mengingkari efektifitas nilai-nilai dalam kehidupannya.
Pada kaum penganut Sofisme misalnya, dengan tokohnya Phytagoras (481-411SM), berpendapat bahwa nilai bersifat relative, tergantung pada waktu. Sedangkan menurut Idealisme, nilai itu bersifat normative dan objektif serta berlaku umum saat mempunyai hubungan dengan kualitas baik dan buruk.
Dari beberapa pendapat diatas, dapat diambil suatu pengertian bahwa nilai itu merupakan hasil dari kreatifitas manusia dalam rangka melakukan kegiatan social, baik itu berupa cinta, simpati dan lain-lain.

2. Beberapa Teori Nilai
a) Teori nilai menurut aliran idealisme
Penganut idealisme berpendapat bahwa hukum-hukum etika adalah hukum kosmos, karena itu seseorang dikatakan baik jika interaktif dan melaksanakan hukum-hukum itu. Menurut idealisme, sikap, tingkah laku dan ekspresi perasaan juga mempunyai hubungan dengan kualitas baik dan buruk.
George Santayana memadukan antara aliran idealisme dan realisme dalam suatu sintesis dengan mengatakan bahwa nilai itu tidak dapat ditandai dengan suatu konsep tunggal, karena minat, perhatian dan pengalaman seseorang turut menentukan adanya kualitas tertentu. Walaupun idealisme menjunjung asas otoriter atau nilai-nilai, tetap saja diakui bahwa pribadi secara aktif bersifat menentukan nilai-nilai itu atas dirinya sendiri.
b) Teori nilai menurut aliran realisme
Prinsip sederhana aliran ini tentang nilai adalah bahwa semua sumber pengetahuan manusia terletak pada keteraturan lingkungan hidup. Dalam masalah baik buruk khususnya dan keberadaan manusia pada umumnya, realisme bersandarkan pada keturunan dan lingkungan. Perbuatan seseorang adalah hasil perpaduan yang timbul sebagai akibat adanya saling hubungan antara pembawa-pembawa fisiologis dan pengaruh-pengaruh dari lingkungan.
c) Teori nilai menurut aliran perenialisme
Perenialisme memandang masalah nilai berdasarkan asas-asas supernatural, yakni menerima universal yang abadi. Dengan asas seperti itu, ontology dan epistimologi tidak hanya didasarkan pada prinsip teologi dan supernatural, tetapi juga aksiologi. Khusus dalam tingkah laku manusia, manusia sebagai subjek telah memilki potensi-potensi kebaikan sesuai dengan kodratnya, disamping kecenderungan-kecenderungan dan dorongan-dorongan kearah yang tidak baik.

3. Bentuk dan tingkat-tingkat nilai
Menurut Burbecher, nilai itu dibedakan dalam 2 bagian, yaitu nilai intrinsic dan nilai instrumental. Nilai instrumental adalah nilai yang dianggap baik karena bernilai untuk yang lain. Selanjutnya, nilai intrinsic adalah yang dianggap baik, tidak untuk sesuatu yang lain, melainkan didalm dirinya sendiri.
Sementara menurut aliran realisme, kualitas nilai tidak dapat ditentukan secara konseptual terlebih dahulu, melainkan tergantung dari apa atau bagaimana keadaannya bila dihayati oleh subjek tertentu dan bagaimana sikap subjek tersebut. Namun, ada juga yang membedakan bentuk nilai itu berdasarkan pada bidang apa itu efektif dan berfungsi seperti nilai moral, nilai ekonomi, dan sebagainya.
Adapun tingkat perkembangan nilai, menurut Auguste Comte, itu terbagi menjadi 3, yaitu tingkat theologies, tingkat metafisik, dan tingkat positif. Tingkat theologies adalah tingkat pertama, selanjutnya tingkat metafisik, dan sebagai tingkat yang paling atas adalah apabila manusia telah menguasai pengetahuan eksakta yang berarti manusia itu telah mencapai tingkat positif. Pada umumnya, masyarakat menganut pendapat bahwa hierarkie nilai dalam kehidupan manusia itu identik dengan hierarki tingkat-tingkat kebenaran, sebab kebenaran ialah nilai itu sendiri.

4. Pembenaran terhadap nilai-nilai
Dalam teori nilai yang penting adalah pembicaraan tentang dasar nilai serta tempat nilai-nilai tersebut di alam ini. Selama kurang lebih dua abad yang lalu dimulai dari Yunani, tradisi Yahudi, Kristen dan bahkan lebih jauh Islam yang berkembang di jazirah arab telah menetpakan nilai-nilai yang sampai saat ini diakui dan tetap dipegang oleh setiap penganutnya. Menurut pandangan-pandangan tersebut ada nilai-nilai yang pokok (fundamental) dan langgeng. Untuk mempertahankan nilai-nilai tersebut terdapat beberapa cara. Pertama, ada nilai-nilai tertentu yang mutlak dan abadi. Nilai-nilai tersebut diberikan oleh Tuhan kepada manusia, atau terdapat pada alam ini.
Hal ini berarti bahwa dibalik kehidupan realitas yang kita jalani memberi dasar pembenaran terhadap berbagai disiplin keilmuan dan alam. Dan karena Tuhan telah menciptakan alam ini sesuai dengan fitrah Nya, maka hal itu terdapat ukuran kebaikan dan keburukan, benar dan salah. Ukuran-ukuran itu begitu rupa tanpa memandang apa yang kita fikirkan dan kita rasakan tentang keadaannya.
Cara kedua untuk mempertahankan nilai dapat dijelaskana dengan cara yang lebih bersifat eksperiensial, fungsional dan dinamik. Disitulah kita melihat pengaruh filsafat pragmatisme, personalisme, dan bermacam-macam filsafat proses. Menurut cara kedua ini, kita merupakan orang-orang yang dibesarkan dalam alam yang selalu berubah, dinamis dan kreatif. Menurut pandangan ini dasar nilai itu terletak dalam watak manusia dan nilai yang pokok adalah harga diri manusia. Mencari kebenaran dan kebaikan bersifat terus menerus karena keadaan selalu berubah dan pengetahuan selalu bertambah dengan cepat.
Dengan memperhatikan pembenaran-pemebnaran terhadap nilai-nilai yang ada pada manusia dan cara mempertahankan nilai-nilai tersebut, maka nilai dapat dibedakan menjadi nilai subjektif dan nilai objektif.
Mereka yang mengatakan bahwa nilai itu subjektif mengira bahwa pernyataan nilai menunjukan perasaan atau emosi dari suka atau tidak suka. George Santayana berkata bahwa tak ada nilai diluar penghargaan kita terhadap nilai itu. Emosi dan kesadaran keduanya penting untuk adanya kebaikan dan pemahaman kita kepada kebaikan itu.
Dewitt H. Parker berkata bahwa nilai itu terdapat didalam alam yang dalam, alamnya akal. Kepuasan keinginan dan nilai yang sesungguhnya; benda yang mengantarkan kepada kepuasan itu hanyalah alat (instrument). Nilai itu selalu merupakan pengalaman, bukannya benda atau objek. Benda-benda itu mungkin berharga akan tetapi bukan nilai.
Mereka yang mengatakan nilai itu objektif beranggapan bahwa nilai-nilai itu terdapat didunia kita dan harus kita gali. Nilai fakta (value fact) kualitas atau kumpulan kualitas mengundang pertimbangan kita. System filsafat seperti Plato dan Aristoteles, realisme abad pertengahan, Neo Thomisme, beberapa tipe realisme dan idealisme setuju bahwa nilai itu, dalam batas tertentu, adalah objektif.
Mereka yang menyokong pendapat bahwa nilai itu objektif akan mengatakan bahwa keindahan dan kebaikan itu dihargai oleh semua pihak dan bahwa diantara orang-orang terpelajar dan kritikus terdapat kesepakatan umum tentang pertimbangan nilai estetik.

5. Prinsip pemilihan nilai
Bagaimana kita haru memilih nilai-nilai yang kita perlukan dalam kehidupan kita ? terdapat suatu kesepakatan yang meluas tentang adanya kelompok-kelompok nilai tertentu, agama, moral, estetik, intelektual, kelimuan, ekonomi dan sebagainya. Tetapi tak ada kesepakatan tenatng jumlah nilai tersebut, wataknya, hubungannya antara yang satu dan yang lainnya, derajat masing-masing dan prinsip-prinsip yang harus kita pakai untuk mengendalikan pikiran. Karena pemilihan tentang nilai senantiasa dipengaruhi berbagai hal, baik dari dalam diri kita maupun dari luar.
Maka dari itu, setiadaknya terdapat beberapa hal yang [erlu kita cermati dalam prinsip-prinsip dalam pemilihan nilai, yaitu :
1) Nilai intrinsic (yang tampak dan dirasakan dalam diri) harus didahulukan atas nilai ekstrinsik (yang tampak dan dirasakan dari luar).
2) Nilai-nilai yang produktif dan secara relative bersifat permanent didahulukan terhadap nilai yang kurang produktif dan kurang permanent.
3) Kita harus memilih nilai-nilai kita atas dasar maksud-maksud yang menjadi pilihan kita, dan atas dasar ide-ide kita.

6. Nilai-nilai pendidikan dan tujuan pendidikan
Menurut Mohammad Noor Syam, pendidikan secara praktis tak dapat dipisahkan dengan nilai-nilai, terutama yang meliputi kualitas kecerdasan, nilai ilmiah, nilai moral, dan nilai agama yang kesemuanya tersimpul dalam tujuan pendidikan, yakni membina kepribadian ideal.
Tujuan pendidikan, baik itu pada isinya ataupun rumusannya, tidak akan mungkin dapat kita tetapkan tanpa pengertian dan pengetahuan yang tepat tentang nilai-nilai. Membahas tentang nilai-nilai pendidikan, tentu akan lebih jelas kalau dilihat melalui rumusan dan uraian tentang tujuan pendidikan yang tersimpul dalam nilai-nilai pendidikan yang hendak diwujudkan dalam diri pribadi anak didik.
Untuk menetapkan tujuan pendidikan dasar, harus melalui beberapa pendekatan seperti: (1) pendekatan melalui analisis histories lembaga-lembaga social; (2) pendekatan melalui analisis ilmiah tentang realita kehidupan actual; dan (3) pendekatan melalui nilai-nilai filsafat yang normative (normative philosophy).
Sedangkan, menurut Aristoteles, tujuan pendidikan hendaknya dirumuskan sesuai dengan tujuan didirikannya suatu Negara (Rapar, 1998: 40). Dengan demikian, dapat diambil suatu pengertian bahwa nilai pendidikan bisa dilihat dari tujuan pendidikan yang ada.
Memang keadaan masyarakat dapatdiukur melalui pendidikan. Karena itu, kebobrokan masyarakat takkan diperbaiki dengan cara apa pun kecuali dengan pendidikan, begitu kata Plato. Sebagai contoh, tujuan pendidikan kita yang tersebut dalam BAB II Pasal 4 UUD No. 2 tentang Sistem Pendidikan Nasional adalah bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani-ruhani, kepribadian yag mantap dan mandiri, serta rasa tanggungjawab kemasyarakatan dan kebangsaan (UU No. 2/1989)
Dari uraian diatas, apa yang ditawarkan tersebut kiranya dapat terlihat dari tujuan pendidikan terutama di Indonesia.

7. Konflik nilai pada waktu ini
Banyak orang yang merasa bahwa perkembangan tekhnologi modern dibarengi dengan hilangnya perasaan tentang nilai. Tanpa rasa nilai yang kuat, jiwa manusia condong untuk menjadi lemah dan rusak. Semenjak tekhnologi diterapkan dalam kehidupan manusia, persoalan nilai selalu dibicarakan; para penyelidik berbagai bidang kelimuan selalu minta petunjuk dari para filsof moral.
Pergeseran nilai pada saat ini banyak kalangan menganggap telah menurun, dan hal ini ditandai dengan adanya kasus-kasus dalam masyarakat (penyimpangan social) yang berkembang seperti tindakan asusila, kriminalitas yang senantiasa meningkat, dan penghargaan yang kurang terhadap sesuatu bahkan sesame manusia sendiri.
Suatu pertanyaan pokok yang harus kita hadapi adalah : apakah system nilai yang kita junjung tinggi sebagai pribadi-pribadi dan sebagai kelompok-kelompok akan memperkuat dan mengembangkan aspek positif dan kreatif dari watak kita ?.

8. Etika jabatan
Fungsi dan tanggung jawab mendidik dalam masyarakat merupakan kewajiban setap warga masyarakat. Setiap warga masyarakat sadar akan nilai dan peranan pendidikan bagi generasi muda, khususnya anak-anak dalam lingkungan keluarga sendiri. Secara kodrati, apa pun namanya, tiap orangtua merasa berkepentinagn dan berharap supaya anak-anaknya menjadi manusia yang mampu berdiri sendiri. Oleh karena itu, kewajiban mendidik ini merupakan panggilan sebagai moral tiap manusia.
Yang jelas, kaum professional ialah mereka yang telah menempuh pendidikan relative cukup lama dan mengalami latihan-latihan khusus. Oleh karena itulah, dalam pendidikan seorang guru harus mempunyai asas-asas umum yang universal yang dapat dipandang sebagai prinsip umum, seperti:
1. Melakukan kewajiban dasar good will atau itikad baik, dengan kesadaran pengabdian;
2. Memperlakukan siapapun, anak didik sebagai satu pribadi yang sama dengan pribadinya sendiri;
3. Menghormati perasaan setiap orang;
4. Selalu berusaha menyumbangkan ide-ide, konsepsi-konsepsi dan karya-karya (ilmiah) demi kemajuan bidang kewajibannya.
5. Akan menerima haknya semata-mata sebagai suatu kehormatan.
Dan untuk menjadi seorang pendidik (guru) yang professional setidaknya ada beberapa persyaratan yang harus dimilki oleh seorang pendidik, baik itu dilihat dari aspek pribadi serta menjalin hubungan (relationship) dengan peserta didiknya. Diantara syarat-syarat tersebut ialah :
1. Berkaitan dengan diri seorang pendidik (guru) :
a) Sehat jasmani dan rohani;
b) Bertaqwa dan memiliki kecerdasan social;
c) Memiliki kecerdasan interlektual dan berpengetahuan luas;
d) Berwibawa;
e) Ikhlas;
f) Mempunyai orientasi yang jelas; dan
g) Menguasai bidang yang ditekuni.
2. Berkaitan dengan Sikap guru terhadap peserta didik:
a) Berlaku adil, tidak pilih kasih;
b) Mampu menjadi suri tauladan;
c) Bijaksana terhadap murid;
d) Memiliki kesabaran;
e) Tidak mudah marah dan mampu mengontrl emosi;
f) Mampu memberikan motivasi;
g) Menegur dengan bijak;
h) Memerintah dengan cara yang menyenangkan; dan
i) Mampu merangsang murid berkreasi.
Seorang pendidik professional harus banyak melakukan terobosan untuk merangsang dan membangkitkan kreativitas muridnya. Karena peserta didik ibarat kertas putih, ia harus dibiarkan tumbuh apa adanya. Seorang pendidik tidak boleh mengintervensi kesucian hidupnya, tugas pendidik adalah membimbing kejalan yang benar bila ia terlihat melenceng dari jalan kebenaran. Seperti tanaman yang tumbuh degnan subur apabila disirami dan diberi wahana yang cocok, kreativitaspun demikian adanya.

III. PENUTUP

A. KESIMPULAN
Tak ada gading yang tak retak, itulah ungkapan yang cukup bijak untuk mengilustrasikan segala bentuk perbuatan manusia. Dimana manusia adalah makhluk yang sempurna dengan segala keterbatasan dan kekurangannya. Manusia dikategorikan sebagai makhluk yang mempunyai peradaban, dan sebuah peradaban tidak bisa dipisahkan dari apa yang diwariskan oleh nenek moyangnya, salahsatunya adalah warisan sejarah, ideology dan bahasa. Bangsa yang besar adalah bangsa yang bisa mernghargai sejarah dan jasa para pahlawaannya, itulah peribahasa bangsa Indonesia yang hingga saat ini dan semoga pada masa yang akan datang akan tetap ada.
Sejarah akan terus berputar hingga pada akhirnya melalui proses yang alamiah akan menemukan jalur atau system dengan sendirinya untuk menentukakan arah yang terbaik bagI peradaban umat manusia, dan hal ini sangat perlu didukung oleh sumber daya manusia yang memiliki kepribadian tangguh dan mempunyai komitmen yang tinggi untuk menjunjung tinggi cita-cita dan keyakinannya.
Filsafat Pendidikan bukanlah hanya salahsatu dari mata kuliah yang harus dipelajari secara tekstual belaka, akan tetapi adalah untuk direalisasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dan semoga dengan tetap dipelajari tentang Pendidikan Kewarganegaraan akan menjadi motivator untuk perubahan terhadap degradasi moralitas bangsa.
Rasulullah Saw. Bersabda dalam sebuah Hadits qudsi “Aku jadikan pada manusia itu ada istana (qashr), didalam istana itu ada dada (shadr), dalam shadr itu ada qalbu, diadalam qalbu itu ada fu’ad, didalam fu’ad itu ada syaghaf, didalam syaghaf itu ada lubb, didalam lubb itu ada sirr, dan didalam sirr itu ada Aku (ANA)”. Hadits ini menjelaskan bahwa Aku adalah inti. Aku dalam hadits ini adalah Allah. Jadi, pada intinya manusia adalah sesuatu yang bersifat ilahiyah.
Jadi, pada dasarnya, seseorang dikatakan sebagai manusia jika ia mampu meletakan keimanan diatas segala keinginannya (nafsu). Manusia yang sempurna ialah manusia yang bisa menyeimbangkan potensi yang dianugrahkan Allah atas dirinya, yakni menyeimbangkan potensi akal, jasmani dan ruhani dan mengembangkannya secara proporsional.
Sejenak marilah kita merenung dan bermuhasabah diri, melihat keadaan sekitar kita yang terus berkembang, dan hal ini perlu ada benteng yang kokoh untuk membendung arus budaya luar yang dapat merobohkan semangat, idealisme bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang kita cintai ini. Dan salah satu benteng itu adalah dengan membekali para pemuda Indonesia dengan berbagai pemahaman cultural ke-Indoneisa-an serta penanaman jiwa nasionalisme.

B. EPILOG PERENUNGAN
  1. Pembangunan di era global menghadapi tantangan yang lebih kompleks dan membutuhkan kesiapan yang lebih tangguh dan berkompetisi disegala bidang.
  2. Kualitas manusia dan sumberdayanya akan banyak mempengaruhi pelbagai macam masalah pembangunan, mangingat unsure manusia bukan hanya sebagai objek pembangunan tetapi juga sebagai subjek atau mobilisator terhadap pembangunan.
  3. Dimensi kualitas manusia dan sumberdayanya, umumnya diukur dengan kepribadian, kreativitas, produktivitas, dan komitmen sosialnya. Untuk itu dibutuhkan rekayasa pembangunan sumber daya manusia.
  4. Aspek kepribadian merupakan aspek sentral dalam upaya pembangunan sumberdaya manusia mengingat eksistensinya sebagai pelaku pembangunan yang akan menentukan arah pembangunan dan makna pembangunan.
  5. Spiritualitas yang bersumber pada keimanan dan kesadaran religius, akan memberikan kontribusi yang besar terhadap pengembangan kepribadian dalam peningkatan kualitas sumberdaya manusia.

Hanya kepada Allah kita berserah diri, dalam kekuasaan dan genggaman -Nya kita bukanlah apa-apa. Pengetahuan yang kita miliki hanyalah setitik air disamudra-Nya yang Maha Luas, dan terkadang kita sering merasa berbangga diri pada apa yangkita peroleh dan apa yang kita miliki meskipun kita sadar didunia ini hanyalah persinggahan, karena akhirat adalah kehidupan yang sebenarnya. “Wal akhirotu khoirun limanit taqa” dan akhirat itu lebih utama bagi orang yang bertaqwa.
Ilmu akan membawa kita pada peradaban yang lebih tingi, dengan ilmu akan membawa seseorang untuk mewujudkan berbagai mimpi yang musykil dan mustahil, dan dengan pelbagai potensi yang diangugerahkan Tuhan kepada kita semua, semoga dapat dijadikan sebagai media untuk bersyukur pada-Nya.


DAFTAR PUSTAKA

Arief, Armai, Dr., 2007. Reformulasi Pendidikan Islam, Ciputat: CRSD Press.
Hasan, M. Thalchah., 2007. Dinamika Kehidupan Religius, Jakarta: Listafariska Putra.
Jalaludin, Prof. Dr. H & Prof. Dr. Abdullah Idi, M.Ed. 2007. Filsafat Pendidikan: Manusia, Filsafat, dan Pendidikan. Jogjakarta: Ar-Ruz Media.
Ramayulius, Prof. Dr. H., 2007. Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia.
Tafsir, Ahmad, Prof. Dr., 2006. Filsafat Pendidikan Islami (integrasi jasmani, rohani, dan kalbu memanusiakan manusia), Bandung : Remaja Rosdakarya.
Tholkhah, Imam, Dr., 2008. Profil Ideal Guru Pendidikan Agama Islam, Jakarta: Titian Pena.
Titus, Harold H. dkk., 1984. Persoalan-persoalan Filsafat, terj. H. M. Rasjidi, Jakarta: Bulan Bintang.
Widodo, Ardi, Dr., 2007. Kajian Filosofis Pendidikan Barat dan Islam, Jakarta: Nimas Multima.

Tidak ada komentar: