30 Maret 2010

PROFIL MURSYID ‘AM IKHWANUL MUSLIMIN KEDELAPAN

Nama: Muhammad Badi’ Al-Majid Sami
Tanggal dan tempat lahir: 7/8/1943 – Mahallah Kubra.
Status Perkawinan: Beliau adalah suami dari Sayyidah Samiyah Shinawi mantan Direktur Sekolah dakwah Islam di Beni Suef, putri dari Haji Mohammad Ali Shinawi seorang officer (pilot) dari generasi pertama jamaah Ikhwanul Muslimin yang dijatuhi hukuman mati pada tahun 1954 namun dianulir menjadi hukuman seumur hidup.

Jumlah Anak: Beliau memiliki 3 anak laki dan wanita:
1. Ammar (Insinyur komputer),
2. Bilal (radiolog),
3. Doha (farmasi),
sebagaimana beliau mempunyai 4 orang cucu yaitu: Ru’a, Habib, Iyad dan Tamim.

Pendidikan dan Prestasi:

- Bachelor of Veterinary Medicine – Kairo pada tahun 1965.
- Dosen Fakultas Kedokteran Hewan – Assiut pada tahun 1965.
- Master of Veterinary Medicine dan seorang asisten guru pada tahun 1977 di Universitas Zagazig.
- Doctor of Veterinary Medicine dan guru dari tahun 1979 di Universitas Zagazig.
- Asisten Profesor fakultas Kedokteran Hewan pada tahun 1983 – Zagazig University.
- Ahli Kedokteran Hewan pada Institut hewan di Sana’a 1982-1986.
- Dosen Kedokteran Hewan di Universitas Kairo pada tahun 1987 – cabang Beni Suef.
- Ketua Departemen Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan di Beni Suef pada tahun 1990 selama dua periode.
- Wakil dekan program Pascasarjana Universitas Beni Suef fakultas Kedokteran Hewan , pada tahun 1993 untuk satu periode.
- Menjadi pembimbing 15 thesis Master dan 12 disertasi doctoral (PhD), dan puluhan penelitian ilmiah di bidang dan spesialisasinya.
Pekerjaan saat ini:
- Dosen tetap bidang Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan – Universitas Beni Suef.
Aktivitas serikat buruh:
- Sekretaris Jenderal Jenderal Persatuan Dokter Hewan untuk dua periode.
- Bendahara persatuan profesi medis untuk satu periode.
Kegiatan sosial dan ilmiah:
- Anggota Asosiasi Dewan Kesejahteraan Islam di Mahalla al-Kubra.
- Anggota dewan club staf lembaga pendidikan Universitas Kairo selama 10 tahun, dan pengawas klub cabang di Beni Suef.
- Wakil Ketua Dewan lembaga dakwah Islam di Beni Suef pada tahun 1996.
- Ketua Asosiasi Perumahan anggota staf dan asisten Universitas Beni Suef.
- Ketua Dewan Direksi patologi dan patologi klinis setingkat negara.
- Ketua lembaga Journal of Veterinary Medical Research dari Fakultas Kedokteran Hewan – Beni Suef selama 9 tahun.
- Ketua Service Center, Fakultas Kedokteran Hewan lingkungan – Beni Suef.
- Pendiri Institut Kedokteran Hewan di Republik Arab Yaman, Sanaa, selama 4 tahun dari 1982-1986, serta mendirikan peternakan unggas dan hewan pribadi, dan penerjemahan kurikulum studi untuk bahasa Arab, dan mendirikan sebuah museum ilmiah dan bidang-bidang ilmiah lainnya pada institut kedokteran hewan.

Amanah dakwah:

- Anggota kantor administrasi di Mahala al-kubra tahun 1975 .
- Ketua kantor administrasi Mahala tahun 1977.
- Ketua Asosiasi Pendidikan negeri di Yaman 1982-1986
- Anggota Kantor Administrasi Beni Suef 1986.
- Ketua kantor administrasi Beni Suef pada tahun 1990.
- Ketua Departemen Pendidikan 1994
- Anggota Maktab Irsyad Alami (internasional) sejak tahun 1996 (Utara dan Selatan dan Utara kemudian hulu Mesir sebagai pengawas Pendidikan dan generasi muda).
- Anggota dari Kantor maktab Irsyad alami dan penilik sistem pendidikan pada tahun 2007.

Posisi dalam jamaah:

- Anggota Maktab Irsyad sejak tahun 1996.
- Anggota Maktab Irsyad alami (internasional) sejak tahun 2007.

Pengalaman bersama jamaah:
  • Pengalaman pertama; kasus (militer): dipenjara pada tahun 1965 bersama ustadz Sayyid Quthb dan Ikhwanul Muslimin lainnya, dan dihukum 15 tahun, di mana dia menghabiskan waktu di penjara selama 9 tahun, dan meninggalkannya pada tahnggal 4/4/1974, dan kembali bekerja di Universitas Assiut, dan kemudian dipindahkan ke Universitas Zagazig, dan kemudian ia terbang ke Yaman, lalu kembali dari sana dan mengajar di Universitas Beni Suef.
  • Pengalaman kedua: Dipenjara selama 75 hari dalam kasus lembaga dakwah Islam di Beni Suef pada tahun 1998, di mana ia menjadi ketua advokasi Beni Suef setelah penangkapan Haji Hasan Jaudah rahimahullah.
  • Pengalaman ketiga; kasus (militer): Masalah anggota serikat buruh pada tahun 1999; di mana pengadilan militer memvonisnya lima tahun penjara, beliau menghabiskan waktu 3 tahun dan tiga perempat tahun, lalu keluar pada putaran pertama pada tiga perempat tahun pada tahun 2003.
  • pengalaman keempat: pada saat diadakan pemilu lokal pada bulan April 2008 beliau dipenjara selama satu bulan.
Tulisan dan Buah Karya pada bidang Dakwah:
  • Artikel dan Hadits pada situs (ikhwanonline.com) dan lain-lain.
  • Tulisan dan khawatir Al-Quran (tadabbur) yang diterbitkan dalam Jurnal pada majalah (mujtama).
  • Murajaah dan penyajian konsep dakwah.
Nama Dr Mohammad Badi termasuk salah satu 100 tokoh terbesar di dunia Arab dalam enslikopedi ilmiah Arab yang diterbitkan oleh lembaga Informasi Ilmiah Mesir pada tahun 1999.

6. Ma’mun Al-Hudaibi; Mursyid Am keenam Ikhwanul muslimi

Beliau adalah seorang konsultan dan jaksa; Muhammad Ma’mun Hasan Ismail Al-Hudaibi, mursyid ke enam jamaah Ikhwanul muslimin, anak kandaung dari konsultan Hasan Al-Hudaibi, Mursyid Am kedua Ikhwanul muslimin yang menjabat pada tahun 1950 sampai 1973

beliau Lahir di propinsi Sohaj, Mesir tanggal 28 Mei 1921, dan keluarganya berasal dari desa Arab As-Shawalihah, distrik Syibin El-Qanatir, propinsi Al-Qolyubiyah, lalu setelah itu keluarganya banyak berpindah ke berbagai tempat dan kota di Mesir; karena orang tuanya adalah seorang Jaksa Hasan Al-Hudaibi, yang merupakan mursyid am kedua Ikhwanul Muslimin pada masa dari tahun 1951 hingga meninggal pada tanggal 13 Nopember 1973

Aktivitas Beliau

Ustadz Muhammad Ma’mun Al-Hudaibi menjalani masa pendidikan umum di berbagai sekolah di Mesir mulai dari tingkat ibtidaiyah hingga kuliah dan meraih sarjana pada kuliah hukum di Universitas Raja Fuad (sekarang universitas Kairo). setelah itu beliau ditetapkan sebagai wakil jaksa.
Kemudian secara beransur menjabat sebagai Jaksa Penuntut Umum kemudian ditunjuk sebagai hakim.

Kemudian setelah itu menjabat bidang peradilan hingga menjadi Ketua Pengadilan Banding di kejaksaan pemula di Kairo, yang merupakan akhir karirnya di pemerintahan di Mesir.
Setelah itu bekerja di Arab Saudi dalam satu periode dan kemudian kembali ke Kairo untuk mencurahkan dirinya dalam dakwah.
Akhirnya beliau menjabat sebagai ketua Pengadilan untuk Gaza pada tahun 1956.

Bersama jamaah Ikhwanul Muslimin

Ustadz Ma’mun Hudhaibi berpartisipasi dalam berbagai aktivitas dakwah dan harakah terutama dalam melakukan perlawanan rakyat saat terjadi agresi selasa atas Mesir pada tahun 1956 sehingga beliau ditangkap oleh pasukan pendudukan Israel
Kemudian beliau bergabung dengan jamaah Ikhwanul Muslimin, namun dirinya tidak terlepas dari penjara dan penangkapan pada masa pemerintahan Jamal Abdul Nasser pada tahun 1965 dan dipindahkan dari penjara perang dan Tora saat itu.
Kemudian pada pemerintahan Sadat pada tahun 1971 dibebaskan dari penjara, dan kemudian mengajukan gugatan untuk menuntut kembali bekerja di bidang peradilan, maka Pengadilan pun mengangkatnya kembali namun pemerintah menolaknya untuk kembali bekerja tanpa memberikan justifikasi apapun.

Di Parlemen

Jamaah mencalonkan beliau dan sekelompok Ikhwan lainnya pada pemilu tahun 1987 legislatif dan berhasil meraih 36 orang untuk menjadi anggota parlemen
Beliau menjadi anggota parlemen dari daerah pemilihan Al-Dokki, Propinsi Al-Giza
Kemudian pada saat itu pula beliau diangkat untuk menjabat sebagai juru bicara resmi fraksi Ikhwanul muslimin di Parlemen
Dan setelah itu, beliau terpilih sebagai Wakil Mursyid Am Ikhwanul Muslimin dan menjadi juru bicara jamaah Ikhwanul muslimin

Menjabat sebagai mursyid am Ikhwanul Muslimin

Pada saat menderita sakit dan koma yang dialami oleh Mursyid Am Ikhwanul Muslimin ustadz Mustafa Mashhour pada tanggal 29 Oktober 2002 akibat pendarahan otak yang telah meraja lela pada dirinya, dan akhirnya ustadz Ma’mun Hudaibi mengambil alih tugas jabatan Ikhwanul Muslimin.

Dan Pada hari Rabu sore, tanggal 22 Ramadan 1423 bertepatan dengan tanggal 27 November 2002 beliau terpilih menjadi Mursyid Am Ikhwanul Muslimin, menggantikan posisi ustadz Mustafa Mashhour sehingga beliau resmi menjadi Mursyid Am keenam Ikhwanul Muslimin

Wafatnya

Ustadz Ma’mun Al-Hudaibi meninggal setelah berbagai penyakit dan permasalahan kesehatan menyerang beliau, sehingga membuatnya sering keluar masuk rumah sakit untuk mendeteksi usus besarnya, kemudian meninggal setelah kembali ke rumahnya di Kairo.
Lebih dari 300 ribu warga ikut menyalatkan beliau di Masjid Rab’ah al-adawiyah setelah salat Jumat dan yang menjadi imam saat itu adalah “Khaled Hudhaibi,” putra almarhum, dan yang menjadi imam qashar bagi para musafir adalah ustadz Mohamed Helal, Mursyid Am sementara, karena beliau adalah anggota tertua hingga diadakan pemilihan baru
Prosesi pemakaman beliau dilakukan dengan berjalan kaki dari masjid menysuri jalan An-nasr, hingga tiba di pusat klub Al Ahli Al-Jadid di Nasr City, Timur Kairo, kemudian mayat beliau diusung dengan menggunakan mobil khusus dan diiringi dibelakangnya oleh ratusan mobil, mayat Ustadz Ma’mun dibawa untuk dikubur di pemakaman keluarganya di daerah Arab Alsowalihah, distrik Shibin El-Qanatir, provinsi Qaliubiya; dan almarhum dimakamkan disamping ayahnya “Hasan Al-Hudhaibi,” mursyid am Ikhwanul muslimin kedua.

5. Mustafa Masyhur; Mursyid Am kelima Ikhwanul Muslimin

Kehidupan beliau

Beliau lahir pada tanggal 15 September tahun 1921 di kota As-Sa’din dari kota Manya al-qamh, propinsi Timur. Ikut dalam belajar pada penulis desa sejak dua tahun. Kemudian masuk sekolah dasar di desanya, kemudian masuk sekolah I’dad di Manya Al-Qamh, lalu sekolah tsanawiyah (setingkat SMA) di Zaqaziq, setelah tinggal di Zaqaziq selama dua tahun mengikuti sekolah tsanawiyah, beliau pindah ke Kairo dan menyempurnakan sekolah tsanawiyahnya di sana, lalu masuk kuliah di universitas Kairo kuliah al-ulum, dan tamat pada tahun 1942.
Mengenal jamaah Ikhwanul muslimin pada tahun 1936.
Setelah lulus kuliah, beliau ditempatkan wajib militer pasukan udara dengan tugas “spionase udara”, kemudian pindah ke Alexandria, untuk menghabiskan waktu satu tahun dalam latihan, kemudian kembali ke Kairo untuk melakukan tugas sebagai pembawa berita melalui udara.

Pada bulan Juni tahun 1954 beliau di pindah kerjakan ke Marsa matruh dan disana beliau ditangkap dan dimasukkan ke dalam penjara perang.

Lalu dijatuhi hukuman 10 tahun penjara dan diwajibkan kerja paksa, kemudian dipindahkan ke daerah Liman Torh dan dimasukkan ke dalam penjara lumpur.
Pada tahun 1965 beliau kembali dipenjara; hingga akhirnya dibebaskan pada masa presiden Anwar Sadat dan memangku jabatan penting sebagai Mursyid Am Ikhwanul Muslimin setelah meninggalnya ustadz Muhammad hamid Abu An-Nasr pada tahun 1996
Ketika beliau pindah ke Kairo untuk melanjutkan pendidikan disana, saat beliau shalat di masjid suatu kampung tempat beliau tinggal, beliau melihat salah seorang jamaah memberikan majalah yang bernama “At-Ta’aruf”, dan mendengar pengumuman adanya pelajaran di masjid tersebut dan beliau diajak untuk menghadirinya, lalu beliau hadir dan mendengar salah seorang dari anggota Ikhwan berbicara tentang Islam, dan membuatnya sangat kagum akan penyampaian tersebut dan berambisi untuk terus menghadirinya.

Dan dalam satu masjid tersebut di umumkan bahwa imam Al-Banna akan memberikan pelajaran pada hari selasa di kota Al-Hilmiyah, maka ustadz Mustafa datang menghadirinya, dan sangat kagum dengan penyampaian ustadz Al-Banna, dan berambisi untuk terus mengikutinya, dan pada akhirnya beliau masuk menjadi anggota Ikhwan pada tahun 1936 dan berbaiat untuk komitmen dengan dakwah Ikhwan.

Kesaksian beliau atas perbedaan antara Ikhwan dan pasukan revolusi

Pada masa pemerintahan Abdul Naser yang berambisi untuk menjadi sosok tersendiri dalam revolusi, dan berhasil menjatuhkan pemerintahan Muhammad Najib, karena secara pangkat beliau lebih tinggi, lalu memberantas anggota dan pengikut jamaah Ikhwan padahal mereka adalah orang-orang yang berhasil melakukan revolusi dengan kader-kadernya dalam struktur tentara, sehingga terjadilah penangkapan atas mereka dan terjadilah pergolakan oleh senjata tentara, sehingga akhirnya para Ikhwan dapat bebas dan langsung pergi menuju Mursyid Ikhwanul Muslimin yang pada saat itu di pimpin oleh Hasan Al-Hudaibi dan meminta sikap terhadap apa yang terjadi.
Terjadinya krisis antara Ikhwan dan kelompok revolusi membuahkan berbagai penangkapan, dan dibebaskan kembali pada tahun 1954.

Dan pada tahun 1954 terjadi di kota Al-Mansyiah dan Abdul Naser menuduh mereka melakukan rekayasa peristiwa tersebut dan akhirnya 6 orang di antara mereka dijatuhi hukuman mati, diantaranya Abdul Qadir Audah, Syeikh Muhammad Faragalli, Yusuf Thal’at, Ibrahim At-Tayyib, Handawi Duwair dan Muhammad Abdul Latif”.

Mustafa Masyhur dalam penjara

Pada bulan Juni tahun 1954 beliau dipindah tugaskan ke daerah Marsa Matruh, namun di sana beliau ditangkap dengan tuduhan berada di balik kejadian Al-Mansyiah dan dimasukkan ke dalam penjara perang.

Dan pada tahun 1955 dijatuhi hukuman 10 tahun dengan kewajiban melakukan kerja paksa atas tuduhan dengan masalah yang dikenal dengan sebutan “Masalah mobil Al-Jiip” dan beliau menjalani hukuman tersebut dengan penuh.

Pada tahun 1965 presiden Abdul Naser mengeluarkan keputusan untuk menangkap seluruh orang yang sebelumnya pernah ditangkap, dan keputusan tersebut tetap bertahan hingga akhirnya Abdul Naser wafat dan mereka dilepaskan pada masa pemerintahan Anwar Sadat.
Kesaksian beliau pada peristiwa pembantaian di Torroh

Ustadz Mustafa masyhur berkata: “Pada tahun 1957 Abdul Naser merencanakan untuk mengulingkan raja Husain dari singgasananya melalui para tentara Ikhwan di Jordania, namun rencana tersebut berhasil tercium, sehingga akhirnya mereka gagal melakukannya, dan sang raja melakukan pembalasan atas perbuatan tersebut, sehingga diantara mereka ada yang dipenjara di Torroh. dan di tempat tersebut para ikhwan dipaksa kerja diatas gunung untuk memecahkan batu, dan ada diantara mereka yang sakit diberikan keterangan dokter agar tidak ikut naik gunung.

Pada suatu hari dikeluarkan keputusan seluruh napi harus naik ke gunung, baik yang sehat atau yang sakit, maka para Ikhwan pun keheranan akan keputusan tersebut, dan menanyakan sebabnya sehingga merekapun tidak mau keluar.

Namun seketika itu muncul sekelompok orang tentara membawa senjata dan masuk pada sekelompok Ikhwan melalui terowongan dan parit, lalu melepaskan tembakan atas mereka secara brutal dan keji, sehingga sebanyak 21 orang anggota Ikhwan terbunuh, kejadian tersebut disebut dengan nama “Pembantaian Torroh”.

Wafatnya beliau

Beliau wafat pada hari Selasa tanggal 29 Oktober tahun 2002 pada usia 83 tahun.

Karangan-karangan beliau

• Al-jihad huwa as-sabil
• Tasaulat ala thariq ad-dakwah
• Munajat ala at-thariq
• Muqawwimat rajulul aqidah ala thariq ad-dakwah
• Wihdatul amal al-islami fi al-qatrul wahid
• Zaad ala at-thariq
• Al-qudwah ala thariq ad-dakwah, ad-dakwah al-fardiyah
• Al-hayah fi mihrab as-shalat al-islam huwal al-hall, min fiqh ad-dakwah
• Al-qaid al-qudwah wa mutathallibatuhu baina ar-rabbaniyah wal madiyah
• Qadhaya asasiyah ala thariq ad-dakwah at-tiyar al-islami wa dauruhu fi al-bina
• Qadhiyah azh-zhulm fi dhaui al-kitab wa as-sunnah
• Thariq ad-dakwah baina al-ashalah wa al-inhiraf min at-tiyar al-islami ila Sya’b misr

4. Muhammad Hamid Abu An-Nasr, Mursyid Am Ke empat Ikhwanul Muslimin

Muhammad Hamid Abu An-Nasr, lahir pada tanggal 25 Maret 1913, di kota Manfaluth, propinsi Asyuth, Mesir. Sebuah daerah yang tumbuh di dalamnya Muhammad Hamid Abu An-Nasr, yang didirikan oleh kakeknya yang bernama Abu An-Nasr; seorang yang alim, Azahriy (ulama al-Azhar), penyair dan penulis dan merupakan salah satu pencetus kebangkitan kesusasteraan di Mesir di era Khadiwi Ismail, ikut juga berpartisipasi dalam penyusunan revolusi Arab, dan akhirnya Al-khadiwi Taufiq memutuskan untuk menentukan tempat tinggalnya di Manfelot , namun kemudian disingkirkan dengan cara diracun dan pada akhirnya meninggal pada akhir 1880.
Muhammad Hamid Abu Nasr hidup dalam keluarga yang kuat dengan kehidupan agama, sastra, dan politik. Dan hal tersebut diterjemahkan dalam partisipasinya mendirikan asosiasi keagamaan, dan forum kesusasteraan dan berpartisipasi dalam sistem politik; sehingga beliau dipercaya menjabat sebagai Amin mali (bendahara) Asosiasi Pemuda Islam, dan Ketua Asosiasi Reformasi Sosial Masyarakat dan anggota Komite Sentral delegasi di Manfelot.

Pada tahun 1933 menerima sertifikat kompetensi, dan menjadi anggota dari Asosisasi Reformasi Sosial Masyarakat di Manfalout tahun 1932, dan anggota dari Syubbanul Muslimin tahun 1933, dan Pada 1934 – 1935 M melallui temannya al-marhum ustadz Mohamed Abdul Dayem mendapat kabar bahwa mursyid pertama Ikhwanul Muslimin Hassan al-Banna akan berkunjung ke Jam’iyyah Syubbanul Muslimin di Asyuth, lalu beliau berbicara melalui telepon dengannya dan memintanya untuk untuk mengunjungi Manfalut untuk menyampaikan pidatonya disana. Dan setelah menyampaikan pidatonya mereka bertemu dan berdikusi bagaimana caranya mengembalikan umat Islam kepada Islam yang benar, dan saat itu beliau berkata kepada Imam Hasan Al-Banna berkata; namun hal ini bukanlah cara yang tepat untuk mengembalikan umat Islam pada masa keemasan dan kemuliaan masa lalu, beliau -Hasan Al-Banna- berkata kepadanya: jadi menurutmu bagaimana? Dan pada saat itu Muhammad Hamid Abu Nashr, berkata:” Saya pada waktu itu sangat berjiwa muda, dan senjata tidak pernah lepas dari saya seperti dalam menyambut pengunjung yang mulia yang saya cintai sebelum saya melihatnya. Saya berkata kepadanya: jadi satu-satunya cara untuk kembali kepada kemuliaan umat seperti masa lalu adalah ini… saya menunjukkan kepadanya senjata. Lalu beliau beliau turun dari tempat tidurnya seakan mendapatkan jawabannya, dan mendapatkan apa yang diinginkan, dan beliau berkata kepada saya: kemudian apa lagi? … bicaralah… lalu saya mendapatkan ucapan sebagai jawaban darinya dengan jelas, sambil mengeluarkan mushaf dari kopernya. Beliau berkata: apakah kamu mau berjanji dengan dua ini; mushaf dan senjata? Saya berkata: ya, dengan penuh kekuatan dan perasaan… dan saya tidak mensifatinya, kecuali karena karunia Allah yang berlimpah, dan kebahagiaan yang abadi yang di inginkan Allah melalui ilmu-Nya. Dan setelah selesai berbaiat dengan bentuk seperti tadi. Secara santai imam Hasan Al-Banna berkata: selamat, semoga Allah memberkahi, inilah awal kemenanganmu”.

Dakwah beliau

- Ustadz Muhammad Hamid bertemu dengan imam Syahid Hasan Al-Banna, pendiri dakwah Ikhwanul Muslimin di akhir tahun 1933, dan membaiatnya untuk bekerja di jalan Allah di bawah bendera dakwah yang penuh berkah ini.
- Ustadz Muhammad Hami adalah orang yang pertama kali bergabung pada barisan dakwah Ikhwanul Muslimin di daerah perkampungan Mesir.
- Menjadi ketua cabang di Manfaluth hingga menjadi anggota dalam lembaga pendiri (majelis syura), kemudian setelah itu menjadi anggota maktab Irsyad umum jamaah.
- Menghadapi penangkapan dan penjara serta dijatuhi hukuman pada tahun 1954 dengan hukuman kerja paksa selama 25 tahun, dan berlalu hukuman padanya 20 tahun di penjara Mesir dalam keadaan tegar dan kuat tidak pernah luntur dan gentar dalam berdakwah dan tidak pernah lunak walau terus berhadapan dengan rintangan, cobaan dan fitnah, sehingga beliau keluar dari penjara pada tahun 1974 untuk melanjutkan kontribusi dan jihadnya untuk meninggikan bendera Islam.
- Beliau terus melakukan dakwah dan kepemimpinannya hingga beliau diangkat menjadi mursyid am Ikhwanul muslimin menggantikan ustadz Umar At-Tilimsani pada tahun 1986.
Ustadz Muhammad Hamid adalah orang pertama yang selalu menemani pendiri jamaah Ikhwanul Muslimin, dan menjadi penopang harakah pada tahun 30-an, hidup bersamanya dalam penuh ujian bahkan berbagai rintangan dengan penuh kesabaran dan ikhlas, tidak pernah luntur azimahnya walau harus hidup di penjara, dan tidak pernah melemah walau harus berhadapan dengan kerasnya fitnah dan cobaan, sehingga beliau menjadi qudwah dalam keikhlasan dan kejujuran iman.

Beliau memenuhi janjinya dalam berbaiat, bersungguh-sungguh dalam ide dan pikirannya, membawa dengan gigih amanah risalah sekalipun telah berumur 80 an tahun..
Salah seorang penulis Islam berkata: “Saya melihatnya beliau adalah sosok yang memiliki fanatisme keimanan, berjiwa dan semangat muda, berani seperti pahlawan, bijaksana laksana syeikh, kaya akan pengalaman, penuh dengan cahaya iman, memiliki kasih sayang laksana orang tua, kecintaan laksana seorang al-akh, interaksi yang jujur laksana seorang sahabat, memiliki bimbingan laksana seorang guru, kebaikan yang memberikan teladan, keikhlasan sang murabbi, selalu memberi dengan penuh wibawa dan kharisma, akhlaq yang mulia, seakan sosok yang memiliki kesempurnaan, tampak pada wajahnya menghadapi kegamangan dakwah dengan penuh kesungguhan dan optimisme, dengan akhlaq yang mulia, penuh kasih sayang, cinta, wibawa, dermawan, ikhlas dan kebapakan”.
Beliau adalah saksi sejarah pada masanya yang secara sempurna menceritakan peristiwa dan kejadian yang dialami, dan bagaimana berpegang teguh pada dakwah di tengah masyarakat dan politik terakhir kali hingga masuk pada dewan kota dan desa, di bawah kehidupan parlemen, hidup pada masa yang penuh tipu daya, fitnah, mengada-ada dan penuh rekayasa, berhadapan dengan vonis dan tuduhan-tuduhan lainnya. Beliau adalah teladan dalam berbagai sikap walau tubuhnya semakin melemah oleh karena banyaknya ujian, siksaan dan usia, hingga akhirnya beliau kembali kepada yang Maha Kuasa, bertemu dengan Rabb-nya setelah memberikan pengorbanan dengan jiwa dan ruh dengan penuh jihad, gigih, sabar dan memenuhi janji dalam dakwah.

Jamaah Ikhwanul Muslimin pada masa kepemimpinannya

Jamaah Ikhwanul Muslimin di bawah kepemimpinan ustadz Muhammad Hamid berhadapan dengan banyak peristiwa terutama dalam kancah politik, secara kongkret pada masa beliau tokoh-tokoh yang muncul dalam pemilihan persatuan profesi, club-club pendidikan pada universitas dan lembaga-lembaga sosial lainnya.
Jamaah Ikhwanul Muslimin pada masa kepemimpinannya ikut turun dalam pemilu anggota dewan tahun 1987 dan berkoalisi dengan partai al-amal dan al-ahrar, sehingga berhasil memasukkan 36 orang anggota Ikhwan menjadi anggota parlemen. Dan untuk pertama kalinya sepanjang sejarah Ikhwanul Muslimin masuk ke DPR dan menjadi pemimpin oposisi dalam bentuk yang kongkret, sebagaimana saat itu jamaah ikut dalam melakukan perbaikan majelis syura pada tahun 1989, dan mengikuti pemilu parlemen pada tahun 1990 dan bersama-sama ikut menjadi oposisi dengan partai-partai lain dalam menentang terus diterapkannya undang-undang darurat dan tidak adanya jaminan yang cukup untuk dilangsungkannya pemilu yang bersih… dan pada tahun 1992 jamaah Ikhwanul Muslimin juga ikut dalam pilkada yang ada di Mesir.

Dan pada tahun 1993 pemimpin jamaah menolak pengangkatan presiden Husni Mubarak untuk yang ketiga kalinya sehingga membuat marah pemerintah saat itu, dan memasukkan 82 orang dari pimpinan Ikhwanul Muslimin pada daftar yang akan diajukan ke mahkamah militer pada tahun 1995, dan menjatuhkan hukuman penjara terhadap 54 orang dari mereka dalam persidangan ilegal. Kemudian Ikhwanul muslimin juga ikut dalam pemilihan majelis syura (MPR) yang dilaksanakan pada tahun 1995.

Aktivitas politiknya.

Abu An-Nasr pada awal kehidupannya telah ikut serta dalam amal sosial dan amal-amal Islami lainnya, sehingga beliau dapat mencapai berbagai jabatan penting, seperti sebagai:
- Anggota dalam jam’iyah Islah ijtima’i di Manfaluth, tahun 1932
- Anggota jam’iyah syubbanul muslimin, tahun 1933
- Anggota jamaah Ikhwanul Muslimin pada tahun 1934
- Anggota maktab irsyad jamaah Ikhwanul Muslimin.
- Mursyid am Ikhwanul Muslimin setelah meninggalnya Umar At-Tilimsani, tahun 1986

Berada dalam penjara

Abu Hamid Abu An-Nasr bersama dengan kawan-kawannya dari maktab Irsyad serta yang lainnya dari anggota jamaah Ikhwanul Muslimin ditangkap pada tahun 1954 saat terjadi bentrokan revolusi Mesir dengan jamaah Ikhwanul Muslimin dan dijatuhi vonis dengan hukuman kerja paksa seumur hidup. Dan beliau tetap ditahan hingga akhirnya dibebaskan pada masa presiden Anwar Sadat.

Kembali dalam kancah politik dan dakwah

Setelah keluar dari penangkapan, beliau kembali pada aktivitas dakwah dalam jamaah Ikhwanul Muslimin, dan kemudian dipilih menjadi mursyid Ikhwanul muslimin setelah ustadz Umar At-Tilimsani meninggal pada tahun 1986. Dan pada masa kepemimpinannya banyak anggota Ikhwan yang masuk dalam parlemen dan menjadi anggota dewan Mesir, dan jamaah menyaksikan akan perkembangan dan kemajuan yang gemilang pada masa kepemimpinannya.

Wafatnya:

Muhammad Hamid Abu An-Nasr wafat dalam usia 83 tahun, yaitu tepat pada hari sabtu pagi tanggal 20 Januari 1996.
Buku-buku karangan beliau:
- Hakikat al-khilaf baina “Al-Ikhwan al-muslimin” wa Abdul Nasser.

3. Umar At-Tilmisani; mursyid Am ketiga Ikhwanul Muslimin (1406 H = 1904- 1986 M)

Beliau diangkat menjadi Mursyid Am ketiga Ikhwanul Muslimin setelah ustadz Hasan Al-Hudaibi; mursyid kedua Ikhwanul Muslimin meninggal dunia.
Riwayat Hidup:
Pada tanggal 4 bulan November tahun 1904, lahir di Jalan al-Husy depan Balghoriyah, desa ad-darb al-ahmar Kairo, seorang bayi yang bernama lengkap, “Umar Abdul Fattah Abdul Qadir Mustafa At-Tilmisany” dan julukan At-Tilmisani bukan berasal dari Mesir asli, karena kakek dari bapaknya berasal dari daerah Tilmisani Al-Jazair, datang ke kota Kairo dan bekerja sebagai pedagang, dan menjadi pembesar dari kumpulan orang-orang kaya.
Umar At-Tilmisani menikah pada umur yang sanagt muda, yaitu pada usia delapan belas tahun dan masih menjadi pelajar di sekolah umum tingkat atas (SMU-red) dan beliau tidak menikah lagi setelah sampai Allah mewafatkannya pada bulan Agustus 1979, setelah Allah memberikan kepadanya empat orang anak: Abid, Abdul Fattah, dan dua orang putri. ”

Dan ketika beliau berhasil menerima ijazah licence sebagai Sarjana Hukum, beliau bekerja sebagai pengacara, dan membuka kantor sendiri di daerah Syibin Al-Qanatir, dan pada tahun 1933 beliau bertemu dengan Ustadz “Hassan al-Banna” di rumahnya, yang mana ketika itu beliau tinggal di Jalan Abdullah Bek, gang Al-Yakniyah di distrik Al-khayamiyah, dan langsung berbai’at. Dan sejak saat itu beliau resmi menjadi anggota jamaah Ikhwanul Muslimin, dan menjadi orang pertama dari seorang pengacara yang mewakili Ikhwan untuk memberikan pembelaan atas anggota Ikhwan yang ditangkap di pengadilan Mesir.

Kepribadian beliau

Beliau dikenal dengan pribadi yang teguh dan tsabat dalam kesehariannya, bahkan di dalam penjara pun beliau tetap tegar dan teguh karena kebenaran, tidak pernah luluh pendiriannya oleh karena teror atau ancaman, karena itu pula beliau melewati masa di penjara selama 20 tahun..
Beliau juga merupakan anggota Ikhwan yang paling sabar dan teguh pendirian, sekalipun sangat keras siksaan dan interaksi orang-orang zhalim terhadapnya namun lisannya tidak pernah luput dari berdzikir kepada Allah dan bahkan terus mengajak para Ikhwan untuk bersabar dan tsabat hingga akhirnya beliau keluar dari penjara pada tahun 1981, dan setelah itu beliau tetap menerima ujian dan cobaan namun beliau tetap dengan keteguhan, kesabaran dan tsabat.

Beliau pernah berkata: Saya sama sekali tidak takut pada siapapun dalam hidup ini kecuali kepada Allah, dan tidak ada yang bisa mencegah saya untuk lantang pada kebenaran yang saya yakin terhadapnya sekalipun berat dilakukan oleh orang lain, dan sekalipun saya harus menemui berbagai ujian dan cobaan, saya akan tetap mengungkapkannya dengan penuh ketenangan, hati-hati dan beretika, tidak menyakiti orang yang mendengarnya, tidak menyinggung perasaan, dan selalu menghindar dari ucapan dan ungkapan yang saya rasa tidak akan disukai oleh lawan bicara saya atau orang yang mendebat saya, sehingga dengan metode ini, saya mendapatkan ketenangan pada diri saya, sekalipun dengan metode ini saya mendapat banyak pertentangan dari pihak musuh.

Ustadz Umar At-Tilimsani sangat disenangi dan dikagumi oleh khalayak masyarakat Mesir, sebagaimana kalangan masyarakat Coptic’s juga menghormati beliau, bahkan para pejabat negara pun sungkan dan enggan dengan kepribadian beliau dan menyadari akan kharisma beliau.
Sebagaimana para Ikhwan juga memandang beliau sebagai teladan dan mereka berlomba-lomba ingin dapat talaqqi langsung dengan beliau, melaksanakan perintahnya. Hal tersebut terjadi karena dilandasi oleh rasa cinta karena Allah dalam menjalin hubungan antara dirinya dengan yang lain, bekerja untuk menerapkan syariat Allah dan mencari ridha Allah SWT..
Pelajaran-pelajaran, muhadharah-muhadharah, nasihat-nasihat dan taujihat-taujihat beliau selalu memberikan motivasi kepada umat khususnya para pemuda dan para tokoh, serta para ulama lainnya dalam mengemban amanah dan menunaikan tanggung jawab, sehingga mereka bangkit untuk mengikutinya, melaksanakan arahan-arahan dalam berbagai kondisi untuk mengembalikan Islam pada kekuatannya dan menjadi pemimpin dan penguasa di dunia.

Demikianlah seharusnya sikap para du’at di sepanjang zaman dan waktu, sebagaimana hal tersebut juga merupakan risalah yang dibawa oleh para nabi dan rasul, dan menjadi warisan bagi para ulama, aktivis, para du’at yang jujur, beriman dan ikhlas.
Beberapa karakter ustadz Umar At-Tilimsani:

1. Zuhud pada dunia

Beliau sangat memahami wasiat nabi saw yang disampaikan kepada Abdullah bin Umar, “Jadilah di dunia seakan-akan asing atau dalam perjalanan” (Bukhari)… Setelah bergabung dengan kafilah dakwah, beliau tidak pernah mau tunduk pada dunia, bahkan beliau begitu zuhud, berkhidmat untuk dakwah dengan hati, lisan dan jasadnya; hatinya selalu tenteram dengan berdzikir kepada Allah dan mencintai dakwah ini, dan melalui lisannya beliau memberikan dan menyampaikan muhadharah, pelajaran dan makalahnya di berbagai media masa, dan melalui jasadnya beliau mampu bergerak ke berbagai penjuru sehingga diikuti oleh banyak manusia dalam berdakwah kepada Allah..
Dan beliau tidak pernah putus asa, dan beliau pernah ditawarkan harta berlimpah dalam menunaikan dakwah ini namun beliau menolaknya, beliau berkata kepada orang yang memberi harta kepadanya: “Telah datang kepada Anda seorang dai bukan pencari harta”. Beliau juga menolak untuk mengambil upah dari salah satu media yang di dalamnya beliau menulis makalah tentang dakwah, dan beliau berkata: “Saya tidak akan menjual sedikit pun dakwah Ikhwan, saya hanyalah seorang juru dakwah kepada Allah”.

2. Sabar dan berharap hanya kepada Allah

Ustadz Umar At-Tilimsani adalah sosok yang memiliki teladan dalam kesabaran, ketika berada dalam penjara –penjara yang begitu kotor- tempat yang banyak kotoran yang menjijikan, dingin menusuk tulang, panas yang terik dan angin yang menghembus keras membawa debu-debu; membuat hidup tidak nyaman, tidur tidak tenang, jiwa selalu gelisah.. namun beliau menerimanya dengan penuh senyum dan suka ria. Beliau adalah sosok yang memiliki keteguhan, iman yang kuat dan kepercayaan yang sangat kokoh, selalu mengumbar senyum kepada Ikhwan nya, memberikan keteguhan dan selalu menolak dari seorangpun ketika ingin memberikan bantuan untuknya, dan beliau selalu melakukan segala urusannya dengan sendirinya.

3. Keteguhan dalam mengucapkan kebenaran

Nampaknya beliau adalah sosok yang disebutkan Allah dalam ayat “yaitu mereka yang menyampaikan risalah Allah dan takut kepada Allah dan tidak takut kepada siapa pun kecuali kepada Allah”. Beliau tegar dan berani dalam menyampaikan kebenaran di hadapan presiden Sadat, ketika beliau bertemu dengannya, Sadat menuduhnya dengan berbagai kecaman, lalu dengan berani beliau menjawabnya, memanggilnya dengan nama asli dan mengadukan nya kepada Allah, sedangkan Sadat mendengarkan jawabannya dengan tubuh gemetar, dan ketika Sadat bertanya siapakah mursyid Am Ikhwanul Muslimin? Beliau menjawab: “Sayalah Mursyid Am Ikhwan.
Ketika itu hukuman atas orang yang menjabat sebagai ketua jamaah ilegal adalah 25 tahun, dan beliau menerimanya dengan senang hati, hanya berharap ganjaran dari Allah, bagaimanapun kondisinya.

4. Lisan yang bersih

Beliau juga memiliki lisan yang bersih, ungkapan yang manis dan sama sekali tidak pernah menyakiti seorang pun dari lisannya. Beliau pernah berkata tentang dirinya: “Saya telah berjanji pada diri ini untuk tidak menyakiti seorang pun melalui ungkapan para nabi, sekalipun diriku adalah pelaku oposisi (penentang) dalam kebijakan politik, bahkan sekalipun mereka menyiksa saya.. bahwa pekerjaan saya adalah berjuang di jalan Allah, yang mesti menanggung berbagai cobaan dan siksaan yang diarahkan kepada saya, menangkap saya namun saya tetap bertawakal kepada Allah, tidak peduli dengan apa yang mereka lakukan, dan berbagai tindakan yang mereka lakukan terhadap diriku…

5. Di antara ungkapan-ungkapan beliau

- Imam Hasan Al-Banna telah mengajarkan kepada saya bahwa kezhaliman tidak akan mampu dihancurkan kecuali karena umat manusia tidak penuh menguasai kekuatannya”. Para anggota Ikhwanul Muslimin pada masa pemerintahan Abdul Naser banyak yang dipenjara, meninggalkan anak-anak dan istri-istri mereka tanpa ada yang menanggungnya, namun Ikhwan berharap perbuatan mereka adalah karena Allah, sehingga Allah melindungi anak-anak dan istri-istri mereka, karena barangsiapa yang hanya berharap kepada Allah, memuji Allah dan bersyukur kepada-Nya maka hal tersebut merupakan kelapangan rezki dan karunia dari Allah SWT.

- Bahwa penjara telah mampu menelurkan generasi dakwah yang agung dan mulia, generasi dengan penuh keteguhan dan ketegaran, hafal Al-Qur’an dan menerima ilmu yang banyak di dalamnya, mereka terus meningkatkan kesabaran dan tsabat, sekalipun jasad mereka menjadi lemah namun ruh mereka begitu besar dan begitu dekat hubungannya dengan Allah, di antara mereka adalah Umar At-Tilimsani, dan Allah telah menjanjikan untuk memberikan kepada jamaah ini seorang pemimpin yang kharismatik, seorang rabbani yang mampu memimpin kapal ini di tengah kerasnya ujian dan cobaan dengan penuh kesabaran dan hikmah.

- Dakwah pada masa beliau menjabat telah menyebar begitu luas, para pemuda banyak menerima akan dakwah beliau sehingga menjadi arus Islam yang begitu luas dan besar, terutama di universitas-universitas, persatuan-persatuan, dan lain sebagainya.

Awal mula bergabung dengan Ikhwanul Muslimin

Awal mula bergabungnya Umar At-Tilimsani dengan jamaah Ikhwanul Muslimin adalah langsung dihadapan pendirinya yaitu Hasan Al-Banna pada tahun 1933, setelah beliau diajak oleh dua orang anggota Ikhwanul Muslimin; “Izzat Muhammad Hasan dan Muhammad Abdul Aa’l untuk mengikuti pelajaran yang diisi oleh Imam Hasan Al-Banna.
Beliau masuk penjara pada 1948 dan kemudian pada tahun 1954, dan saat dibebaskan dari penjara pada akhir bulan Juni 1971 seorang petugas militer menghampirinya dan berkata: Anda telah dibebaskan … dan sekarang kumpulkan barang-barangmu untuk segera keluar dari tempat ini, dan pada saat waktu telah masuk malam; yaitu setelah waktu Isya, beliau berkata kepada petugas tersebut: bolehkah saya bermalam di sini untuk malam ini saja, lalu saya akan pergi nanti pada waktu pagi, karena saya telah lupa jalan-jalan di Kairo. Petugas tersebut berkata: Ini adalah bukan tanggung jawab saya, silakan keluar dari penjara, dan tidur di pintu masuk hingga waktu yang Anda inginkan, maka saya pun meminta taksi dan akhirnya kembali ke rumah dengan selamat.
Di kota Ismailia saat terjadi pertemuan antara Sadat dan Ustadz Umar At-Tilimsani, dan al-akh Abdul Azhim Al-muth’ini, lalu Sadat berbicara dan menyerang Ikhwanul Muslimin, lalu meminta Umar untuk membalasnya, maka diapun mempersilakan kepadanya untuk melanjutkan.

Dan ketika Sadat selesai berbicara, Umar menjawab dan berkata: “Jika orang lain berkata seperti ini maka saya akan mengadukannya kepada Anda, namun karena Anda yang berkata seperti demikian, maka saya akan mengadukan Anda kepada Allah,” maka Sadat pun berkata kepadanya: “Tolong tarik pengaduan Anda wahai Umar,” dan saat itu tubuhnya gemetaran, dan pertemuan berakhir tetapi kondisi masih tidak bersih karena Sadat masih saja melakukan pengkhianatan terhadap Ikhwanul Muslimin.

Kemudian Sadat pada tahun 1981 menangkap Umar At-Tilimsani dan bersama ratusan orang dari para cendekiawan, Coptic’s, uskup, dan para penulis serta lain-lainnya, dan Umar At-Tilimsani meninggal pada hari Rabu, 13 Ramadan 1406 H bertepatan dengan tanggal 22 Mei 1986 pada usia 82 tahun, setelah dirawat di rumah sakit akibat penyakit menderanya dan usia tua, kemudian beliau dishalatkan di Masjid Umar Makram di Kairo, dan upacara pemakamannya diiringi oleh sejumlah orang yang begitu besar hingga mencapai lebih dari seperempat juta orang –dan ada berpendapat setengah juta – dari masyarakat Mesir dan para utusan yang datang dari luar Mesir.

Begitu pula ikut hadir para pemuda yang berumur di bawah dan di atas dua puluh … mereka datang dari kota-kota dan desa-desa di Mesir, mereka ikut berpartisipasi dalam mengikuti prosesi pemakaman ini, mereka berlari-lari kecil dengan bertelanjang kaki di belakang mobil yang membawa jenazah, sementara air mata mereka membasahi wajah-wajah mereka, menangis atas meninggalnya sang dai pujaan nan kharismatik. Selain itu pula; pemerintah juga ikut berpartisipasi dan berbelasungkawa terhadap meninggalnya pemimpin Ikhwanul Muslimin tersebut.. dan ikut mengiringi pemakamannya, sebagaimana dihadiri pula oleh Perdana Menteri, Sheikh Al-Azhar saat itu, para anggota dari majma’ buhuts al-islamiyah (Akademi Penelitian Islam) dan ketua DPR/MPR, dan beberapa pimpinan dan tokoh Organisasi Kemerdekaan Palestina, dan beberapa tokoh dan ulama Mesir dan Islam serta sekelompok besar dari para diplomat; Arab dan dunia Islam.

Kesaksian tokoh tentang Umar At-Tilimsani

- Ibrahim Saa’dah, pemimpin redaksi Akhbar El Youm berkata dengan satu ungkapan: Umar At-Tilimsani telah meninggal .. negara dalam kondisi tenang.. bagi jamaah… bangsa… dan tanah air!
- Siaran radio Amerika: Jenazah ini telah menampakkan kekuatan dan antusiasme gerakan Islam di Mesir secara khusus dan mayoritas yang hadir adalah para pemuda.
- Majalah Kreeznet Internasional pada edisi tanggal 1-06-1986 menulis tentang beliau: “Dengan meninggalnya Umar At-Tilimsani seluruh harakah Islamiyah kehilangan seseorang yang memiliki kharisma yang mengagumkan, dan pengorbanannya akan menjadi inspirasi serta menempati posisi yang selalu dikenang sepanjang masa”.

Beberapa tulisan Mursyid Am “Umar At-Tilimsani”:
1. Dzikroyat la mudzakirat
2. Syahid al-mihrab
3. Hassan al-Banna al-mulhim al-mauhub (Hassan al-Banna dan inspirasi yang berbakat)
4. Wa ba’dhu ma ‘allamani al-ikhwan (beberapa sikap yang diajarkan oleh Ikhwanul Muslimin)
5. Fi riyadhi tauhid (dalam naungan tauhid)
6. Al-makhraj al-Islami min ma’zaq as-siyasi (Solusi Islam dari krisis politik)
7. Al-Islam wal hukumah ad-diniyah (Islam dan pemerintahan teokratis)
8. Islam wanzhratuhu as-samiyah lil mar’ah (Pandangan Islam terhadap wanita)
9. wa qala an -naas walam aqul fi ahdi Abdun nasir (ungkapan orang-orang namun saya tidak ikut mengatakannya pada masa pemerintahan Abdul Nasser)
10. Minsifatil abidin (beberapa karakteristik Abidin)
11. Ya hukkamal muslimin.. ala takhafunallah (Wahai para pemimpin Islam.. tidakkah kalian takut pada Allah)
12. Wala nakhafus salam walakin (kami tidak khawatir terhadap perdamaian, namun?)
13. Al-Islam wal Hayah (Islam dan kehidupan).
14. Haula risalah Nahwan nuur
15. Min fiqhil I’lam Al-Islami
16. Ayyam ma’as Sadat
18. Ara fiddiin wa siyasah (Beberapa pandangan tentang agama dan politik).

Referensi:
1. Min A’lam al-harakah al-islamiyah, mustasyar Abdullah Uqail
2. Miah mauqif min hayatil mursyidin lijamaatil Ikhwanul Muslimin
3. Umar At-Tilimsani wada’an
4. Dzikroyat la Mudzakirat, Umar At-Tilimsani
5. Majalah mujtama, edisi 1138, Syauqi Al-asthal

2. Hassan Al-Hudaibi … Mursyid Am Ikhwanul Muslimin kedua

Beliau adalah seorang Konsultan dan jaksa, bernama lengkap Hasan Ismail Al-Hudaibi, jabatan terakhirnya sebagai mursyid kedua jamaah Ikhwanul Muslimin, dan merupakan mursyid yang mengalami masa sulit dan penuh dengan ujian dan cobaan, karena pada saat beliau diangkat menjadi mursyid berada pada masa terjadinya perselisihan antara para pejuang revolusi, terutama mantan presiden Jamal Abdul Naser. Dan sebagai masa dimana para anggota jamaah banyak yang ditangkap, dipenjara dan disiksa; dan pemerintah pada saat itu berusaha melakukan pembersihan jamaah Ikhwanul Muslimin dengan kekuatan dan kekerasan dari bumi Mesir dan dunia.

Perjalanan hidup, sejarah singkat kepribadian dan karakter Hassan Al-Hudaibi
Hasan Al-Hudaibi lahir di desa Arab Al-Shawalihah, distrik Syibin Al-Qanatir, tahun 1309 yang bertepatan pada bulan Desember 1891 M. menghafal Qur’an di desanya sejak kecil, kemudian masuk sekolah formal di Al-Azhar yang semangat keagamaan nya yang tinggi dan ketakwaan yang suci. Kemudian setelah itu pindah ke sekolah negeri dan mendapatkan ijazah SD pada tahun 1907, lalu masuk sekolah Aliyah Al-Khadiwiyah (setingkat SMA) dan mendapat gelar BA pada tahun 1911, kemudian meneruskan kuliah di bagian hukum, dan lulus darinya pada tahun 1915. Setelah itu menjalankan masa percobaan menjadi pengacara di Kairo dan secara bertahap menjadi pengacara yang sesungguhnya.

Setelah menjadi pengacara, beliau bekerja sesuai profesinya di distrik Syibin Al-Qanatir, lalu untuk pertama kali dalam hidupnya dan tanpa diketahui oleh seorang pun, beliau pergi ke daerah Sohaj dan tinggal di sana hingga tahun 1924, dan di sana beliau menjadi jaksa. kemudian pindah ke daerah Qana, lalu pindah ke daerah Naja’ Hamady tahun 1925, lalu pindah lagi ke daerah El-Manshurah tahun 1930, dan tinggal di daerah Al-Mania selama satu tahun, kemudian pindah ke daerah Asyuth, lalu ke Zaqaziq, lalu ke Giza pada tahun 1933, dan pada akhirnya menetap di Kairo.

Tahapan beliau menjabat sebagai jaksa diawali dengan menjabat sebagai direktur administrasi kepaniteraan, lalu menjadi ketua badan pemeriksa kejaksaan, lalu sebagai konsultan di mahkamah konstitusi. Kemudian mengundurkan diri sebagai jaksa setelah terpilih menjadi mursyid Ikhwanul Muslimin pada tahun 1951. Pertama kali beliau menjabat, dirinya dan para ikhwan lainnya ditangkap tanggal 13 Januari 1953, namun pada bulan maret pada tahun sama beliau dibebaskan kembali, setelah dijenguk oleh para senior dan jenderal revolusi sambil meminta maaf kepadanya. Kemudian ditangkap lagi untuk yang kedua kalinya pada akhir tahun 1954 dan divonis hukuman mati, namun akhirnya diberikan keringanan dengan hukuman seumur hidup. Kemudian hukuman dipindah dari penjara menjadi tahanan rumah, akibat menderita sakit dan usia lanjut. Kemudian pada tahun 1961 hukuman tahanan rumah dihapus atasnya. Dan beliau kembali ditangkap pada tanggal 23 Agustus 1965 di Alexandria dan dijatuhi hukuman dengan wajib lapor, kemudian dijatuhi hukuman penjara selama 3 tahun, walaupun pada saat itu umur beliau telah mencapai 70 an tahun, dan kemudian diberikan izin keluar untuk ke rumah sakit selama 15 hari, kemudian dipindah ke rumahnya, lalu dikembalikan ke penjara untuk melengkapi masa tahanannya. Dan masa tahanannya menjadi panjang –melewati batas yang dijatuhkan- hingga tanggal 15 Oktober tahun 1971. Dan beliau wafat pada hari kamis, jam 07 pagi waktu setempat, pada tanggal 14 Syawal 1939 bertepatan dengan tanggal 11 November 1973.

Karakter Hasan Al-Hudaibi

Hassan al-Hudaibi adalah sosok seorang Muslim sejati, hafal Al-Qur’an sejak belia, memiliki komitmen untuk selalu taat kepada Allah, beliau tidak pernah lengah dan tidak pernah merasa bosan dalam menunaikan tugas dan kewajiban agama.
Beliau adalah sosok manusia yang dermawan dan tidak pernah memiliki keraguan sejak dia menjadi seorang siswa hingga menjadi konsultan dalam berpegang pada prinsip dan kebenaran. Beliau merupakan contoh dan teladan di antara teman-temannya dan orang-orang yang dekat dengannya atas ke istiqamahannya, keteguhan akhlaqnya dan kemuliaan karakternya, keengganannya bermujamalah (bermain-main) pada kebenaran dan ketidak takutannya kepada siapa pun kecuali kepada Allah. Beliau juga mampu mencetak rumah tangganya dengan tabiat dan shibghah Islam; adab-adabnya, kebiasaan-kebiasaannya dan pakaian-pakaiannya, sehingga tampak dengan akan keteguhan agamanya dan Ittiba’nya dengan nama agama melebihi jabatan dan julukan yang telah dimiliki dan diraihnya.
Hassan Al-Hudaibi juga merupakan sosok yang sangat disegani oleh teman sejawatnya dan para konsultan lainnya; terutama yang berani bermain-main dengan undang-undang sipil, dan yang melakukan pelanggaran dasar-dasar syariah Islam. Suatu kali; pada jiwa-jiwa terhenti tanpa dapat melakukan apa-apa, dan cukup dengan memberikan agenda kritikan yang lembut, beliau pergi dengan sendirinya ke pusat revisi undang-undang, dan memberikan pernyataan secara resmi bahwa dirinya menentang dan mengutuk berbagai produk undang-undang yang tidak berasal dan bersumber dari syariat Islam, atau kandungan bab dan fasal-fasalnya yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan sunnah. Sehingga, dengan sikap tersebut menjadi berita headline di seluruh surat kabar di Mesir saat itu; bahkan koran Al-Ikhwan menerbitkan berita dengan tema “Hasan Al-Hudaibi, semoga Allah menolongnya” yang berasal dari surat kabar “Akhbar Al-Youm.” Dan karakter yang agung yang terdapat dalam diri Al Hassan Al-Hudaibi adalah ketegarannya dan keberaniannya dalam menentang kebatilan, dan terhadap para pelaku dan pendukung kebatilan, ketegarannya berdiri dihadapan kekuatan zhalim dan para pelaku kezhaliman, sekalipun usia beliau sudah lanjut dan sering sakit-sakitan beliau tetap melakukan aktivitas. Sebagaimana beliau juga memiliki karakter membenci terhadap hal-hal yang berbau pamer dan pujian, jauh dari pantauan, karena itu –kadang- beliau selalu menghindar dari sorotan kamera, menolak untuk ditulis tentang jati dirinya dan perjalanan hidupnya; karena yang beliau harapkan hanyalah ganjaran dari Allah. Jika seorang imam memilih banyak diam dan jauh dari sorotan masa, adalah merupakan ketawadhuan dan kelebihan yang dimilikinya, namun di antara haknya –dan juga hak imam Al-Banna dan seluruh ulama dan umat yang membawa amanah setelah mereka hingga hari akhir zaman, untuk selalu menjadi uswah dan qudwah (contoh dan teladan), bahkan beliau menjadi menara yang mengarahkan para pembawa risalah dakwah dan pengarah jalan di dalamnya, sehingga dapat dijadikan pegangan bagi para pengemban amanah dakwah dan menerangi jalan mereka, karena para pemuda zaman sekarang ini, banyak yang sering mentaqlid dari sana sini, menemukan kebesaran jiwa dari sebagian tokoh. Karena itu, jika mereka mengambil kebesaran jiwa maka mereka kelak akan menjadi jiwa yang memiliki kepribadian yang tinggi pula.

Perjuangan beliau

Adapun Perjuangan pada bidang pekerjaan dan spesialisasinya memiliki sejarah yang sangat menarik. Suatu ketika ketua mahkamah konstitusi bertanya kepadanya: Ya Hasan, bukankah engkau bersama saya, bahwa kebanyakan dari undang-undang sipil saat ini berkaitan erat dengan hukum-hukum yang ada dalam fiqh Islam? Hasan Hudaibi berkata: betul. Orang tersebut berkata lagi: jadi apa dasarnya tuntutan Anda untuk kembali pada syariat Islam dan menerapkan hukum-hukumnya?”. Beliau menjawab: Hal tersebut karena Allah SWT. Dia berfirman: “Dan hendaklah saat memutuskan hukum diantara mereka sesuai dengan apa yang diturunkan Allah”. Dan tidak mengatakan: Dan berhukumlah seperti yang diturunkan Allah. Dan bahwa berhukum pada syariat Allah menurut seorang muslim adalah ibadah dan menunjukkan ketaatan kepada perintah Allah, dan itulah sumber keberkahannya, rahasia kekuatan yang ada dalam jiwa orang-orang yang beriman dengannya dan dalam komunitas jamaah muslimah.

Ketika dijabarkan rancangan revisi undang-undang sipil Mesir pada tahun 1945 di hadapan ustadz Al-Hudaibi, tertulis disitu bahwa beliau menolak mendiskusikan proyek tersebut dari sisi prinsipnya; karena tidak berdasarkan pada al-kitab dan as-sunnah.
Dan pada tahun 1947 Ustadz Hasan Al-Hudaibi menerbitkan sebuah artikel di koran Mesir “Akhbar Al-Youm,” yang membantah amandemen rancangan undang-undang sipil Mesir, beliau berkata, “bahwa amandemen terbaik menurut pandangan saya adalah yang mengacu pada sebuah undang-undang yang satu; untuk menerapkan hukum syariah dalam kasus pidana dan perdata kemudian beliau berkata: “Aku telah menyatakan pendapat di komisi revisi undang-undang sipil dalam Senat, dan saya sampaikan: Bahwa undang-undang kita harus berdasarkan Al-Quran dan Sunnah dalam berbagai sendi kehidupa, bukan hanya dalam urusan syariat saja. Bahwa Islam adalah agama yang koheren dan terpadu tidak boleh dipisah-pisah, sehingga harus diterapkan seluruh ketentuannya oleh setiap orang yang menganutnya” Inilah pendapat yang saya kemukakan, dan saya berharap bahwa saya telah menyelesaikan tugas dalam melakukan revisi undang-undang, berusaha mempelajarinya hingga tidak terdapat di dalamnya undang-undang asing yang tidak konsideran dengan Al-Qur’an Al-Karim, yang tidak bisa membedakan antara yang halal dan yang haram, padahal keduanya sangat jelas karakter dan batasan-batasannya hingga hari kiamat.
Dan inilah yang saya sampaikan di hadapan tim revisi, dan saya yakin bahwa mereka tidak akan menerima dan mengambilnya, namun bagi saya tidak mengapa selama saya yakin dengan apa yang saya sampaikan, namun menurut praduga saya, kelak setelah berjalan 20 atau 30 tahun opini akan mengarah pada pengambilan pendapat saya; setiap kali Allah melapangkan dada umat manusia dengan Al-Qur’an pada hari yang meliputi opini dan pendapat ini”.

Kami telah melihat bahwa berbagai undang-undang yang bersumber pada undang-undang asing tidak memberikan kemaslahatan pada negeri kami, tidak mencapai apa yang diharapkan, penjara ini penuh narapidana, kejahatan meningkat, kemiskinan menyebar, dan moral dan akhlak menurun, hubungan sosial memburuk hingga terjadi setiap hari sejak para pendahulunya, dan ini semua tidak mampu dirubah kecuali jika kita menyusun kembali hubungan kita dengan sunnah kauniyah yang telah diturunkan melalui wahyu dengan berbagai rahasia-rahasianya, dan tanda-tandanya yang terdapat dalam Al-Qur’an, dan dengan itu semua, maka kita akan dapat tinggal di rumah, di tengah keluarga dan masyarakat, bersama anak-anak kita, dan bersama semua orang yang hidup bersama Al-Qur’an “.

Pada tanggal sepuluh Desember 1952, konstitusi Klasik Mesir mengumumkan revisi dan setelah berlalu dua hari ditetapkan seratus anggota untuk membuat konstitusi baru yang mana di antara mereka ada tiga orang yang berasal dari Ikhwanul Muslimin. Akhirnya majalah “El-dakwah” menerbitkan artikel yang mengajak untuk mendukung konstitusi berdasarkan Islam. Hasan Al-Hudaibi mengajak untuk dilakukan referendum; guna mengetahui apakah Mesir memilih syariat Islam atau undang-undang barat? Jika memilih berhukum pada Islam maka pemerintah harus komitmen melaksanakan pilihan tersebut, dan jika memilih undang-undang Barat –yang tidak mungkin keluar dari diri seorang muslim- maka kita harus mengaca diri, mengajarkan umat akan perintah Tuhannya dan apa yang seharusnya mereka lakukan”.

Awal Hasan Al-Hudaibi mengenal Ikhwanul Muslimin

Dikisahkan bahwa hubungan beliau dengan Ikhwanul Muslimin dimulai sejak tahun 1942, yaitu saat beliau mendapatkan kepuasan dengan dakwah al-Ikhwan melalui praktek sebelum mendapatkannya secara teori. Hal tersebut terjadi ketika beliau melihat sebagian anggota kerabatnya dari para petani yang sedang menghadapi berbagai macam masalah; agama dan politik, yang kebanyakan dari masyarakat umum tidak memahami hal tersebut, terutama karena kebanyakan dari mereka adalah berasal kalangan umi (buta huruf), dan ketika diketahui bahwa hal tersebut kembali kepada para Ikhwan, beliau tertarik dengan cara dakwahnya, sehingga beliau sangat antusias untuk menghadiri khutbah Jum’at di masjid-masjid yang diisi oleh pendiri jamaah Ikhwan; Hasan Al-Banna. Dan sejak tahun 1942 beliau mulai menjalin hubungan dengan dakwah yang penuh berkah ini melalui pendirinya langsung terutama di saat beliau melakukan kunjungan ke kota Zaqaziq.
Adapun awal begitu tertariknya beliau dengan dakwah Ikhwanul Muslimin adalah saat mendengar ceramah ustadz Hasan Al-Banna tentang masalah membersihkan jiwa, menumbuhkan perasaan, menggelorakan ruh. Ketika beliau mendengarkan uraiannya ada perasaan aliran darah yang deras dan kencang merasuk ke dalam jiwanya, bergelora ruhnya, akalnya, hatinya dan perasaannya, sehingga tidak membutuhkan waktu lama dan usaha yang keras, segera terdorong jiwanya untuk bergabung dengan dakwah yang penuh berkah ini, dakwah yang membawa kebenaran, dan siap bekerja untuknya, terikat dengannya serta komitmen untuk berjihad di jalannya. Pada saat itu Imam Hasan memandang telah terjadi kehancuran di tengah umat Islam sehingga perlu adanya kerja keras untuk menolong dan menyelamatkannya. Dan ditambah kecemburuan iman Hasan Al-Banna yang bergelora di dadanya, yang mana hal tersebut dapat diketahui saat beliau berbicara, baik dihadapan para ulama yang shalih dan dihadapan orang-orang yang duduk-duduk dan nongkrong di kedai kopi.

Pada saat itu –setelah mendengar uraian imam Hasan Al-Banna- beliau langsung menghadap, dan setelah berbicara singkat, beliau melakukan janji, ikatan dan baiat. Baiat yang mengikat dirinya dan kehidupannya untuk selamanya, dan berada di jalan dakwah yang penuh berkah ini, mengarungi masa depan dakwah. Dan inilah model kejujuran para rijal dakwah. Mengikat jiwa mereka dengan dakwah kehidupan masa lalunya, yang sedang berjalan dan yang akan datang dengan kebenaran.

Dan karena karakter imam Hasan Al-Hudaibi memiliki kecerdasan dan kejelian, jiwa yang kokoh, ruh yang bersih, sehingga ketika mendengar dakwah imam Hasan Al-Banna yang bersumber dari kejujuran dan keikhlasan, dan totalitas yang begitu dalam, beliau yakin bahwa ini adalah dakwah yang akan memberikan air kesejukan bagi siapa saja yang haus hatinya, perasaannya dan jiwanya.

Bai’at ustadz Hasan Al-Hudaibi

Pada tanggal 12 Pebruari tahun 1949 para pesuruh kerajaan Mesir Raja Farouk berhasil membunuh Hasan Al-Banna sehingga membuat kosong kursi Mursyid Am Ikhwanul Muslimin, dan pada saat itulah, para pendiri Ikhwan berusaha mencari menggantinya, dan akhirnya mereka menetapkan Hasan Al-Hudaibi menjadi Mursyid Am Ikhwanul Muslimin. Pada 6 bulan pertama Hasan Al-Hudaibi menjabat sebagai mursyid secara tersembunyi dan diam-diam, tanpa tidak meninggalkan pekerjaannya sebagai jaksa selama masa tersebut. Dan ketika pemerintahan An-Nuhas Pasya memberikan izin kepada lembaga pendiri Ikhwanul Muslimin untuk melakukan pertemuan, para anggota tersebut mempersilakan kepada Hasan Al-Hudaibi untuk memimpin pertemuan dan menjabat sebagai mursyid am Ikhwanul muslimin, namun saat itu beliau menolak permintaan mereka, karena beliau menganggap saat pemilihan atas dirinya menjadi Mursyid oleh anggota lembaga pendiri hanya pada marhalah sirriyah dan tidak mewakili pendapat anggota Ikhwan lainnya, dan beliau meminta untuk memilih Ikhwan lain menjabat sebagai mursyid, namun para Ikhwan lainnya menolak permintaan tersebut dan meminta beliau untuk melanjutkan jabatannya sebagai mursyid Ikhwanul muslimin, akhirnya beliau menerima permintaan utusan para Ikhwan dan setelah itu beliau mulai mengurus pengunduran diri dari pekerjaannya untuk fokus pada jabatan barunya yaitu mursyid Am Ikhwanul muslimin.

Dab tepat pada tanggal 17 Oktober 1951 Hasan Al-Hudaibi resmi menjadi mursyid am jamaah Ikhwanul muslimin. Dan setelah itu beliau melakukan jaulah ke berbagai tempat dan daerah yang terdapat di dalamnya anggota Ikhwanul Muslimin untuk menegaskan bahwa mereka mendukung keputusan tersebut. Dan akhirnya beliau mendapatkan kepastian tersebut…, bahkan semua anggota yang bertemu dengannya melakukan baiat kepadanya. Dan sebelum baiat beliau berkata: “Sebenarnya saya tahu, bahwa saya sedang menyerahkan diri pada kepemimpinan dakwah yang mengakibatkan syahidnya sang pionir, muassis dan mursyid pertama, berhadapan dengan ancaman pembunuhan, penyiksaan para pengikutnya, pengusiran di jalan Allah, mereka telah mendapatkan apa yang mereka harapkan, dan saya tidak yakin pada diri ini akan mampu melakukan dari apa yang ditinggalkan oleh sang imam dan membawa maslahat di dalamnya seperti imam Hasan Al-Banna, namun walau begitu saya akan berusaha menghadirkan dan melakukan sesuai dengan amanah dan keinginan para Ikhwan, menunaikan amanah untuk Allah SWT, tidak mencari dan berharap apapun kecuali ganjaran dan ridha Allah, dan saya tidak meminta pertolongan kepada siapapun kecuali pada kekuasaan dan kekuatan Allah SWT.

Apa yang diberikan oleh Hasan Al-Hudaibi untuk jamaah ini?

- Dukungan beliau terhadap jamaah dan pembelaannya sangat besar sekali, bahkan kontribusi yang mulia beliau tampakkan ketika membeli rumah markas al-am (kantor pusat).
- Menunjukkan amanah dakwahnya saat beliau marah terhadap kekejaman Zionis guna membela Palestina.
- Memiliki jiwa perhatian terhadap keluarganya, dengan membentuk kantor cabang di desanya “Arab As-shawalihah” dan desa-desa yang berdekatan dengannya.
- Dengan retorika dan metode khas beliau dan berpenampilan tenang dan penuh tawadhu mampu menghidupkan dakwah di daerah Syibin Al-Qanatir.
- Beliau tidak pernah putus menjalin hubungan dengan imam syahid, dan bahkan beliau tidak pernah lepas dalam bertukar pikiran dan memberikan pendapat yang konstruktif pada setiap langkah dan sikap sebelum terjadinya pembunuhan dan setelahnya, bahkan beliau selalu ikut dalam jalasah yang diikuti oleh mukhlisin dan pejabat teras Ikhwanul Muslimin, yang sedang berjual melakukan pemetaan strategi dakwah untuk jamaah sebelum dan sesudah syahidnya Mursyid pertama.
- Setelah beliau bergabung dengan dakwah, maka seluruh jiwanya, rumahnya, anak-anaknya, jabatannya, dan seluruh hartanya diserahkan untuk dakwah dan dibawah kendali dakwah.
- Beliau adalah satu-satunya orang yang jujur dalam dakwah yang berasal dari kalangan kejaksaan sehingga beliau menjadi pionir dan satu-satunya orang yang mampu membersihkan kewibawaan jamaah, membersihkan kejaksaan dari pengaruh kedustaan dan kebohongan, yang sengaja dilakukan oleh pemerintah untuk mengubah kejaksaan dari kerja yang serius dan bertanggung jawab pada tindakan melakukan kezhaliman dengan berbagai tuduhan yang dibuat-buat.
- Hasan Al-Hudaibi juga selalu mengikuti perkembangan berita Ikhwan, terutama setelah terbunuhnya imam Hasan Al-Banna, selalu membekali diri dengan nasihat-nasihat yang membuatnya memiliki kekuatan dan imunitas dari gelora kekejian pemerintah dan kekuasaan undang-undang, dan mampu melakukan banyak kebaikan menuju jalan yang pasti; yaitu melakukan penyatuan barisan, memberikan dukungan untuk tsabat dan tsiqah kepada Allah di antara para Ikhwan.
- Beliau memiliki perhatian kepada keluarga Ikhwan yang ditangkap dan dipenjara.
Hasan Al-Hudaibi saat di penjara
Mursyid memulai hidup barunya menjadi Mursyid Am Ikwahnul Muslimin berhadapan dengan berbagai ujian dan cobaan yang begitu keras; berbagai penangkapan, vonis hukuman penjara, bahkan menerima siksaan dan hukuman mati atasnya, yang kemudian berganti menjadi hukuman kerja paksa.

Pendapat para ulama tentang Hasan Al-Hudaibi

Saat memulai kehidupannya menjadi mursyid am kedua Ikhwanul Muslimin, beliau mulai mengalami kehidupan yang keras dan tidak pernah berhenti, beban yang berat dan ujian yang tidak pernah putus, cobaan terhadap jamaah terutama pemimpinnya terus berlanjut; dimasukkan di dalam penjara, disiksa, dijatuhi hukuman mati, kemudian di ganti dengan hukuman kerja paksa. Di tengah ujian tersebut beliau berkata:”Tegakkanlah daulah Islam di dalam hati-hati kalian, niscaya dia akan tegak di negeri kalian”. Pada kondisi yang mengenaskan berada dipenjara yang terisolir -sementara para Ikhwan yang lain dan termasuk anak-anaknya ikut disiksa dan dipecut – beliau memperkokoh jiwa mereka dan mengajak mereka untuk mempertahankan keimanan mereka.

DR. Ahmad Al-’Asal berkata tentangnya: “Beliau selalu menghadirkan kepada mereka untuk memiliki hati yang tsabat, dan jiwa yang tenang; dengan mengatakan di hadapan para pelaku penyiksaan: “Mereka adalah sebaik-baik pemuda Mesir, karena itu, jagalah mereka untuk menjadi saham bagi negerinya, cukuplah kalian mengambil dan memenjarakan diri saya dan melakukan apa yang kalian inginkan”.

Selama di penjara kesehatan beliau sering terganggu, sehingga harus dipindah ke rumah sakit, namun setelah itu hukuman terhadapnya tidak berhenti namun dikembalikan ke tempat semula untuk ikut merasakan penderitaan Ikhwan lainnya serta anak-anaknya. Beliau berkta: “Penjara adalah sebaik-baik tempat pengkondisian jiwa bukan sekadar tembok dan jeruji besi”. Ahmad Al-’Asal juga berkata: “saya tidak pernah lupa terhadap apa yang diceritakan beliau kepada kami, beliau meneteskan air mata saat bercerita tentang kondisi seorang Ikhwan yang miskin yang mendapatkan waktu berharga pada salah seorang Pasya saat dirinya membersihkan WC di tempat salah seorang terpidana, maka salah seorang dari teman-temannya berinisiatif memberikan uang atas amanah yang dikerjakannya dan kembali bekerja. Maka Ikhwan tersebut berdiri sambil menegakkan badannya berkata: “Sungguh saya ingin menambah pekerjaan ini sesuai dengan amanah, dan saya tidak menginginkan upah tersebut kecuali karena Allah, dan saya tidak butuh harta tersebut”. Kemudian Ustadz berkata: “Padahal saya tahu betul kondisinya, dirinya pasti membutuhkan harta tersebut, namun karena kesucian dan kebersihan dirinya, ia tidak mau menerima uang tersebut”. Kemudian air matanya meleleh kembali.

Ahmad Husain pemimpin pemuda Mesir berkata, kami dimasukkan di penjara perang pada bulan Maret tahun 1954, dan saya melihat Syeikh Hasan Al-Hudaibi ada di dalamnya bersama kami, dan ketika beliau berada sama saya, seakan saya melihat dirinya penuh dengan kemuliaan dan ketawadhuan, serta berinteraksi dengannya yang penuh dengan kelembutan dan kasih sayang, dan saya mengira bahwa kemuliaan yang besar ini baginya adalah kemuliaan bersama Ikhwanul Muslimin. Salah seorang wartawan bertanya kepada saya; apa pendapatmu terhadap Ikhwan pada perang di Palestina? Maka saya jawab bahwa hal tersebut merupakan fenomena yang sangat mulia; karena merekalah yang telah berhasil menyelamatkan tentara Mesir dari kekalahan, yaitu mereka berhasil melindungi pasukan terakhir saat mundur, dan hendaknya dunia mesti memahami, bahwa orang yang memerangi Ikhwan dengan besi dan api, telah melakukan perbuatan demi kepentingan syaitan, janganlah kalian mengira wahai saudaraku bahwa saya mengucapkan ini saat ini sah; karena saya telah meninggalkan Mesir sejak tahun 1955; dan terakhir kali saya bertemu dengan Abdul Nasher adalah karena terkait permasalahan ini. Kemudian dia berkata: “Bahwa syahid kalian dan syuhada Islam, sedang menikmati kenikmatan di sisi Tuhannya, dan kelak sejarah akan mencatat seperti Ibnu Hambal, yang menolak untuk disamakan atau dijauhkan terhadap apa yang dianggapnya benar”.

Buku-buku karangan beliau

1. Duat la qudhat
2. Inna hadzal Qur’an
3. Al-islam wa ad-da’iyah, kumpulan tulisan yang disusun oleh As’ad Sayyid Ahmad
Sumber rujukan:
1. Mausu’ah al-harakiyah, muassasah al-buhuts wal masyari’ al-islamiyah, dipimpin oleh Fathi Yakan
2. Majalah As-Syihab, edisi 13
3. Afaq Arabiyah, makalah ustadz Muhammad Abdullah Al-Khatib.

MURSYID ‘AM IKHWANUL MUSLIMUN ( 1. HASAN AL-BANNA )

Penerjemah: Abu Ahmad

Allah SWT berfirman:
مِنَ الْمُؤْمِنِينَ رِجَالٌ صَدَقُوا مَا عَاهَدُوا اللَّهَ عَلَيْهِ فَمِنْهُمْ مَنْ قَضَى نَحْبَهُ وَمِنْهُمْ مَنْ يَنْتَظِرُ وَمَا بَدَّلُوا تَبْدِيلًا
“Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; Maka di antara mereka ada yang gugur. dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka tidak merobah (janjinya)“. (Al-Ahzab:23)
Sejarah telah mencatat para generasi dakwah Islam di era modern Iakan banyak pahlawan, dan hal tersebut telah terjadi, dan akan terus terjadi dari mereka yang memiliki sikap dan prinsip dengan tetap berpegang teguh pada manhaj Islam yang benar dan lurus, jika boleh dikatakan: bahwa mereka mampu mencapi puncak hingga peringkat sebagai pengemban dan pembawa manhaj ilahi dari generasi pertama umat Islam, dan tugas dari gerakan Islam adalah mengenang para pahlawannya dan mengapresiasi para syuhada di jalannya; sehingga kelak mereka menjadi panutan yang dapat memberikan pencerahan dan petunjuk bagi generasi dakwah setelahnya, dan setiap orang yang mengambil jalan ini.

Siapakah Hasan Al-Banna?

Beliau adalah Hassan Ahmad Abdul Rahman al-Banna, lahir di kota Al-Mahmudiya, di bagian Delta Nil Provinsi Buhaira, Mesir, pada hari Ahad, tanggal 25 Sya’ban tahun 1324, bertepatan dengan tanggal 14 Oktober tahun 1906. Beliau termasuk dalam keluarga pedesaan yang sederhana dari kebanaykan bangsa Mesir lainnya sebagai petani di sebuah desa Delta yang disebut dengan desa “Syamsyirah” [dekat dengan pantai kota Rasyid berhadapan dengan kota Idvina, bagian dari kota Fawah, Propinsi Al-Buhaira].
Kakeknya bernama Abdul Rahman, beliau adalah seorang petani dari keluagra sederhana, namun orang tua Hasan Al-Banna, Syeikh Ahmad tumbuh – sebagai anak bungsu- jauh dari aktivitas bertani; karena keinginan dari ibunya, sehingga beliau ikut dalam belajar dan menghafal Al-Qur’an dan mempelajari hukum-hukum tajwid Al-Quran, dan kemudian belajar hukum syariah di Masjid Ibrahim Pasha di Alexandria, dan disaat menempuh pendidikan, beliau ikut bekerja di sebuah toko terbesar bagian refarasi jam di Alexandria, sehingga setelah itu beliau memiliki keahlian dalam memperbaiki jam dan berdagang, dan dari sinilah beliau terkenal dengan panggilan “As-sa’ati”
Selain itu, Orang tua Al-Banna juga memiliki keahlian dan menjadi bagian dari ulama hadits karena beliau pandai di bidang tersebut, sebagaimana beliau banyak melakukan aktivitas dalam mempelajari dan mengajar sunnah nabawiyah terutama kitab yang terkenal “al-fathu Robbani fi tartiibi musnad imam Ahmad bin Hambal As-Syaibani”, dan dalam kehidupan seperti itulah tumbuh “Hassan al-Banna” mencetak banyak karakter darinya.

Awal Perjalanan

Hassan al-Banna memulai pendidikannya di sekolah tahfizhul Qur’an di Al-Mahmudiyah, dan mampu mentransfer ilmu dari banyak penulis sehingaa orang tuanya mengirim beliau kepada para penulis di dekat kota Al-Mahmudiyah. Namun waktu yang beliau tempuh di tempat para penulis sangat padat sehingga tidak mampu menyempurnakan hafalan Al-Qur’an; oleh karena terikat dengan peraturan para penulis, dan pada akhirnya beliau tidak mampu meneruskannya, lalu melanjutkan pendidikannya di sekolah tingkat SMP, meskipun ada pertentangan dari ayahnya, karena beliau sangat antusias terhadap dirinya untuk bisa menjadi penghafal Al-Qur’an, dan tidak setuju anaknya masuk sekolah SMP kecuali setelah bisa mengkhatamkan Al-Qur’an di rumahnya.
Setelah menyelesaikan sekolah SMP beliau masuk ke sekolah “Al-Mu’allimin Al-Awwaliyah” di Damanhour, dan pada tahun 1923 masuk kuliah di Fakultas Dar El-Ulum di Kairo dan lulus pada tahun 1927, dan selain itu, beliau juga mampu meraih lebih ilmu-lainnya dari ilmu-ilmu yang diterima pada saat kuliah, terutama pada kurikulum pendidikan yang diberikan saat itu; seperti pelajaran ilmu al-hayah, sistem pemerintahan, ekonomi politik, sebagaimana beliau menerima pelajaran tentang bahasa, sastra, hukum, geografi dan sejarah, sehingga dengan itu semua, membuat beliua matang dalam berbagai ilmu pengetahuan.

Beliau memiliki perpustakaan yang besar dan luas dirumahnya, di dalamnya terdapat ribuan buku, yang berisi tentang buku-buku yang terkait dengan tema yang tersebut diatas, dan ditambah dengan adanya empat belas jenis majalah dari majalah mingguan yang diterbitkan di Mesir seperti majalah al-muqtatof, majalah al-fath, majalah Al-Manar dan lain-lainnya, dan hingga saat ini perpustakaan beliau masih ada di bawah pengawasan anaknya ustadz ” “Saif al-Islam”.

Al-Banna menjalankan hidupnya selama 19 tahun sebagai guru sekolah dasar di Ismailia, dan kemudian di Kairo, dan ketika beliau mengundurkan diri dari pekerjaannya sebagai guru pada tahun 1946 beliau telah mendapat level kelima untuk menjadi PNS, setelah itu beliau bekerja di surat kabar harian “Ikhwanul Muslimin”, dan kemudian beliau menerbitkan majalah bulanan sendiri yang bernama “As-Syihab” yang di mulai pada tahun 1947; hal tersebut dilakukan agar dirinya dapat mandiri dan sebagai sumber mata pencaharian, namun akhirnya majalah tersebut dibredel oleh karena dibubarkannya jamaah ikhwanul muslimin pada tanggal 8 Desember 1948.

Pengaruh dan dampak

Syeikh Hassan al-Banna, menerima banyak pengaruh dari beberapa ulama besar dan para guru, termasuk ayahnya sendiri, Syeikh Ahmed dan Syeikh Mohammed Zahran – pemilik majalah Al-Is’ad dan pemilik sekolah Ar-Rasyad, yang mana Hasan Al-Banna terdaftar di sekolah saat beliau menetap beberapa tahun di Mahmudiyah – begitupun Syeikh Tantawi Jauhari, penyusun kitab tafsir Al-Qur’an “Al-Jawahir”, dan beliau juga menjadi pemimpin redaksi koran yang diterbitkan pertama kali oleh Ikhwanul Muslimin pada tahun 1933, setelah lulus dari Dar el-ulum tahun 1927, Hasan Al-Banna menjadi guru pada salah satu sekolah dasar di kota Ismailiyah, dan berikutnya tahun 1928 mendirikan jamaah Ikhwanul Muslimin, tapi sebelum pendiriannya beliau telah banyak terlibat dalam sejumlah asosiasi dan kelompok agama, seperti “Jam’iyah Al-Adab Al-Akhlaqiyah”, dan “Jam’iyah Man’u Al-Muharramat” di Mahmudiya, dan “At-Tariqah Al-Hashofiyah” sebuah aliran tasawuf di Damanhour, sebagaimana beliau juga ikut berpartisipasi dalam pendirian jamaah Syubbanul Muslimin pada tahun 1927 dan beliau merupakan salah satu anggotanya. Yaitu, Setelah jamaah Ikhwanul Muslimin yang didirikannya telah tumbuh, berkembang dan tersebar di berbagai segmen masyarakat dan kota, bahkan pada akhir tahun empatpuluhan ikhwanul Muslimin telah menjadi kekuatan organisasi sosial-politik yang terstruktur di Mesir, juga telah memiliki cabang yang banyak yang tersebar di berbagai negara-negara Arab dan Islam.

Imam Al-Banna selalu menegaskna bahwa jamaah yang diririkannya bukan merupakan partai politik, tetapi merupakan kesatuan ide dari berbagai nilai-nilai perbaikan, dan berusaha untuk kembali kepada Islam yang benar dan bersih dan menjadikannya sebagai manhaj yang komprehensif untuk kehidupan.

Adapun manhaj perbaikan yang beliau lakukan adalah dengan cara “Tarbiyah” dan “progresif ” dalam melakukan perubahan yang diinginkan, dan inti dari manhaj yang diinginkan itu adalah membentuk “individu Muslim” lalu “Keluarga Islam”, “komunitas Muslim”, lalu “Pemerintahan Islam”, “Negara, dan khilafah Islam dan akhirnya mencapai pada “ustadziyatul alam” .

Imam Al-Banna memimpin jamaah Ikhwanul Muslimin selama dua periode [1928-1949], dan dalam kepemimpinannya banyak berhadapan dengan peperangan politik dengan pihak lain, khususnya partai Al-Wafd dan partai Al-Saadi. Adapun sebagian besar aktivitas dari Al-Ikhwan terfokus pada permasalahan di lapangan nasional Mesir yang terpuruk setelah pecah Perang Dunia II, dan pada saat itu beliau mengajak Mesir untuk keluar dari sterling blok sehingga dapat memberi tekanan pada Inggris untuk menanggapi permintaan nasional Mesir. Dalam konteks ini, Ikhwanul Muslimin mengadakan konferensi-konferensi, dan melakukan demonstrasi untuk menuntut hak-hak negara, juga memiliki serangkaian politik assassinations terhadap tentara dan pasukan Inggris, terutama di Terusan Suez.
Dan Al-Banna juga mengutamakan perhatiannya secara khusus terhadap isu Palestina, dan menganggapnya sebagai “Persoalan seluruh dunia Islam” dan beliau selalu menegaskan bahwa “Inggris dan orang-orang Yahudi tidak akan memahami kecuali hanya satu bahasa, yaitu bahasa revolusi, kekuatan dan darah”, beliau mengakui fakta adanya aliansi Barat Zionis terhadap Islam. Beliau juga mengajak untuk melakukan penolakan terhadap konsensus pemisahan dan pembagian negeri Palestina yang dikeluarkan oleh PBB tahun 1947, dan mengajak kepada seluruh umat Islam secara umum – dan Ikhwanul Muslimin secara khusus – untuk melakukan jihad di tanah Palestina demi mempertahankan tanah Arab dan Muslim, beliau berkata: “Sesungguhnya Ikhwanul Muslimin akan mengorbankan jiwa dan harta mereka untuk mempertahankan setiap jengkal dari bumi Palestina Islam dan Arab sehingga Allah mewarisi bumi ini dan orang-orang yang bersamanya “. Dan akhirnya pada tanggal 6 Mei 1948 Lembaga Pendiri Ikhwanul Muslimin mengeluarkan keputusan yang menegaskan jihad suci melawan Yahudi sang agresor, untuk itu Al-Banna mengirim brigade Mujahidin dari Ikhwanul Muslimin ke Palestina dalam perang tahun 1948. Hal inilah yang menyebabkan pemerintah Mesir melikuidasi jamaah Ikhwanul Muslimin pada bulan Desember tahun 1948; sehingga, menyebabkan terjadinya bentrokan antara Ikhwanul Muslimin dan Pemerintah An-Nakrasyi.

Al-Banna memiliki pendapat yang tepat dan wawasan yang luas terhadap qadhiyah an-nahdhah (masalah kebangkitan) yang mampu membuat sibuk umat Islam sejak dua abad sebelumnya dan hingga sekarang masih didengungkan. Beliau menghubungkannya dengan masalah kemerdekaan dari kolonialisme dan ketergantungan pada Eropa dari satu sisi, dan terhadap kemajuan ilmu pengetahuan yang harus dicapai oleh umat Muslim pada sisi yang lain, dan beliau mengatakan: “Kita tidak akan mampu melakukan perbaikan dan kita tidak bisa menerapkan konsep perbaikan secara internal selama kita belum merdeka dari intervensi dan campur tangan asing” Beliau juga mengatakan: “Tidak ada kebangkitan tanpa ilmu pengetahuan dan apa yang diraih oleh orang kafir -dalam menjajah- adalah karena dengan ilmu “, beliau melihat bahwa ketergantungan umat Islam pada Eropa terhadap tradisi dan kebiasaan-kebiasaannya dapat menghalangi kemerdekaan dan kebangkitan mereka, beliau berkata: “Bukankah sebuah paradoks yang aneh, kita meninggikan suara menuntut untuk merdeka dari Eropa dan melakukan protes keras terhadap segala tindak tanduknya, sementara di pihak lain kita meng agungkan tradisi-tradisinya dan terbiasa dengan adat-adatnya, dan bahkan kita lebih memilih produk-produknya?

Sebagaimana beliau juga melihat bahwa persoalan perempuan merupakan salah satu permasalahan sosial paling penting; karena itu, karena itu -sejak awal didirikannya Ikhwanul Muslimin- beliau banyak memberikan perhatian terhadap permasalahan kaum perempuan, beliau membuat bagian khusus yang disebut dengan “Akhwat Muslimat”. Dan beliau selalu menekankan bahwa Islam telah memberikan kepada perempuan hak-hak pribadi, sipil dan politik, dan pada saat yang bersamaan, Islam juga meletakkan kaidah-kaidah yang harus dipertimbangkan dan diperhatikan dalam penerapan hak-hak tersebut
Namun Imam Al-Banna tidak hanya menyeru untuk mendirikan sebuah sistem pemerintahan keagamaan teokratis dengan pengertian yang dikenal oleh Eropa pada abad pertengahan, namun beliau menyeru untuk menerapkan hukum Islam berdasarkan aturan dari syura, kebebasan, keadilan dan kesetaraan.

Dan beliau menerima dengan lapang bentuk konstitusional undang-undang parlemen, dan menganggap lebih dekat sistem pemerintahan di seluruh dunia terhadap Islam, dan beliau melihat bahwa jika formula tersebut diterapkan, maka dipastikan akan mampu mewujudkan tiga prinsip yang melandasi aturan Islam; yaitu “tanggungjawab pemimpin, kesatuan umat dan penghargaan terhadap kehendaknya”.

Terbunuhnya Sang Imam

lokasi: Kairo, di distrik Al-Himliyah. Waktu: Pertengahan malam tanggal 12 Februari 1949. Kronologi: terdapat beberapa kendaraan polisi melaju di tengah keheningan malam, hingga mencapai pada salah satu jalan di distrik Al-Hilmiyah, Kairo, mereka bertugas menghentikan kendaraan yang melaju di jalan tersebut, beberapa tentara memblokade jalan dengan senjata lengkap,dan penjagaan diperketat terutama di sebuah rumah sederhana di yang ada di jalan tersebut, lalu sebuah mobil polisi melaju menuju rumah tersebut, satu barisan tentara memindahkan mayat dari mobil ke rumah tersebut dengan cepat, lalu mengetuk pintu yang ada di atasnya, seorang Syeikh berumur sembilan puluhan tahun membuka, lalu beberapa tentara masuk ke rumah tersebut sebelum mereka memasukkan tubuh yang sudah mati tersebut untuk mengkonfirmasi tidak ada orang lain di rumah tersebut, ultimatum yang keras disampaikan kepda syekh tersebut; tidak boleh ada suara, tidak boleh ada kegaduhan, dan bahkan tidak boleh ada seorangpun yang boleh mengurus mayat tersebut, cukup anda dan keluarta yang ada di rumah, dan tepat jam sembilan esok pagi beliau harus dimakamkan.

Adapun Syeikh tersebut adalah orang tua almarhum, meskipun ia terketut, sekalipun ia sudah tua, dirinya mampu memakamkan anaknya sendirian, beliau membersihkan darah anaknya yang terkena peluru dan mendarat di sekujur tubuhnya.
Pada pagi harinya, petugas datang tepat waktu, mereka berkata: bawa sini anakmu untuk segera dikubur. Maka syeikh yang sudah berumur 90 tahun tersebut berseloroh: bagaimana saya membawanya? Seharusnya sebagian prajurit ikut membawanya! Namun para prajurit menolak, dan responnya adalah hendaknya orang-orang rumah yang membawanya. Saat itu almarhum meninggalkan beberapa anak perempuan dan seorang anak laki-laki yang masih bayi.

Akhirnya tubuh yang sudah menjadi mayat dibawa oleh istrinya dan anak perempuannya dan dibantu oleh ayahnya, dan bagi siapa yang berani ikut membantunya maka akan ditangkap dan di penjara, akhirnya jenazah sampai ke masjid untuk di shalatkan, tidak ada yang ikut menyolatkannya kecuali ayahnya dan dibelakangnya anaknya (istri sang imam) dan anak-anak perempuan dari keturunannya, dan mereka juga yang turun ke kubur, lalu kembali ke rumah dengan penjagaan yang super ketat, demikian kronologi pembunuhan dan prosesi pemakaman As-Syahid Imam “Hassan al-Banna”, setelah itu banyak tetangganya yang ditangkap, tidak ada alasan lain kecuali hanya karena mengungkapkan takziah (belasungkawa) kepada keluarga yang ditinggal, dan blokade terus berlanjut tidak hanya di rumah karena khawatir banyak yang berdatangan untuk takziya, namun juga di sekitar kuburan sang imam, karena takut ada yang berani mengeluarkan mayatnya dan mengekspos kejahatan yang telah terjadi, bahkan banyak dari pihak kepolisian disebar di beberapa masjid; untuk segera ditutup kembali setelah ibadah shalat ditunaikan, karena takut ada seseorang yang berani menshalatkannya.

Di sisi lain seorang raja negara tersebut menunda dalam merayakan ulang tahun ke 11 Februari dari 12 Februari; untuk ikut merayakan bersama orang merayakan kematian sang imam, dan salah seorang intelektual menceritakan bahwa dirinya menyaksikan salah satu perayaan di sebuah hotel di Amerika Serikat, dan ketika diceritakan alasan perayaan ini, ia dapat mengetahui bahwa perayaan tersebut dilakukan untuk mengungkapkan kegembiraan karena kematian Imam As-Syahid Hasan Al-Banna. Jika kebenaran ada pada musuh, maka sesungguhnya pusat penelitian di Prancis dan Amerika ikut berpartisipasi dalam peletakan seratus orang yang paling terpengaruh di dunia pada abad kedua puluh, dua dari dunia Arab adalah: Imam As-Syahid “Hassan al-Banna”, dan yang lainnya adalah Gamal Abdul Nasser.

Buku-buku karangan imam Hasan Al-Banna

Tidak ada yang dimiliki oleh Hassan al-Banna dari literatur buku atau karangan-karangannya kecuali berupa risalah, baik kumpulan dan cetakan dengan judul buku “Majmuah Rasail imam Hasan Al-Banna” sebagai referensi utama dalam memahami pemikiran dan manhaj Ikhwanul Muslimin secara umum. Beliau juga memiliki buku mudzakarah yang dicetak beberapa kali dengan judul “Mudzakirah da’wah wa da’iyah”, selain itu beliau juga memiliki majalah dan riset-riset kecil dalam jumlah yang besar, seluruhnya tersebar dalam koran-koran dan majalah Ikhwanul Muslimin yang dimuat pada tahun tiga puluh dan empatpuluhan tahun yang lalu.
Rahimahullah Imam As-Syahid Hasan Al-Banna

sumber : ( http://www.al-ikhwan.net/2053-2053/ )

19 Maret 2010

SEJARAH TIMBULNYA THARIQAH DALAM DUNIA TASAWUF

A. Pendahuluan

Manusia merupakan makhluk yang diciptakan dan dibekali dengan 2 unsur, naterial (dzahiriah) dan spiritual (bathiniyah). Keduanya senantiasa menampakan daya tarik bagi manusia, sehingga manusia tidak pernah merasa puas berhenti mengejarnya. Tiap unsur melahirkan konsekuensi yang berbeda. Material, makin jauh manusia mengejar dirinya akan merasa dahaga, merasa kehampaan hebat, karena tidak tentram, dan jauh dari nilai religiusitas yang menyejukan hatinya. Spiritual, makin manusia mendekati, diriny akan merasa tentram. Hidupnya lebih nyaman dan tentram.
Rasulullah Saw. Bersabda dalam sebuah Haduts qudsi “Aku jadikan pada manusia itu ada istana (qashr), didalam istana itu ada dada (shadr), dalam shadr itu ada qalbu, diadalam qalbu itu ada fu’ad, didalam fu’ad itu ada syaghaf, didalam syaghaf itu ada lubb, didalam lubb itu ada sirr, dan didalam sirr itu ada Aku (ANA)”. Hadits ini menjelaskan bahwa Aku adalah inti. Aku dalam hadits ini adalah Allah. Jadi, pada intinya manusia adalah sesuatu yang bersifat ilahiyah.
Dalam pada itu Ibn 'Arabi melukiskan hakekat manusia dengan mengatakan bahwa tak ada makhluk Allah yang lebih bagus dari manusia. Allah Swt. Membuatnya hidup, mengetahui, berkuasa, berkehendak, berbicara, mendengar, melihat dan memutuskan, dan ini adalah merupakan sifat-sifat rahbaniiyah.
Selanjutnya al-Ghazali menyatakan, bahwa manusia ciptan Allah Swt. Yang terdiri atas dan unsure jasmani dan ruhani. Namun jika manusia ingin hidup sesuai dengan fitrahnya, sehingga akan membedakan dirinya dengan makhluk Allah lainnya, maka hendaklah ia mempergunakan unsure psikisnya secara dominant. Jika tidak, manusia akan kehilangan esensinya sebagai manusia.
Dalam kehidupan modern, manusia selalu ditawari oleh gemerlapnya keindahan dan kemudahan mendapatkan materi. Manusia akan haus mengejar materi sebanayak mungkin. Dia selalu merasa tak poernah puas dengan materi yang dimilikinya. Karenanya, manusia akan selalu berusaha sekuat tenaga untuk mencapai klimaks dari berbagai keinginannya, dan pada akhirnya nanti ia akan merasa kekeringan jiwanya, kerontang perasaannya, kegalauan yang hebat, kegersangan pikiran dan kejenuhan dalam kehidupan meskipun manusia telah banyak menghasilkan dan memiliki materi. Hingga akan mencari ketenangan hidup yang akan membawanya pada pencerahan pikiran dan kebeningan hati, dan manusia akan berupaya untuk mendapatkan ketenangan batin demi memenuhi kebutuhan spiritualnya.
Melalui ini, manusia melakukannya dengan perantaraan tahapan olah ruhani, pembersihan jiwa, lalu mengisinya dengan cahaya ilahi. Tahapan itu tidak mudah dilakukan sendiri, melainkan dibutuhkan orang yang mampu dan tempat yang representatif dapat membantu. Salah satunya, lembaga lembaga olah bathin atau thariqah (sering diucap tarekat), karena lembaga tersebut banyak memberi harapan bagi yang diinginkan manusia.

B. Konsep Thariqah Sebagai Suatu Gerakan Kaum Sufi

Menurut Usman Said dkk. Thariqah ialah tahawuf yang telah berkembang dengan beberapa variasi tertentu, sesuai dengan spesifikasi yang diberikan syaikh kepada muridnya, karena jaran pokok thariqah sama dengan tashawuf. Tujuan tashawuf memperoleh tujuan langsung dan didasari dengan Allah. Intisarinya ada komunikasi dan dialog antara ruh manusia dengan Allah melalui pengasingan diri dan kontemplasi.
Hubungan thariqah dengan tashawuf, berawal dari tashawuf yang berkembang dengan berbagai macam faham dan aliran, hingga orang yang berkecimpung didalam tashawuf, lazimnya melalui suatu thariqah yang sudah ada. Peralihan tashawuf yang personal ke thariqah yang melembaga, tak bisa dilepaskan dari pertumbuhan dan persebaran tashawuf. Makin luas pengaruh tashawuf, mendorong orang ingin memplajari tashawuf, dan menerima orang yang memiliki ilmu dan pengalaman luas dalam pengamalan tashawuf yang dapat menuntunnya. Agar tidak tersesat, maka ada kewajiban belajar dari seorang guru (mursyid) dengan metode mengajar yang disusun berdasarkan pengalaman suatu praktek tertentu.
Secara etimologi, pengertian thariqah berasal dari bahasa Arab, thariqah, yang sepadan maknanya dengan sirah, perjalanan atau madzhab, cara (jalan). Bentuk jamak thariqah ialah thara’iq. Berbeda dengan thariq, yang bentuk jamaknya thuruq. Kata kedua, mempunyai arti lintasan luas dan memanjang yang lebih luas dari jalan raya. Sepintas kedua kata mempunyai kesamaan makna, namun jika dicermati terdapat perbedaan makna. Thariqah lebih menekankan sebuah perjalanan yang sudah diatur melalui cara tertentu, sedang yang kedua, tidak mempunyai pengertian yang demikian.
Sementara Nurcholis Majid mengatakan, thariqah secara harfiah berarti jalan, sama dengan syari’ah, sabil, shirath, dan manhaj. Maksudnya, sebagai jalan menuju Allah guna memperoleh ridla-Nya, dengan menaati ajaran-ajaran Nya. Dia mengutip Q.S. Al-Jinn (72) : 16. sedang Harun Nasution, mengartikan thariqah sebagai jalan yang harus ditempuh calon sufi denga tujuan berada sedekat mungkin dengan Tuhan. Thariqah lantas mengandung arti organisasi. Tiap thariqah memiliki syaikh, upacara ritual dan bentuk (kaifiyah) dzikir tersendiri.
Dari sudut pemakaian di Indonesia, istilah thariqah mengacu pada 2 (dua) pengertian. Pertama, acuan sebuah carayang merupakan paduan antara doktrin, metode dan ritual. Kedua, acuan organisasi, baik secara formal maupun informal, yang menyatukan pengikut-pengikut jalan tertentu. Di Timur Tengah, thariqah dalam arti kedua ini biasa dinamai thaifah (keluarga atau persaudaraan), sehingga untuk membedakannya sangatlah mudah.

C. Munculnya Thariqah

Peralihan tashawuf yang bersifat personal pada thariqah yang bersifat lembaga tidak terlepas dari perkembangan dan perluasan tashawuf itu sendiri. Semakin luas pegaruh tashawuf, semakin banyak pula orang yang berhasrat mempelajarinya. Gerakan tashawuf mulai muncul pada abad ke-2 Hijriyah kemudian berkembang luas dan terpengaruh ajaran dari luar (diantaranya falsafah Yunani). Kemudian para sufi (sebutan bagi orang yang menekuni tashawuf )melakukan amalan-amalan, sambil membedakan pengertian syari’ah, thariqah, dan haqiqah serta ma’rifah. Menurut mereka, syari’ah untuk memperbaiki amalan-amalan lahir, thariqah untuk memperbaiki amalan-amalan bathin (hati), haqiqah (hakikat) untuk amalan segala rahasia ghaib. Sedangkan ma’rifah adalah tujuan akhir, yaitu mengenal hakikat Allah.
Mereka menemui orang yang memiliki pengetahuan dan pengalaman yang luas dalam pengembangan tashawuf yang dapat menuntun mereka. Belajar dari seorang guru dengan metode mengajar yang disusun berdasakan pengalaman dalam suatu ilmu yang bersifat praktikal adalah suatu keharuasn bagi mereka. Seorang guru tashawuf biasanya memang memformulasikan suatu system pengajaran tashawuf berdasarkan pengalamannya sendiri. System pengajarannya itulah yang kemudian menjadi cirri khas bagi suatu thariqah yang membedakannya dengan thariqah lain.
Seiring dengan perubahan kondisi sosial dan politikumat Islam, orang yang menekuni tashawuf mengjarkannya kepada orang lain. Hasilnya pengikut ajaran tashawuf berkembang dan makin banyak jumlahnya. Hingga pada abad ke-5 H atau abad 13 M, mulai terdengar istilah thariqah, buah pelembagaan kumpulan tashawuf. Ini ditandai, tiap silsilah thariqah selalu dihubungkan dengan nama pendiri maupun tokoh sufi.
Ditinjau dari segi historisnya, kapan dan thariqah mana yang mula-mula timbul sebagai suatu lembaga, sulit diketahui dengan pasti. Namun Harun Nasution menyatakan bahwa setelah al-Ghazali menghalalkan tashawuf yang sebelumnya dikatakan sesat, tashawuf berkembang di dunia Islam, tetapi perkembangannya melalui thariqah. Thariqah adalah organisasi dari pengikut sufi-sufi besar yang bertujuan untuk melestarikan ajaran tashawuf gurunya. Thariqah ini memakai suatu tempat disebut ribath (disebut juga zawiyah, hangkah, pekir). Ini merupakan tempat para murid berkumpul melestarikan ajaran tashawufnya, ajaran tashawuf walinya, dan ajaran tashawuf syaikhnya.

Organisasi serupa mulai timbul pada abad 12 M, tetapi belum baru tampak perkembangannya pada abad-abad berikutnya. Disamping untuk pria, ada juga thariqah wanita, tetapi tidak berkembang dengan baik seperti thariqah untuk pria.
Pada awal kemunculannya, thariqah berkembang dari dua daerah yaitu Khurasan (Iran) dan Mesopotamia (Irak). Pada periode ini mulai timbul, beberapa diantaranya:
1. Thariqah Yasaviyah yang didirikan oleh Ahmad al-Yasavi (w. 562 H/ 1169 M) dan disusul oleh thariqah Khawajaghawiyah yang disponsori oleh ‘Abdul Kholik Al-Ghuzdawani (w. 617 H/1220 M). kedua thariqah ini menganut faham tashawuf Abu Yazid al-Busthami (w. 425 H/ 1034 M) dan Yusuf bin Ayyub al-Hamdani (w. 535 H/1140 M). thariqah yasaviyah berkembang ke berbagai daerah, antara lain ke Turki. Disanan thariqah ini berganti nama dengan thariqah Bekhtashya yang diidentikan kepada pendirinya Haji Bektashy (w. 1335 M). thariqah ini sangat popular dan pernah memegang peranan penting di turki yang dikenal dengan Korp Jennisari yang diorganisasikan oleh Murad I pada masa turki Utsmani.
2. Thariqah Naqsabandiyah, yang didirikan oleh Muhammad Bahaudin an-Naqsabandi al-Awisi al-Bukhari (w. 1389 M di Turkistan. Dalam perkembangannya, thariqah ini menyebar ke Anatoli (Turki) kemudian meluas ke India dan Indonesia dengan berbagai nama baru yang disesuaikan dengan pendirinya di daerah tersebut, seperti thariqah Khalidiyah, Muradiyah, Mujadidiyah, dan Ahsaniyah.
3. Thariqah Khalwatiyah yang didirikan oleh Umar al-Khalwati (w.1397M) thariqah Khalwatiyah adalah salahsatu thariqah yang terkenal berkembang di berbagai negeri, seperti Turki, Syiria, Mesir, Hijaz dan Yaman. Di Mesir Thariqah Khalwatiyah didirikan oleh Ibrahim Gulsheini (w. 940 H/1534 M) yang kemudian terbagi kedalam beberapa cabang, antara lain thariqah Samaniyah yang didirikan oleh Muhammad bin Abdul Karim as-Samani (1718-1775 M). thariqah ini juga dikenal dengan Thariqah Hafniyah.
Thariqah Khalwatiah pertamakali muncul di Turki didirikan oleh Amir Sultan (w. 1439 M). Dari rumpun Mesopotamia yang berpusat di Irak, faham thariqahnya bersumber dari Abu Qasim al-Junaidi (w. 298 H/ 910 M) yang melahirkan berbagai thariqah dari berbagai garis silsilah. Akan tetapi, yang terkenal adalah thariqah Suhrawardiyah yang didirikan oleh Abu Hafs As-Surawardi, thariqah Kurawiyah yang didirikan oleh Najmudin al-Kubra’ (w. 1273 M). dan thariqah Maulawiyah didirikan oleh Jalaludin ar-Rumi (1207H/1273M). tiap-tiap thareqah iikemudian menumbuhkan berpuluh-puluh cabang dengan berbagai nama baru sesuai dengan nama pendirinya yang tumbuh dan tersebar ke seluruh dunia Islam. Akan tetapi, thariqah kubrawiyah sangan berkembang di Kawasan Turki.
4. Thariqah Safawiyah yang didirikan oleh Safiyudin al-Ardabili (wafat 1334 M).
5. Thariqah Bairamiyah yang didirikan oleh Hijji Bairan (w. 1430 M).
Di daerah Mesopotamia masih banyak thariqah yang muncul dalam periode ini cukup terkenal, tetapi termasuk rumpun al-Junaid. Thariqah-thariqah ini antara lain adalah :
1. Thariqah Qadiriyah yang didirikan oleh Muhy ad-Din abd Qadir Jailani (471 H/1078 M).
2. Thariqah Syadziliyah yang dinisbatkan kepada nama Nur ad-Din Ahmad asy-Syadzilli (593-656 M/1196-1258 M).
3. Thariqah Rifa’iyyah yang didirika oleh Ahmad bin Ali ar-Rifa’I (1106-1182 M).
Thariqah yang tergolong dalam kelompok Qadiriyah ini cukup banyak dan tersebar keseluruh negeri Islam. Thariqah Faridiyah di Mesir yang dinisbatkan kepada Umar bin Al-Farid (1234 M) yang mengilhami thariqah Sanusiyyah (Muhammad bin Ali as-Sanussy, 1787-1859 M) melalui thariqah Idrisiyyah (Ahmad bin Idris) di Afrika Utara, merupakan kelompok Qadiriyah yang masuk ke India melalui Muhammad al-Ghawath (1517 M) yang kemudian dikenal dengan thariqah al-Ghawthiyah atau al-Mi’rajiyyah dan di Turki dikembangkan oleh Ismail al-Rumi (1041/1631 M).
Karena banyaknya cabang thariqah yang timbul dari tiap-tiap thariqah induk, sulit bagi kita untuk menelusuri sejarah perkembangan thariqah ini secara sistematis dan konsepsional. Akan tetapi, yang jelas, sesuai dengan penjelasan Harun Nasution, cabang-cabang itu muncul sebagai akibat tersebarnya suatu alumbi thariqah yang mendapat ijazah thariqah dari gurunya untuk membuka perguruan baru sebagai perluasan dari ilmu yang diperolehnya. Alumni ini meninggalkan ribath gurunya dan membuka ribath baru di daerah lain. Dengan cara ini, dari satu ribath induk timbul ribath cabang, dari ribath cabang tumbuh ribath ranting, dan seterusnya sampai thariqah itu berkembang ke berbagai dunia Islam. Namun, ribath-ribath tersebut tetap mempunyai ikatan keruhanian, ketaatan, dan amalan-amalan yang sama dengan syaikhnya yang pertama.

D. Perkembangan dan Pergeseran Thariqah

J. Spencer Tirmingham menerangkan perkembangan tashawuf yang individual ke thariqah yang melembaga, dalam 3 (tiga) fase :
1. Tahap Khanaqah, saat zaman keemasan tashawuf abad 10 M. guru dan murod eriang pindah tempat, dan hanya berpegang pada aturan sederhana, samapai terbentuknya tempat pemondokan dan perkampungan tanpa pengkhususan dan pembagian fungsi. Bimbingan guru jadi asas yang diterima dan metode kontemplasi serta latihan, dimaksudkan untuk merangsang ekstase. Tiap guru mempunyai murid yang terikat dan ikut dalam latihan mistik dibawah tuntunannya. Guru memiliki khanaqah, pemondokan tempat murid dan latihan mistik. Tujuan murid itu perolehan pengalam mistik dan karenanya, sering berkelanan mencari seorang guru yang dapat membimbing dijalan ini.
2. Tahap thariqah sampai abad 13 M. terlihat intensitas perkembangan aliran tashawuf dengan pengajaran berkesinambungan: silsilah-thariqah, berasal dari orang yang mengalami pencerahan. Ada penyesuaian dan upaya penjinakan mistik dalam tashawuf yang terorganisasikan mecnuju pembakuan tradisi dan legalisme. Juga ada perkembangan metode kolektivistik gaya baru, untuk merangsang ekstase. Meski para murid tetap sering pindah tempat untuk mencari guru baru dan tinggal di khanaqah baru, mulai dari ‘Abdul Khaliq al-Ghuzdawani, w. 617 H/1220 M, telah ada system dalam tekhnik yang diterapkan bersama. Keterikatan sumpah setia murid, tidak saja kepada guru, juga terhadap thariqahnya dan oleh karena itu, keabsahan silsilah menjadi penting sekali.
3. Tahap Thaifah, sejak abad 15 M. Mulai terlihat ada transmisi ikrar sumpah setia, disamping doktrin dan aturan, hingga tashawuf menjadi gerakan kerakyatan. Terbentuklah dasar baru dalam thariqah, dan tampak percabangan kedalam sejumlah besarhimpunan atau aliran serta meleburkan diri dalam satu arus kultus wali. Memang masih ada yang mencri pengalaman mistik melalui metode thariqah. Thariqah tersebut lambat laun menjadi gerakan masal dan ritus dalam thariqah tersebut menjadi bentuk ‘peribadatan’. Pembai’atan terhadap syaikh, cenderung berkembang menjadi kultus wali. Thariqah telah menjadi organiasi dengan masing-masing hierarkhinyasendiri dan terlihat pada rutinisasi. Ini tampak pada pengangkatan seorang guru, untuk mengangkat seorag khalifah (wakil) didaerah lain, sebagai awal pencabangan dari suatu organisasi dengan jaringannya masing-masing, yang pelan-pelan berkembang.
Thariqah tetap saja merupakan seperangkat latihan spiritual yang dapat dilakukan secara pribadi, baik dalam bimbingan guru spiritualnya dari dekat maupun jauh. Dalam penilaian Martin, selalu saja ada perubahan. Tujuan sebagian pengikut barangkali mungkin hanya memperoleh kekuatan ghaib (supra natural) dan kesaktian, yang dalam pengamatannya samapai hari ini masih menjadi perhatian utama sebagian pengikut thariqah di Indonesia.

E. Penutup

Berkembangnya tradisi tashawuf telah melahirkan thariqah, yaitu suatu lembaga yang didirikan untuk mengembangkan ajaran tashawuf. Beraneka raga thariqah yang keberadaannya tersebar diberbagai tempat, dipengaruhi oleh letak geografis dank konteks kultur budayasetempat serta waktu, menjadikan setiap thariqah mempunyai corak ritual dan orientasi kegiatan yang berbeda-beda, tergantung siapa dan agama yang dianut kelompok yang dihadapi. Dalam keadaaan terjajah, ada kecenderungan pasti melawan dengan taruhan nyawa.
Sedang jika aman, lebih memilih tindakan yang saling menguntungkan, setidaknya pemuka atau mursyid thariqah. Begitu juga dengan masa depan thariqah, tak dapat dilepaskan dari carut marut permasalahan yang diahadapinya.

Hanya kepada Allah kita berserah diri, dalam kekuasaan dan genggaman -Nya kita bukanlah apa-apa. Pengetahuan yang kita miliki hanyalah setitik air disamudra-Nya yang Maha Luas, dan terkadang kita sering merasa berbangga diri pada apa yangkita peroleh dan apa yang kita miliki meskipun kita sadar didunia ini hanyalah persinggahan, karena akhirat adalah kehidupan yang sebenarnya. “Wal akhirotu khoirun limanit taqa” dan akhirat itu lebih utama bagi orang yang bertaqwa.
Ilmu akan membawa kita pada peradaban yang lebih tingi, dengan ilmu akan membawa seseorang untuk mewujudkan berbagai mimpi yang musykil dan mustahil, dan dengan pelbagai potensi yang diangugerahkan Tuhan kepada kita semua, semoga dapat dijadikan sebagai media untuk bersyukur pada-Nya.

DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Rosihon., 2007. Ilmu Tashawuf, Jakarta : Pustaka Setia.
Hasan, M. Thalchah., 2007. Dinamika Kehidupan Religius, Jakarta: Listafariska Putra.
Ramayulius, Prof. Dr. H., 2007. Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia.
Sentosa, ‘Irfan., Institusionalisai Ajaran Tashawuf Kedalam Gerakan Thariqah, TAJDID (Jurnal Ilmu-ilmu Agama Islam dan Kebudayaan), Vol. 15, No. 1, Maret 2008. LPP IAID Ciamis, Jawa Barat.
Tafsir, Ahmad, Prof. Dr., 2006. Filsafat Pendidikan Islami (integrasi jasmani, ruhani, dan kalbu memanusiakan manusia), Bandung : Remaja Rosdakarya.