19 Maret 2010

SEJARAH TIMBULNYA THARIQAH DALAM DUNIA TASAWUF

A. Pendahuluan

Manusia merupakan makhluk yang diciptakan dan dibekali dengan 2 unsur, naterial (dzahiriah) dan spiritual (bathiniyah). Keduanya senantiasa menampakan daya tarik bagi manusia, sehingga manusia tidak pernah merasa puas berhenti mengejarnya. Tiap unsur melahirkan konsekuensi yang berbeda. Material, makin jauh manusia mengejar dirinya akan merasa dahaga, merasa kehampaan hebat, karena tidak tentram, dan jauh dari nilai religiusitas yang menyejukan hatinya. Spiritual, makin manusia mendekati, diriny akan merasa tentram. Hidupnya lebih nyaman dan tentram.
Rasulullah Saw. Bersabda dalam sebuah Haduts qudsi “Aku jadikan pada manusia itu ada istana (qashr), didalam istana itu ada dada (shadr), dalam shadr itu ada qalbu, diadalam qalbu itu ada fu’ad, didalam fu’ad itu ada syaghaf, didalam syaghaf itu ada lubb, didalam lubb itu ada sirr, dan didalam sirr itu ada Aku (ANA)”. Hadits ini menjelaskan bahwa Aku adalah inti. Aku dalam hadits ini adalah Allah. Jadi, pada intinya manusia adalah sesuatu yang bersifat ilahiyah.
Dalam pada itu Ibn 'Arabi melukiskan hakekat manusia dengan mengatakan bahwa tak ada makhluk Allah yang lebih bagus dari manusia. Allah Swt. Membuatnya hidup, mengetahui, berkuasa, berkehendak, berbicara, mendengar, melihat dan memutuskan, dan ini adalah merupakan sifat-sifat rahbaniiyah.
Selanjutnya al-Ghazali menyatakan, bahwa manusia ciptan Allah Swt. Yang terdiri atas dan unsure jasmani dan ruhani. Namun jika manusia ingin hidup sesuai dengan fitrahnya, sehingga akan membedakan dirinya dengan makhluk Allah lainnya, maka hendaklah ia mempergunakan unsure psikisnya secara dominant. Jika tidak, manusia akan kehilangan esensinya sebagai manusia.
Dalam kehidupan modern, manusia selalu ditawari oleh gemerlapnya keindahan dan kemudahan mendapatkan materi. Manusia akan haus mengejar materi sebanayak mungkin. Dia selalu merasa tak poernah puas dengan materi yang dimilikinya. Karenanya, manusia akan selalu berusaha sekuat tenaga untuk mencapai klimaks dari berbagai keinginannya, dan pada akhirnya nanti ia akan merasa kekeringan jiwanya, kerontang perasaannya, kegalauan yang hebat, kegersangan pikiran dan kejenuhan dalam kehidupan meskipun manusia telah banyak menghasilkan dan memiliki materi. Hingga akan mencari ketenangan hidup yang akan membawanya pada pencerahan pikiran dan kebeningan hati, dan manusia akan berupaya untuk mendapatkan ketenangan batin demi memenuhi kebutuhan spiritualnya.
Melalui ini, manusia melakukannya dengan perantaraan tahapan olah ruhani, pembersihan jiwa, lalu mengisinya dengan cahaya ilahi. Tahapan itu tidak mudah dilakukan sendiri, melainkan dibutuhkan orang yang mampu dan tempat yang representatif dapat membantu. Salah satunya, lembaga lembaga olah bathin atau thariqah (sering diucap tarekat), karena lembaga tersebut banyak memberi harapan bagi yang diinginkan manusia.

B. Konsep Thariqah Sebagai Suatu Gerakan Kaum Sufi

Menurut Usman Said dkk. Thariqah ialah tahawuf yang telah berkembang dengan beberapa variasi tertentu, sesuai dengan spesifikasi yang diberikan syaikh kepada muridnya, karena jaran pokok thariqah sama dengan tashawuf. Tujuan tashawuf memperoleh tujuan langsung dan didasari dengan Allah. Intisarinya ada komunikasi dan dialog antara ruh manusia dengan Allah melalui pengasingan diri dan kontemplasi.
Hubungan thariqah dengan tashawuf, berawal dari tashawuf yang berkembang dengan berbagai macam faham dan aliran, hingga orang yang berkecimpung didalam tashawuf, lazimnya melalui suatu thariqah yang sudah ada. Peralihan tashawuf yang personal ke thariqah yang melembaga, tak bisa dilepaskan dari pertumbuhan dan persebaran tashawuf. Makin luas pengaruh tashawuf, mendorong orang ingin memplajari tashawuf, dan menerima orang yang memiliki ilmu dan pengalaman luas dalam pengamalan tashawuf yang dapat menuntunnya. Agar tidak tersesat, maka ada kewajiban belajar dari seorang guru (mursyid) dengan metode mengajar yang disusun berdasarkan pengalaman suatu praktek tertentu.
Secara etimologi, pengertian thariqah berasal dari bahasa Arab, thariqah, yang sepadan maknanya dengan sirah, perjalanan atau madzhab, cara (jalan). Bentuk jamak thariqah ialah thara’iq. Berbeda dengan thariq, yang bentuk jamaknya thuruq. Kata kedua, mempunyai arti lintasan luas dan memanjang yang lebih luas dari jalan raya. Sepintas kedua kata mempunyai kesamaan makna, namun jika dicermati terdapat perbedaan makna. Thariqah lebih menekankan sebuah perjalanan yang sudah diatur melalui cara tertentu, sedang yang kedua, tidak mempunyai pengertian yang demikian.
Sementara Nurcholis Majid mengatakan, thariqah secara harfiah berarti jalan, sama dengan syari’ah, sabil, shirath, dan manhaj. Maksudnya, sebagai jalan menuju Allah guna memperoleh ridla-Nya, dengan menaati ajaran-ajaran Nya. Dia mengutip Q.S. Al-Jinn (72) : 16. sedang Harun Nasution, mengartikan thariqah sebagai jalan yang harus ditempuh calon sufi denga tujuan berada sedekat mungkin dengan Tuhan. Thariqah lantas mengandung arti organisasi. Tiap thariqah memiliki syaikh, upacara ritual dan bentuk (kaifiyah) dzikir tersendiri.
Dari sudut pemakaian di Indonesia, istilah thariqah mengacu pada 2 (dua) pengertian. Pertama, acuan sebuah carayang merupakan paduan antara doktrin, metode dan ritual. Kedua, acuan organisasi, baik secara formal maupun informal, yang menyatukan pengikut-pengikut jalan tertentu. Di Timur Tengah, thariqah dalam arti kedua ini biasa dinamai thaifah (keluarga atau persaudaraan), sehingga untuk membedakannya sangatlah mudah.

C. Munculnya Thariqah

Peralihan tashawuf yang bersifat personal pada thariqah yang bersifat lembaga tidak terlepas dari perkembangan dan perluasan tashawuf itu sendiri. Semakin luas pegaruh tashawuf, semakin banyak pula orang yang berhasrat mempelajarinya. Gerakan tashawuf mulai muncul pada abad ke-2 Hijriyah kemudian berkembang luas dan terpengaruh ajaran dari luar (diantaranya falsafah Yunani). Kemudian para sufi (sebutan bagi orang yang menekuni tashawuf )melakukan amalan-amalan, sambil membedakan pengertian syari’ah, thariqah, dan haqiqah serta ma’rifah. Menurut mereka, syari’ah untuk memperbaiki amalan-amalan lahir, thariqah untuk memperbaiki amalan-amalan bathin (hati), haqiqah (hakikat) untuk amalan segala rahasia ghaib. Sedangkan ma’rifah adalah tujuan akhir, yaitu mengenal hakikat Allah.
Mereka menemui orang yang memiliki pengetahuan dan pengalaman yang luas dalam pengembangan tashawuf yang dapat menuntun mereka. Belajar dari seorang guru dengan metode mengajar yang disusun berdasakan pengalaman dalam suatu ilmu yang bersifat praktikal adalah suatu keharuasn bagi mereka. Seorang guru tashawuf biasanya memang memformulasikan suatu system pengajaran tashawuf berdasarkan pengalamannya sendiri. System pengajarannya itulah yang kemudian menjadi cirri khas bagi suatu thariqah yang membedakannya dengan thariqah lain.
Seiring dengan perubahan kondisi sosial dan politikumat Islam, orang yang menekuni tashawuf mengjarkannya kepada orang lain. Hasilnya pengikut ajaran tashawuf berkembang dan makin banyak jumlahnya. Hingga pada abad ke-5 H atau abad 13 M, mulai terdengar istilah thariqah, buah pelembagaan kumpulan tashawuf. Ini ditandai, tiap silsilah thariqah selalu dihubungkan dengan nama pendiri maupun tokoh sufi.
Ditinjau dari segi historisnya, kapan dan thariqah mana yang mula-mula timbul sebagai suatu lembaga, sulit diketahui dengan pasti. Namun Harun Nasution menyatakan bahwa setelah al-Ghazali menghalalkan tashawuf yang sebelumnya dikatakan sesat, tashawuf berkembang di dunia Islam, tetapi perkembangannya melalui thariqah. Thariqah adalah organisasi dari pengikut sufi-sufi besar yang bertujuan untuk melestarikan ajaran tashawuf gurunya. Thariqah ini memakai suatu tempat disebut ribath (disebut juga zawiyah, hangkah, pekir). Ini merupakan tempat para murid berkumpul melestarikan ajaran tashawufnya, ajaran tashawuf walinya, dan ajaran tashawuf syaikhnya.

Organisasi serupa mulai timbul pada abad 12 M, tetapi belum baru tampak perkembangannya pada abad-abad berikutnya. Disamping untuk pria, ada juga thariqah wanita, tetapi tidak berkembang dengan baik seperti thariqah untuk pria.
Pada awal kemunculannya, thariqah berkembang dari dua daerah yaitu Khurasan (Iran) dan Mesopotamia (Irak). Pada periode ini mulai timbul, beberapa diantaranya:
1. Thariqah Yasaviyah yang didirikan oleh Ahmad al-Yasavi (w. 562 H/ 1169 M) dan disusul oleh thariqah Khawajaghawiyah yang disponsori oleh ‘Abdul Kholik Al-Ghuzdawani (w. 617 H/1220 M). kedua thariqah ini menganut faham tashawuf Abu Yazid al-Busthami (w. 425 H/ 1034 M) dan Yusuf bin Ayyub al-Hamdani (w. 535 H/1140 M). thariqah yasaviyah berkembang ke berbagai daerah, antara lain ke Turki. Disanan thariqah ini berganti nama dengan thariqah Bekhtashya yang diidentikan kepada pendirinya Haji Bektashy (w. 1335 M). thariqah ini sangat popular dan pernah memegang peranan penting di turki yang dikenal dengan Korp Jennisari yang diorganisasikan oleh Murad I pada masa turki Utsmani.
2. Thariqah Naqsabandiyah, yang didirikan oleh Muhammad Bahaudin an-Naqsabandi al-Awisi al-Bukhari (w. 1389 M di Turkistan. Dalam perkembangannya, thariqah ini menyebar ke Anatoli (Turki) kemudian meluas ke India dan Indonesia dengan berbagai nama baru yang disesuaikan dengan pendirinya di daerah tersebut, seperti thariqah Khalidiyah, Muradiyah, Mujadidiyah, dan Ahsaniyah.
3. Thariqah Khalwatiyah yang didirikan oleh Umar al-Khalwati (w.1397M) thariqah Khalwatiyah adalah salahsatu thariqah yang terkenal berkembang di berbagai negeri, seperti Turki, Syiria, Mesir, Hijaz dan Yaman. Di Mesir Thariqah Khalwatiyah didirikan oleh Ibrahim Gulsheini (w. 940 H/1534 M) yang kemudian terbagi kedalam beberapa cabang, antara lain thariqah Samaniyah yang didirikan oleh Muhammad bin Abdul Karim as-Samani (1718-1775 M). thariqah ini juga dikenal dengan Thariqah Hafniyah.
Thariqah Khalwatiah pertamakali muncul di Turki didirikan oleh Amir Sultan (w. 1439 M). Dari rumpun Mesopotamia yang berpusat di Irak, faham thariqahnya bersumber dari Abu Qasim al-Junaidi (w. 298 H/ 910 M) yang melahirkan berbagai thariqah dari berbagai garis silsilah. Akan tetapi, yang terkenal adalah thariqah Suhrawardiyah yang didirikan oleh Abu Hafs As-Surawardi, thariqah Kurawiyah yang didirikan oleh Najmudin al-Kubra’ (w. 1273 M). dan thariqah Maulawiyah didirikan oleh Jalaludin ar-Rumi (1207H/1273M). tiap-tiap thareqah iikemudian menumbuhkan berpuluh-puluh cabang dengan berbagai nama baru sesuai dengan nama pendirinya yang tumbuh dan tersebar ke seluruh dunia Islam. Akan tetapi, thariqah kubrawiyah sangan berkembang di Kawasan Turki.
4. Thariqah Safawiyah yang didirikan oleh Safiyudin al-Ardabili (wafat 1334 M).
5. Thariqah Bairamiyah yang didirikan oleh Hijji Bairan (w. 1430 M).
Di daerah Mesopotamia masih banyak thariqah yang muncul dalam periode ini cukup terkenal, tetapi termasuk rumpun al-Junaid. Thariqah-thariqah ini antara lain adalah :
1. Thariqah Qadiriyah yang didirikan oleh Muhy ad-Din abd Qadir Jailani (471 H/1078 M).
2. Thariqah Syadziliyah yang dinisbatkan kepada nama Nur ad-Din Ahmad asy-Syadzilli (593-656 M/1196-1258 M).
3. Thariqah Rifa’iyyah yang didirika oleh Ahmad bin Ali ar-Rifa’I (1106-1182 M).
Thariqah yang tergolong dalam kelompok Qadiriyah ini cukup banyak dan tersebar keseluruh negeri Islam. Thariqah Faridiyah di Mesir yang dinisbatkan kepada Umar bin Al-Farid (1234 M) yang mengilhami thariqah Sanusiyyah (Muhammad bin Ali as-Sanussy, 1787-1859 M) melalui thariqah Idrisiyyah (Ahmad bin Idris) di Afrika Utara, merupakan kelompok Qadiriyah yang masuk ke India melalui Muhammad al-Ghawath (1517 M) yang kemudian dikenal dengan thariqah al-Ghawthiyah atau al-Mi’rajiyyah dan di Turki dikembangkan oleh Ismail al-Rumi (1041/1631 M).
Karena banyaknya cabang thariqah yang timbul dari tiap-tiap thariqah induk, sulit bagi kita untuk menelusuri sejarah perkembangan thariqah ini secara sistematis dan konsepsional. Akan tetapi, yang jelas, sesuai dengan penjelasan Harun Nasution, cabang-cabang itu muncul sebagai akibat tersebarnya suatu alumbi thariqah yang mendapat ijazah thariqah dari gurunya untuk membuka perguruan baru sebagai perluasan dari ilmu yang diperolehnya. Alumni ini meninggalkan ribath gurunya dan membuka ribath baru di daerah lain. Dengan cara ini, dari satu ribath induk timbul ribath cabang, dari ribath cabang tumbuh ribath ranting, dan seterusnya sampai thariqah itu berkembang ke berbagai dunia Islam. Namun, ribath-ribath tersebut tetap mempunyai ikatan keruhanian, ketaatan, dan amalan-amalan yang sama dengan syaikhnya yang pertama.

D. Perkembangan dan Pergeseran Thariqah

J. Spencer Tirmingham menerangkan perkembangan tashawuf yang individual ke thariqah yang melembaga, dalam 3 (tiga) fase :
1. Tahap Khanaqah, saat zaman keemasan tashawuf abad 10 M. guru dan murod eriang pindah tempat, dan hanya berpegang pada aturan sederhana, samapai terbentuknya tempat pemondokan dan perkampungan tanpa pengkhususan dan pembagian fungsi. Bimbingan guru jadi asas yang diterima dan metode kontemplasi serta latihan, dimaksudkan untuk merangsang ekstase. Tiap guru mempunyai murid yang terikat dan ikut dalam latihan mistik dibawah tuntunannya. Guru memiliki khanaqah, pemondokan tempat murid dan latihan mistik. Tujuan murid itu perolehan pengalam mistik dan karenanya, sering berkelanan mencari seorang guru yang dapat membimbing dijalan ini.
2. Tahap thariqah sampai abad 13 M. terlihat intensitas perkembangan aliran tashawuf dengan pengajaran berkesinambungan: silsilah-thariqah, berasal dari orang yang mengalami pencerahan. Ada penyesuaian dan upaya penjinakan mistik dalam tashawuf yang terorganisasikan mecnuju pembakuan tradisi dan legalisme. Juga ada perkembangan metode kolektivistik gaya baru, untuk merangsang ekstase. Meski para murid tetap sering pindah tempat untuk mencari guru baru dan tinggal di khanaqah baru, mulai dari ‘Abdul Khaliq al-Ghuzdawani, w. 617 H/1220 M, telah ada system dalam tekhnik yang diterapkan bersama. Keterikatan sumpah setia murid, tidak saja kepada guru, juga terhadap thariqahnya dan oleh karena itu, keabsahan silsilah menjadi penting sekali.
3. Tahap Thaifah, sejak abad 15 M. Mulai terlihat ada transmisi ikrar sumpah setia, disamping doktrin dan aturan, hingga tashawuf menjadi gerakan kerakyatan. Terbentuklah dasar baru dalam thariqah, dan tampak percabangan kedalam sejumlah besarhimpunan atau aliran serta meleburkan diri dalam satu arus kultus wali. Memang masih ada yang mencri pengalaman mistik melalui metode thariqah. Thariqah tersebut lambat laun menjadi gerakan masal dan ritus dalam thariqah tersebut menjadi bentuk ‘peribadatan’. Pembai’atan terhadap syaikh, cenderung berkembang menjadi kultus wali. Thariqah telah menjadi organiasi dengan masing-masing hierarkhinyasendiri dan terlihat pada rutinisasi. Ini tampak pada pengangkatan seorang guru, untuk mengangkat seorag khalifah (wakil) didaerah lain, sebagai awal pencabangan dari suatu organisasi dengan jaringannya masing-masing, yang pelan-pelan berkembang.
Thariqah tetap saja merupakan seperangkat latihan spiritual yang dapat dilakukan secara pribadi, baik dalam bimbingan guru spiritualnya dari dekat maupun jauh. Dalam penilaian Martin, selalu saja ada perubahan. Tujuan sebagian pengikut barangkali mungkin hanya memperoleh kekuatan ghaib (supra natural) dan kesaktian, yang dalam pengamatannya samapai hari ini masih menjadi perhatian utama sebagian pengikut thariqah di Indonesia.

E. Penutup

Berkembangnya tradisi tashawuf telah melahirkan thariqah, yaitu suatu lembaga yang didirikan untuk mengembangkan ajaran tashawuf. Beraneka raga thariqah yang keberadaannya tersebar diberbagai tempat, dipengaruhi oleh letak geografis dank konteks kultur budayasetempat serta waktu, menjadikan setiap thariqah mempunyai corak ritual dan orientasi kegiatan yang berbeda-beda, tergantung siapa dan agama yang dianut kelompok yang dihadapi. Dalam keadaaan terjajah, ada kecenderungan pasti melawan dengan taruhan nyawa.
Sedang jika aman, lebih memilih tindakan yang saling menguntungkan, setidaknya pemuka atau mursyid thariqah. Begitu juga dengan masa depan thariqah, tak dapat dilepaskan dari carut marut permasalahan yang diahadapinya.

Hanya kepada Allah kita berserah diri, dalam kekuasaan dan genggaman -Nya kita bukanlah apa-apa. Pengetahuan yang kita miliki hanyalah setitik air disamudra-Nya yang Maha Luas, dan terkadang kita sering merasa berbangga diri pada apa yangkita peroleh dan apa yang kita miliki meskipun kita sadar didunia ini hanyalah persinggahan, karena akhirat adalah kehidupan yang sebenarnya. “Wal akhirotu khoirun limanit taqa” dan akhirat itu lebih utama bagi orang yang bertaqwa.
Ilmu akan membawa kita pada peradaban yang lebih tingi, dengan ilmu akan membawa seseorang untuk mewujudkan berbagai mimpi yang musykil dan mustahil, dan dengan pelbagai potensi yang diangugerahkan Tuhan kepada kita semua, semoga dapat dijadikan sebagai media untuk bersyukur pada-Nya.

DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Rosihon., 2007. Ilmu Tashawuf, Jakarta : Pustaka Setia.
Hasan, M. Thalchah., 2007. Dinamika Kehidupan Religius, Jakarta: Listafariska Putra.
Ramayulius, Prof. Dr. H., 2007. Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia.
Sentosa, ‘Irfan., Institusionalisai Ajaran Tashawuf Kedalam Gerakan Thariqah, TAJDID (Jurnal Ilmu-ilmu Agama Islam dan Kebudayaan), Vol. 15, No. 1, Maret 2008. LPP IAID Ciamis, Jawa Barat.
Tafsir, Ahmad, Prof. Dr., 2006. Filsafat Pendidikan Islami (integrasi jasmani, ruhani, dan kalbu memanusiakan manusia), Bandung : Remaja Rosdakarya.

Tidak ada komentar: