A. PESANTREN DI JAWA
1. Sejarah Munculnya Kata Pesantren
Banyak dari kita yang memaknai pesantren dengan bentuk fisik pesantren itu sendiri, berupa bangunan-banguan tradisional, para santri yang sederhana dan juga kepatuhan mutlak para santri pada kyainya, atau disisi lain, tidak sedikit yang mengenal pesantren dari aspek yang lebih luas, yaitu peran besar dunia pesantren dalam sejarah penyebaran Islam di Indonesia, begitupula begitu besarnya sumbangsih pesantren dalam membentuk dan memelihara kehidupan sosial, kultural, politik dan keagamaan.
Pesantren adalah bentuk pendidikan tradisional di Indonesia yang sejarahnya telah mengakar secara berabad-abad, Nurcholis Madjid dalam buku beliau yang berjudul Bilik-Bilik Pesantren (Paramadina-Jakarta, 1997) menyebutkan, bahwa pesantren mengandung makna keislaman sekaligus keaslian (indigenous) Indonesia. Kata “pesantren” mengandung pengertian sebagai tempat para santri atau murid pesantren, sedangkan kata “santri” diduga berasal dari istilah sansekerta “sastri” yang berarti “melek huruf”, atau dari bahasa Jawa “cantrik” yang berarti orang yang mengikuti gurunya kemanapun pergi. Dari sini kita memahami bahwa pesantren setidaknya memiliki tiga unsur, yakni; Santri, Kyai dan Asrama. Kata pesantren sendiri berasal dari akar kata santri dengan awalan "Pe" dan akhiran "an" berarti tempat tinggal para santri. Profesor (Zamakhsari;1983) berpendapat bahwa istilah santri berasal dari bahasa Tamil, yang berarti Guru mengaji
Secara terminologis dapat dijelaskan bahwa pendidikan pesantren, dilihat dari segi bentuk dan sistemnya berasal dari India. Sebelum proses penyebaran Islam di Indonesia, sistem tersebut telah digunakan secara umum untuk pendidikan dan pengajaran agama Hindu. Setelah Islam masuk dan tersebar di indonesia,sistem tersebut kemudian diambil oleh Islam. Istilah pesantren sendiri seperti halnya istilah mengaji, langgar, atau surau di Minangkabau, Rangkang di Aceh bukan berasal dari istilah Arab, melainkan India (Karel A Steenbrink, 1986). Namun, bila kita menengok waktu sebelum tahun 60-an, pusat-pusat pendidikan tradisioanal di Indonesia lebih dikenal dengan sebutan pondok, barangkali istilah pondok berasal dari kata Arab funduq, yang berarti pesangrahan atau penginapan bagi para musafir.
Potret Pesantren pada dasarnya adalah sebuah asrama pendidikan Islam tradisional dimana para siswanya tinggal bersama dan belajar ilmu-ilmu keagamaan di bawah bimbingan guru yang lebih dikenal dengan sebutan kyai. Asrama untuk para siswa tersebut berada dalam komplek pesantren dimana kyai bertempat tinggal. Disamping itu juga ada fasilitas ibadah berupa masjid. Biasanya komplek pesantren dikelilingi dengan tembok untuk dapat mengawasi arus keluar masuknya santri. Dari aspek kepemimpinan pesantren kyai memegang kekuasaan yang hampir-hampir mutlak.
Pondok, Masjid, santri, kyai dan pengajaran kitab-kitab klasik merupakan lima elemen dasar yang dapat menjelaskan secara sederhana apa sesungguhnya hakikat pesantren. Mengapa pesantren dapat survive sampai hari ini Ketika lembaga-lembaga pendidikan Islam tradisional peserti pesantren di Dunia Islam tidak dapat bertahan menghadapi perubahan atau modernitas sistem pendidikannya. Secara implisit pertanyaan tadi mengisyaratkan bahwa ada tradisi lama yang hidup ditengah-tengah masyarakat Islam dalam segi-segi tertentu masih tetap relevan.
Disamping itu, bertahannya pesantren karena ia tidak hanya identik dengan makna ke-Islaman tetapi karakter eksistensialnya mengandung arti keaslian Indonesia (indigenous). Sebagai indigenous, pesantren muncul dan berkembang dari pengalaman sosiologis masyarakat lingkungannya. Ada satu hipotesa bahwa jika kita tidak mengalami penjajahan, mungkin pertumbuhan sistem pendidikannya akan mengikuti jalur-jalur yang ditempuh pesantren-pesantren. Sehingga perguruan-perguruan tinggi yang ada sekarang ini tidak akan berupa ITB, UI, IPB, UGM, UNAIR ataupun lainnya tetapi mungkin namanya Universitas Tremas, Krapyak, Tebuireng, Bangkalan, Lasem, dan seterusnya. Kemungkinan ini bisa kita tarik setelah melihat dan membandingkan dengan sistem pendidikan di Barat sendiri. Dimana hampir semua Universitas terkenal cikal bakalnya adalah perguruan-perguruan yang semula berorientasi keagamaan. Mungkin juga bila kita tidak pernah dijajah, kebanyakan pesantren tidak akan berada jauh terpencil di pedesaaan seperti kita lihat sekarang.
Dari keterangan sederhana ini saja kita dapat menarik garis linear tentang apa peranan pesantren dan dimana letak pendidikan pesantren dalam masyarakat Indonesia merdeka. Untuk bangsa yang lebih berkepribadian. Gambaran konkretnya dapat dianalogikan sebua pesantren Indonesia (ambil sebagai misal Tebuireng) sebagai sebuah kelanjutan pesantren di Amerika Serikat (ambil sebagai missal "pesantren" yang didirikan oleh pendeta Harvard di dekat Boston): Tebuireng menghasilkan apa yang dapat dilihat oleh bangsa Indonesia sekarang ini. Dan pesantrennya Pendeta Harvard telah tumbuh menjadi universitas yang paling prestigious di Amerika modern. (Nurcholish Majid, 1997).
Kini di tengah-tengah sistem Pendidikan Nasional yang selalu berubah-rubah dalam jeda waktu yang tidak lama, apresiasi masyarakat Islam Indonesia terhadap pesantren makin hari makin besar, pesantren yang asalnya sebagai Rural Based Institusion kemudian berkembang menjadi lembaga pendidikan urban. Lihatlah kemunculan sejumlah pesantren kota seperti di Jakarta, Bandung, Medan,Pekanbaru, Jogjakarta, Malang, Semarang, Ujung Pandang, atau sub-urban Jakarta seperti Parung, Cilangkap. Atau misalnya pesantren yang muncul pada tahun 1980-an seperti Pesantren Darun Najah, Cianjur, dan Ashidiqiyah di Jakarta; Pesantren Nurul hakim, al-Kautsar, Darul Arafah di Medan,mustafawiyyah Purba Baru di Mandiiling-Natal dan ada disekitarnya sekarang, Darul Hadits Hutabaringin,Darul Ikhlas di Dalan-lidang,dan Pesantren Muara Mais, Darul Hikmah di Pekan Baru dll.
2. Geneologi Sejarah Pesantren
Asal usul dan kapan persisnya munculnya pesantren di Indonesia sendiri belum bisa diketahui dengan pasti. Bahkan, peneliti tarekat dan tradisi Islam asal Belanda, Martin Van Bruinessen, menyatakan tidak mengetahui kapan lembaga tersebut muncul untuk pertama kalinya.Namun, memang banyak pihak yang menyebut –dengan berpijak pada pendapat sejarawan yang banyak mengamati kondisi masyarakata Jawa, Pigeud dan de Graaf– pesantren sudah ada semenjak abad ke 16.
”Namun tidak jelas, apakah semua itu merupakan lembaga pendidikan tempat pengajaran langsung. Karena sebutan `pesantren’ (sebuah istilah yang menurut saya baru muncul belakangan), patut dipertanyakan,”tulis Martin dengan mengutip pendapat pakar sejarah, Hoesien Djajadingrat, yang menulis buku mengenai sejarah Banten.
Disamping itu, menurut Martin, banyak penulis yang cenderung mengatakan bahwa keberadaan pesantren sebagai sarana kesenimbanguan dengan lembaga pendidikan pra-Islam, yang muncul dalam desa Perdikan. Namun, anggapan ini tidak sepenuhnya tetap, karena dengan status sebagai wilayah `bebas pajak kerja rodi’ keterkaitan pesantren dengan desa Perdikan itu tampaknya tidak ada sangkut pautnya.
Apalagi, melalui survei pemerintahan kolonial Belanda yang dilakukan pada akhir abad ke-19, ternyata dari 211 desa Perdikan yang ada, ternyata hanya empat desa saja yang penghasilannya diberikan untuk membiayai pesantren. Inilah yang kemudian menguatakan argumenatsi bahwa pesantren berdiri tersendiri dan tidak ada sangkut pautnya dengan adanya desa Perdikan itu.
Dari catatan sejarah, lembaga pendidikan pesantren tertua dadalah Pesantren Tegalsari di Ponorogo, yang didirikan pada tahun 1724. Namun sekitar seabad kemudian, yakni melalui survei Belanda tahun 1819, tampak sekali bahwa pesantren tumbuh dan berkembang secara sangat pesat, terutama di seluruh pelosok Pulau Jawa. Survei itu melaporkan lembaga pendidikan ini sudah terdapat di Priangan, Pekalongan, Rembang, Kedu, Surabaya, Madiun, dan Ponorogo.
Melihat data itu Martin Van Bruinessen yakin bahwa sebelum abad ke 18 atau sebelum berdirinya Pesntren Karang, belum ada lembaga yang layak disebut pesantren. Yang ada hanyalah tempat pengajaran perorangan atau perorangan biasa atau tidak terstruktur.
Pada fakta lain, dalam Serat Centhini, memang sempat disebutkan bahwa tokoh Jayengresmi yanh hidup sezaman dengan Sultan Agung Mataram, yaitu pada paruh Abad ke-17, mempunyai lembaga pendidikan pesantren. Tapi ini diragukan karena serat Centhini baru disusun pada awal abad ke-19. S
Sedangkan, `klaim’ lain bahwa pesantren sudah berdiri sejak ke-16 atau seiring masuknya Islam di Banten sudah ada pesantren yang disebut Perguruan Karang, juga diragukan.
B. MEUNASAH, DAYAH, DAN RANGKANG DI ACEH
“Sejak berdirinya kerajaan Peurelak di Aceh, penyelenggaraan pendidikan di Aceh berorientasi pada ajaran agama Islam. Pendidikan Islam bertujuan membentuk manusia yang beriman dan bertakwa kepada Allah SWT dan rasulNya, akhlak mulia, beridisiplin tinggi, bijaksana, dapat berdiri sendiri, bertanggung jawab, cerdas dan trampil, sehat jasmani, dan rohani, aktif dan kreatif, cermat dan teliti, sabar serta menyerah diri pada ketetapan Allah SWT. Begitulah tujuan pendidikan yang harus dicapai oleh perserta didik menuju ajaran Islam.” (AR Rum 51).
1. Pendidikan Meunasah
Meunasah(red, tempat ibadah) terdapat di setiap Gampong (desa). Meunasah berfungsi ganda: satu, sebagai tempat ibadah, dua, sebagai tempat belajar, tiga, sebagai tempat musyawarah. Watee meuruno( jadual belajar) : Seupot (sore) : 07. 30. – 9.00am Malam 20.00 – 22.00 pm. Peserta didik terdiri dari Anak-anak yang berusia antara 7-14 tahun. Semua anak-anak berada dalam satu kampung belajar di Meunasah. Mereka diserahkan oleh orang tuanya masing-masing kepada guru mengaji/teungku dengan satu upacara khusus. Upacara itu sebagai tradisi masyarakat mengantarkan anak mengaji.
2. Pendidikan Rangkang
Pendidikan Rangkang dibangun pada setiap kemukiman. Biasanya pembangunan rangkang berdekatan dengan Mesjid. Gunanya untuk memudahkan peserta didik untuk shalat berjama’ah setiap waktu. Pada zaman dahulu mesjid hanya terdapat pada setiap kemukiman. Jumlah rangkang di Aceh sama banyaknya dengan jumlah kemukiman pada waktu. Peserta didik pada tingkat rangkang berasal dari anak-anak kampung yang telah menyelesaikan pelajarannya di Meunasah. Bagi mereka yang ingin melanjutklan pelajaran yang lebih tinggi mereka diantarkan oleh orang tuanya ketempat itu. Karena pembangunan rangkang berjauhan dengan kampung, peserta didik kebanyakan memondok di kawasan rangkang. Waktu belajar di rangkang biasanya pagi dan sore. Pada malamnya mereka belajar dengan teman-temannya di tempat pemondokan masing-masing. Cara belajar berkelompok sudah lama dipraktekkan di rangkang dengan bimbingan kawan sebaya (Tengku Sida).
3. Pendidikan Dayah
Pendidikan Dayah terdapat di setiap Negeri. Satu Negeri terdiri dari beberapa buah kemukiman. Kepala pemerintahan negeri disebut Ulee Balang. Pembangunan pendidikan dayah mungkin berdekatan dengan mesjid ada juga yang tidak. Apabila pembangunan pendidikan dayah tidak berdekatan dengan mesjid, dalam komplek dayah itu dibuat sebuah Aula tempat peserta didik shalat berjama’ah. Peserta didik tingkat Dayah adalah mereka yang telah menyelesaikan pendidikan nya dirangkang. Pendidikan tingkat dayah diatur lebih rapi. Pada umumnya peserta didik memondok. Kegiatan belajar lebih banyak. Ada yang berlangsung pada waktu pagi, ada pula yang berlangsung pada waktu sore, dan ada pula yang berlangsung pada waktu malam hari. Belajar di dayah lebih mandiri. Latihan lebih banyak. Seperti latihan berpidato, latihan dakwah, latihan berbicara, dengan bahasa Arab dan lain-lain. Latihan-latihan itu dilakukan supaya peserta didik lancar melakukan kegiatan-kegiatan dalam masyarakat. Pada waktu libur panjang bulan puasa dan pada bulan haji siswanya pulang kampung masuk kampung untuk mempraktekkan pengetahuannya.
4. Pendidikan Dayah Chik
Dayah Chik merupakan perguruan tinggi Islam zaman dulu. Setiap kerajaan Islam di Aceh memiliki dayah Chik tersebut. Kerajaan-kerajaan Islam tersebut:
1. Kerajaan Islam Peurelak
2. Kerajaan Islam Tamiang
3. Kerajaan Islam Dayah
4. Kerajaan Islam Banda Aceh Darussalam
Jumlah dayah tinggi sejak dari tahun 840-1903 (Masehi) lebih 50 buah di seluruh Aceh.
Dayah Chik Cot Kala ialah yang tertua Di Aceh berlokasi di Cot Kala, wilayah kerajaan Islam Peurelak.
Pendiri: Teungku Muhammad Amin atau Teungku Chik Cot Kala.
Teungku Chik Kala kemudian menjadi raja di kerajaan Islam Peurelak (Aceh Timur) Memerintah dari 922-964 Masehi bergelar Sultan Malik Muhammad Amin Syiah Johan.
Dayah Chik Tanoh Abee berlokasi di dekat Lampisang, Seulimeum (Aceh Rayeuk). Didirikan oleh Teungku Chik Tanoh Abee pada tahun 1870 Masehi. Terkenal dengan perpustakaannya yang terbesar.
Dayah Chik di Rundeng Berlokasi di Rundeng, Singkil. Didirikan oleh Hamzah Fansuri, paman dari Teungku Syeh Abdul Rauf Syiah Kuala. sekitar tahun 1600 Masehi. Terkenal se Asia Tenggara. Dayah Suro, Terletak di Suro, Simpang Kanan, Singkil. Didirikan oleh Ayahnda Tgk. Syeh Abdul Rauf pada abad 16.
Dayah Teungku Chik Di Anjong Didirikan oleh Sayed Abubakar bin Husein Balfaqih tahun 1760 Masehi. Berlokasi di Peulanggahan, Banda Aceh, semasa Sultan Alaidin Muhammad Syiah tahun 1760-1791.
Dayah Teungku Chik Mesjid RAYA BAITURRAHMAN
Didirikan pada masa Sultan Iskandar Muda. Terdiri dari beberap Fakultas:
a. Darrut Tafsir Wal Hadis (Jurusan Tafsir dan Hadist)
b. Darrut Thab (Fakultas Kedokteran)
c. Darul Kimia (Fakultas Ilmu Kimia)
d. Darut Tarikh(Fakultas Ilmu Sejarah)
e. Darul Hisab (Fakultas Ilmu Pasti)
f. Darul Srayasah (Fakultas Ilmu Politik)
g. Darul Aqli (Fakultas Ilmu Akal)
h. Daruz Zira’ah (Fakultas Pertanian)
i. Darul Ahkam (Fakultas Hukum)
j. Darul Falsafah (Fakultas Ilmu Tauhid)
k. Darul Kalam (Fakultas Ilmu Bahasa dan Sastra)
l. Darul Qizarah (Fakultas Ilmu Pemerintahan)
m. Darul Khasanah Baitul Mal (Fakultas Ilmu Keuangan Negara)
n. Darul Ardli (Fakultas Ilmu Pertambangan)
o. Darul Nahwa (Fakultas Tata Bahasa)
p. Darul Mazahib (Fakultas Ilmu Perbandingan Agama)
q. Darul Harb (Fakultas Ilmu Peperangan)
Seluruh lembaga Pendidikan dari setingkat Meunasah hingga Dayah dibangun oleh masyarakat. Pada zaman Iskandar Muda, system administrasi dan organisasinya disempurnakan. (pp. 48-54) Umumnya Meunasah dan Rangkang satu lokasi dengan Dayah beserta Mesjidnya. Staf Pengajarnya selain dari Ulama Ulama besar seperti Teungku Syeh Abdul Rauf Al Fanshuri, Teungku Syeh Nurdin Ar Raniri, Hamzah Al Fanshuri, Syamsuddin Al Sumatrani, termasuk juga guru-guru besar luar negeri seperti Turki, Arab, Persia, India, dll. ( Sumber : Nagor, Drs. H. T. M. Yunus, 1995).
C. SURAU DI MINANGKABAU
1. Sejarah Surau sebagai Basis Perjuangan
Sejarah Surau untuk Pesisir Selatan di antaranya tercatat paling awal adalah Surau Burhanuddin Painan tahun 1523. Setelah itu menyusul surau Puluik-puluik Bayang. Surau Puluikpuluik ini termasuk basis kuat pengembangan Islam di Pantai Barat Sumatera Tahun 1666. Ulama besar membina surau Puluikpuluik itu ialah Syeikh Buyung Muda, salah seorang dari 6 ulama seangkatan Syeikh Burhanuddin Ulakan belajar dengan Syeikh Abdul Rauf Singkel di Aceh, sa’at berkobarnya Perang Pauh (mulai 28 April 1666). Bayang dengan basis surau ini basis konsentrasi perjuangan rakyat Sumatera Barat melawan Belanda, di antaranya dikenal Perang Bayang berlangsung lebih satu abad (mulai 7 Juni 1663, berakhir dengan Perjanjian Bayang 1771).
Perang Bayang ini sebenarnya berawal dari Sandiwara Batangkapas. Diceritakan ketika itu Indrapura sebagai pusat perdagangan miniatur dunia, amat waspada terhadap ancam pengaruh asing. Kerajaan Indrapura ini di belakang layar untuk mengelabui Belanda terus bermain mata dengan Inggiris dan Aceh serta Banten. Fenomena itu diketahui Belanda dan minta berdamai, demi kepentingan dagang mereka di perairan Indrapura dan pantai barat umumnya. Tahun 1660, Indrapura mengirim utusan ke meja runding perjanjian damai di Sungai Bungin (Batangkapas) dengan agenda penting di antaranya soal perdagangan lada di pantai Barat . Belanda amat merasa kecewa. Belanda menyatakan belum semua lada ke tangannya, Inggiris dan Aceh masih saja mengambil kesempatan dagang gelap. Perjanjian itu kemudian diperkuat dengan perjanjian berikutnya dikenal dengan Sandiwara Batangkapas, tahun 1662 (ada yang menyebut tempatnya di Taluk Kasai ada pula yang menyebut di Taluk Tampuruang). Belanda merasa semakin kecewa malah merasa dipermainkan. Dalam kekecewaan itu Belanda diam-diam membuat kekuatan baru dengtan membangun kekuasaan di pantai barat. Tahun 1962 itu juga Belanda mendirikan Loji VOC di Pulau Cingkuk yang mengundang marah kota-kota pantai barat.
Tahun 1663 terjadi lagi sebuah perdamaian penting disebut Perjanjian Painan (Painansch Contract). Perjanjian yang ditadatangani tanggal 6 Juli 1663 itu, disebut sebagai lajutan Sandiwara Batangkapas (1662). Disebut Sandiwara karena perjanjian itu adalah untuk menyandiwarai Belanda untuk kepentingan mengusir Aceh.
Minangkabau ketika itu tidak mengerti strategi Batangkapasnya sehingga Pesisir ditudung menjuang tanah kepada Belanda. Tetapi kota-kota pantai di bawah pengaruh Indrapura ketika itu, melanjutkan strategi itu, pura-pura berpihak ke Belanda (maling besar) untuk mengusir kekuatan Aceh di Pantai Barat amat terasa di Batangkapas, Indrapura, Tiku dan Padang. Tanggal 23 Juli 1663, pembesar-pembesar delegasi Perjanjian Painan kembali dari Batavia dalam urusan penandatangan Perjanjian Painan, tangal 6 Agustus 1663 delegasi itu singgah dan merapat di bandar Indrapura. Sebelum delegasi sampai kembali di Painan, disambut dengan Perang Bayang (7 Juni 1663) yang membuat pusing Belanda. Perang Bayang itu sebenarnya pergolakan seluruh negeri yang diadu domba Belanda. Dalam Perang se Pesisir itu melahirkan seorang pahlawan dikenal Sidi Rajo. Karena ia pemberontak melawan penjajah, Belanda menyebutnya urang maliang. Kata urang maliang itu bagi Belanda orang yang melawan kekuasaannya, dan bagi rakyat adalah pahlawan.
Abad ke-18 Bayang seperti juga beberapa nagari di Pesisir Selatan, melahirkan banyak ulama besar dan pejuang di pentas sejarah nasional, di antaranya Syeikh Muhammad Fatawi di Pancuang Taba, Syeikh Muhammad Jamil di Kapunjan, Syeikh Abdurrahman (kakek Ilyas Ya’cub pahlawan Nasional asal Bayang), Syeikh Abdul Wahab (Inyiak Kacuang) guru ayah penulis M.Yunus T. Di Tarusan ada Pakih Hud dan Pakih Samun yang muridnya tersukses adalah ayah Buya HAMKA yakni Dr. H. Abdul Karim Amrullah (HAMKA). Di Batangkapas dikenal Syeikh Yunus di IV Koto Mudik, Syeikh Batangkapas di Subarang Patai, Syeikh Surau Tanjung di Limau Sundai, dll. Ulama-ulama tersebut mempunyai surau yang diasuh, dibina oleh ninik mamak. Surau bagi ninik mamak adalah simbol budi, untuk membina anak kemanakan berbudi pekerti mulia. Cadiak pandai pun berperan mencerdaskan anak nagari.
Ketika itu nilai dasar ABS-SBK dalam tataran identitas masyarakat Minang sebagai kelompok masyarakat adat dan syarak (Islam) dibentangkan di Surau. Dr. Alis Marajo (2002:2) menyebut 4 nilai pada adat yakni budi, akal, ilmu, mungkin – patut. Empat nilai ini menurut Alis Marajo diambil dari nilai Syarak (Islam) setelah evolusi agama Majusi, Hindu, Budha (dan agama lain disebut Mukhtar Naim Palbegu). Orang Minang melihat Islamlah yang paling cocok dalam memperkuat nilai-nilai dasar Minang. Nilai yang nan-4 pada adat ini dipersandingkan dengan 4 nilai pada syarak (Islam) yakni hakekat, tarekat, ma’rifat dan syaria’t. Kombinasi nilai nan-4 pada adat dan nan-4 pada syarak itu tertuanglah dalam mamang adat : ka hakikat landasan budi/ ka tarekat landasan aka/ ka ma`rifat landasan mungkin dan patuik/ ka syari’at landasan ilmu. Nilai-nilai dasar adat itu disosialisasikan di lembaga-lembaga yang menjadi persyaratan berdirinya nagari, yakni (1) budi di surau (juga di gobah, palanta), (2) akal dibentuk di Balai, (3) Ilmu diuji di Gelanggang, dan (4) mungkin dan patut disosialisasikan di tepian tempat mandi.
Dirasakan betul dahulu sampai awal abad ke-20 surau tidak saja basis perjuangan nasional melawan penjajah, tetapi juga basis kehidupan banagari. Di surau tungku itu tigo sajarangan – tali tigo sapilin (anggo tango/ anggaran dasar, raso – pareso/ undang-undang, alua patuik/ hukum) amat kuat, dijalankan tiga tuanku (penghulu, alim ulama dan cadiak pandai). Fatwa (agama/ syarak) pada (wewenang) ulama, parentah (dijalankan secara adat) pada (wewenang) penghulu dan teliti (melihat tepat atau tidak) pada (wewenang) cadiak pandai. Jadi menegakkan syarak dan adat tiga tuanku itu bersinergi. Artinya salah satu unsur tidak managehkan tuah, santiang dan bagak surang-surang.
Semangat dan nilai sejarah sinergi ulama, penghulu dan cadiak pandai di surau dahulu sebagai basis kehidupan bernagari, perlu digali ulang. Nilai itu amat berguna bagi sukses otonomi daerah di Sumatera Barat (Perda 9/ 2000 – UU 22/99) memakai sistem kambali ke nagari (kembali hidup banagari), basisnya Surau terutama untuk Batangkapas. Kedepan perlu ada surau basis itu. Bagaimana bentuk surau basis dalam kehidupan bernagari Batangkapas. Dapatkah surau dijadikan basis alternatif pemakmuran kehidupan bernagari dalam visi ekonomi di samping sebagai pusat kebudayaan nagari.
2. Potensi Surau Basis Kehidupan Banagari
Kondisi objektif (potensi dan kelemahan) surau pada waktu kini: Potensin surau (a) ada tekad pemerintah dan komitmen anak nagari jadikan surau basis kehidupan banagari, (b) pranata adat masih kukuh punya institusi surau (meski pisik tidak ada/ ada tidak terawat), (c) surau simbol moral dan budi pekerti anak kemenakan dibina mamak, (d) sejarah surau melahirkan orang alim (cikal bakal ulama), tahu adat, punya ilmu bela diri untuk self-cofident (pe-de) dalam mengembangkan Islam dan adat, (e) surau – masjid marak sekarang dimanfa’atkan sebagai lembaga TPA/TPSA. Kelamahan surau: (a) eksistensi surau lemah di tengah sistem pendidikan baru (sisdiknas), (b) sejarah surau beralih ke madrasah dan menjadi institusi pilihan dalam pendidikan Islam, (c) surau kehilangan supremasi sebagai lembaga budi ninik mamak, (d) fungsi surau mengalami disintegrasi sosial (fungsi lama yang mapan kabur/ ditinggalkan, fungsi baru diraba dan dianut bahkan belum ditemukan), (e) KAN sebagai institusi adat belum punya solusi kembalikan fungsi surau dan basis kehidupan banagari, (f) Visi pemerintah daerah (termasuk Depag) tentang institusi surau kabur, sering masjid disamakan dengan surau dalam pembentukan basis pada sistem kembali ke nagari sekarang, padahal syarat nagari di antaranya basurau bamusajik dua institusi berbeda, (g) ninik mamak tidak berdaya (power lemah) membina aset surau sebagai simbol budi, (h) surau dibiarkan berjalan tanpa guru (Islam, adat, bela diri) dan kalau ada guru 1 atau 2 dibiarkan dalam tingkat kesejahteraan memprihatinkan dibanding guru dalam berbagai kursus anak-anak bidang studi umum lainnya, (i) responsibilitas anak nagari terhadap fungsi surau dan peranan gurunya mengalami pasang surut di samping merosotnya pemikiran orang Minang.
3. Peluang Surau sebagai Basis kehidupan Bernagari
Pengaruh lingstra (lingkungan strategis: internasional, regional, nasional dan daerah dengan derasnya arus modernisasi era global dan berbagai tantantangan lainnya di samping peluang untuk maju). Peluang surau: (a) model alternatif basis memakmurkan kesejahteraan kehidupan nagari dan (b) pusat kebudayaan nagari, seperti tempat pemberdayaan berbagai lembaga masyarakat melalui motivasi agama dan pusat informasi serta sosialiasi nilai Islami untuk memperkuat otoritas pemerintah dalam pengentasan kemiskinan (pemberdayaan ekonomi rakyat lewat motivasi agama ) dan pemberantasan dekadensi moral termasuk pekat/ maksiat. Tantangan surau: (a) kemajuan teknologi vcd (tv, internet) pengaruhi prilaku masyarakat, menantang anak nagari mempersandingkan vcd negatif dengan vcd ajaran Islam (vcd al-qur’an/ hadist, tafsir, fiqhi dan vcd cerita-cerita pendidikan Islam yang menarik dll), (b) sarjana agama yang punya alam pikir modern yang banyak tinggal di masjid pengaruhi alam pikiran tradisional ninik mamak, merubah fungsi/ arsitektur surau jadi masjid raya modrnis dan besar, lenyap dan roboh surau dan hilang kekayaan budaya/ gaya bangunan arsitektur masjid artistic klasik, menantang lahirnya surau modern dengan fungsi dan arsitek baru, (c) prilaku masyarakat terhadap surau – masjid, mendorong masjid dibangun besar, tapi tidak makmur (tidak ramai isinya), siang berfungsi shalat jum’at dan kadang disertai shalat mayat, banyak kosong, malam menakutkan sepi bagai rumah hantu, makanya ada yang pakai untuk bertapa bukannya untuk i’tikaf, bahkan siang terkunci, surau tidak aktif pula, kemana lagi anak kemanakan mau shalat, makanya banyak kemanakan tidak shalat, menantang memfungsikan surau sebagai tempat ibadat, ngaji Islam dan adat serta belajar ilmu bela diri agar percaya diri dan tangguh menghadapi tantangan dalam mengembangkan Islam.
4. Bentuk Surau
Surau, dahulu dapat dibedakan (1) surau nagari, (2) surau suku dan (3) surau paham keagamaan. Surau nagari merupakan institusi agama di samping masjid menjadi persyaratan nagari. Surau suku, dibina penghulu/ ninik mamak suku dalam pembinaan sopan santun anak kemenakan, maka oleh sebab itu surau suku simol budi. Surau paham keagamaan, berbentuk pusat pengajaran dan ibadat suatu paham tarekat, misal surau Pasia Lubuk Nyiur, Surau Tanjung Limau Sundai, Surau Nyaman Taluk dengan ulamanya adalah surau tarekat yang amat berpengaruh. Surau di nagari diurus penghulu di nagari, secara operasional diolah malim. Kalau di nagari setidaknya ada 4 suku maka suraunya 4 pula. Justeru Nagari punya syarat basurau-bamusajik (masjid) tampek baibadek (beribadat), tempat belajar cari/ uji kecerdasan dan tempat mengajar anak kemenakan berbudi pekerti mulia, di samping balabuah nan golong – bapasa (nan rami) tampek lalu dan malewakan kebesaran penghulu, batapian tampek mandi, babalai tampek bamusyawarah bamupakek, bagalanggang medan nan bapane tempat uji kepandaian. Urang nan-4 Jinih Penghulu Manti Dubalang Malim (n) (Andiko/ Adat) Urang Jinih nan-4 Imam Katik Bila Kali (Qadhi)
5. Surau Basis Ekonomi Rakyat
Suaru pada sebuah nagari juga basis ekonomi rakyat. Nagari bapusako (harta). (1) Pusako kabasaran disebut juga pusako martabat, yakni nan-4 jinih: penghulu, manti, malim (dikuatkan dengan urang jinih nan-4: imam, katik, bila dan qadhi), dubalang. (2) Pusako harato, yaitu hutan-tanah, sawah ladang, pandam pakuburan dan lambah, namanya ulayat. Hutan jauh baulangi, hutan dakek bakundano.
Di nagari ada parhinduan. Untuk mensejahterakannya ada harato sarikek (sarikat). Harato sarikek dipegang menurut adat oleh perempuan sulung dan dijago mamak nan tuo/ tunganai. Keduanya memenej harato sarikek seperti mambuek (mengolah) sawah dan mengolah tanah kariang. Fungsi ini sekarang mulai kabur. Harato yang tidak boleh dijual: rumah tanggo, sandi parumahan, kampuang halaman, pandam pakuburan, tapian dan lubuak, labuah nan golong, balai adat dan balai pakan, surau musajik, galanggang pamedanan, pangkat pusako, banda sawah, tanah ulayat serta kepunyaan kaum, suku dan nagari.
Harato sariket juga tidak boleh dijual. Kecuali membayar hutang adat dalam 4-hal: (1) maik tabujua di tangah rumah, (2) gadih gadang indak balaki, (3) rumah gadang katirisan dan (4) batagak panghulu. Harato pusako dimanfa’atkan untuk keselamatan nagari dan isi nagari. Karenanya harato pusako perlu di menej. Bentuk manajemennya ada dua alternatif. (1) ditingkat kaum harato sarikek dan (2) di surau – musajik dalam bentuk bait al-maal atau koperasi masjid. Harato sarikek dimenej oleh perempuan sulungnya dalam kaum dan dijaga tunganai. Bait al-mal di masjid dimenej oleh amil (pengurus) dipilih dari malim (ditambah urang jinih nan-4 dalam nagari. Sumber harato dari: harato pencaharian pribadi (yang kayo) dan harato nagari serta infak, shadaqah serta zakat. Harato nagari dari ulayat nagari (penghulu dan rajo) diolah nagari dalam bentuk pengurus dan pengurusan tertetu berdasarkan petua adat. Sejalan adat salingka nagari. Nagari otonom yang setelah merdeka berada dalam kerangka NKRI. Nagari punya kewenangan tanpa lepas hubungan dengan Kabupaten melalui Kecamatan, seterusnya ke Provinsi dan pusat.
Hasil harato yang diurus nagari sepanjang adat salingka nagari (fatwa adat) dalam bentuk bungo: ameh (tambang), tanah, kayu, hutan randah, pasia, ampiang, takuk kayu, pancuang aleh, karang (laut dan perairan), babang pamukatan, solok balanggadai, taluak panjariangan (dalam teritorial rajo), tungku panggaraman (tanah kekuasaan rajo), tali ayam, tokok lantak, lacuik lantak, hak danciang pangaluaran (impor), ubua-ubua gantuang kamudi (perahu yang menjatuhkan sauh), ameh manah (penguatkan pemerintahan nagari) dll. Ulayat rajo, antaro limbua pasang mudiak dengan bukit nan bakabuik, lalu ka padang nan barumpuik, nan bacapo babilalang, basikaduduak barumpuik-barumpuik, sampai baluka dengan hutan, nan baaka nan bapilin, rotan nan bajalin, bakalumpang nan babaniah. Ulayat penghulu, sejak dari rumpuik dan salai, jirak nan sabatang, terus ke pasia nan sabutia, bumi nan takasiak bulan, sampai kaawan dan babasuik jantan.
6. Surau dan Arah Kedepan
Surau basis kehidupan nagari, dipegang penghulu nagari bersama malinnya diperkuat surau suku yang dibina ninik mamak suku dengan orang jinih nan-4-nya (imam, khatib, bila dan qadhi). Arah kebijakan, program, kegiatan dan upaya serta strategi pelaksanaannya disesuaikan dengan potensi dan peluang bagi kemajuan surau sebagai basis pemakmuran kehidupan banagari. Misalnya surau dalam arah kebijakan basis pengembangan harato nagari dan pemberdayaan lembaga ekonomi anak nagari. Di surau dibina kelompok ekonomi lewat motivasi agama, sejalan dengan arah kebijakan lain pembelajaran Islam, adat, ilmu bela diri dan pembentukan prilaku yang beradat dan Islami, pusat budaya nagari serta pusat informasi membantu nagari dalam strategi menoleh keluar bekerjasama dengan dunia luar (vi to vi / village to village/ nagari dengan nagari). Bila harato nagari dan lembaga ekonominya terolah dalam dua manajemen (nagari dan surau basis) sejalan dengan pelaksanaan arah kebijakan lain surau tadi, maka kondisi ideal (yang diharapkan bagi kemajuan surau), rakyat aman (sanang) dan nagari makmur (padi manjadi jaguang maupiah), budi mulia, ibadat kuat, maksiat jauh samo sakali, masyarakat sembuh dari pekat, merupakan bagian dari cita-cita kehidupan banagari.***YY Dt.Rajo Bagindo.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Taufik. Ed. Agama dan Perubahan Sosial, Jakarta : CV. Rajawali, 1983
Arifin, HM., Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2003
Drajat, Zakiah, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta : Bumi Aksara, 1996
Gunawan, Ary H, Sosiologi Pendidikan, Jakarta : PT. Rineka Cipta, 2000
Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2001, cet. 4
Ibrahim, M, et.al., Sejarah Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh, Jakarta : CV. Tumaritis, 1991, cet 2
Mustofa.A, aly, Abdullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Untuk Fakultas Tarbiyah, Bandung : CV. Pustaka Setia, 1999
Purwanto, M. Ngalim, Ilmu Pendidikan Teoritis, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,1992
Redaksi Penerbit Asa Mandiri, Standar Nasional Pendidikan (NSP), Jakarta: Asa Mandiri, 2006
Sunanto, Musrifah, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2005
Tafsir, Ahmad, Sumbangan Islam Kepada Ilmu dan Kebudayaan, Bandung : Pustaka, 1986
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, Dirasah Islamiyah II, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1993
Zauharini, et.al., Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta : PT. Bumi Aksara, 2000, set 6
http://hildaku.blog.com/614889/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar